Banjir yang melanda Jakarta awal 2020 menimbulkan pro dan kontra mengenai siapa yang bertanggung jawab. Namun di balik itu, banjir yang melumpuhkan aktivitas warga tersebut bisa jadi sebuah peringatan atas kondisi Jakarta 30 tahun mendatang.
Awal 2020 curah hujan yang tinggi mengakibatkan sejumlah wilayah di Jakarta dan kota-kota sekitarnya tergenang. Kondisi ini terjadi hampir setiap tahun saat memasuki musim hujan, mengakibatkan aktivitas warga terganggu dan kerugian yang timbul secara materi tidak sedikit. Banyak hal yang telah dilakukan untuk mengatasinya namun sejauh ini pengaruhnya terhadap penanganan banjir masih menjadi perdebatan banyak pihak.
Banjir dan tanah longsor yang melanda sebagian wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) serta Kabupaten Lebak di Provinsi Banten telah memaksa 35.502 warga mengungsi pada awal 2020.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyebutkan bahwa bencana banjir dan tanah longsor yang melanda 293 kelurahan di 74 kecamatan di wilayah Jabodetabek dan Provinsi Banten telah mengakibatkan 67 orang meninggal dunia. Perinciannya, bencana alam telah menyebabkan 3.685 warga mengungsi dan 16 orang meninggal dunia di DKI Jakarta, sejumlah 15.400 orang mengungsi dan 31 orang meninggal dunia di Jawa Barat, serta menyebabkan 16.821 warga mengungsi, 20 orang meninggal dan satu orang hilang di Banten.
Baca Artikel
Kisah Jakarta dalam intaian tenggelam
Kisah Jakarta yang menjadi simbol dan representasi Indonesia sepanjang sejarah berdirinya negara ini hingga berusia 74 tahun, berada dalam ancaman terhapus dari peta dunia.
Bukan karena ancaman dari negara-negara di sekelilingnya yang relatif menjaga perdamaian, ataupun ancaman perpecahan di dalam negeri karena friksi politis hingga perpecahan bernuansa SARA. Akan tetapi ancaman tersebut datang dari kondisi perubahan geologis Jakarta dengan banyak campur tangan manusia di dalamnya.
Berbagai jurnal dan pemberitaan media sudah beberapa kali mengulas soal prediksi tenggelamnya Jakarta. Salah satu yang terbaru adalah laporan ilmiah berjudul New elevation data triple estimates of global vulnerability to sea-level rise and coastal flooding yang terbit di jurnal Nature Communications pada 29 Oktober 2019.
Laporan tersebut menyebutkan Indonesia, dalam hal ini Jakarta, bersama kota-kota besar lainnya di Asia seperti China, India, Bangladesh, Vietnam, Thailand, Filipina dan Jepang berpotensi tenggelam pada 2050. Penurunan level tanah atau subsiden akibat pengambilan air tanah yang tidak terkontrol dan peningkatan tinggi air laut karena pemanasan global yang mencairkan gletser di kutub diperkirakan menjadi penyebab utama Jakarta dan kota-kota besar lainnya berpotensi tenggelam.
Ahli subsiden tanah dari United States Geological Survey (USGS) Michelle Sneed menyebutkan bahwa tanah Jakarta turun 17 sentimeter (cm) per tahun, sedangkan pakar oseanografi Universitas Diponegoro Denny Nugroho menyebut peningkatan air laut di Ibu Kota Negara mencapai 0,44 cm per tahun.
Jika ditambah dengan prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa akan terjadi peningkatan kejadian curah hujan ekstrem seperti yang terjadi pada 1 Januari 2020, lalu bagaimana nasib Jakarta 30 tahun ke depan?
Di tengah ancaman yang kian nyata, berbagai usaha pun dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, hingga lembaga kerjasama internasional seperti Japan International Cooperation Agency (JICA) turut serta membagi pengalaman mereka untuk membantu mengantisipasinya.
Bahkan beberapa Gubernur DKI Jakarta, termasuk gubernur saat ini, Anies Baswedan memasukan isu penurunan muka tanah yang jadi salah satu faktor yang dapat menenggelamkan Jakarta dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai arah pembangunan Jakarta selama masa kepemimpinannya pada 2017 hingga 2022, yang sering ditegaskan pada para stafnya dalam berbagai kesempatan dengan kata-kata:
"Segera baca RPJMD, lihat janji gubernur, masukan dalam program-program kegiatan, jalankan itu," kata Anies, Rabu (8/1).
