Kesehatan dan penanganan COVID
Pandemi COVID-19 memberi pelajaran berharga, bahwa kebersihan dan kedisiplinan menjadi kunci dalam menjaga kesehatan. Pemerintahan Jokowi juga melakukan transformasi di bidang kesehatan demi Indonesia yang lebih sehat. Penanganan stunting pun penting, demi mendapatkan generasi berkualitas menuju Indonesia Emas.
Transformasi untuk menyehatkan RI
Pandemi COVID-19 memberi banyak pelajaran buat bangsa ini. Bukan hanya soal bagaimana hidup berdampingan dengan virus COVID, namun yang lebih penting lagi adalah adanya perubahan cara pandang dalam pengelolaan masalah kesehatan.
Baca ArtikelBelajar dari pandemi
Ketika COVID-19 pertama kali menyentuh bumi Indonesia di awal tahun 2020, tak seorang pun dapat membayangkan betapa dalamnya luka yang akan ditinggalkannya. Dari Sabang sampai Merauke, kehidupan seolah terhenti.
Baca ArtikelLinimasa COVID-19
di Indonesia
Pemerintah mencabut status pandemi COVID-19 di Indonesia mulai 21 Juni 2023 setelah lebih dari tiga tahun berjuang menghadapi situasi darurat, dan berikut catatan perjalanannya.
Menuju bebas stunting
Program percepatan penurunan stunting melalui peningkatan gizi ibu dan balita perlu menjadi prioritas jika Indonesia ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Baca ArtikelTransformasi untuk menyehatkan RI
Oleh: Mecca YumnaPandemi COVID-19 memberi banyak pelajaran buat bangsa ini. Bukan hanya soal bagaimana hidup berdampingan dengan virus COVID, namun yang lebih penting lagi adalah adanya perubahan cara pandang dalam pengelolaan masalah kesehatan.
Belajar dari pandemi, Indonesia mencanangkan transformasi kesehatan yang mencakup transformasi layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, pembiayaan, sumber daya manusia, serta teknologi kesehatan.
Salah satu fokus utama dalam transformasi layanan primer adalah pergeseran orientasi kesehatan, dari yang sebelumnya berfokus pada aspek kuratif menjadi promotif dan preventif.
Beberapa upaya preventif di bidang kesehatan diantaranya peningkatan cakupan imunisasi, salah satunya yang dikejar pada masa pemerintahan Joko Widodo adalah imunisasi human papillomavirus (HPV) guna mencegah kanker serviks.
Upaya preventif bidang kesehatan lainnya adalah pengembangan Biomedical & Genome Science Initiative (BGSi) pada 2022. Inisiatif yang diinisiasi oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin itu merupakan upaya mengembangkan pengobatan yang lebih tepat bagi masyarakat.
Selama dua tahun program BGSi berlangsung, sekitar 9 ribu data klinis telah dikumpulkan, dengan sekitar 6 ribu data yang telah melalui tahap penghitungan genome sequence, dan sekitar 4.500 data telah dianalisis.
Tepat pada dua tahun ulang tahun program BGSi, portal SatuDNA diluncurkan sebagai kelanjutannya.
Terkait layanan rujukan, transformasi ini akan dimulai dengan tiga penyakit penyebab kematian paling tinggi di Indonesia yaitu penyakit jantung, stroke, dan kanker. Jadi rumah sakit di setiap provinsi sudah selayaknya siap menangani ketiga jenis penyakit tersebut.
Kementerian Kesehatan, sebagai bentuk transformasi sistem ketahanan kesehatan juga ingin memastikan bahwa vaksin diagnostik dan terapeutik semuanya ada di Indonesia, atau minimal 50 persen diproduksi di dalam negeri.
Untuk menjaga kesehatan secara nasional, Indonesia juga mengupayakan jaminan kesehatan semesta (universal healthcare), dalam bentuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti menyebut bahwa menjelang hari ulang tahun Indonesia ke-79 pada Agustus 2024, tercatat 276.520.647 orang atau 98,19 persen penduduk Indonesia terdaftar dalam program tersebut. Pada 2014, baru sekitar 133 juta penduduk yang peserta program.
Capaian itu dinilai sebagai bukti bahwa negara memastikan setiap individu mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.
