Menebar kekuatan aroma nilam yang tak lekang waktu
Pada tahun 2019 Juan Manuel Román yang adalah seorang arkeolog di Universitas Pablo de Olavide di Seville, Spanyol, dipanggil ke kota kecil Carmona di sudut Spanyol. Di kota itu, ada seorang warga yang sedang membangun kolam renang lalu menemukan sesuatu yang menarik kala melakukan proses penggalian.
Di dalam konstruksi kolam renang tersebut ditemukan makam bangsawan Romawi kuno dari abad pertama masehi, yang terkubur bersama dengan sejumlah barang mewah termasuk satu botol parfum.
Selama 2.000 tahun botol kuarsa berisi parfum itu tersimpan dengan aman dan masih menyisakan aroma tipis yang manis, hangat serta apek. Para ilmuwan dari University of Córdoba kemudian menganalisis komposisi parfum tersebut. Lalu pada pertengahan Juli 2023 berdasarkan beberapa temuan dan penelitian, termasuk dari botol parfum berusia 2.000 tahun itu, para peneliti kemudian menerbitkan sebuah makalah di jurnal Heritage tentang seperti apa bau orang Romawi kaya raya berabad lalu. Jawabannya adalah aroma nilam
Nilam itu berasal dari tumbuhan tropis di Asia Tenggara bernama Pogostemon cablin yang diduga bisa sampai ke Roma melalui jaringan perdagangan atau berupa hadiah atau persembahan.
Dari hasil penelitian tersebut, terbukti bahwa nilam dari tanaman perdu jenis Pogostemon cablin, memiliki kekuatan aroma hingga ribuan tahun. Hal ini dibuktikan dari laporan para peneliti bahwa temuan di Carmona tersebut adalah parfum pertama dari zaman Romawi yang berhasil diidentifikasi aroma dan sumbernya, mengingat banyak bejana parfum kuno ditemukan namun jarang menyimpan zat yang diawetkan di dalamnya, apalagi sebersit aromanya.
Nilam adalah bahan umum dalam parfum modern yang populer dengan sebutan patchouli, tetapi pada masa Romawi Kuno, tanaman perdu ini dianggap bersahaja dan bernilai sangat tinggi karena hanya tumbuh di wilayah Asia yang hangat sehingga menjadi barang yang sangat langka dan hanya dapat dimiliki oleh kaum ningrat di kawasan Benua Biru.
Indonesia rupanya menjadi rumah bagi Pogostemon cablin, karena tanaman ini berkembang biak dengan subur di wilayah Sumatera, Sulawesi, Jawa dan Kalimantan.
Pogostemon cablin sendiri adalah tanaman perdu yang sepintas hanya menyerupai semak belukar, namun minyak dari tanaman ini merupakan salah satu bahan wewangian paling populer di dunia. Anda mungkin tidak menyadari, bahwa minyak dari tanaman ini memiliki kontribusi aroma setidaknya pada salah satu parfum favorit Anda.
Kelas dunia
"Esensi elegan dari Magnifying Patchouli mempesona dengan sensualitasnya yang mencolok. Dibuat dengan nilam yang bersumber dari Indonesia, distilasi mewah dengan kualitas yang belum pernah ada sebelumnya, bebas dari nada gelap dan bersahaja dengan proses fraksinasi eksklusif."
Itulah deskripsi parfum desainer kelas dunia Bvlgari Magnifying Patchouli yang tertulis dalam laman resminya.
Betapa produsen parfum kelas dunia seperti Bvlgari turut mengidolakan nilam Indonesia, hingga memasukkan minyak nilam tersebut ke dalam salah satu kreasinya yang bernilai jutaan rupiah untuk 40 mililiter cairan parfum.
Tidak hanya Bvlgari, pakar sekaligus pembuat parfum kenamaan asal Prancis, Francis Kurkdjian, menggambarkan nilam dari Indonesia sebagai suatu tanaman aromatik yang sangat dihargai di Prancis. Pemilik jenama Maison Francis Kurkdjian Paris ini menggunakan minyak nilam dari Indonesia sebagai salah satu bahan dasar dalam parfum buatannya Feminim Pluriel.