Contoh paling gampang dalam persoalan tenggelamnya Jakarta, dapat dilihat dari contoh kasus Kampung Apung. Kampung seluas sekitar enam hektare (ha) ini semula bernama Kampung Teko, hanya 50-an meter dari Jalan Kapuk Raya di daerah Cengkareng, yang secara administratif termasuk ke dalam unit RT 10/RW 01 di Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat.
Kampung yang mulai ramai sejak 1960-1970 an itu, akhirnya terendam tiap hujan besar sejak 1990-an akibat pengaruh puluhan pabrik yang “mengunci” aliran air ke arah selatan kampung, sementara pemerintah daerah terus meninggikan jalan di Kapuk Raya yang membuat Kampung Teko berevolusi menjadi daerah cekungan dan menjebak air di sekitarnya.
Kondisi ini terus berlangsung hingga kawasan tersebut terendam sedalam hampir dua meter selama puluhan tahun yang akhirnya mengubah namanya sebagai Kampung Apung.
Namun, kejadian itu bukanlah hanya masalah Kampung Apung semata. Hampir seluruh wilayah Ibu Kota Negara ini juga mengalami ancaman serupa, pasalnya fakta yang terjadi kota ini memang secara perlahan sedang tenggelam.
Dalam peta penurunan muka tanah yang disertakan dalam dokumen RPJMD DKI Jakarta 2017-2022 disebutkan jika beberapa daerah mengalami subsiden cukup besar. Penurunan terjadi di Jakarta Barat dan Utara seperti di Kalideres, Cengkareng Barat, Pantai Indah Kapuk sampai dengan Dadap, dengan nilai subsiden paling besar terdapat di daerah Muara Baru dan Kalideres yang penurunan tanahnya dapat mencapai 150 cm hingga di atas 180 cm. Sementara untuk Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan nilai subsidennya relatif kecil, sama seperti Jakarta Timur. Subsiden hanya terjadi di daerah kompleks perumahan dan mal dengan angka bervaritif antara 10 cm hingga 140 cm.
Berdasarkan data satelit hasil pemantauan JICA, kawasan Cengkareng Timur tepatnya di Malibu Estate diperkirakan pernah terjadi penurunan tanah 20 hingga 50 millimeter (mm) per tahun pada 2007 hingga 2010. Sedangkan di kawasan Mall Taman Anggrek, Grogol, Petamburan yang merupakan contoh kawasan bisnis penurunan tanah diproyeksikan terjadi di bawah 20 mm per tahun dari 2014 hingga 2018 di area seluas 4.190 kilometer persegi (km2).
JICA juga memperhitungkan tiga lokasi yang berpotensi mengalami penurunan muka tanah yang masif seperti kawasan Malibu Estate Cengkareng dengan karakter kawasan hunian bertingkat, kantor dan toko, serta mall. Kemudian kawasan hunian bertingkat milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yakni Rumah Susun Pesakih Cengkareng, area Mall Taman Anggrek Grogol Petamburan dengan karakteristik mall besar, hotel, gedung perkantoran dan kondominium.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), ketika dipimpin Imam Santoso, menyebutkan dengan laju penurunan muka tanah di Jakarta yang terus berlangsung, kota ini akan semakin rentan tergenang air pasang laut dan banjir.
Terlebih, kota ini tidak pernah berhenti membangun gedung-gedung pencakar langit yang menjadi penambah beban bagi permukaan tanah Jakarta. Jenis batuan yang menopang Jakarta adalah aluvial sehingga pemadatan tanah masih terus berlangsung ditambah gaya tektonik aktif yang terus merubah struktur geologi tanah.
"Kondisi itu, juga diperparah pengambilan air tanah yang berlebihan baik oleh industri, komersial, maupun masyarakat umum," kata Imam.
Ketiadaan aturan daerah mengenai pelarangan penggunaan air tanah, juga menyebabkan praktik penyedotan air tanah terus terjadi tanpa pengawasan dan perpindahan penggunaan air tanah ke air pipa mandek. Padahal aturan tersebut telah dilontarkan Anies dan pasangannya kala itu, Sandiaga Uno, sejak 2018.
Sejumlah mall, hotel, hingga hunian bertingkat di Jakarta diketahui masih menggunakan air tanah dalam operasionalnya, seperti contohnya di kawasan Cengkareng dan Grogol Petamburan Jakarta Barat. Hal tersebut terungkap dari data hasil penelitian sebuah proyek pencegahan penurunan air tanah Jakarta yang dirilis JICA pada November 2019.
Persoalan pengambilan air tanah secara berlebih di Jakarta tidak terlepas dari akses air pipa dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang baru bisa menjangkau sekitar 60 persen wilayah Jakarta, dengan volume distribusi air mencapai sekitar 20.000 liter air per detik.
