Antara

Menurut National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), Indonesia menduduki posisi kedua setelah China sebagai negara yang paling sering diguncang gempa bumi.
Bukan hanya karena letak geografisnya yang unik, tapi jauh di bawah permukaan laut, terdapat raksasa-raksasa tak kasat mata yang saling beradu, yaitu lempeng-lempeng tektonik raksasa yang merupakan zona megathrust.
Lempeng-lempeng ini bagaikan mesin yang terus memproduksi energi, dan sewaktu-waktu, energinya bisa dilepaskan dengan luar biasa, menggetarkan bumi dan kemungkinan bisa memicu tsunami di Indonesia

Definisi Zona megathrust

Area hunjaman ke bawah ketika satu lempeng bumi mendorong lempeng lainnya yang berukuran panjang sehingga berpotensi gempa dengan beragam skala.

Mengenal <i>megathrust</i> di Indonesia

Mengenal megathrust di Indonesia

Mengutip Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017, akibat bertemunya antar-lempeng yang menyimpan energi tektonik tersebut akhirnya membentuk gunung-gunung berapi, adanya sesar aktif hingga megathrust yang mengelilingi wilayah Indonesia.

Potensi ancaman gempa megathrust

“Potensi gempa megathrust itu memang kekuatannya magnitudo sampai delapan, kalau magnitudo delapan itu sudah sangat besar ya, signifikan, destruktif. Ambil contoh aja macam gempa aceh magnitudonya sampai 9,1, sampai terasa di Asia, Afrika,” kata Asyer.

Potensi ancaman gempa <i>megathrust</i>
Potensi gelombang tsunami hasil <i>megathrust</i>

Potensi gelombang tsunami hasil megathrust

Salah satu penyebab terjadinya gelombang tsunami adalah ketika megathrust melepaskan energi dalam gerakan tektoniknya, angka magnitudo yang biasanya muncul seringkali mencapai 7 atau bahkan lebih tinggi.

Mengkaji potensi kerugian ekonomi akibat gempa bumi

Di balik kekuatan alam yang dahsyat, gempa bumi seringkali meninggalkan jejak yang merusak tidak hanya pada struktur fisik, tetapi juga pada fondasi ekonomi suatu daerah.

Mengkaji potensi kerugian ekonomi akibat gempa bumi
Ikhtiar menghadapi <i>megathrust</i>

Ikhtiar menghadapi megathrust

Adanya potensi bencana gempa bumi dan tsunami yang dapat ditimbulkan akibat megathrust membuat masyarakat perlu memiliki upaya tertentu guna menghadapi megathrust.

Peran pemerintah

Daerah pesisir menyimpan banyak keindahan. Pantai dan birunya lautan bisa menjadi rekreasi yang menyejukan bagi penghuni sekitar bahkan pengunjung yang singgah. Namun, pesisir juga menyimpan bencana yang tidak dapat dielakkan.

Peran pemerintah

Credit

PENGARAH
Akhmad Munir, Gusti Nur Cahya Aryani, Teguh Priyanto

PRODUSER EKSEKUTIF
Sapto HP

PRODUSER
Ida Nurcahyani

CO PRODUSER
Farika Nur Khotimah

PENULIS
Farika Nur Khotimah, Jeremy Putra Budi Salenusa

EDITOR TEKS
Ida Nurcahyani

FOTOGRAFER
Rosa Panggabean, Rahmad, Iggoy el Fitra, Maril Gafur, Yudhi Mahatma, Risky Andrianto, Syifa Yulinnas, Irwansyah Putra, Ismar Patrizki, Ampelsa, Muhammad Arif Pribadi, Aji Styawan, Oky Lukmansyah, Kosasih, Destyan Sujarwoko, Asep Fathulrahman, Irfan Anshori, Yusuf Nugroho, Muhammad Adimaja, Ari Bowo Sucipto, Zabur Karuru, Budi Candra Setya, Mohammad Ayudha, Aloysius Jarot Nugroho, Jessica Helena Wuysang, Ahmad Subaidi, Kornelis Kaha, Mohamad Hamzah, Adwit Pramono, Basrul Haq, Regina Safria, Andri Saputra, Stenly Pantolawokang, Indrayadi TH, Gusti Tanati, Sakti Karuru, Indrayadi TH

FOTO
ANTARA FOTO, Humas PMI

INFOGRAFIK
Noropujadi, Calvin, Nurul

EDITOR INFOGRAFIK
Rany

DATA DAN RISET
Pusat Data dan Riset Antara, Pusat Gempa Nasional 2017, Gempa Bumi di Indonesia: Aspek Spesial dan Kerugian Ekonomi

WEB DEVELOPER
Y. Rinaldi

Mengenal megathrust di Indonesia

Mengenal <i>megathrust</i> di Indonesia

Letak geografis Indonesia berada di antara pertemuan lempeng menyebabkan Indonesia rawan bencana.

Mengutip Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017, akibat bertemunya antar-lempeng yang menyimpan energi tektonik tersebut akhirnya membentuk gunung-gunung berapi, adanya sesar aktif hingga megathrust yang mengelilingi wilayah Indonesia.

Ketika lempeng benua dan samudra bertemu, lempeng samudra akan menghujam ke bawah karena memiliki massa yang lebih besar dibandingkan dengan lempeng benua, mekanisme kedua lempeng tersebut termasuk dalam kategori thrust (mendorong) atau reverse (terbalik). Karena area yang mengalami tersebut sangat luas, maka sering disebut dengan megathrust.

“Jadi megathrust itu ya dari kerak samudera, bertabrakan dengan kerak benua. Nah, karena kerak samudera punya massa yang lebih berat, makanya kerak samudera itu menghujam ke bawah,” kata Dr. Arifan Jaya Syahbana, analis bahaya gempa dan peneliti asal Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) kepada ANTARA pada Jumat (16/02).

Ia mengatakan bahwa bertumbuknya kerak samudera dan kerak benua itulah yang menjadikan fenomena megathrust. Sampai saat ini, para peneliti masih meneliti bagian yang belum diketahui tentang megathrust yaitu mengenai proses pasti pergerakan magma dalam bumi yang mendorong proses pergerakan kerak benua dan samudra.