Selain kedua jenama tersebut, masih banyak rumah mode lain yang mengakui nilam Indonesia dan menggunakan minyak nilam sebagai bahan baku dalam produk wewangian mereka. Sebut saja Creed Aventus for Her, Lancome Idole, Oscar de la Renta Midnight Amber, Frederic Malle Superstitious, Christian Dior Patchoulo Imperial, Tom Ford White Patchouli, Maison Margiela Replica Music Festival, Serge Lutens Borneo 1834, The Merchant of Venice Accordi di Profumo Patchouli Indonesia, Dyptyque L'eau de L'eau, Yves Saint Laurent Mon Paris dan masih banyak jenama mewah global lainnya.
Kualitas dari nilam Indonesia memang sudah teruji dan mendapatkan Sertifikat Indikasi Geografis 2013 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Bahkan jauh sebelum itu, sejak zaman kolonial Belanda, Willem Spoon pada 1932 menulis dalam bukunya "Atjeh Patchouli-Olie" bahwa nilam Indonesia memiliki kualitas sangat tinggi dan banyak diminati oleh pasar dunia.
Dalam "Atjeh Patchouli-Olie" Spoon menyebutkan bahwa nilam Indonesia khususnya nilam Aceh memiliki karakteristik kualitas terbaik. Hal ini disebabkan karena kondisi geografis Aceh yang menyebabkan nilam tumbuh dengan subur dan baik, jauh lebih baik dibandingkan di tanah Jawa.
Dari laporan Spoon tersebut tertulis bahwa nilam Aceh yang berkualitas itu membuat Belanda secara serius ingin memonopoli dan mengeskpor nilam Aceh ke pasar Eropa.
Para peneliti Atsiri Research Center dari Universitas Syah Kuala Aceh dalam buku "5 Tahun ARC: Merintis Jalan Baru Nilam Aceh" menuliskan bahwa salah satu cara Belanda untuk melakukan monopoli adalah dengan membangun unit-unit usaha penyulingan minyak nilam.
Nama nilam sendiri sebetulnya berasal dari nama industri bisnis penyulingan dan eskpor milik Belanda yaitu Nederlands Indische Landbouw Maatschappij yang disingkat menjadi NILAM.
Namun kemudian ada versi lain dari singkatan NILAM yang juga dibentuk Belanda yaitu Nederlands Indische Landook Acheh Maatschappij yang merupakan perusahaan Belanda yang menangani tata niaga nilam.
Dari catatan sejarah hingga penggunaan nilam asli Indonesia oleh jenama-jenama mewah tersebut cukup membuktikan bahwa minyak nilam Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pasar parfum dunia karena fungsinya sebagai pengikat aroma, selain sebagai bahan dasar aromaterapi, kosmetik dan pengobatan.
Inilah yang menyebabkan kebutuhan dunia terhadap minyak nilam menjadi sangat tinggi hingga mencapai 2.000 ton per tahun dan dari 2.000 ton itu, tidak kurang dari 1.500 ton diproduksi oleh Indonesia, sebagaimana catatan dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Data tersebut juga menyebutkan bahwa mutu minyak nilam Indonesia dikenal paling baik dan menguasai pangsa pasar minyak nilam dunia tidak kurang dari 80 persen.
Artinya, tanpa nilam Indonesia parfum-parfum tersebut tidak akan dapat diproduksi, mengingat minyak nilam Indonesia tidak dapat diganti dengan produk sintetis lainnya.
Kebangkitan Lokal
Nilam (Pogostemon patchouli) adalah tanaman perdu yang tingginya mencapai 1 meter, berbunga dengan bunga berwarna ungu. Minyak nilam sendiri dihasilkan dari daun nilam wangi yang biasanya dipanen beberapa kali dalam setahun. Penyulingan terutama digunakan untuk ekstraksi minyak dari daun kering, tetapi minyak berkualitas tinggi dihasilkan dari daun segar dan oleh karena itu tempat penyulingan harus ditempatkan di sekitar perkebunan nilam.
Aroma Nilam kembali ngetren di tahun 1960-an. Aromanya yang dapat dikenali dan intens berhasil menyamarkan bau ganja di toko-toko tembakau. Pada tahun itulah, permintaan ekspor nilam Indonesia mulai mengalami peningkatan, terutama untuk pasar Eropa.
Dengan jenis nilam Aceh atau Pogostemon cablin sebagai produk unggulan, International Trade Center mencatat bahwa nilai ekspor minyak atsiri dengan unggulan nilam telah mencapai 5,85 miliar dolar atau tumbuh 10,05 persen (yoy) sampai tahun 2021.
