Tentang wilayah Nusa Tenggara, menurut ahli Geologi, Dr. Joko Wahyudiono, S.T., M.T., seharusnya wilayah tersebut tidak ada gempa sama sekali karena lempeng benua di wilayah Nusa Tenggara sudah bertemu dengan lempeng dari Australia.
“Di sana itu terjadinya collision (tabrakan), bukan subduction (subduksi). Karena lempeng di bagian Nusa Tenggara itu dia lempengnya bertemu dengan lempeng benua Australia. Karena sama-sama lempeng benua dan salah satunya bukan lempeng samudra, jadinya mereka bertabrakan saja. Tidak ada yang menumbuk, seperti lempeng samudra. Itu namanya collision,” kata Joko.
Jika lempeng benua sama-sama bertemu, karena memiliki massa yang sama, alhasil akan mengakibatkan tabrakan lempeng atau collision seperti yang dikatakan Joko. Akibat peristiwa ini, seharusnya gempa tidak terjadi di daerah Nusa Tenggara.
“Nah, kalau seperti ini, seharusnya ya berdasarkan literatur yang ada, tidak terjadi gempa. Tetapi ini terjadi. Maka dari itu, tidak semua literatur yang berasal dari luar bisa dimasukkan ke wilayah Indonesia gitu ya,” ucap dia.
Menurut data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada tahun 2021, daerah Nusa Tenggara juga patut mewaspadai aktivitas gempa outer rise seperti yang ada di daerah Sumatra dan Jawa.
Salah satu gempa bumi dahsyat bersumber di zona outer rise yang memicu tsunami terjadi di Sumba pada tahun 1979 dengan magnitudo mencapai 8,3.
Menurut catatan BMKG, sepanjang tahun 2016 hingga 2021 lalu, sudah terekam lima aktivitas gempa di zona outer rise, di daerah selatan Nusa Tenggara. Yang pertama terekam adalah pada tahun 2016, tepatnya pada 9 Juni 2016 dengan magnitudo 6,0. Kemudian aktivitas terekam lagi pada 17 Maret 2017 dengan magnitudo 5,3. Selanjutnya terjadi pada 9 Juni 2019 dengan magnitudo 5,1. Terakhir, aktivitas gempa outer rise terekam pada tahun 2020 yaitu ada 22 Maret dengan magnitudo 5,0 dan 19 Maret dengan magnitudo 5,1.
Selain gempa di zona outer rise, daerah Nusa Tenggara tepatnya Nusa Tenggara Barat, juga dipenuhi dengan sumber gempa sesar aktif. Keseluruhan terdapat 10 sumber gempa sesar aktif dan rata-rata setiap sesar aktif ini memiliki magnitudo tertarget sekitar 7,0 yang berpotensi memicu terjadinya tsunami.
Hal ini dikonfirmasi oleh ahli tsunami dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Dr.-Ing. Ir. Widjo Kongko, M.Eng., yang mengatakan salah satu syarat terjadinya tsunami adalah magnitudo yang setidak-tidaknya mencapai 7.
“Sebenarnya banyak sekali faktor penyebab tsunami, beberapa literatur dan dari data empiris yang sudah kami pelajari, misalnya magnitudo gempa buminya setidak-tidaknya magnitudo 7,” kata Widjo kepada ANTARA pada Kamis (14/3).
Masih merujuk data BMKG, wilayah Nusa Tenggara Barat yaitu Lombok, pernah dilanda tsunami tiga kali yaitu pertama pada 12 Juli 1856. Kemudian yang kedua terjadi pada 21 Januari 1917 dengan tinggi 3 m dan dipicu oleh gempa bumi yang bersumber di daerah selatan Lombok. Yang terakhir, terjadi pada 19 Agustus 1977 dengan tinggi 4 m dan dipicu oleh gempa bermagnitudo 8,3 bersumber di barat daya dari pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
BMKG terus berupaya untuk mengawasi wilayah Nusa Tenggara Barat. Tercatat pada akhir tahun 2020 BMKG telah mengoperasikan lebih dari 21 sensor gempa di Nusa Tenggara Barat.
Selama pengawasan BMKG, daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat, terletak dekat seismic gap (celah seismik) yang dapat berpotensi munculnya gempa bumi.
Pihak BMKG terus mengawasi adanya potensi gempa dari zona megathrust, zona outer rise maupun sesar-sesar aktif yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara. Terlebih dengan adanya peristiwa gempa bumi yang merusak hingga menimbulkan tsunami, menjadi perhatian bagi BMKG bahwa hal ini dapat terjadi lagi di masa yang akan datang dan perlu menata mitigasi bencana guna mengurangi resiko dampak gempa bumi dan tsunami.
BMKG telah mengupayakan mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami melalui alat sensor yang menjadi pengawasan, diseminasi informasi melalui gawai hingga bekerja sama dengan pihak lain seperti pemangku kepentingan dan sekolah-sekolah.
Berdasarkan data BMKG pada tahun 2021, BMKG telah 10 kali berkunjung ke sekolah-sekolah dalam program BMKG Goes To School untuk mengajarkan siswa sekolah secara dini mengenali potensi gempa bumi dan tsunami serta mitigasinya.
Tutup