“Jadi untuk saat ini ada juga proses yang belum kami ketahui. Yaitu tentang bergeraknya pola magma, jadi di dalam inti bumi itu ibaratnya seperti bola yang panas ya mas. Di lapisan di atas inti bumi itu ada magma, nah dia itu cairan panas yang terus bergerak. Tapi pergerakannya itu memiliki pola seperti apa, itu kita nggak tahu mas penyebabnya,” ucap Arifan.

Kemudian penyelidik geologi muda, Dr. Joko Wahyudiono, S.T., M.T., juga mengatakan definisi megathrust dari sudut pandang geolog.

Mengenal <i>megathrust</i> di Indonesia

“Mega itu artinya besar. Kalau thrust itu artinya sesar sungkup. Letaknya itu di perbatasan pertemuan continental crust (kerak benua) dan oceanic crust (kerak samudra). Kedalamannya tidak lebih dari 50 meter,” kata Joko kepada ANTARA pada Rabu (28/2) tentang definisi megathrust.

Bahaya yang mengancam Indonesia dari megathrust menimbulkan kekhawatiran apakah bencana ini dapat diprediksi. Kenyataannya, sampai saat ini masih belum ada teknologi yang dapat memprediksi dengan pasti kapan terjadinya pelepasan energi megathrust sehingga pemerintah dan peneliti, kata Arifan, saat ini sedang terus mengerjakan data-data mengenai megathrust atau yang berkaitan dengan kegempaan. Sehingga informasi kegempaan yang berada di hilir nantinya akan didiseminasikan kepada masyarakat, salah satunya melalui tim resiliensi gempa dari BRIN.

“Memang sampai saat ini kita hanya mengukur potensinya saja, belum ada teknologi yang bisa mengukur dengan pasti kapan hal itu terjadi. Nanti akan ada tim resiliensi yang bertugas untuk membagikan informasi-informasi yang kita punya kepada masyarakat,” kata Arifan.

Begitu juga dikonfirmasi oleh Joko, bahwa pakar geolog juga berupaya untuk memprediksi gempa dan pelepasan energi megathrust.

Ia mengatakan jika gempa atau pelepasan energi megathrust tidak dapat diprediksi dengan pasti. Walaupun begitu, geolog dan pakar lainnya saat ini, kata Joko, memperkirakan akan datangnya gempa lain melalui pencarian seismic gap atau rumpang seismik.

“Kalau memprediksi, kami belum dapat. Tapi kami itu mencari seismic gap atau rumpang seismik. Nah di bagian rumpang seismik itu, akan ada peluang-peluang terjadinya gempa,” kata dia.

Salah satu perkiraan yang bisa diperkirakan adalah energi maksimal yang akan dilepaskan sebuah gempa.

“Kalau memprediksi besarnya gak tahu juga, tapi kita bisa memperkirakan maksimalnya bisa dilepaskan,” katanya.

Namun tetap, kata Joko, lokasi, waktu hingga energi yang dilepaskan tidak dapat diprediksi secara pasti.

“Waktu, besar dan tempatnya belum bisa kami prediksi,” kata dia.

Joko juga mengklarifikasi mengenai isu gempa yang bisa diprediksi dengan melihat awan di sekitar. Bahkan ada juga yang mengatakan bisa memprediksi gempa dengan lepasnya gas tertentu.

“Pernah juga ada yang menghubungkan dengan awan gempa. Ada yang menghubungkan lepasnya gas radon, salah satu unsur radioaktif. Tapi kajiannya masih berlangsung sampai saat ini ya. Jadi masih hipotesis yang perlu diuji,” ucap dia.

Arifan dan pakar BRIN lainnya mengatakan akan terus berupaya membantu masyarakat untuk menyediakan informasi kebencanaan yang valid. Demikian juga dengan Joko yang mengharapkan bahwa masyarakat punya kesadaran tentang tanggap bencana di masyarakat melalui informasi dan pelatihan-pelatihan yang diadakan.

“Yang penting kita memberikan kesadaran kepada masyarakat. Tidak cukup juga pengetahuan, tetapi juga pelatihan-pelatihan. ” kata Joko.

Tutup

Potensi ancaman gempa megathrust

Potensi ancaman gempa <i>megathrust</i>

“Sebenarnya pemantauan paling serius adalah megathrust, karena memiliki potensi tektonik paling besar, jadi dia itu objek utama kita sekarang,”

Setidaknya, itulah yang disampaikan Asyer Octhav S.Tr, seorang seismolog Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) yang bertugas di Gorontalo kepada ANTARA pada Jumat (23/2) lalu tentang potensi bahaya gempa megathrust.

“Potensi gempa megathrust itu memang kekuatannya magnitudo sampai delapan, kalau magnitudo delapan itu sudah sangat besar ya, signifikan, destruktif. Ambil contoh aja macam gempa aceh magnitudonya sampai 9,1, sampai terasa di Asia, Afrika,” kata Asyer.

Bertumbuknya antara kerak samudra dan kerak benua menyebabkan megathrust berlokasi di daerah pesisir. Jika sewaktu-waktu megathrust melepaskan energi yang telah diakumulasikan akibat tumbukan, gempa dan tsunami dapat terjadi.

Asyer mengatakan bahwa setiap data mengenai magnitudo ini diambil dari seismograf. Seismograf adalah alat untuk mencatat gempa bumi, yang menunjukkan kekuatan, lama, arah, dan jaraknya. Hasil catatan berupa susunan garis-garis yang membentuk kurva di atas kertas. Orang yang membaca dan mengolah data dari seismograf disebut dengan seismolog.

“Kita bekerja datanya dari seismograf, itu dipasang di daerah-daerah yang jadi objek penelitian. Kita melakukan penelitian secara rutin. Kita mengolah data informasi tersebut jadi parameter awal, nanti diolah oleh pusat atau daerah,” kata dia.

Data yang punya potensi besar selanjutnya akan diolah oleh tim pusat BMKG dan data yang memiliki potensi sedang ke bawah akan diolah oleh tim BMKG di masing-masing daerah.