Untuk mencakup sedikitnya 82 persen wilayah tersambung dengan jaringan air pipa seperti dalam rencana hingga 2023, Direktur Utama PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo menyebutkan pihaknya membutuhkan tambahan pasokan 11.000 liter air per detik.
"Jika punya volume segitu, cukup untuk 82 persen cakupan, dengan catatan harus bisa menurunkan risiko kebocoran air," kata Bambang, Jumat (17/1).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam RPJMD 2017-2022 memang mencantumkan fokus menangani penggunaan air tanah yang tidak berkelanjutan dengan cara membatasi penggunaannya agar tidak melewati batas aman 30 persen di saat penggunaannya sudah melewati angka 70 persen.
Namun seakan mencari jalan tengah karena cakupan air pipa yang belum memadai dan belum adanya larangan penggunaan air tanah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru memberlakukan pajak pada tindakan penyedotan air tanah terutama pada pihak industri dan komersial yang sebagian besar menggunakan sumber air aliran bawah atau deep well 40-150 m.
Lucunya meski mengenakan pajak pada penyedotan air tanah, namun hingga kini Jakarta belum memiliki ataupun belum merilis peta dan angka pasti berapa jumlah sumur air tanah yang ada di Jakarta. Peta dan angka pasti jumlah sumur air tanah diperlukan untuk monitoring subsiden, dan akan menjadi database pengguna air tanah jika nantinya diterapkan aturan pelarangan penggunaan air tanah.
Sebenarnya, survei mengenai penggunaan air tanah sempat dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Energi (DPE) DKI Jakarta. Namun dinas tersebut kini dileburkan bersama empat SKPD lain yakni Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM; Dinas Bina Marga (pencahayaan kota); Dinas Sumber Daya Air (bidang sanitasi) dan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (inspeksi gedung).
Sementara daratan Jakarta terus mengalami penurunan dan menjadikannya sebuah cekungan, permukaan air laut di pesisir juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Itu membuat air yang seharusnya mengalir ke laut menjadi terhambat bahkan tidak sampai ke laut dan menyebabkan banjir rob yang sudah sering terjadi beberapa tahun terakhir.
Jakarta diawal 2020 banjir
Lokasi Banjir dengan ketinggian air di atas 80 cm (Data hingga 1 Januari 2020, pukul 14.00 WIB)
- Penggilingan (80-90 cm)
- Klender (80 cm)
- Ciracas (100 cm)
- Pondok Kelapa (100 cm)
- Kebon Pala (100 cm)
- Makasar (100-120 cm)
- Bambu Apus (100 cm)
- Cipinang Melayu (200 cm)
- Pondok Bambu (100 cm)
- Halim Perdana Kusuma (200 cm)
- Cipinang Melayu (100 cm)
- Semanan (100 cm)
- Srengseng (100 cm)
- Duri Kepa (100 cm)
- Sukabumi Selatan (100 cm)
- Menteng (80 cm)
- Tebet Barat (100 cm)
- Mampang Prapatan (80 cm)
- Bintaro (80 cm)
- Cipulir (100 cm)
- Pondok Labu (80-100 cm)
- Jati Padang (80 cm)
- Karet Semanggi (100 cm)
- Bangka (100 cm)
- Pondok Pinang (150 cm)
Dampak Banjir Jakarta dan Sekitarnya
Korban meninggal di Jakarta, Depok, Bogor 9 orang
Warga di sejumlah wilayah Jakarta mengungsi
Bandara Halim Perdana Kusuma ditutup sementara
Tol Semanggi-Jagorawi ditutup sementara
Perjalanan KRL terganggu
PLN memadamkan listrik di 724 wilayah Jakarta
Sumber : Pantau Banjir
Menerawang Jakarta 2050
Dari tahun ke tahun, Jakarta dan daerah di sekitarnya tak hanya menghadapi banjir setiap kali musim hujan datang. Ketinggian genangan dipengaruhi oleh banyak faktor dari mulai bagaimana kesiapan drainase hingga curah hujan yang sedang berlangsung. Selain ancaman banjir, kenaikan permukaan air laut dan abrasi juga mengintai Jakarta dan daerah pesisir di sekitarnya. Siap tidak siap kedua hal itu akan mewarnai perjalanan hidup warga masa kini dan mendatang.
