Pelindung di masa sulit

Demi mewujudkan cita-cita Indonesia Emas, Pemerintahan Jokowi menggencarkan upaya pengentasan kemiskinan. Mereka yang masih berada di bawah garis kemiskinan adalah yang paling rentan jika terjadi krisis global, termasuk saat terjadi pandemi COVID-19. Untuk itulah Pemerintah membentangkan jaring pengaman berupa bantuan sosial, yang sekaligus menjadi upaya pemberdayaan sosial.

Program dan Jaminan Sosial dimasa pemerintahan Jokowi
Cakupan kesehatan semesta

Cakupan kesehatan semesta

Selama satu dekade pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengalami transformasi signifikan sebagai fondasi layanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca Artikel
Menaikkan kelas masyarakat pra-sejahtera

Menaikkan kelas masyarakat pra-sejahtera

Sepuluh tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan segera berakhir. Sederet program dan kebijakan telah dijalankan demi menunaikan amanat konstitusi, termasuk melindungi masyarakat menghadapi berbagai kerentanan melalui alokasi dana perlindungan sosial (perlinsos).

Baca Artikel

Cakupan kesehatan semesta

Cakupan kesehatan semesta
Warga menunjukkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) BPJS Kesehatan di Jakarta, Selasa (3/11/2020). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 November 2020 akan mulai melakukan "cleansing data" atau penonaktifan sementara bagi peserta yang memiliki data tidak lengkap dan bermasalah, selanjutnya akan diaktifkan kembali apabila menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Keluarga (KK). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.


Selama satu dekade pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengalami transformasi signifikan sebagai fondasi layanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Data terbaru per Juni 2024 menunjukkan angka kepesertaan JKN yang diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sudah menyentuh 272 juta jiwa atau setara dengan 97,81 persen dari total penduduk Indonesia.

Merujuk pada besaran persentase tersebut, predikat Universal Health Coverage (UHC) untuk Indonesia memang sudah di depan mata, karena hanya memerlukan sedikit tambahan peserta untuk menyentuh angka 98 persen sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional periode 2020-2024.

Sejauh ini, tercatat masih ada lima dari total 38 provinsi di Indonesia yang belum mencapai UHC, yakni Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Barat, Jawa Timur, dan Maluku. Adapun kabupaten/kota yang masih mengejar realisasi UHC sebanyak 70 kabupaten/kota.

Persentase cakupan 97,81 persen diperoleh dengan asumsi penduduk Indonesia sekitar 279 juta jiwa, yakni angka per akhir 2023. Namun di akhir semester pertama tahun ini, yakni Juni 2024, diperkirakan jumlah penduduk sudah kembali bertambah menjadi lebih dari 280 juta jiwa.

Meskipun tingkat kepesertaan sudah hampir mencakup 98 persen dari total penduduk, tetapi Direktur Kepesertaan BPJS Kesehatan David Bangun menyebut tingkat keaktifannya tak sampai sejauh itu.

Saat ini, sekitar 77 persen peserta teregistrasi saja yang statusnya aktif. Sementara sisanya yang diperkirakan setara dengan 50 juta jiwa tercatat sebagai peserta nonaktif.

Banyak hal yang melatarbelakangi status nonaktif peserta tersebut. Ada peserta nonaktif karena mengalami pemutusan hubungan kerja, padahal sebelumnya didaftarkan dan dibayarkan iuran bulanan BPJS-nya melalui perusahaan.

Ada juga peserta yang statusnya dinonaktifkan Kementerian Sosial karena diketahui tergolong mampu, sehingga tidak layak mendapatkan bantuan iuran yang bersumber dari dana pemerintah. Namun ada pula peserta yang begitu sehat setelah berobat menggunakan layanan BPJS Kesehatan, kemudian memilih tidak membayar iuran rutin setiap bulannya.

Saat ini, di tengah fokus mengejar tingkat kepesertaan JKN yang lebih luas, reaktivasi peserta lewat beragam upaya hanya menyentuh di kisaran 3 persen per tahun.

UHC

Pemerintah daerah berperan penting dalam memastikan masyarakat di daerahnya menjadi peserta JKN. Masyarakat tidak mampu, dapat difasilitasi kepesertaan JKN melalui anggaran daerah sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Demikian pula dengan seluruh aparaturnya, hingga ke tingkat kelurahan maupun desa, harus dipastikan telah menjadi peserta JKN.