Tentang potensi gempa bermagnitudo delapan yang disebutkan Asyer, hitungan tersebut datang dari prinsip untuk menghitung sebuah kegempaan berdasarkan magnitudo terbesar yang diprediksikan akan terjadi.

“Banyak teman-teman yang salah memahami hal ini. Jadi angka delapan itu adalah angka perkiraan yang terburuk. Karena memang biasanya kami menghitung skenario terburuknya,” kata Asyer.

Tentu, semakin besar sebuah magnitudo gempa, akan semakin besar kerusakan yang mungkin akan terjadi. Asyer mengatakan ada beberapa faktor lain yang berdampak skala kerusakan suatu wilayah akibat gempa, yaitu jika tanah di wilayah dimana terjadinya gempa mengalami likuifaksi. Likuifaksi adalah perubahan material padat menjadi seperti cairan.

“Seperti kayak kejadian gempa di Palu itu sebenarnya potensi likuifaksinya cukup tinggi. Kebetulan waktu 2018 saya kesana, yang saya tahu itu memang di wilayah Palu itu ternyata ada jejak sungai artinya di bawah tanahnya Palu itu sebenarnya ada kandungan air,” kata dia.

Melunaknya tanah akibat likuifaksi dapat mengakibatkan dampak kerusakan yang semakin besar karena tanah seolah-olah dapat bergerak. Jika berada di kemiringan, tanah seolah turun menuju bagian bawah dan benda yang di atasnya akan ikut bergerak.

“Karena airnya udah lebih dominan jadinya ya gimana sih kalau kayak lumpur jalan lebih lepas kan seperti itu ya,” ucap Asyer.

Skala kerusakan juga dipengaruhi oleh kondisi tanah yang terdampak gempa. Tak hanya itu, Asyer juga mengatakan bahwa skala kerusakan bisa semakin tinggi apabila terjadi gempa-gempa susulan setelah gempa utama. Gempa-gempa susulan bisa terjadi dalam jangka beberapa hari setelahnya atau paling lama satu minggu dari kejadian gempa utama.

“Kadang ada beberapa daerah yang mungkin gempa susulannya itu cepet ya. Artinya setelah gempa besar terjadi. Gempa susulannya itu paling beberapa hari aja. Mungkin bisa paling lama seminggu atau seminggu,” kata dia.

Gempa-gempa susulan tersebut akan ditelusuri oleh seismolog melalui survey terhadap masyarakat yang terdampak bencana atau mendatangi setiap titik gempa setelah gempa terjadi.

“Kita melakukan berbagai survey, atau mengambil data setelah kejadian. Untuk melihat gempa bumi apakah itu akan terjadi sudah selesai atau tidak,” ucapnya.

Untuk mengkaji gempa susulan saja, kata Asyer, dibutuhkan waktu dua sampai tiga bulan. Hal ini tidak selalu sama dalam meneliti sebuah kegempaan, bisa saja berbeda-beda tergantung topik yang ingin diteliti.

“Sebenarnya tergantung ya, biasanya dua sampai tiga bulan. Tapi itu tergantung penelitian. Kalau cuma sekedar laporan untuk pemerintah daerah atau stakeholder (pemangku kepentingan), kita bikin secepatnya,” ujarnya.

Tutup

Potensi gelombang tsunami hasil megathrust

Potensi gelombang tsunami hasil <i>megathrust</i>

Salah satu penyebab terjadinya gelombang tsunami adalah ketika megathrust melepaskan energi dalam gerakan tektoniknya, angka magnitudo yang biasanya muncul seringkali mencapai 7 atau bahkan lebih tinggi.

Untuk menjelaskan hal ini, ahli tsunami dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Dr.-Ing. Ir. Widjo Kongko, M.Eng., menjelaskan beberapa syarat terjadinya sebuah tsunami yang menurutnya kompleks.

“Sebenarnya banyak sekali faktor, tapi pengalaman atau empiris yang sudah kita pelajari, misalnya gempanya setidak-tidaknya magnitudo 7,” kata Widjo kepada ANTARA pada Kamis (14/3).

Jika kurang dari 7, seperti magnitudo 6,5, kata Widjo itu terkadang energinya masih kecil untuk bisa terjadi sebuah tsunami.

“Karena kalau magnitudo 6,5, itu kadang-kadang masih terlalu kecil karena ada faktor yang lain itu,” ucapnya.

Widjo melanjutkan bahwa selain magnitudo sebuah gempa, syarat lain agar terjadi gelombang tsunami adalah kedalaman terjadinya gempa harus terdapat di kedalaman yang dangkal.

“Tetapi tidak hanya magnitudo, gempa itu harus pada kedalaman yang dangkal. Dangkal itu artinya apa, kedalamannya ya 50 km kuranglah,” ucap Widjo.

Ia memberikan contoh jika terjadi suatu gempa di kedalaman sekitar 300 kilometer, hal itu tidak akan menimbulkan tsunami. Faktor selanjutnya yaitu terkait mekanisme pergerakan patahan gempa.

“Mekanisme kan seperti yang saya jelaskan tadi ada thrust ya, ada yang sesar naik, ada yang sesar turun, ada yang geser. Nah itu sangat kompleks dan itu masing-masing mempunya potensi apabila misalnya yang paling tinggi adalah yang kemungkinan menimbulkan tsunami adalah sesar naik,” katanya.

Ketimbang sesar geser dan lainnya, kata Widjo, sesar naik punya potensi besar untuk menimbulkan tsunami karena mekanisme pergerakannya.

Widjo juga membahas mengenai upaya memperkirakan kala ulang gempa yang menyebabkan sebuah tsunami. Pertama-tama ia mengatakan ketika terjadi tsunami, gelombang besar dan tinggi dari tsunami akan membawa debris ke daratan dan mengendap.

“Pada saat terjadi tsunami itu akan membawa segala rupa, sampah lah. Kita sebutnya debris. Debris itu bisa macam-macam, bisa karang, bisa binatang laut, segala macam ya, itu bisa ke daratan. Membawa sampah ini kemudian menjadi endapan di sana,” kata dia.