Selama lima tahun terakhir (2017-2021), ekspor minyak atsiri dunia secara rata-rata meningkat 1,49 persen per tahun. Indonesia menguasai pangsa pasar ekspor sebesar 4,25 persen pada 2021 atau mencapai 248,41 juta dolar.
Kekuatan nilam Indonesia yang semerbak dan bertahan lama ini sayangnya lebih banyak digunakan oleh jenama parfum global. Indonesia banyak mengekspor nilam dan kembali mengimpor parfum yang telah diolah tersebut dengan harga fantastis.
Namun seiring berjalannya waktu, industri parfum lokal asli Indonesia mulai bergeliat pada kisaran tahun 2017 hingga 2018, meski mengalami kendala stigma negatif dari para pencinta parfum yang menyangka bahwa parfum lokal identik dengan parfum "isi ulang" yang dijual per mililiter, dengan aroma sintetik yang menyengat.
Namun di 2019 industri ini kembali mendobrak pangsa pasar Indonesia meski pandemi menerjang. Sebut saja House of Medici, Fordive, Oulu, Alt. Perfumery, Alchemist, Oaken, Minyeuk Pret dan masih banyak jenama lokal lainnya yang justru mengembangkan sayap mereka di tengah pandemi.
Beberapa jenama seperti HMNS, Alien Objects dan DC Parfumeur bahkan kini memiliki kualitas yang bisa disandingkan dengan jenama internasional yang sudah terkenal secara global.
Kondisi ini tentu membawa optimisme bagi industri parfum lokal agar menjadi semakin mendunia dan bersaing secara global dengan membawa kekuatan aroma nilam Indonesia yang tak lekang waktu.
Pada tahun 2019 Juan Manuel Román yang adalah seorang arkeolog di Universitas Pablo de Olavide di Seville, Spanyol, dipanggil ke kota kecil Carmona di sudut Spanyol. Di kota itu, ada seorang warga yang sedang membangun kolam renang lalu menemukan sesuatu yang menarik kala melakukan proses penggalian.
Di dalam konstruksi kolam renang tersebut ditemukan makam bangsawan Romawi kuno dari abad pertama masehi, yang terkubur bersama dengan sejumlah barang mewah termasuk satu botol parfum.
Selama 2.000 tahun botol kuarsa berisi parfum itu tersimpan dengan aman dan masih menyisakan aroma tipis yang manis, hangat serta apek. Para ilmuwan dari University of Córdoba kemudian menganalisis komposisi parfum tersebut. Lalu pada pertengahan Juli 2023 berdasarkan beberapa temuan dan penelitian, termasuk dari botol parfum berusia 2.000 tahun itu, para peneliti kemudian menerbitkan sebuah makalah di jurnal Heritage tentang seperti apa bau orang Romawi kaya raya berabad lalu. Jawabannya adalah aroma nilam
Nilam itu berasal dari tumbuhan tropis di Asia Tenggara bernama Pogostemon cablin yang diduga bisa sampai ke Roma melalui jaringan perdagangan atau berupa hadiah atau persembahan.
Dari hasil penelitian tersebut, terbukti bahwa nilam dari tanaman perdu jenis Pogostemon cablin, memiliki kekuatan aroma hingga ribuan tahun. Hal ini dibuktikan dari laporan para peneliti bahwa temuan di Carmona tersebut adalah parfum pertama dari zaman Romawi yang berhasil diidentifikasi aroma dan sumbernya, mengingat banyak bejana parfum kuno ditemukan namun jarang menyimpan zat yang diawetkan di dalamnya, apalagi sebersit aromanya.
Nilam adalah bahan umum dalam parfum modern yang populer dengan sebutan patchouli, tetapi pada masa Romawi Kuno, tanaman perdu ini dianggap bersahaja dan bernilai sangat tinggi karena hanya tumbuh di wilayah Asia yang hangat sehingga menjadi barang yang sangat langka dan hanya dapat dimiliki oleh kaum ningrat di kawasan Benua Biru.
Indonesia rupanya menjadi rumah bagi Pogostemon cablin, karena tanaman ini berkembang biak dengan subur di wilayah Sumatera, Sulawesi, Jawa dan Kalimantan.
