Sementara itu, ahli Geologi, Dr. Joko Wahyudiono, S.T, M.T., mengatakan jika di pulau Jawa posisi kerak samudera yang tertumbuk berada dalam posisi landai.
“Kalau di pulau Jawa itu dia tertindih, tetapi posisinya landai. Karena posisi tumbukan kerak samudra yang landai dan tidak miring, kemungkinan terjadi tsunami di pulau Jawa lebih kecil dibandingkan dengan pulau Sumatra,” kata Joko.
Dampak potensi bahaya yang sama juga terjadi di pulau Jawa karena berupa satu pulau utuh seperti di pulau Sumatra. Berdasarkan data dari buku Gempa Bumi di Indonesia yang ditulis oleh Irwan Meilano, guru besar Institut Teknologi Bandung, pulau Jawa sudah mengalami gempa besar sebanyak 48 kali dari rentang tahun 1612 sampai 2014 lalu. Beberapa gempa besar tersebut dihasilkan oleh megathrust yang berada di selatan pulau Jawa.
Di pulau Jawa terdapat beberapa sesar aktif seperti Sesar Baribis, Sesar Cimandiri, Sesar Lembang, Sesar Opak, dan Sesar Zona Kendeng.
Selain sumber gempa dari megathrust, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Dr. Daryono, S.Si., M.Si., mengatakan bahwa sumber gempa juga datang dari outer rise, yaitu ketika sebuah lempeng akan menunjam dan terdapat aktivitas yang terjadi berupa bending atau penekukan lempeng. Penekukan tersebut juga menyebabkan gaya regangan yang bisa menimbulkan gempa besar. Hal ini pernah terjadi dan tercatat dalam sejarah pada tahun 1921 di daerah selatan pulau Jawa.
“Itu pernah terjadi pada tahun 1921 di selatan Jawa ya,” kata Daryono.
Ia mengatakan bahwa beberapa tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1977, di daerah selatan Jawa juga terjadi sumber gempa berjenis outer rise dengan magnitudo 8,3 dan menyebabkan tsunami yang mengakibatkan 300 orang menjadi korban jiwa.
“Kemudian tahun 1977, di selatan Jawa, disitu ada gempa outer rise ini, 8,3. Tsunaminya membunuh sekitar 300 lebih orang, itu disitu termasuk dahsyat ya, 8,3 itu,” ucap dia.
Daryono mengatakan terdapat mengenai temuan baru pada tahun 2022 lalu mengenai megathrust di daerah pulau Jawa. Di daerah pulau Jawa, tepatnya di daerah selatan Banyuwangi, terdapat fenomena slip deficit, yaitu ketika pergerakan lempeng mengalami penundaan pergerakan.
“Slip deficit, itu perlambatan pergerakan lempeng. Itu sudah ada di selatan Banyuwangi dan itu sudah ada di selatan Jawa Timur,” kata Daryono.
Ia mengatakan hal ini terjadi karena adanya akumulasi energi yang menahan pergerakan lempeng.
“Biasanya kan lempeng itu muncul, itu bisa kecepatannya per tahun lancar ya. Tapi tiba-tiba itu melambat. Nah, saat melambat itu, itu berarti ada yang akumulasi, nabung kekuatan, numpuk kekuatan. Karena biasanya jalan terus, tapi tiba-tiba harus berhenti. Berarti remnya itu memaksa terus ya,” ujarnya.
Mengenai kegempaan dan peristiwa tsunami, Daryono mengatakan bahwa pada masa lampau masyarakat belum memiliki pengetahuan ilmiah yang seperti yang sekarang. Sering kali ketika ada bencana pasti dikaitkan dengan mitologi, seperti yang digambarkan dalam kisah Nyi Roro Kidul dan ombak besar.
“Nyi Roro Kidul itu sebenarnya geomitologi. Jadi setiap lukisan Nyi Roro Kidul pasti berbau ombak besar. Ya. Itu tsunami itu sebenarnya. Berarti ini apakah artinya? Jadi orang dulu itu tidak memahami fisika gempa, fisika tsunami. Setiap terjadi gempa besar pikirannya shortcut (jalan pintas) ke supranatural,” kata dia.
Jadi aktivitas masyarakat dalam mengaitkan sebuah tindak supranatural yang pada zaman dahulu belum dapat dipahami, dikatakan Daryono sebagai geomitologi. Ia juga mengatakan selain di wilayah Jawa, pada tahun 1861 di wilayah Sumatra Barat terdapat lukisan mengenai tsunami bahkan di wilayah Maluku, Ambon, pada tahun 1674 sudah terdapat aktivitas tsunami juga yang ditulis ke dalam sebuah buku.
“Jadi setiap kejadian luar biasa itu dijadikan, akhirnya berhubungan dengan supranatural. Nah di Sumatra Barat sudah ada lukisan tsunami tahun 1864. Di Ambon, 1674. Itu sudah ada bukunya,” kata Daryono.
Tutup