Mencapai UHC lebih dari 95 persen dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak BPJS didirikan adalah sebuah prestasi yang diapresiasi oleh negara-negara lain. Ghufron membandingkan progres negara lain dalam mencapai UHC, seperti Jerman yang butuh 127 tahun dan Belgia yang butuh 117 tahun. Paling cepat adalah Korea, yaitu 12 tahun.
Adapun langkah untuk transformasi kesehatan lainnya adalah penyelenggaraan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit, di mana dalam pelaksanaannya melibatkan Accreditation Council for Graduate Medical Education (ACGME), guna memastikan kualitas pendidikan berstandar global.
Jokowi meluncurkan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Berbasis Rumah Sakit Pendidikan (hospital based) pada Mei di RSAB Harapan Kita, Jakarta.
Upaya tersebut vital dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan jumlah serta distribusi dokter spesialis, serta menjadi bagian dari transformasi kesehatan pada pilar pelayanan rujukan dan pengembangan sumber daya manusia.
Jumlah dokter spesialis di Indonesia mencapai 49.670. Menurut Bappenas, rasio ideal dokter spesialis, yakni 0,28 per 1.000 penduduk. Dengan demikian, Indonesia masih kekurangan 29.179 dokter spesialis.
Tiap tahunnya, hanya ada sekitar 2.700 lulusan dokter spesialis. Dengan produksi seperti itu, butuh 10 tahun untuk menambal kekurangan SDM itu. Selain itu, distribusi dokter spesialis juga tidak merata. Sebagian besar dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan drg. Arianti Anaya menilai bahwa hal ini merupakan terobosan agar distribusi dokter bisa lebih dinamis sampai ke level kabupaten dan kota.
Tak hanya mendapat ilmu ekstra, siswa juga mendapatkan bantuan biaya hidup sebesar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta, tergantung tingkatannya, seperti junior, madya, dan senior. Kemenkes bekerja sama dengan LPDP untuk penyediaan sebagian biaya hidup tersebut.
Pada batch pertama pendaftaran, terdapat kuota untuk 52 peserta didik agar dapat mengenyam pendidikan di enam program studi, yakni neurologi, orthopaedi dan traumatologi, kesehatan anak, kesehatan mata, dan onkologi radiasi.
Kemenkes juga berupaya memperluas jejaring Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) guna menambahkan kuota peserta, sehingga totalnya pada 2024 menjadi 104.
Kesehatan merupakan aset paling berharga selain pendidikan. Dengan berfokus pada setengah dari aset tersebut selama 10 tahun kepemimpinan, Indonesia sedikit demi sedikit membangun modalnya untuk Indonesia Emas.
Belajar dari pandemi
Oleh: M. Riezko Bima Elko PrasetyoKetika COVID-19 pertama kali menyentuh bumi Indonesia di awal tahun 2020, tak seorang pun dapat membayangkan betapa dalamnya luka yang akan ditinggalkannya. Dari Sabang sampai Merauke, kehidupan seolah terhenti.
Jalan-jalan yang biasanya dipenuhi hiruk-pikuk manusia mendadak sunyi, sementara rumah sakit berubah menjadi medan pertempuran di mana para tenaga medis berjuang mati-matian melawan musuh yang tak kasat mata ini.
Presiden Joko Widodo, di tengah ketidakpastian yang melanda, memimpin dengan mengusung strategi “rem dan gas” – sebuah pendekatan dinamis untuk menyeimbangkan penanganan kesehatan masyarakat sekaligus menjaga kelangsungan ekonomi.
Dua pedal strategi ini menjadi kunci dari segala kebijakan pemerintah selama masa pandemi untuk menghentikan penyebaran virus, dan di sisi lain mempertahankan ekonomi agar tetap bergerak.
Ketika “rem” ditekan, langkah-langkah ketat diberlakukan: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menjadi instrumen utama. Di seluruh negeri, sekolah-sekolah ditutup, perkantoran beralih ke sistem kerja dari rumah, dan bisnis terpaksa memperlambat laju operasinya. Kebijakan ini membuat banyak orang merasa terisolasi secara fisik dan emosional, terutama mereka yang mengandalkan penghasilan harian.
Sementara di sisi ekonomi, kebijakan “gas” dimaksudkan agar masyarakat tetap memiliki penghasilan, meski pada kenyataannya tantangan untuk mencapai keseimbangan ini jauh dari kata mudah.