Tidak hanya itu, pemerintah daerah juga berperan memastikan perusahaan yang beraktivitas di wilayahnya untuk mematuhi ketentuan terkait JKN ini dengan mendaftarkan para pekerjanya.

Pemerintah daerah juga bisa membuat aturan yang mengaitkan kewajiban kepesertaan JKN dengan akses menuju layanan publik karena, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022.

Selama ini, ada semacam mitos yang menyebut kabupaten/kota dengan jumlah populasi yang banyak akan sulit mencapai UHC dikarenakan membutuhkan biaya besar, salah satunya untuk keperluan pendaftaran masyarakat tidak mampu sebagai peserta PBI.

Akan tetapi, Pemerintah Kabupaten Bogor yang baru saja merealisasikan UHC di wilayahnya berhasil menepis mitos tersebut. Keberhasilan daerah berpopulasi 5,6 juta jiwa lebih itu merealisasikan UHC tidak hanya diwujudkan melalui jalur perekrutan peserta, tapi juga turut membantu perekrutan peserta dari badan usaha yang sebelumnya masih abai dalam hal kepatuhan mendaftarkan pekerjanya.

Strategi lain yang juga dikerahkan BPJS Kesehatan untuk mengejar UHC ialah dengan menugaskan tim Pesiar yang terjun langsung ke tingkat desa. Tim Pesiar ini akan memetakan mana saja wilayah yang belum UHC.

Sebab, meski kota/kabupaten sudah berhasil ke taraf UHC, bisa jadi masih ada desa yang belum UHC. Di sinilah petugas Pesiar memainkan peran.

Pemetaan yang dilakukan petugas Pesiar dilanjutkan dengan menyisir satu per satu rumah tangga. Penyisiran dilakukan tidak sekadar untuk mejaring mana saja masyarakat yang belum terdaftar sebagai peserta JKN, tapi juga menyisir bila ditemukan masyarakat yang sebenarnya mampu, tapi nyatanya kepesertaannya di program JKN masih ditanggung pemerintah atau pemerintah daerah.

Temuan hasil penyisiran itu yang lantas diadvokasi. Peserta yang belum terdaftar dibantu melakukan registrasi hingga terdaftar dalam program JKN. Demikian pula dengan peserta "salah kamar" diadvokasi untuk menjadi peserta sesuai kondisi riilnya.

Meski predikat UHC belum sepenuhnya disandang oleh Indonesia, tapi cakupan kepesertaan program jaminan kesehatan untuk warganya termasuk sebagai negara yang sangat cepat.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti, saat menjadi pembicara di Harvard University Amerika Serikat baru-baru ini menyebutkan, bahwa sejumlah negara di Eropa butuh waktu lebih dari satu abad untuk mewujudkan UHC.

Misalnya Jerman, sebagai negara yang paling awal menerapkan mekanisme jaminan kesehatan sosial sejak tahun 1883 berkat inisiatif Kanselir Otto von Bismarck, nyatanya baru bisa merealisasikan UHC selang 127 tahun kemudian.

Ada pula Belgia yang baru bisa mewujudkan UHC di negaranya setelah 118 tahun. Dari daratan Eropa, ada Austria dan Luksemburg yang masing-masing mampu merealisasikan UHC di bawah satu abad, yakni 79 tahun dan 72 tahun.

Adapun dari benua Amerika, ada Kosta Rika yang mewujudkan UHC dalam periode 48 tahun. Sementara dari Asia, Jepang sanggup merealisasikan UHC dalam kurun 36 tahun. Sejauh ini yang tercepat mencapai UHC diraih Korea, yakni dalam waktu 12 tahun.

Manfaat JKN

Program JKN berbasis dana gotong royong masyarakat memang kian menjadi andalan masyarakat dalam mengakses pelayanan medis untuk beragam penyakit di 32 ribu lebih fasilitas kesehatan serta faskes penunjang.

Selain mengejar perekrutan demi realisasi UHC, BPJS Kesehatan tak lantas melupakan fokus lainnya, yakni layanan kepada pesertanya yang selalu diupayakan agar berkualitas dan setara di semua wilayah.

Ekosistem penunjang program JKN yang ditopang industri keuangan, industri pelayanan kesehatan, lembaga pemerintahan dan nonpemerintahan, berbuah kepuasan peserta hingga 90,67 persen berdasarkan survei terakhir BPJS Kesehatan pada 2023.