Endapan akibat tsunami tersebut akan terus tertimbun bersamaan debris, pasir dan material lainnya selama puluhan, ratusan hingga ribuan tahun.

“Endapan ini akan tertimbun dan tercampur ya dengan endapan pasir segala macam, ada karang, ada pecahan dan seterusnya. Dan itu bisa tertimbun puluhan, ratusan, ribuan tahun,” ucap Widjo.

Ilmu paleotsunami, kata Widjo, salah satu cabang ilmu yang mempelajari sedimen tsunami dan menganalisisnya. Jika terdapat material organik di sedimen tersebut, material tersebut bisa diperkirakan penanggalan karbonnya.

“Nah paleotsunami, itu salah satu cabang ilmu yang mempelajari deposit-deposit tadi, deposit itu sedimen ya. Sedimen tsunami kemudian diambil dianalisis ya, nanti akan kelihatan apakah ada material organik di sana. Nah misalnya contoh binatang laut tertentu yang sudah tertimbun lama. Nanti dari jasadnya itu bisa di dating (dilakukan penanggalan), carbon dating (penanggalan karbon),” kata dia.

Widjo mengatakan sedimen yang tertimbun tidak tunggal, melainkan berlapis-lapis. Hal ini dikarenakan gempa bumi yang terjadi memiliki kala ulang. Metode kala ulang, ucap Widjo, tidak dapat memprediksi pasti kapan terjadinya gempa bumi maupun tsunami. Sifatnya hanya perkiraan. Contohnya bisa diambil dari gempa bumi yang terjadi di daerah selatan pulau Jawa, yang punya kala ulang gempa bumi 400 tahun.

“Nah biasanya sedimen ini tidak tunggal, tapi berlapis-lapis. Karena gempa bumi itu punya kala ulang, dan kembali kepada pertanyaan tadi ‘apakah bisa memprediksi ya?’ Tentu ini perkara yang tidak mudah ya. Karena kita tidak tahu sesungguhnya secara pasti, paling perkiraan. Misalnya kala ulang di selatan Jawa, bisa 400 tahun gitu,” ujar Widjo.

Jadi, dengan kala ulang yang didapat dari sedimen tsunami, peneliti dapat memperkirakan gempa berikutnya. Hal penting lainnya dalam menghadapi bencana tsunami adalah mengetahui karakteristiknya, seperti tinggi arus, kemungkinan mencapai darat dan lain seterusnya.

Widjo mengatakan bahwa hal ini dapat diperkirakan peneliti melalui magnitudo yang didapat dari alat sensor yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Gempa kan kita selalu mendengar ada magnitudo kan ya, ini ukurannya sekian dan seterusnya. Sebetulnya, magnitudo itu adalah ukuran yang bisa diukur oleh alat-alat sensor yang ada tersebar, di Indonesia itu ada sekian ratus lah ya,” katanya.

Hasil dari alat sensor tersebut kemudian dianalisis. Dari hasil analisis bisa didapatkan beberapa hal seperti prakiraan lokasi pusat gempa, jauh kedalaman dan magnitudo yang menyebabkan gempa.

“Karena ada data tadi maka akan kelihatan pusat gempanya kira-kira dimana, kedalamannya berapa kemudian magnitudo atau ukuran yang menyebabkan gempa itu berapa,” ucap Widjo.

Dari data tersebut, bisa didapati juga besaran energi yang menyebabkan gempa. Widjo mengatakan biasanya ia dan para peneliti lain menggunakan satuan Hiroshima Nuclear Bomb (satuan bom Hiroshima) dalam menghitung energi yang menyebabkan gempa.

“Dan karena ini sangat besar satuannya, jadi satuannya yang biasa saya dan teman-teman pake itu HNB. HNB itu Hiroshima Nuclear Bomb. Jadi misalnya skala enam itu kira-kira satu kali HNB,” kata dia.

Ia juga mengatakan bahwa skala magnitudo bukanlah skala linier. Skala itu bersifat logaritmik tingkatannya, tidak seperti angka biasa.

“Oiya saya sampaikan bahwa skala dalam magnitudo itu tidak linier, tidak seperti kita. Tulisannya enam, tujuh, delapan tapi sebetulnya logaritmik. Logaritmik itu skala tujuh, 33 kali dari skala enam dan skala delapan itu kira-kira 33 kali skala tujuh dan 1000 kali skala enam. Jadi kira-kira seperti itu,” ujar Widjo.

Perhitungan ini menjadi penting, kata dia, karena dapat mengukur kerusakan yang terjadi di pusat terjadinya gempa di bawah bumi dan dampak yang terjadi di permukaan.

“Misalnya skala tujuh itu secara empiris bisa menyebabkan kerusakan misalnya 40 x 20 km. Kalau skala sembilan kayak di Aceh misalnya, itu bisa lebih besar lagi. Bisa 400 sampai 1000 km,” ucapnya.

Kemudian dari perhitungan tersebut bisa dimodelkan dengan peralatan seperti komputer dan perangkat lunak lain agar didapatkan data ketinggian, waktu perkiraan sampai daratan hingga data kecepatan arus tsunami.

“Ini sudah bisa dihitung, diperkirakan ya diasumsikan. Dengan menghitung energi tadi, maka sumber tsunami, di daerah gempanya, itu sudah ketahuan kira-kira tingginya sekian, sehingga kalau ketinggian tsunami di daerah sumber sana ketahuan, maka dengan suatu model simulasi komputer, kita bisa menghitung itu sampai daratan nanti kira-kira tingginya berapa kemudian kecepatannya atau waktu tibanya sampai di daratan, bisa dihitung dan itu bisa tepat,” kata Widjo.

Terkait penghitungan dan prakiraan ini, ia memberikan salah satu contoh gempa bumi di Pangandaran pada tahun 2006. Widjo dan peneliti lainnya menganalisis pasang surut, jangka waktu gempa dan kemudian dimodelkan.