Presiden Jokowi mengungkapkan betapa sulitnya menerapkan kebijakan manajemen "rem dan gas" dalam penanganan pandemi COVID-19 dan upaya menjaga stabilitas perekonomian nasional di Indonesia. Pasalnya, manajemen itu memerlukan perhitungan yang tepat.
"Menangani pandemi maupun mengatasi ekonomi kita sebuah tantangan yang sangat berat, persoalan yang sangat-sangat berat yang kita hadapi saat itu, dan tidak ada standarnya, tidak ada pakemnya; karena memang kita semuanya belum memiliki pengalaman dalam menangani pandemi ini," ujar Presiden Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Transisi Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) di Gedung AA Maramis, Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis , 26 Januari 2023.
Bukan tanpa sebab Jokowi berkata demikian. Pada kenyataannya memang ketika pembatasan dilonggarkan untuk memberi ruang bagi roda ekonomi kembali berputar, muncul kekhawatiran baru akan lonjakan kasus. Ini adalah realitas pahit yang dirasakan oleh banyak masyarakat, terutama mereka yang berada di sektor informal dan UMKM, di mana setiap hari tanpa penghasilan adalah ancaman langsung terhadap kehidupan.
Selama dua tahun penuh ketegangan dan ketidakpastian itu, Indonesia menyaksikan jumlah kasus yang terus meningkat.
Pada puncaknya, di bulan Juli 2021, varian Delta menghantam dengan keras. Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan mencatatkan jumlah tertinggi kasus harian, yakni 56.757 kasus sementara total kematian mencapai 1.205 jiwa hanya dalam satu hari. Hingga akhir tahun 2021, jumlah kumulatif kasus COVID-19 di Indonesia telah mencapai 4 juta kasus, dengan lebih dari 144 ribu nyawa melayang.
Di tengah badai nestapa ini, sistem kesehatan Indonesia nyaris runtuh. Rumah sakit di berbagai wilayah, terutama Sumatera, Jawa dan Bali kehabisan tempat tidur. Stok oksigen medis menjadi sangat terbatas, bahkan langka di pasaran, sehingga banyak pasien terpaksa berjuang di rumah tanpa perawatan yang memadai. Tenaga medis yang berada di garis terdepan bekerja seperti tak kenal waktu, sementara kelelahan fisik dan mental terus menghantui mereka.
Namun, di balik penderitaan ini, ada secercah harapan yang datang melalui program vaksinasi nasional yang dimulai pada Januari 2021.
Kala itu Presiden menjadi orang Indonesia pertama yang divaksin, dan ia berhasil menangkis keraguan publik terhadap vaksin COVID-19 setelah jarum suntik menghunus lengan kirinya.
Pemerintah menyadari bahwa vaksinasi adalah kunci untuk memulihkan keadaan, memacu “gas” melalui distribusi vaksin secara masif.
Hingga akhir tahun 2022, lebih dari 205 juta orang Indonesia telah mendapatkan suntikan vaksinasi, dengan lebih dari 172 juta di antaranya telah menerima dua dosis vaksin. Vaksin yang digunakan bervariasi mulai dari Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, hingga vaksin produksi dalam negeri, yakni Vaksin Merah Putih.
Pada saat yang sama, pemerintah juga menggencarkan pemberian booster atau dosis ketiga, terutama untuk memperkuat kekebalan populasi terhadap varian-varian baru yang terus bermunculan.
Program vaksinasi ini tidak hanya berhasil menurunkan angka kematian, tetapi juga memberikan dorongan besar bagi masyarakat untuk kembali beraktivitas.
Alhasil, pada pertengahan 2022, jumlah kasus mulai menurun secara signifikan, memberi ruang bagi ekonomi untuk kembali bangkat, meski masih di bawah bayang-bayang pandemi.
Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diluncurkan pemerintah menjadi tulang punggung dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Pada tahun 2021, pemerintah mengalokasikan Rp744,75 triliun untuk program ini, sebuah jumlah yang lebih besar dibandingkan anggaran tahun sebelumnya senilai Rp695,2 triliun.