Baca Artikel
Menakar cuaca Nusantara dibalik bayang bencana
Jakarta memang kerap dilanda banjir bahkan sejak zaman Hindia Belanda. Selain karena letak geografis yang lebih rendah dibandingkan wilayah Puncak Bogor yang menjadi hulu dari sungai-sungai besar yang bermuara di Jakarta, juga akibat daya tampung lingkungan yang terus menurun.
Banjir di Ibu Kota Jakarta dan sejumlah daerah lainnya pada awal tahun 2020 menjadi salah satu yang terburuk, namun bukan yang pertama kali terjadi. Faktor hujan lebat tanpa henti sepanjang Selasa sore (31/12) hingga Rabu pagi (1/1) disebut-sebut sebagai penyebab banjir terparah setelah banjir yang melanda Jakarta pada 1996.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan saat itu salah satu yang terekstrem, di atas 150 milimeter (mm) per hari, sepanjang pencatatan stasiun observasi BMKG selama 150 tahun terakhir. Bahkan peristiwa itu merupakan yang tertinggi selama ada pencatatan hujan sejak 1866 yang dilakukan Belanda.
Pengukuran BMKG menunjukkan curah hujan tertinggi tercatat terjadi di Bandara Halim Perdanakusuma yang mencapai 377 mm per hari, di TMII 335 mm per hari, Kembangan 265 mm per hari, Pulo Gadung 260 mm per hari, Jatiasih 260 mm per hari, Cikeas 246 mm per hari dan di Tomang 226 mm per hari.
Analisis beberapa kejadian banjir besar di Jakarta pada masa lalu, misal yang terjadi pada tahun 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, 2013, 2014, dan 2015 memang dapat dikaitkan dengan kejadian curah hujan ekstrem yang terjadi dalam satu hingga dua hari, dan fenomena meteorologis yang membentuknya.
Deputi bidang Klimatologi BMKG Herizal mengatakan, pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866-2015), terdapat kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana terjadi pada 1 Januari 2020.
Jika melihat data selama 43 tahun terakhir untuk curah hujan harian tertinggi per tahun di wilayah Jabodetabek, terindikasi ada tren kenaikan intensitas 10 hingga 20 mm per dekade.
Sedangkan analisis statistik ekstrem data series 150 tahun dari Stasiun Jakarta Observatory BMKG untuk perubahan risiko dan peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir dengan perulangan sebagaimana periode ulang kejadian 2014, 2015 dan termasuk bila kejadian 2020 diperhitungkan, maka menunjukkan ada peningkatan dua hingga tiga persen bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu di Jakarta.
Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini.
Analisis meteorologis pada 1 Januari 2020 menunjukkan curah hujan ekstrem tersebut dipengaruhi oleh penguatan aliran monsun Asia dan indikasi jalur daerah konvergensi massa udara atau pertemuan angin monsun intertropis (ITCZ) tepat berada di atas wilayah Jawa bagian utara.
ITCZ memicu pertumbuhan awan yang sangat cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya. Penghangatan suhu muka laut tersebut tidak lepas dari kenaikan suhu global.
Berdasarkan hasil pengolahan tren suhu di Indonesia secara umum baik suhu minimum, rata-rata dan maksimum memiliki tren yang bernilai positif dengan besaran yang bervariasi sekitar 0,03 derajat Celcius setiap tahunnya. Dalam artian, bahwa suhu akan mengalami kenaikan 0,03 derajat Celcius setiap tahunnya sehingga dalam 30 tahun akan mengalami kenaikan sebesar 0,9 derajat Celcius.
Berdasarkan hasil pengamatan data selama 1981-2019, maka anomali suhu udara Indonesia pada Desember 2019 menduduki peringkat kedua sepanjang periode tersebut, mencapai 0,92 derajat Celcius.
Suhu udara normal pada bulan Desember di Indonesia periode 1981-2010 mencapai 26,54 derajat Celcius, sedangkan suhu udara rata-rata di bulan Desember 2019 sebesar 27,46 derajat Celcius. Sehingga Herizal mengatakan terjadi anomali peningkatan suhu udara rata-rata sebesar 0,92 derajat Celcius.
Anomali suhu udara rata-rata bulan Desember 2019 yang diamati di seluruh stasiun pengamatan BMKG di Indonesia ternyata menunjukkan tren yang umumnya terjadi peningkatan suhu. Data observasi anomali suhu udara yaitu perbandingan suhu udara pada tahun tertentu relatif terhadap periode normal, dalam hal ini adalah rentang waktu 1981-2010, menunjukkan bahwa 2016 merupakan tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat Celcius sepanjang periode pengamatan.
Sedangkan tahun 2019 menempati urutan kedua dengan anomali sebesar 0,58 derajat Celcius, sedangkan tahun 2015 di peringkat ketiga dengan anomali 0,5 derajat Celcius.