Situasi itu berkorelasi positif pada pendapatan iuran peserta yang berhasil dibukukan pada angka Rp151,69 triliun di tahun yang sama. Melalui penyediaan lebih dari 960 ribu kanal pembayaran, dana yang terhimpun hampir tiga kali lipat dalam 1 dekade terakhir.

Iuran peserta itu diperoleh melalui mekanisme autodebet 8,73 juta lebih peserta PBPU/mandiri, pengumpulan oleh 1.434 kader JKN, donasi yang terhimpun Rp11,2 miliar, dana rehab dari 934.208 peserta senilai Rp513,8 miliar, serta telekolekting mencapai Rp1,03 triliun.

Dana gotong royong JKN juga terbukti mampu mengurangi beban pembiayaan yang ditanggung oleh para pasien. Salah satunya berkaitan dengan beban biaya pelayanan kesehatan penyakit katastropik yang menyumbang sekitar 25 persen dari total biaya pelayanan kesehatan tingkat lanjutan.

Penyakit katastropik adalah penyakit yang dapat mengancam jiwa, membutuhkan perawatan medis dalam jangka waktu panjang, serta membutuhkan biaya pengobatan besar.

Dalam program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan, penyakit yang digolongkan katastropik adalah penyakit jantung, kanker, stroke, gagal ginjal, sirosis hati, thalasemia, leukemia, dan hemofilia.

Salah satu contohnya adalah penyakit gagal ginjal. Meskipun bukan merupakan penyakit dengan jumlah penderita tertinggi, pembiayaannya terus berlanjut akibat adanya prosedur seperti cuci darah, transplantasi ginjal, dan pelayanan kesehatan lainnya.

Pada 2023, beban biaya perawatan pasien ginjal menyentuh hampir Rp3 triliun dikarenakan tingginya pembiayaan untuk kategori penyakit katastropik.

Laporan dana manfaat JKN bagi perawatan pasien berpenyakit katastropik per 2023 mencapai total Rp34,75 triliun untuk proses perawatan 29.748.710 peserta.

Delapan jenis penyakit katastropik memperoleh jaminan pembiayaan perawatan JKN per 2023, yakni Cirrhosis Hepatis sebanyak 236.589 kasus, gagal ginjal sebanyak 1.501.016 kasus, Haemophilia 140.179 kasus, jantung 20.037.280 kasus, kanker 3.864.086 kasus, Leukemia 161.529 kasus, Stroke 3.461.563 kasus, dan Thalassaemia 346.468 kasus.

Berdasarkan data JKN 2020, tercatat bahwa pembiayaan untuk kasus penderita katastropik di Indonesia mencapai angka Rp17 triliun lebih untuk merawat sekitar 17.872.458 pasien. Jumlah itu meningkat dari tahun 2017 yang mencapai 13,45 juta jiwa dengan menghabiskan biaya sebesar Rp14,97 triliun.

Program JKN telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam memberikan akses layanan kesehatan bagi masyarakat dalam satu dekade pemerintahan Jokowi.

Meskipun tantangan masih ada, seperti peningkatan kualitas dan keberlanjutan sistem, komitmen pemerintah untuk memperluas jangkauan dan memperbaiki layanan kesehatan menunjukkan bahwa upaya ini harus terus menjadi prioritas.

Dengan dukungan yang berkelanjutan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, JKN berpotensi untuk menjadi fondasi utama dalam mewujudkan kesehatan yang lebih baik dan setara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tutup

Menaikkan kelas masyarakat pra-sejahtera

Oleh Hana Kinarina
Menaikkan kelas masyarakat pra-sejahtera
Siswa memperlihatkan menu makanannya saat mengikuti program gerakan makan bergizi di SDN Pekunden, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (29/9/2023). Kegiatan makan bersama dengan menu lauk bergizi seperti tempe, tahu, daging, telur, sayuran dan susu tersebut rutin diadakan pihak sekolah sebagai upaya pemenuhan gizi protein nabati dan hewani sehingga erhindar dari masalah stunting serta menghasilkan generasi yang lebih unggul. ANTARA FOTO/Makna Zaezar/Spt.


Ketika COVID-19 pertama kali menyentuh bumi Indonesia di awal tahun 2020, tak seorang pun dapat membayangkan betapa dalamnya luka yang akan ditinggalkannya. Dari Sabang sampai Merauke, kehidupan seolah terhenti.