“Contoh, 2006 ada gempa bumi di Pangandaran. Nah kemudian kita mencoba menganalisis data-data dari pasang surut, tsunaminya sampai kapan. Terus kita memodelkan dengan data yang detail. Itu bisa, selisihnya hanya beberapa menit, bisa satu sampai tiga menit. Ketinggiannya juga tidak jauh dari hasil yang ada di lapangan,” kata dia.

Saat ini, peneliti terus bekerja mendalami upaya-upaya lain dalam menghadapi bencana gempa, seperti mempelajari kearifan lokal.

“Ada beberapa hal yang menarik bahwa bencana seperti tsunami dan gempa ini kan tidak hanya sekarang saja tapi dari dulu sudah ada. Jadi ada kearifan lokal juga, yang sudah mempunyai pengetahuan, local knowledge (pengetahuan lokal). Kita adopsi juga itu,” ujar Widjo.

Salah satu kearifan lokal yang dipelajari para peneliti adalah toponimi. Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG), toponimi merupakan bidang keilmuan dalam linguistik yang membahas asal-usul suatu wilayah, entah yang bersifat alamiah atau buatan manusia. Widjo mengatakan bahwa ini adalah aset bagi para peneliti.

“Toponimi ya, nama-nama tempat itu adalah aset bagi kita, bahwa kearifan lokal dulu sudah ada tentang kebencanaan dan itu kita pelajarin, kita sampaikan,” katanya.

Upaya menghadapi bencana, kata Widjo, juga bisa dilakukan oleh masyarakat. Pertama-tama, masyarakat harus mengenal bencana yang ada di sekitarnya.

“Pertama, kita masyarakat Indonesia itu tentu harus sadar ya, bahwa kita itu rentan bencana dan karena itu harus mengenal bencana-bencana yang ada di sekitar kita,” ucap dia.

Widjo juga mengharapkan masyarakat untuk dapat mencari dan menerima informasi dari sumber yang tepat, yaitu dari sumber yang memiliki otoritas atas informasi yang dibagikan seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG).

“Termasuk belajar siapa yang punya otoritas di sana BNPB, yang selalu memberikan informasi, ada BMKG. Tentu yang kedua, informasi-informasi yang valid dari otoritas ini yang dipakai ya,” katanya.

Widjo menginginkan agar setiap masyarakat di Indonesia terlebih mereka yang tinggal di daerah rawan bencana seperti pesisir atau daerah sesar, dapat mempersiapkan diri lebih baik melalui literasi kebencanaan yang mumpuni.

“Kita masih menghadapi PR (pekerjaan rumah) untuk literasi kebencanaan ini, sehingga saya kira masyarakat yang memang tinggal di posisi yang rentan terhadap gempa bumi dan tsunami, di pantai atau di daerah sesar. Tentu harus mempersiapkan lebih baik literasi kebencanaan ini,” ujar Widjo.

Tutup

Mengkaji potensi kerugian ekonomi akibat gempa bumi

Mengkaji potensi kerugian ekonomi akibat gempa bumi

Di balik kekuatan alam yang dahsyat, gempa bumi seringkali meninggalkan jejak yang merusak tidak hanya pada struktur fisik, tetapi juga pada fondasi ekonomi suatu daerah.

megathrust, yang merupakan salah satu bentuk paling menghancurkan dari peristiwa alam tersebut menonjol sebagai penyebab utama kerugian ekonomi yang besar.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti sekaligus Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Dr. Irwan Meilano, menjelaskan bahwa mengetahui potensi kerugian yang dapat ditimbulkan akibat gempa bumi merupakan hal yang penting.

“Pertanyaannya kenapa potensi kerugian itu perlu diketahui nilainya? Jadi, memahami potensi kerugian itu akan membuat kita merencanakan lebih baik, yaitu dengan mengetahui berapa dana yang harus dikeluarkan pada saat bencana terjadi, maupun sebelum bencana terjadi akan membantu kita untuk merencanakan lebih baik, sehingga pada saat bencana kita kemudian tidak chaos (kacau),” kata Irwan kepada ANTARA, Kamis (7/3).

Selanjutnya, lanjut Irwan, yakni untuk memastikan bahwa dana bantuan bencana dapat tersalurkan dengan tepat kepada orang yang paling membutuhkan dan di waktu yang tepat.

“Ini berdasarkan pengalaman saya di banyak tempat bencana. Sebenarnya terkadang dananya ada, tetapi tersampaikan di waktu yang tidak tepat. Misal karena prosesnya panjang, jadi baru nyampainya kapan gitu,” ungkapnya.

Kemudian Irwan juga menambahkan, pentingnya mengetahui potensi kerugian ekonomi akibat gempa bumi adalah untuk meningkatkan kecepatan dan transparansi dalam penyaluran bantuan.

Hal ini dikarenakan telah terencananya potensi kebutuhan dana sebelum bencana itu terjadi sehingga diharapkan dapat mempercepat proses penyaluran bantuan dan lebih transparan.

“Jadi, kalau itu sudah direncanakan, kita bisa lebih cepat (dalam penyaluran bantuan) dan membantu pemerintah daerah juga untuk bisa lebih transparan. Terkadang yang cukup ditakutkan adalah setelah menyalurkan bantuan, lalu mereka harus berhadapan dengan persoalan hukum. Padahal saat terjadi bencana itu semua serba panik dan kebingungan. Untuk itu, maka proses perencanaan dengan mengetahui potensi kerugian ekonomi perlu dilakukan,” kata Irwan.

Irwan menjelaskan bagaimana langkah penelitian yang ia lakukan untuk mengetahui potensi kerugian ekonomi akibat gempa bumi. Menurut Irwan, ada empat faktor atau persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat mengetahui potensi kerugian ekonomi tersebut.

Pertama, mengetahui sumber gempa dengan baik, seperti mengetahui lokasi sumber gempa, parameter sumber gempa, serta karakteristik dari tipe gempa tersebut.

“Untuk itu ada beberapa persyaratan agar kita bisa menghitung kerugian ekonomi, yang pertama kita harus mengetahui sumber gempanya dengan baik, misal tadi megathrust atau sesar aktif di daratan, dan lebih jauh perlu dipahami parameter dari sumber gempa tersebut,” jelas Irwan.