Kepala bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Indra Gustari mengatakan berdasarkan catatan lembaga tersebut kondisi iklim yang berubah drastis dengan berbagai fenomena yang menyertainya, termasuk anomali suhu, juga turut memicu kejadian hujan ekstrem.
"Kita lihat ada dua, memang tidak merata ada yang meningkat ada yang menurun. Jadi tidak seragam perubahannya namun sebagian besar trennya hujan ekstrem meningkat," kata Indra.
BMKG menggunakan tiga skenario dalam simulasi proyeksi iklim hingga 2032-2040. Skenario tersebut yaitu yaitu skenario terburuk jika tanpa ada upaya sama sekali untuk perbaikan lingkungan, skenario biasa yaitu jika tanpa upaya optimal dan skenario optimis jika dibarengi upaya masyarakat.
Sebagai gambaran, dengan skenario biasa, BMKG memperdiksikan wilayah Aceh dan sebagian Nusa Tenggara Timur akan mengalami perubahan curah hujan 40 persen lebih tinggi.
Lalu bagaimana tren curah hujan ekstrem di Indonesia? Jika melihat data yang telah dikumpulkan dari beberapa tahun sebelumnya, BMKG menemukan bahwa curah hujan ekstrem intensitasnya akan semakin ekstrem untuk beberapa waktu ke depan.
"Contohnya jika sebelumnya, beberapa tahun lalu itu 200, semakin ke sini bisa mencapai 250, 300 dan 300 sekian. Jadi semakin meningkat jumlah atau intensitasnya,” kata Indra.
Berdasarkan data intensitas curah hujan saat terjadi banjir-banjir besar sejak 1996 menunjukkan curah hujan ekstrem cenderung memiliki tingkat yang bervariasi dan berubah-ubah. Misalnya pada 1996, curah hujan tertinggi tercatat 216 mm per hari, sedangkan di 2006 curah hujan tertinggi mencapai 168 mm per hari.
Pada 2007, saat banjir besar juga terjadi di Jabodetabek, curah hujan meroket hingga 340 mm per hari, namun turun lagi menjadi 250 mm per hari pada 2008. Yang menarik, saat Istana Kepresidenan kebanjiran di 2013, curah hujan paling signifikan saat itu ada di angka 100 mm per hari.
Curah hujan tertinggi kembali meningkat saat Jakarta kembali kebanjiran di 2015, angkanya mencapai 277 mm per hari. Sedangkan curah hujan paling signifikan di 2016 mencapai 100 hingga 150 mm per hari. Sementara itu, Indra mengatakan BMKG dalam skenario proyeksi iklimnya memprediksikan terjadinya kenaikan curah hujan yang lebih ekstrem di beberapa daerah tertentu dan musim kemarau yang cenderung lebih kering pada periode 2032-2040. BMKG menggunakan tiga skenario proyeksi iklim yaitu skenario terburuk, skenario biasa dan skenario optimis.
Skenario terburuk dibuat didasarkan kondisi iklim yang terjadi dengan pengaruh perubahan iklim tanpa ada upaya perbaikan yang dilakukan. Skenario biasa atau business as usual yaitu skenario yang memprediksikan potensi perubahan cuaca yang dikaitkan dengan kurang optimalnya upaya masyarakat untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Sementara skenario optimis, jika dibarengi dengan upaya maksimal dari masyarakat.
Berdasarkan prediksi dengan skenario biasa, BMKG memperkirakan akan ada peningkatan curah hujan. Tetapi ketika kemarau, cuacanya cenderung lebih kering.
"Jadi secara umum ada daerah-daerah yang sebagian besar akan mengalami curah hujan ekstrem," katanya.
Sedangkan berdasarkan prediksi melalui skenario biasa yang dibandingkan dengan 2006-2014, pada 2032-2040 di daerah Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan diprediksi akan mengalami kenaikan curah hujan dengan persentase sekitar 20 sampai 40 persen dibandingkan dengan rata-rata curah hujan pada periode sebelumnya.
Sedangkan Kalimantan Timur dan Gorontalo diprediksi akan mengalami penurunan curah hujan sekitar 20 persen seiring dengan cuaca pada musim kemarau yang diprediksi cenderung lebih kering.
Untuk jangka panjang potensi cuaca ekstrem yang diindikasikan oleh curah hujan yang cukup tinggi, sangat dipengaruhi oleh konsentrasi gas rumah kaca dan pemanasan global. "Seberapa kuat pemanasan global atau konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer itu akan terjadi dalam beberapa puluh tahun ke depan," kata Indra.