PEN mencakup pelbagai kebijakan yang dirancang untuk melindungi UMKM, memberikan bantuan sosial kepada masyarakat terdampak, dan menjaga sektor-sektor strategis agar tetap berjalan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa hingga Oktober 2021, realisasi anggaran PEN telah mencapai Rp433,91 triliun atau sekitar 58,3 persen dari total pagu anggaran.
Namun, meskipun angka-angka tersebut menunjukkan upaya yang luar biasa, cerita dibalik data ini jauh lebih manusiawi. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah mencerminkan upaya untuk menjaga kehidupan dan martabat rakyat.
Bantuan sosial tidak hanya berupa angka yang didistribusikan, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap keluarga yang terdampak bisa tetap memiliki harapan.
Program PEN, di satu sisi, menjadi penopang bagi mereka yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan, sementara di sisi lain memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk bertahan, dan bahkan tumbuh kembali.
Di akhir tahun 2022, meskipun total kasus COVID-19 di Indonesia mencapai sekitar 6,7 juta, dengan 160 ribu korban jiwa, tanda-tanda pemulihan mulai terlihat jelas.
Vaksinasi massal dan kebijakan yang adaptif membantu menurunkan jumlah kasus harian, sementara aktivitas ekonomi perlahan namun pasti menjadi kembali normal.
Di balik angka tersebut ada perubahan yang lebih mendalam di masyarakat. Pandemi ini mengajarkan banyak orang untuk lebih peduli kepada kesehatan, untuk lebih menghargai waktu yang mereka habiskan bersama keluarga, dan untuk tetap menjaga kebersamaan di tengah kesulitan.
Bagi pemerintah, pandemi ini adalah ujian yang luar biasa – bukan hanya soal bagaimana menjaga keseimbangan antara “rem” dan “gas”, tetapi juga bagaimana membangun kembali kepercayaan publik.
Meski demikian, Pemerintah tetap tidak luput dari kritik dan tantangan. Kebijakan yang acap kali berubah dengan cepat beriringan dengan perkembangan situasi, menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
Di tengah semua itu, pemerintah berupaya keras untuk memberikan edukasi dan komunikasi yang transparan, dengan harapan bahwa setiap kebijakan yang diambil dipahami sebagai upaya bersama untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia.
Pelajaran dari penademi ini akan menjadi fondasi bagi Indonesia menghadapi krisis di masa depan. Strategi “rem dan gas” bukan hanya soal menyeimbangkan sosial ekonomi tapi juga tentang fleksibilitas, empati, dan gotong-royong.
Kini 10 tahun masa pemerintahan Jokowi akan segera berlalu, kepemimpinannya bukan hanya meninggalkan jejak pembangunan fisik tetapi juga menorehkan kenangan tentang sebuah bangsa yang bertahan ditengah badai bernama Pandemi COVID-19.
Berkat keteguhan dan keberanian pemimpin serta rakyatnya itu, Indonesia menemukan kekuatan baru dalam kebersamaan. Refleksi ini, adalah harapan seperti sungai yang terus mengalir, membawa cerita tentang perjuangan dan kebangkitan. Di masa yang akan datang, kenangan ini akan terus hidup, menjadi lentera yang menerangi jalan menuju masa depan yang penuh dengan asa dan cinta Tanah Air.
Menuju bebas stunting
Oleh: Lintang Budiyanti PrameswariProgram percepatan penurunan stunting melalui peningkatan gizi ibu dan balita perlu menjadi prioritas jika Indonesia ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis, utamanya di 1.000 hari pertama kehidupan atau usia 0-2 tahun.
Selama 10 tahun ke belakang, Indonesia telah menurunkan angka stunting sebesar 15,7 persen, dari 37,2 persen di tahun 2013 (berdasarkan Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas), menjadi 21,5 persen di tahun 2023 (berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia).
Angka prevalensi stunting ditargetkan terus turun hingga 14 persen pada 2024. Untuk menghitung prevalensi stunting ini, Pemerintah berupaya memadankan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dengan penimbangan serentak balita berdasarkan nama dan alamat yang dilakukan di seluruh posyandu secara serentak.
Berbagai program secara berkelanjutan terus digencarkan, utamanya terkait peningkatan gizi ibu dan anak dengan pembentukan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) yang dipimpin oleh Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin.