Selanjutnya, tambah Irwan, pentingnya mengetahui data keterpaparan atau sering disebut dengan data exposure. Misalnya, apabila ingin menghitung kerugian sekolah, maka harus diketahui terlebih dahulu sebaran sekolah, tipe dari bangunan sekolah seperti dari batu batanya, beton dan lain-lain, serta nilai dari bangunan tersebut.

Kemudian, syarat ketiga yang penting untuk diketahui adalah terkait dengan tingkat kerentanan bangunan (exposure) tertentu terhadap ancaman (goncangan) gempa jenis tertentu.

Syarat yang terakhir menurut Irwan adalah melakukan penghitungan dampak gempa tertentu terhadap bangunan. Sehingga, penggabungan bahaya, keterpaparan, dan kerentanan harus dilakukan untuk menghitung dampak kerugian ekonomi akibat gempa bumi.

“Nah, kalau kita bisa menghitung dampak itu dengan menggunakan berbagai skenario. Misalnya, megathrust itu kan bisa menghasilkan gempa magnitudo 8. Atau bisa juga menghasilkan gempa magnitudo 7, 7,5 , 8,1 , 8,2, atau misal 8,3 di lokasi yang sama. Jadi kalau kita hitung seluruh kemungkinan magnitudo yang mungkin tersebut, maka kita bisa mendapatkan informasi risiko kerugian ekonomi akibat bencana menggunakan multi skenario. Jadi bisa dihitung, tapi ada proses dan persyaratannya,” ucapnya.

Namun, meski melakukan riset untuk menghitung potensi kerugian ekonomi akibat gempa, Irwan menyarankan untuk tidak menggunakan nilai kerusakan pasti (deterministik) yang dihitung dari magnitudo terbesar dikarenakan kekhawatiran bahwa besaran angka tersebut dapat memunculkan pemahaman yang salah. Sehingga disarankan melakukan perhitungan dengan stokastik (event based) atau probabilistik.

“Jadi apabila ditanya, berapa nilai kerugian ekonominya? Saya tidak akan memberikan satu angka, karena itu bisa memunculkan persepsi yang keliru dari arti kerugian, disesuaikan dengan tujuan dari perhitungan tersebut. Karena kerugian itu bisa sangat bervariasi kalau dalam konteks gempa. Jadi kalau gempa itu bukan angka tunggal. Artinya, apabila satu nilai itu kita sebut dengan perhitungan deterministik. Tetapi gempa itu tidak demikian,” kata Irwan.

Salah penyebab dari potensi kerugian yang tidak memiliki angka tunggal adalah perhitungan goncangan gempa yang dilakukan berdasarkan standar internasional yang diakui yaitu dengan pendekatan probabilitas disebut dengan Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA). Perhitungan PSHA memasukan unsur kemungkinan dari sumber gempa, distribusi magnitudo gempa dan model penjalaran gelombang gempa dari sumber ke permukaan.

“Misalnya, ada yang disebut sebagai gempa 500 tahunan, yang artinya probabilitas 10 persen dalam 50 tahun mengacu pada 10% probabilitas, bahwa dalam waktu 50 tahun, lokasi tersebut akan mengalami setidaknya satu gempa yang menyebabkan getaran tanah melebihi tingkat tersebut,” lanjut Irwan.

Irwan juga menjelaskan bahwa nilai dari goncangan tersebut kemudian dapat menimbulkan kerusakan pada infrastruktur seperti bangunan sekolah. Sehingga pada saat mendapatkan informasi hasil perhitungan ini bisa saja masyarakat akan melihat kerugian yang ditimbulkan sebesar sekian. Padahal informasi ini perlu dilengkapi dengan pemahaman perhitungan probabilitasnya, karena bisa saja menggunakan nilai probabilitas 2,5% dalam 50 tahun.

Hal ini, sekaligus menjadi edukasi bagi masyarakat untuk berhati-hati apabila mendapatkan berita yang memunculkan angka potensi kerugian ekonomi akibat gempa bumi.

“Karena kalau berdasarkan konsep akademis, potensi kerugian ekonomi karena gempa itu probabilistik. Probabilitas itu tidak satu angka, dengan kemungkinan variasi angkanya banyak, tergantung pada tujuan dari perhitungannya, walaupun bisa juga dihitung kemungkinan kerugian rata-rata tahunan (annual average losses (AAL)). Jadi bukan deterministik atau pasti kejadian dengan kerugian yang memiliki satu nilai. Gempa itu tidak demikian, tetapi dihitung dengan pendekatan probabilistik. Pendekatan ini bermanfaat untuk melakukan perencanaan pengurangan risiko bencana yang lebih efektif,” pungkasnya.

Tutup

Ikhtiar menghadapi megathrust

Ikhtiar menghadapi <i>megathrust</i>

Adanya potensi bencana gempa bumi dan tsunami yang dapat ditimbulkan akibat megathrust membuat masyarakat perlu memiliki upaya tertentu guna menghadapi megathrust.

Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus Ahli Pengurangan Risiko Bencana Dr. Nuraini Rahma Hanifa mengatakan ada sejumlah ikhtiar yang bisa dilakukan, pertama mengenali karakteristik topografi tempat tinggal.

Dengan mengenal karakteristik tempat tinggal, masyarakat kemudian dapat menentukan langkah penyelamatan diri yang sesuai.

“Seperti di Jepang, mereka pernah ada gempa megathrust tahun 2011. Tapi waktu itu terdampak dari gempanya aja. Kalau dari gempanya itu sebenarnya intinya adalah bahaya goncangan. Sehingga dari situ diketahui perlunya bangunan yang tahan goncangan gempa,” kata Rahma kepada ANTARA, Jumat (1/3).

Ia juga menambahkan bahwa bangunan tahan gempa yang dimaksud bukan bangunan yang tidak bisa roboh, namun bangunan yang tidak langsung roboh sehingga dapat memberikan waktu penghuninya untuk mengevakuasi diri keluar dari bangunan.