Jalan-jalan yang biasanya dipenuhi hiruk-pikuk manusia mendadak sunyi, sementara rumah sakit berubah menjadi medan pertempuran di mana para tenaga medis berjuang mati-matian melawan musuh yang tak kasat mata ini.

Presiden Joko Widodo, di tengah ketidakpastian yang melanda, memimpin dengan mengusung strategi “rem dan gas” – sebuah pendekatan dinamis untuk menyeimbangkan penanganan kesehatan masyarakat sekaligus menjaga kelangsungan ekonomi.

Dua pedal strategi ini menjadi kunci dari segala kebijakan pemerintah selama masa pandemi untuk menghentikan penyebaran virus, dan di sisi lain mempertahankan ekonomi agar tetap bergerak.

Ketika “rem” ditekan, langkah-langkah ketat diberlakukan: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menjadi instrumen utama. Di seluruh negeri, sekolah-sekolah ditutup, perkantoran beralih ke sistem kerja dari rumah, dan bisnis terpaksa memperlambat laju operasinya. Kebijakan ini membuat banyak orang merasa terisolasi secara fisik dan emosional, terutama mereka yang mengandalkan penghasilan harian.

Sementara di sisi ekonomi, kebijakan “gas” dimaksudkan agar masyarakat tetap memiliki penghasilan, meski pada kenyataannya tantangan untuk mencapai keseimbangan ini jauh dari kata mudah.

Presiden Jokowi mengungkapkan betapa sulitnya menerapkan kebijakan manajemen "rem dan gas" dalam penanganan pandemi COVID-19 dan upaya menjaga stabilitas perekonomian nasional di Indonesia. Pasalnya, manajemen itu memerlukan perhitungan yang tepat.

"Menangani pandemi maupun mengatasi ekonomi kita sebuah tantangan yang sangat berat, persoalan yang sangat-sangat berat yang kita hadapi saat itu, dan tidak ada standarnya, tidak ada pakemnya; karena memang kita semuanya belum memiliki pengalaman dalam menangani pandemi ini," ujar Presiden Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Transisi Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) di Gedung AA Maramis, Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis , 26 Januari 2023.

Bukan tanpa sebab Jokowi berkata demikian. Pada kenyataannya memang ketika pembatasan dilonggarkan untuk memberi ruang bagi roda ekonomi kembali berputar, muncul kekhawatiran baru akan lonjakan kasus. Ini adalah realitas pahit yang dirasakan oleh banyak masyarakat, terutama mereka yang berada di sektor informal dan UMKM, di mana setiap hari tanpa penghasilan adalah ancaman langsung terhadap kehidupan.

Selama dua tahun penuh ketegangan dan ketidakpastian itu, Indonesia menyaksikan jumlah kasus yang terus meningkat.

Pada puncaknya, di bulan Juli 2021, varian Delta menghantam dengan keras. Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan mencatatkan jumlah tertinggi kasus harian, yakni 56.757 kasus sementara total kematian mencapai 1.205 jiwa hanya dalam satu hari. Hingga akhir tahun 2021, jumlah kumulatif kasus COVID-19 di Indonesia telah mencapai 4 juta kasus, dengan lebih dari 144 ribu nyawa melayang.

Di tengah badai nestapa ini, sistem kesehatan Indonesia nyaris runtuh. Rumah sakit di berbagai wilayah, terutama Sumatera, Jawa dan Bali kehabisan tempat tidur. Stok oksigen medis menjadi sangat terbatas, bahkan langka di pasaran, sehingga banyak pasien terpaksa berjuang di rumah tanpa perawatan yang memadai. Tenaga medis yang berada di garis terdepan bekerja seperti tak kenal waktu, sementara kelelahan fisik dan mental terus menghantui mereka.

Namun, di balik penderitaan ini, ada secercah harapan yang datang melalui program vaksinasi nasional yang dimulai pada Januari 2021.

Kala itu Presiden menjadi orang Indonesia pertama yang divaksin, dan ia berhasil menangkis keraguan publik terhadap vaksin COVID-19 setelah jarum suntik menghunus lengan kirinya.

Pemerintah menyadari bahwa vaksinasi adalah kunci untuk memulihkan keadaan, memacu “gas” melalui distribusi vaksin secara masif.