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca tersebut yang, menurut dia, sangat dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat, sangat menentukan kondisi iklim di masa mendatang.
Pada 9 Januari 2020, publikasi ilmiah terbaru milik peneliti Lijing Cheng dari Chinese Academy of Sciences dan rekan-rekan penelitinya dari sejumlah universitas dan lembaga riset Amerika Serikat, terbit di Advances in Atmospheric Sciences. Tulisan ilmiah tersebut membahas nilai hasil mengukur arus laut panas (ocean heat current/OHC) yang terjadi di 2019.
Baca Artikel
Ini krisis iklim!
Ilmuwan dunia tidak putus melakukan penelitian terkait pemanasan global. Hampir setiap bulan publikasi ilmiah baru diterbitkan, memberikan analisis yang semakin detil dari proses memanasnya suhu Bumi, hingga pengaruhnya terhadap kehidupan di “Planet Biru”.
Pada 9 Januari 2020, publikasi ilmiah terbaru milik peneliti Lijing Cheng dari Chinese Academy of Sciences dan rekan-rekan penelitinya dari sejumlah universitas dan lembaga riset Amerika Serikat, terbit di Advances in Atmospheric Sciences. Tulisan ilmiah tersebut membahas nilai hasil mengukur arus laut panas (ocean heat current/OHC) yang terjadi di 2019.
Dengan menggunakan metode yang relatif baru untuk mengolah kekurangan data, dan pembaharuan instrumen yang telah digunakan untuk mengukur suhu lautan, Cheng dan rekan-rekannya mampu mengungkap terjadinya anomali arus laut panas di 2019, terutama di atas kedalaman 2000 meter (m), yang mencapai 228 Zetta Joules (ZJ) di atas rata-rata tahun 1981-2010. Dan jika dibandingkan dengan 2018, maka peningkatan panas lautan dunia mencapai lebih dari 25 ZJ di 2019, sehingga menjadikannya terpanas dalam catatan sejarah.
Adanya data baru Institute of Atmospheric Physics (IAP) yang Cheng dan rekan-rekannya peroleh dari mengukur arus laut panas tersebut memungkinkan untuk menyusun peringkat tahun terhangat di dunia sejak 1950-an. Maka diketahui bahwa lima tahun terakhir adalah tahun-tahun terhangat laut dalam historis diukur dengan instrumen modern.
Dengan mencatat kurun waktu 1955-1986 sebagai periode I dan 1987-2019 sebagai periode II, maka Cheng dan rekan-rekannya dapat pula menentukan bahwa selama periode I proses penghangatan laut relatif konstan dan di periode II proses penghangatan tersebut menjadi ~450 persen dari sebelumnya. Semua itu mencerminkan peningkatan besar dalam laju perubahan iklim global.
Dapat diketahui pula peningkatan panas air laut selama periode 1960-2019 berkontribusi pada penyebaran 41 persen panas di kedalaman 0-300 m, 21,5 persen ada di kedalaman 300-700 m, 28,6 persen ada di kedalaman 700-2000 m, dan 8,9 persen ada di kedalaman lebih dari 2000 m.
Peningkatan pemanasan air laut tersebut terdistribusi secara global. Samudera Atlantik dan laut bagian selatan terutama dekat the Antarctic Circumpolar Current, terus menunjukkan bagian besar yang menghangat dibandingkan dengan cekungan lainnya. Itu semakin menegaskan bahwa laut di bagian selatan Bumi tersebut memang yang paling tertekan oleh serangan pemanasan global sejak 1970.
Berbagai observasi menunjukkan laut di 30 derajat Lintang Selatan pada kedalaman 0-2000 m tersebut yang bertanggung jawab terhadap peningkatan 35 persen hingga 43 persen arus laut panas selama periode 1970-2017. Itu pula yang memindahkan panas ke wilayah utara melintasi khatulistiwa melalui laut, dan itu baru saja terjadi di Laut Tasman sehingga berdampak besar pada perikanan laut dan ekosistem di sana.
Hal yang menarik dalam publikasi ilmiah Cheng dan rekan-rekannya yakni banyak peristiwa gelombang panas di berbagai negara pada tahun-tahun terakhir ini dekat dengan lokasi laut yang mengalami pemanasan paling kuat, seperti Laut Mediterania, laut di Pasifik Utara, laut Pasifik sekitar khatulistiwa, Laut Tasman, serta laut di Atlantik Utara.