“Bangunan tahan gempa, itu nggak berarti dia tidak bisa rusak, tapi tidak boleh langsung roboh dan bisa memberikan waktu penghuninya untuk sempat evakuasi keluar. Jadi kalau terhadap gempanya itu utamanya adalah bangunannya,” ucap peneliti lulusan Nagoya University Jepang tersebut.

Mitigasi kedua yang dapat dilakukan oleh masyarakat menurut Rahma yakni dengan tidak mendirikan pemukiman di pantai yang berhadapan langsung dengan samudra.

Ia menyadari bahwa hal tersebut cukup sulit dilakukan karena pantai merupakan tempat yang membawa dampak ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Sehingga, Rahma menghimbau bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai untuk membuat struktur pertahanan dari ancaman tsunami.

“Memang kalau upaya mitigasinya yang paling mudah diucapkan, tapi paling susah dilaksanakan adalah tidak tinggal di pantai yang memang langsung berhadapan dengan samudra,” tutur Rahma.

Membangun tempat tinggal yang berhadapan langsung dengan samudra memiliki risiko yang tinggi, sehingga diperlukan upaya yang lebih banyak untuk menahan ancaman yang akan datang seperti tsunami.

“Masyarakat yang tinggal pesisir di pantai, artinya perlu dibuat struktur pertahanan, sistem peringatan dini, hingga fasilitas evakuasi. Struktur pertahanan ini maksudnya ada beberapa pantai yang kemudian diberi tanggul atau pemecah ombak. Selain itu, bisa juga diberi struktur pertahanan berupa mitigasi hijau seperti penanaman mangrove. Vegetasi yang ada di pantai, terbukti bisa mereduksi energi dari gelombang air,” kata Rahma menjelaskan.

Selain itu, Rahma menyampaikan bahwa masyarakat perlu memiliki kesadaran terhadap potensi bencana yang dihasilkan dari megathrust. Pengetahuan yang memadai terkait megathrust juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan sebagai bagian dari upaya dalam menghadapi megathrust.

“Pengetahuan tentang megathrust ini juga penting, karena memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga tidak dapat disamaratakan. Seperti misalnya, saat gempa Mentawai tahun 2010 yang juga berasal dari megathrust tapi dia memiliki karakteristik yang berbeda. Gempa Mentawai ini merupakan tipe tsunami senyap dimana dia memiliki goncangan gempa yang pelan tapi memicu terjadinya tsunami,” ungkap Rahma.

UNESCO telah mengeluarkan indikator kesiapan tsunami, lanjut Rahma, indikator tersebut dapat membantu untuk melihat tingkat kesiapan bencana tsunami yang ada di masyarakat.

Indikator itu juga dapat direplikasi untuk bencana lain seperti gempa dan longsor. Sehingga masyarakat diharapkan dapat mempelajari indikator tersebut untuk mengetahui tingkat kesiapan dalam menghadapi megathrust.

“Sekarang untuk kesiapan tsunami, UNESCO sudah mengeluarkan 12 indikator yang berstandar internasional. Nah, karena megathrust asosiasinya banyak ke tsunami, kita dapat melihat 12 indikator ini untuk mengecek kesiapan masyarakat,” ucapnya.

Tiga poin pertama kesiapan tsunami yang tercantum pada indikator tersebut di antaranya adalah masyarakat dapat memahami peta bahaya tsunami. Kemudian, masyarakat perlu memiliki informasi perkiraan jumlah orang berpotensi terdampak tsunami ataupun gempa di wilayah mereka.

Indikator ketiga, yaitu adanya informasi yang bisa diakses secara publik tentang tsunami, gempa dan bencana lain di wilayahnya berupa papan informasi atau poster, flyer, booklet, dan bentuk lain yang bisa diakses oleh masyarakat di lokasi tersebut.

Kemudian, ia mengungkapkan bahwa kolaborasi yang kuat dari para stakeholder baik pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta menjadi faktor keberhasilan mitigasi dalam menghadapi megathrust. Hal ini, tentunya harus ditunjang dengan keaktifan dan inisiatif dari komunitas masyarakat lokal untuk mau memenuhi indikator kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana.

“Saya punya pengalaman yang menarik, saat itu pernah ada yang kontak saya duluan untuk meminta bantuan menyiapkan indikator kesiapan masyarakat. Jadi karena inisiatif dari komunitas masyarakat lokal, sehingga bisa langsung mempersiapkan pemenuhan indikator kesiapan masyarakat yang waktu itu menggunakan 12 indikator kesiapan tsunami tadi,” kata Rahma.

Tutup

Peran pemerintah

Peran pemerintah

Daerah pesisir menyimpan banyak keindahan. Pantai dan birunya lautan bisa menjadi rekreasi yang menyejukan bagi penghuni sekitar bahkan pengunjung yang singgah. Namun, pesisir juga menyimpan bencana yang tidak dapat dielakkan.

Daerah pesisir menjadi titik temu fenomena geologis yang dapat menyimpan potensi bencana besar seperti gempa hingga tsunami. Fenomena geologis tersebut dinamakan megathrust, yaitu pertemuan antara kerak samudera yang bertumbukan dengan kerak benua.

Melihat potensi bahaya yang besar tersebut, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Dr. Abdul Muhari, mengatakan bahwa BNPB berupaya untuk menghadapi tsunami dengan program Destana (desa tangguh bencana).

“Dalam konteks ini sebenarnya ancaman paling kita atensi adalah tsunami, nah terkait ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu sejak tahun 2011 sebenarnya sudah melaksanakan program Destana,” kata Abdul kepada ANTARA pada Selasa (27/2,) tentang langkah pencegahan dari BNPB terhadap bencana megathrust.

Selain itu, ucap Abdul, di tahun 2019 BNPB sudah melakukan kampanye, pelaksanaan hingga pengawasan hasil dari program Destana tersebut yang berlokasi di daerah selatan pulau Jawa.

“Di tahun 2019 itu bukan hanya campaign (kampanye) di selatan Jawa, tapi sudah pelaksanaan dan monitoring hasil dari Destana itu sendiri. Jadi Destana itu satu paket program yang punya sembilan komponen di dalamnya. Seperti pasar tangguh bencana, pemerintah tangguh bencana, keluarga tangguh bencana dan seterusnya,” kata dia.