Hingga akhir tahun 2022, lebih dari 205 juta orang Indonesia telah mendapatkan suntikan vaksinasi, dengan lebih dari 172 juta di antaranya telah menerima dua dosis vaksin. Vaksin yang digunakan bervariasi mulai dari Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, hingga vaksin produksi dalam negeri, yakni Vaksin Merah Putih.

Pada saat yang sama, pemerintah juga menggencarkan pemberian booster atau dosis ketiga, terutama untuk memperkuat kekebalan populasi terhadap varian-varian baru yang terus bermunculan.

Program vaksinasi ini tidak hanya berhasil menurunkan angka kematian, tetapi juga memberikan dorongan besar bagi masyarakat untuk kembali beraktivitas.

Alhasil, pada pertengahan 2022, jumlah kasus mulai menurun secara signifikan, memberi ruang bagi ekonomi untuk kembali bangkat, meski masih di bawah bayang-bayang pandemi.

Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diluncurkan pemerintah menjadi tulang punggung dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Pada tahun 2021, pemerintah mengalokasikan Rp744,75 triliun untuk program ini, sebuah jumlah yang lebih besar dibandingkan anggaran tahun sebelumnya senilai Rp695,2 triliun.

PEN mencakup pelbagai kebijakan yang dirancang untuk melindungi UMKM, memberikan bantuan sosial kepada masyarakat terdampak, dan menjaga sektor-sektor strategis agar tetap berjalan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa hingga Oktober 2021, realisasi anggaran PEN telah mencapai Rp433,91 triliun atau sekitar 58,3 persen dari total pagu anggaran.

Namun, meskipun angka-angka tersebut menunjukkan upaya yang luar biasa, cerita dibalik data ini jauh lebih manusiawi. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah mencerminkan upaya untuk menjaga kehidupan dan martabat rakyat.

Bantuan sosial tidak hanya berupa angka yang didistribusikan, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap keluarga yang terdampak bisa tetap memiliki harapan.

Program PEN, di satu sisi, menjadi penopang bagi mereka yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan, sementara di sisi lain memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk bertahan, dan bahkan tumbuh kembali.

Di akhir tahun 2022, meskipun total kasus COVID-19 di Indonesia mencapai sekitar 6,7 juta, dengan 160 ribu korban jiwa, tanda-tanda pemulihan mulai terlihat jelas.

Vaksinasi massal dan kebijakan yang adaptif membantu menurunkan jumlah kasus harian, sementara aktivitas ekonomi perlahan namun pasti menjadi kembali normal.

Di balik angka tersebut ada perubahan yang lebih mendalam di masyarakat. Pandemi ini mengajarkan banyak orang untuk lebih peduli kepada kesehatan, untuk lebih menghargai waktu yang mereka habiskan bersama keluarga, dan untuk tetap menjaga kebersamaan di tengah kesulitan.

Bagi pemerintah, pandemi ini adalah ujian yang luar biasa – bukan hanya soal bagaimana menjaga keseimbangan antara “rem” dan “gas”, tetapi juga bagaimana membangun kembali kepercayaan publik.

Meski demikian, Pemerintah tetap tidak luput dari kritik dan tantangan. Kebijakan yang acap kali berubah dengan cepat beriringan dengan perkembangan situasi, menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.

Di tengah semua itu, pemerintah berupaya keras untuk memberikan edukasi dan komunikasi yang transparan, dengan harapan bahwa setiap kebijakan yang diambil dipahami sebagai upaya bersama untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia.

Pelajaran dari penademi ini akan menjadi fondasi bagi Indonesia menghadapi krisis di masa depan. Strategi “rem dan gas” bukan hanya soal menyeimbangkan sosial ekonomi tapi juga tentang fleksibilitas, empati, dan gotong-royong.

Kini 10 tahun masa pemerintahan Jokowi akan segera berlalu, kepemimpinannya bukan hanya meninggalkan jejak pembangunan fisik tetapi juga menorehkan kenangan tentang sebuah bangsa yang bertahan ditengah badai bernama Pandemi COVID-19.

Berkat keteguhan dan keberanian pemimpin serta rakyatnya itu, Indonesia menemukan kekuatan baru dalam kebersamaan. Refleksi ini, adalah harapan seperti sungai yang terus mengalir, membawa cerita tentang perjuangan dan kebangkitan. Di masa yang akan datang, kenangan ini akan terus hidup, menjadi lentera yang menerangi jalan menuju masa depan yang penuh dengan asa dan cinta Tanah Air.

Tutup