Gelombang panas laut dan tekanan udara lainnya yang disebabkan oleh perubahan lingkungan laut jelas menimbulkan risiko tinggi bagi keanekaragaman hayati dan perikanan, serta berdampak pada ekonomi, ujar Cheng.
Sementara itu untuk daerah tropis, pola spasial anomali arus laut panas pada 2019 relatif terhadap 2018 mengungkap dampak El Nino-Osilasi Selatan (El Nino-Southern Oscillation/ENSO) yang dominan dari variabilitas energi Bumi atau lautan pada skala antartahun. ENSO dikaitkan dengan redistribusi panas di lautan dan pertukaran panas antara laut dan atmosfer.
Dari akhir 2018 hingga awal 2019, El Nino terbentuk. Setelah musim panas 2019 kejadian El Nino melemah dan fase netral bertahan sepanjang semester kedua tahun itu.
Dari La Nina yang terjadi di awal 2018 ke El Nino lalu masuk ke 2019, panas keluar dari khatulistiwa dan selatan Samudera Pasifik menuju sebelah timur laut Samudera Pasifik menghasilkan pendinginan di bagian tertentu di sana dan penghangatan di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia pada titik tertentu.
Peningkatan temperatur di laut, menurut laporan Cheng dan rekan penelitinya, telah mengurangi oksigen terlarut dan secara signifikan mempengaruhi kehidupan di sana, terutama karang dan organisme yang sensitif terhadap suhu dan zat kimia.
Selain itu, meningkatnya panas juga menaikkan evaporasi di laut yang membuat kelembapan ekstra di atmosfer yang memang dalam kondisi lebih hangat. Ini, menurut Cheng, “menyuburkan” hujan lebat dan dapat memicu banjir, memunculkan lebih banyak lagi siklus hidrologi ekstrem dan cuaca yang lebih ekstrem khususnya badai dan topan.
Ia dan peneliti lainnya menegaskan itu juga menjadi salah satu alasan kunci mengapa Bumi semakin banyak mengalami kebakaran hutan dan lahan dasyat seperti di Amazon, California dan Australia.
Anomali pemanasan global tersebut juga dirasakan di Indonesia, salah satunya tepat pada pergantian tahun 2019 dengan 2020. Saat penduduk Jakarta dan sekitarnya sedang sibuk mempersiapkan perayaan pergantian tahun pada 31 Desember, aliran Monsun Asia yang membawa massa udara dingin dari bumi belahan utara (BBU) menguat dan bertemu dengan massa udara dari bumi belahan selatan (BBS).
Kebetulan lokasi palung ekuatorial Intertropical Convergence Zone (ITCZ) yang bertekanan rendah, tempat kedua massa udara tersebut bertemu berada tepat di atas wilayah Jawa bagian utara.
Kejadian pertemuan di palung ekuatorial bertekanan rendah tersebut telah memicu pertumbuhan awan yang sangat cepat, tebal dan masif akibat penguapan air laut di sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat, sehingga menyuplai massa uap air bagi atmosfer di atasnya. Hujan lebat turun pada sore hari di Jakarta Pusat dan sekitarnya, namun hujan lebih lebat lagi kembali turun di wilayah Jabodetabek hanya sekitar dua jam setelah pergantian tahun.
Hanya dalam waktu sekitar tiga jam, air hujan sebanyak hingga 377 milimeter per hari yang jatuh ke Bumi tersebut telah menggenang dan membangunkan mereka yang baru saja terlelap setelah perayaan pergantian tahun. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat banjir tertinggi terjadi di wilayah Kota Bekasi mencapai hingga enam meter.
Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Herizal mengatakan berdasarkan pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun, dari 1866 hingga 2015, terdapat kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana terjadi pada 1 Januari 2020.
Data selama 43 tahun terakhir di wilayah Jabodetabek curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10-20 milimeter per dekade. Ada peningkatan dua hingga tiga persen perubahan risiko dan peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir yang berulang dibanding kondisi iklim 100 tahun lalu.
Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini.
Pemanasan global bukan hanya dongeng yang dibacakan menjelang tidur, lalu menjadi sekedar bunga tidur semata. Belum banyak yang sepenuhnya sadar bahaya bencana hidrometeorologi yang dipicu peningkatan suhu Bumi itu di tengah semakin rusaknya kondisi lingkungan hidup dan masih buruknya pemahaman mitigasi dan adaptasi di masyarakat.
Associated Press melansir pernyataan Menteri Kesehatan Prancis Agnes Buzyn pada awal September 2019, yang menyebutkan sekitar 1.500 warganya meninggal dunia akibat gelombang panas yang terjadi pada Juni dan Juli lalu. Suhu tertinggi di Prancis mencapai 45,9 derajat Celsius terjadi pada 28 Juni 2019.