Destana yang dibangun oleh BNPB menjadi ujung tombak bagi BNPB agar dapat mengelola masyarakat. Hal ini penting untuk diperhatikan karena dalam menghadapi bencana, terkhususnya tsunami yang mungkin disebabkan megathrust.

“Karena ketika kita bicara potensi tsunami maka yang paling berhubungan yang harus kita siapkan itu ketertiban masyarakatnya. Makanya itu Destana jadi upaya pra-bencana yang menjadi ujung tombak di BNPB,” ucapnya.

Kemudian Abdul mengatakan upaya ini terus dilakukan secara berlanjut dan penambahan Destana terus diadakan setiap tahunnya. Pembangunan Destana ditargetkan mencapai 130 desa dan sedang berjalan sampai tahun 2025. Setiap rencana pembangunan Destana disertai dengan peningkatan kapasitas fasilitas peringatan dini seperti pemasangan rambu, instalasi sirine-sirine dan lainnya terus ditambahkan kepada Destana-destana yang ada.

“Destana secara kontinu dilakukan oleh BNPB, jadi setiap tahun ada tambahan-tambahan Destana baru dan sedang berjalan sampai 2025. Peningkatan kapasitasnya termasuk juga pemasangan rambu, jadi nanti di 130 desa itu termasuk juga instalasi sirine-sirine tsunami di beberapa tempat,” kata Abdul.

Ia juga mengatakan bahwa pembangunan 130 Destana tersebut juga sudah meliputi 13 segmen megathrust, seperti di wilayah barat Sumatra, selatan Jawa bahkan sampai wilayah Maluku.

“Misalkan barat Sumatera, kemudian selatan Jawa, kemudian di Maluku juga ada. Ada Sulawesi Utara, belakang Bali juga ada. Jadi dari setiap beberapa daerah, setiap megathrust itu, kita ada mempunyai Destana-destana tersebut,” ucapnya.

Setiap Destana, kata Abdul, disesuaikan dengan kondisi wilayah tersebut dengan ancaman bencananya masing-masing. Wilayah seperti Malang, diarahkan untuk mengatasi dampak banjir ataupun banjir bandang.

“Di beberapa tempat lain, itu seperti di Malang Raya, itu ada beberapa desa yang Destana itu diarahkan untuk mengatasi dampak banjir atau banjir bandang, jadi disesuaikan,” ucapnya.

Dengan adanya Destana ini, penanggulangan bencana yang dilakukan bisa lebih optimal karena menyesuaikan skala pengulangan megathrust yang terjadi selama puluhan atau mungkin ratusan tahun sekali.

“Jadi kalau kita menggunakan Destana itu, kita bisa menyesuaikan masyarakat lokal yang berada di wilayah tersebut untuk bisa menghadapi bencana megathrust. Kalau misalnya disesuaikan dengan program pemerintah misalnya lima tahun sekali, ya tapi kan skala pengulangan megathrust bisa puluhan sampai ratusan tahun sekali,” kata Abdul.

Daerah Mentawai, kata Abdul, saat ini sudah dilengkapi juga dengan Destana. Tetapi belum seluruh desa dikarenakan keterbatasan fasilitator, anggaran dan lainnya.

“Di daerah Mentawai itu juga sudah ada, tetapi belum seluruh desa karena keterbatasan fasilitator, anggaran dan hal lainnya,” ucap dia.

Dalam menghadapi ancaman megathrust, Abdul mengajak setiap masyarakat untuk dapat mempersiapkan tempat tinggal masing-masing. Karena pihak BNPB tidak dapat berfokus untuk memperkuat infrastruktur bangunan penduduk yang terlalu banyak jumlahnya.

“Kalau untuk penguatan bangunan itu di PUPR (Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang) ya, karena BNPB tidak mempunyai anggaran untuk penguatan bangunan penduduk. Tetapi sebenarnya, kalau untuk penguatan bangunan penduduk, itu harus kita campaign-kan. Bukan pemerintah yang harus memperkuat bangunan penduduk, tapi masyarakat itu sendiri,” kata dia.

Masyarakat, kata Abdul, harus bisa melihat kondisi wilayah dimana mereka tinggal. Apakah dekat dengan bencana atau tidak, supaya dapat mempersiapkan infrastruktur terbaik bagi huniannya.

“Jadi harus diubah mindsetnya (pola pikirnya), bahwa masyarakat, saya misalkan ketika saya tinggal di rumah, ketika saya membangun rumah, saya harus lihat mungkin daerahnya rawan gempa nggak ya? Paling tidak, ketahui rumah kita ini ada di daerah apa nih, daerah potensi risiko apa, risiko banjir kan, risiko tanah lontong, dan seterusnya,” ujar Abdul.

Dirinya dan BNPB terus berupaya untuk memaksimalkan informasi yang dapat mengedukasi masyarakat agar dapat memperhatikan dan mengelola huniannya masing-masing menjadi lebih baik. Salah satunya edukasi yang dilakukan BNPB bisa dilihat melalui kanal YouTube yang memberikan informasi mengenai kebencanaan termasuk bagaimana cara membangun rumah terjangkau yang tahan gempa.

“Untuk penguatan rumah tahan gempa dengan biaya rumah itu ada di YouTubenya BNPB. Kita membahas bangunan rumah tanpa gempa dengan biaya murah,” ucapnya.

BNPB juga bekerja sama dengan pihak internasional melalui peningkatan sumber daya manusia (SDM) bahkan ke riset dan penguatan peralatan penanggulangan bencana, seperti yang dilakukan bersama World Bank atau bank dunia.

“Kerjasama luar negerinya lebih banyak ke pening katan kapasitas sumber daya manusia (SDM). Bahkan ke research (riset), kemudian penguatan perangkat-perangkat equipment (peralatan). Kita punya project (proyek) dengan World Bank (bank dunia) misalnya terkait peningkatan kapasitas yang tadi saya bilang tsunami, seperti penguatan peringatan dini, pemasangan rambu-rambu evakuasi,” kata Abdul.

Tutup