Di tahun 2017, Wapres telah menetapkan lima pilar dalam pencegahan stunting, pertama, komitmen dan visi kepemimpinan; kedua, kampanye dan komunikasi perubahan perilaku; ketiga, aksi konvergensi program; keempat, ketahanan pangan dan gizi; kelima, monitoring dan evaluasi (monev) terpadu.
Intervensi gizi
Intervensi gizi menjadi poin penting dalam upaya penurunan angka stunting. Dalam hal ini yang dilakukan Pemerintah adalah intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Intervensi gizi spesifik langsung mengatasi penyebab stunting yang umumnya diakibatkan oleh faktor kesehatan seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, atau kesehatan lingkungan.
Terdapat sembilan poin intervensi gizi spesifik, yakni pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dan balita kurus; pemberian tablet tambah darah bagi remaja, wanita usia subur, dan ibu hamil; promosi dan konseling menyusui; promosi dan konseling pemberian makanan bayi dan anak; dan tata laksana gizi buruk.
Kemudian, pemantauan dan promosi pertumbuhan, suplementasi mikronutrien, pemeriksaan kehamilan dan imunisasi, serta manajemen terpadu balita sakit.
Sedangkan intervensi gizi sensitif berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya muncul di luar persoalan kesehatan yang terbagi menjadi empat jenis yaitu penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi, serta peningkatan akses pangan bergizi.
Tentu saja, untuk mengimplementasikan upaya-upaya tersebut, diperlukan dukungan anggaran Pemerintah.
Pada tahun 2022, Kementerian Keuangan mengalokasikan dana sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung program percepatan penurunan stunting. Anggaran tersebut terdiri dari belanja yang tersebar di 17 kementerian dan lembaga sebesar Rp34,1 triliun, dan pemerintah daerah melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik sebesar Rp8,9 triliun, serta DAK non-fisik sebesar Rp1,8 triliun.
Sementara itu di tahun 2023, anggaran untuk percepatan penurunan stunting di kementerian/lembaga dialokasikan sebesar Rp30 triliun. Hingga 30 September 2023, realisasi dari anggaran tersebut sebesar Rp22,5 triliun atau 74,9 persen.
Selain itu, pemerintah pusat juga memberikan anggaran penurunan stunting melalui alokasi dana transfer keuangan kepada pemerintah daerah sebesar Rp16,56 triliun. Dana desa pun juga diarahkan untuk program percepatan penurunan stunting.
Selain dukungan anggaran, pemerintah juga memberikan apresiasi berupa insentif fiskal kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota yang berhasil menurunkan angka stunting di daerah masing-masing.
Pada tahun 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan total insentif fiskal yang diberikan untuk daerah yang menurunkan stunting tercepat dan terbaik adalah sebesar Rp1,68 triliun.
Insentif fiskal mengenai penurunan stunting tersebut diberikan kepada 90 daerah yang terdiri dari 20 provinsi, 30 kota, dan 40 kabupaten untuk prestasi tahun 2022. Sementara untuk tahun 2023, insentif fiskal penurunan stunting diberikan kepada 125 daerah, dan pada September 2024, Wapres Ma’ruf Amin memberikan dana insentif fiskal percepatan penurunan stunting kepada 130 pemerintah daerah.
Total insentif yang diberikan bervariasi pada tiap daerah. Salah satunya yakni Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, yang menerima dana insentif fiskal sebesar Rp6,2 miliar. Prevalensi stunting di Kabupaten Lamongan sempat mencapai 27,05 persen di tahun 2022 dan mengalami penurunan secara drastis menjadi 9,4 persen pada tahun 2023 berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia.
Capaian intervensi gizi
Berdasarkan laporan evaluasi kinerja anggaran dan pembangunan program percepatan stunting, hingga 15 Februari 2023, pada indikator intervensi spesifik, rata-rata capaiannya melampaui target yang ditetapkan.
Persentase ibu hamil kurang energi kronis mendapatkan tambahan asupan gizi mencapai 89,1 persen, ibu hamil yang mengkonsumsi tablet tambah darah minimal 90 tablet 87,1 persen, serta remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah sebanyak 46,4 persen.
Sebanyak 90 persen balita gizi buruk telah mendapatkan pelayanan tata laksana gizi buruk, 78,3 persen anak berusia balita juga dipantau pertumbuhan dan perkembangannya.
