Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017 menyebutkan bahwa megathrust yang berada di pulau Sumatra dianggap sebagai salah satu zona gempa paling aktif di bumi karena tatanan seismotektoknik yang berada di pulau tersebut. Selama 140 tahun terakhir sudah terjadi berbagai gempa besar di wilayah Sumatra dengan besaran magnitudo 6,5 sampai 9, baik di zona sesar maupun megathrust.
Megathrust di pulau Sumatra datang dari sistem Sunda arc-trench system (Palung Busur Sunda) yang terbentuk akibat pertemuan antar lempeng samudra IndoAustralia dengan bagian selatan dari lembang Eurasia atau Blok Sunda. Pertemuan antar lempeng ini memanjang dari pantai barat Sumatra, melalui bagian selatan, yaitu Pulau Jawa sampai ke wilayah timur melalui Bali.
Besaran magnitudo gempa yang terjadi di pulau Sumatra juga tidak terlepas dari posisi kerak samudra yang tertumbuk berbentuk miring. Ahli Geologi, Dr. Joko Wahyudiono, S.T., M.T., mengatakan bahwa hal ini pun bisa berpengaruh kepada potensi tsunami yang dapat dihasilkan.
“Di pulau Sumatra punya kemungkinan tsunami lebih besar ketimbang pulau Jawa. Hal ini karena subduksi yang terjadi itu miring. Bayangkan seperti bak mandi yang tiba-tiba alasnya turun sedalam 30 cm, lalu tiba-tiba air tersebut terangkat,” kata Joko kepada ANTARA pada Rabu (28/2).
Akibat kemiringan lempeng tersebut juga menimbulkan sumber gempa berupa sesar naik di zona subduksi yaitu megathrust dan sesar geser mendatar di Zona Sesar Sumatra. Zona ini memiliki sejarah panjang sebagai penyebab banyak sekali kerusakan akibat gempa dan terbagi menjadi 19 segmen, dengan panjang segmen kurang dari 100 km, hanya dua dari segmen tersebut memiliki panjang lebih dari 200 km. Segmen-segmen ini dipisahkan oleh step-overs (lonjakan) sepanjang beberapa kilometer.
Selain posisi kerak samudra yang miring, karena pulau Sumatra adalah satu kesatuan pulau, hal itu juga menjadi salah satu faktor energi megathrust semakin besar.
“Kalau pulaunya panjang seperti Sumatra, ketika bergesekan energinya lebih masif,” ucapnya.
Jika bentuknya adalah kepulauan atau terpotong-potong, kata Joko, ketika terjadi gesekan akibat megathrust energi yang dikeluarkan tidak semasif dengan yang berbentuk satu pulau utuh.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami, Dr. Daryono, S.Si., M.Si, mengatakan bahwa saat ini pihak Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) hanya bisa melihat kawasan Sumatra memiliki sumber gempa yang aktif dan sejarah kegempaan besar.
“Kita hanya bisa melihat bahwa kawasan itu memiliki sumber gempa aktif. Kemudian disitu catatan aktivitas yang aktif, kemudian ada historical (sejarah) kegempaan besar. Jadi itu yang kita bisa lihat,” kata Daryono kepada ANTARA pada Kamis (21/3).
Selain megathrust, di daerah barat pulau Sumatra juga ada zona yang menjadi sumber gempa yaitu outer rise. Peristiwa ini terjadi sebelum kejadian antara kerak bumi dan samudra saling menumbuk satu sama lain.
“Tapi sebenarnya, di barat Sumatra dan Jawa itu, sebelum menunjam, sebelum menukik, sebelum subduksi, itu ada zona sumber gempa namanya outer rise ya,” ujar Daryono.
Lebih lanjut ia mengatakan outer rise adalah peristiwa ketika sebuah lempeng akan menunjam itu ada aktivitas yang terjadi berupa bending atau penekukan lempeng. Ketika penekukan terjadi, maka di saat yang bersamaan juga terjadi tension atau yang juga disebut dengan gaya regangan dan hal ini bisa menimbulkan gempa besar.