Sementara Badan Statistik Nasional Belanda (Centraal Bureau voor de Statistiek/CBS) mengeluarkan data 2.964 orang warga di Belanda meninggal selama pekan gelombang panas yang dimulai pada 22 Juli 2019. Tercatat rekor tertinggi temperatur di sana mencapai 40 derajat Celsius terjadi pada 25 Juli.
Di Australia, luas area semak yang menjalar ke hutan yang terbakar mencapai 104.000 kilometer persegi (km2), menewaskan 28 orang dan menghanguskan lebih dari 2.600 rumah sejak September 2019. Associated Press melansir berita lebih dari 100 spesies flora dan fauna terdampak kebakaran tersebut, membuat beberapa di antaranya semakin mendekati kepunahan.
Kantor berita Kyodo melansir berita Badai Hagibis dengan kecepatan angin mencapai 225 kilometer per jam yang memporakporandakan Semenanjung Izu pada pertengahan Oktober 2019. Setidaknya lima warga dilaporkan meninggal dunia, 11 orang hilang, lebih dari 90 orang terluka akibat terjangan topan terburuk dalam 60 tahun terakhir tersebut.
Sementara di Indonesia, BNPB merilis telah terjadi 230 bencana hidrometeorologi mulai dari puting beliung, banjir dan tanah longsor sejak 1 hingga 20 Januari 2020. Sebanyak 74 meninggal dunia, 83 orang terluka dan 800.124 orang mengungsi.
Krisis iklim sedang terjadi dan tidak dapat dipaksa untuk pulang. Terganjalnya perundingan pengendalian perubahan iklim di Konferensi Tingkat Tinggi PBB di Madrid, Spanyol, akhir 2019 setelah tidak adanya komitmen para kepala negara untuk menaikkan target pernurunan emisi GRK di sela-sela Sidang PBB di New York pada September lalu memperburuk upaya bersama memitigasi dampak pemanasan global.
Cheng dan rekan peneliti lainnya memberikan catatan penting dalam publikasi ilmiahnya, bahwa menghangatnya laut akan terus berlanjut meskipun temperatur udara permukaan dapat distabilkan pada atau di bawah 2 derajat Celsius di abad 21 dengan komitmen jangka panjang terhadap laut. Namun demikian, tingkat dan besarnya pemanasan laut dan risiko bencana akan lebih kecil jika emisi GRK lebih rendah.
Oleh karena itu, Cheng mengingatkan laju peningkatan emisi GRK dapat dilakukan dengan pendekatan aksi manusia yang mengurangi memproduksi emisi, sehingga dapat mengurangi risiko bagi manusia dan kehidupan lain di Bumi.
Berdamai dengan air
Sejak awal peradaban di Batavia hingga kini menjadi Metropolitan Jakarta, kawasan yang kini menjadi ibukota negara itu memang akrab dengan banjir dan genangan. Seiring dengan perubahan iklim dan juga penurunan kualitas lingkungan maka warga yang tinggal di kawasan ini perlu mempersiapkan diri untuk bersahabat dengan banjir dan perubahan batas pantai.
Credit
PENGARAH
Akhmad Munir, Budi Setiawanto, Saptono, Teguh Priyanto
PRODUSER EKSEKUTIF
Sapto HP
PRODUSER
Panca Hari Prabowo, Virna P Setyorini
PENULIS
M.Razi Rahman, M Irfan Ilmie, Prisca Triferna Violleta, Yuni Arisandy Sinaga, Desi Purnamawati, Katriana, Ricky Prayoga, Livia Kristianti, Devi Nindy Sari Ramadhan
FOTOGRAFER
Aprilio Akbar, Agung Rajasa, Muhammad Adimaja, Sigid Kurniawan, Widodo S Yusuf
EDITOR FOTO
Prasetyo Utomo
VIDEOGRAFER
Kuntum Haira Riswan, Pamela Sakina, Cahya Sari, Farah Khadija, Subur Atmamihardja, Syamsoel Rizal, Gunawan Wibisono
EDITOR VIDEO
Dudy Yabuwardhana, Soni Namura, Sandi Arizona, Rayyan, Satrio Giri Marwanto
PRODUSER VIDEO
Gracia Simanjuntak, Ardi Irawan, Agha Yuninda, Perwiranta, Sizuka, Ludmila Nastiti
INFOGRAFIS
Ilham, AM
EDITOR INFOGRAFIS
Heppy
GRAFIS dan DEVELOPER
Yudi Rinaldi