Selanjutnya, persentase balita gizi kurang yang mendapatkan tambahan asupan gizi telah tercapai 84,5 persen, dan balita yang memperoleh imunisasi dasar lengkap tercapai 97,5 persen.
Sementara itu, terkait capaian hasil indikator sensitif berdasarkan Perpres 72 tahun 2021, persentase pelayanan keluarga berencana pascapersalinan dari target 50 persen, telah tercapai 52,6 persen. Persentase kehamilan yang tidak diinginkan dari target 16,5 persen, tercapai 11 persen. Cakupan calon pasangan usia subur yang memperoleh pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan menikah dari target 60 persen, tercapai 75,5 persen.
Selanjutnya, persentase rumah tangga yang mendapatkan akses air minum layak di kabupaten/kota lokasi prioritas, dari target 95,9 persen, baru tercapai 93 persen, sedangkan persentase rumah tangga yang mendapatkan akses sanitasi layak di kabupaten/kota lokasi prioritas, dari target 82,1 persen, tercapai 79,1 persen.
Kemudian, cakupan penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan nasional dari 40 persen penduduk berpendapatan terendah dari target 96,8 juta penduduk, tercapai sebesar 96,67 juta penduduk. Lalu, cakupan keluarga berisiko stunting yang memperoleh pendampingan dari target 30 persen, tercapai 42,7 persen, serta jumlah keluarga miskin dan rentan yang memperoleh bantuan tunai bersyarat dari target 10 juta telah tercapai 10 juta.
Untuk persentase target sasaran yang memiliki pemahaman baik tentang stunting di lokasi prioritas, dari target 70 persen telah tercapai 74 persen. Lemudian, jumlah keluarga miskin dan rentan yang menerima bantuan sosial pangan dari target 18,8 juta, tercapai 18,8 juta, dan yang terakhir, persentase desa/kelurahan stop buang air besar sembarangan dari target 50,6 persen, tercapai 57 persen.
Data inklusif
Meski dalam beberapa indikator penurunan stunting telah tercapai, namun pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyediakan data stunting yang lebih inklusif sehingga intervensi kepada masyarakat yang paling membutuhkan dapat lebih tepat sasaran.
Dalam konteks kebijakan atau penelitian, data inklusif mesti mencakup informasi dari berbagai latar belakang demografis, sosial, ekonomi, dan budaya, tanpa membiarkan kelompok tertentu yang tidak terwakili atau terabaikan.
Data yang tidak terpilah berisiko menyebabkan penggunaan anggaran stunting yang tidak tepat. Presiden Jokowi sendiri bahkan menyoroti penggunaan anggaran di daerah yang masih kurang tepat, misalnya untuk pembangunan pagar puskesmas yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan program percepatan penurunan stunting.
Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta pada tahun 2024, untuk itu, pemerintah tidak bisa mengumpulkan data penurunan stunting dalam satu kotak saja.
Di tingkat provinsi, kabupaten/kota, data terpilah mesti terus diperbarui setiap tahun dan proses-proses survei serta sensus tidak boleh hanya di tingkat nasional, tetapi turun hingga di tingkat kabupaten/kota sehingga data penurunan stunting dapat lebih inklusif dan terpilah serinci mungkin.
Terdapat satu kemajuan yang dilakukan oleh pemerintah terkait data inklusif tersebut, di mana pada bulan Juni 2024 telah dilaksanakan Pengukuran dan Intervensi Serentak Pencegahan Stunting.
Sebanyak 300.188 posyandu dilibatkan sehingga berhasil meningkatkan jumlah balita yang diukur secara signifikan. Terdata balita yang diukur mencapai 16.381.852 jiwa dan ditemukan 5.807.312 balita bermasalah gizi, yang mencakup gizi kurang, gizi buruk, wasting (berat badan rendah dengan lingkar lengan kurang dari standar), weight faltering (kenaikan berat badan bayi tidak sesuai standar), dan stunting.
Pelibatan para kader untuk melakukan pengukuran balita, atau generasi berencana yang terdiri dari para remaja untuk bergotong royong dalam percepatan penurunan stunting juga perlu ditingkatkan. Mereka yang bergerak di lapangan tersebut perlu mendapatkan lebih banyak perhatian agar dapat membantu mengumpulkan data yang lebih inklusif untuk intervensi yang lebih tepat demi mewujudkan Indonesia yang bebas stunting.