“Jadi lempeng mau menunjam, mau menukik, mau menusuk, itu ada sebuah bending di situ, yang ketekuk ya. Di situ ada gaya tension, regangan ya. Itu bisa menimbulkan gempa besar,” katanya.
Mengutip dari Pusgen 2017, wilayah pulau Sumatra khususnya segmentasi megathrust di Aceh-Andaman mempunyai potensi skala gempa magnitudo 9,2. Untuk menghadapi ancaman tersebut, BMKG melakukan pengawasan akan terjadinya gempa di masa yang akan datang.
“Nah, di sini, sebetulnya BMKG membangun sistem monitoring (pengawasan) gempa untuk memberikan info tepat. Itu salah satu tugas utama BMKG untuk memberikan ilmu gempa,” ucap Daryono.
Informasi tersebut juga nantinya akan disebarluaskan kepada masyarakat melalui sistem peringatan dini atau yang disebut juga dengan Warning Receiver System yang dipasang di beberapa lokasi penting seperti di kantor Search And Rescue (SAR) sampai di lokasi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Kemudian dari aspek kita menyiapkan masyarakatnya, BMKG itu memasang warning receiver system. Yang berada di kantor-kantor SAR, kantor TNI, kantor TNI Angkatan Laut (AL),” ujarnya.
Dengan adanya sistem peringatan dini tersebut, peringatan akan terjadinya bencana seperti tsunami dapat tersampaikan dengan cepat dan tepat waktu bahkan sebelum bencana tsunami mencapai pantai.
“Itu supaya warning (peringatan) info tepat dan warning itu segera sampai bisa untuk info cepat sehingga ketika tsunami itu belum sampai ke pantai,” kata dia.
Selain itu, Daryono juga mengatakan bahwa BMKG juga melatih masyarakat menghadapi bencana dengan melatih sekolah-sekolah cara memitigasi bencana. BMKG juga menyebarluaskan informasi mitigasi bencana kepada pihak lain seperti Polri (Kepolisian Republik Indonesia), TNI, tokoh masyarakat sampai mahasiswa.
“Tetap menyiapkan metode kegiatan mitigasi dalam sekolah yang dibiayai APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Nah, kita juga mengumpulkan stakeholder (pengampu kepentingan) ya. Kita kumpulkan SAR, TNI, tokoh masyarakat, pemuda-pemuda, mahasiswa. Untuk memahami mitigasi gempa dan bagaimana merespon warning (peringatan),” ucapnya.
Pelatihan ini, kata Daryono, diadakan di kota-kota pantai, terutama di Padang, Pesisir Selatan dan beberapa wilayah lainnya.
“Dan itu kita adakan di kota-kota pantai, ya. Terutama di Padang, kemudian juga di Pesisir Selatan kemudian juga banyak ya,” kata Daryono.
Kemudian mengenai besaran magnitudo dari sebuah gempa, Daryono mengatakan bahwa besaran magnitudo menentukan kategori gempa tersebut. Seperti besaran magnitudo 9,2 yang berpotensi dialami segmentasi megathrust di pulau Sumatra, hal itu termasuk ke dalam kategori gempa dahsyat. Jika gempa bermagnitudo tujuh dimasukan ke dalam kategori gempa kuat.
“Gempa dahsyat itu biasanya delapan ke atas, kalau gempa besar itu kepala tujuh,” ucapnya.
Kalau gempa dengan magnitudo enam dimasukan ke dalam kategori gempa kuat. Apabila ada gempa dengan magnitudo lima, kata Daryono, akan dimasukan ke dalam kategori gempa menengah.
“Kalau gempa kuat, kepala enam. Nah, kepala lima itu menengah,” kata dia.
Tutup