Pogostemon cablin sendiri adalah tanaman perdu yang sepintas hanya menyerupai semak belukar, namun minyak dari tanaman ini merupakan salah satu bahan wewangian paling populer di dunia. Anda mungkin tidak menyadari, bahwa minyak dari tanaman ini memiliki kontribusi aroma setidaknya pada salah satu parfum favorit Anda.
Kelas dunia
"Esensi elegan dari Magnifying Patchouli mempesona dengan sensualitasnya yang mencolok. Dibuat dengan nilam yang bersumber dari Indonesia, distilasi mewah dengan kualitas yang belum pernah ada sebelumnya, bebas dari nada gelap dan bersahaja dengan proses fraksinasi eksklusif."
Itulah deskripsi parfum desainer kelas dunia Bvlgari Magnifying Patchouli yang tertulis dalam laman resminya.
Betapa produsen parfum kelas dunia seperti Bvlgari turut mengidolakan nilam Indonesia, hingga memasukkan minyak nilam tersebut ke dalam salah satu kreasinya yang bernilai jutaan rupiah untuk 40 mililiter cairan parfum.
Tidak hanya Bvlgari, pakar sekaligus pembuat parfum kenamaan asal Prancis, Francis Kurkdjian, menggambarkan nilam dari Indonesia sebagai suatu tanaman aromatik yang sangat dihargai di Prancis. Pemilik jenama Maison Francis Kurkdjian Paris ini menggunakan minyak nilam dari Indonesia sebagai salah satu bahan dasar dalam parfum buatannya Feminim Pluriel.
Selain kedua jenama tersebut, masih banyak rumah mode lain yang mengakui nilam Indonesia dan menggunakan minyak nilam sebagai bahan baku dalam produk wewangian mereka. Sebut saja Creed Aventus for Her, Lancome Idole, Oscar de la Renta Midnight Amber, Frederic Malle Superstitious, Christian Dior Patchoulo Imperial, Tom Ford White Patchouli, Maison Margiela Replica Music Festival, Serge Lutens Borneo 1834, The Merchant of Venice Accordi di Profumo Patchouli Indonesia, Dyptyque L'eau de L'eau, Yves Saint Laurent Mon Paris dan masih banyak jenama mewah global lainnya.
Kualitas dari nilam Indonesia memang sudah teruji dan mendapatkan Sertifikat Indikasi Geografis 2013 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Bahkan jauh sebelum itu, sejak zaman kolonial Belanda, Willem Spoon pada 1932 menulis dalam bukunya "Atjeh Patchouli-Olie" bahwa nilam Indonesia memiliki kualitas sangat tinggi dan banyak diminati oleh pasar dunia.
Dalam "Atjeh Patchouli-Olie" Spoon menyebutkan bahwa nilam Indonesia khususnya nilam Aceh memiliki karakteristik kualitas terbaik. Hal ini disebabkan karena kondisi geografis Aceh yang menyebabkan nilam tumbuh dengan subur dan baik, jauh lebih baik dibandingkan di tanah Jawa.
Dari laporan Spoon tersebut tertulis bahwa nilam Aceh yang berkualitas itu membuat Belanda secara serius ingin memonopoli dan mengeskpor nilam Aceh ke pasar Eropa.
Para peneliti Atsiri Research Center dari Universitas Syah Kuala Aceh dalam buku "5 Tahun ARC: Merintis Jalan Baru Nilam Aceh" menuliskan bahwa salah satu cara Belanda untuk melakukan monopoli adalah dengan membangun unit-unit usaha penyulingan minyak nilam.
Nama nilam sendiri sebetulnya berasal dari nama industri bisnis penyulingan dan eskpor milik Belanda yaitu Nederlands Indische Landbouw Maatschappij yang disingkat menjadi NILAM.
Namun kemudian ada versi lain dari singkatan NILAM yang juga dibentuk Belanda yaitu Nederlands Indische Landook Acheh Maatschappij yang merupakan perusahaan Belanda yang menangani tata niaga nilam.
Dari catatan sejarah hingga penggunaan nilam asli Indonesia oleh jenama-jenama mewah tersebut cukup membuktikan bahwa minyak nilam Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pasar parfum dunia karena fungsinya sebagai pengikat aroma, selain sebagai bahan dasar aromaterapi, kosmetik dan pengobatan.
Inilah yang menyebabkan kebutuhan dunia terhadap minyak nilam menjadi sangat tinggi hingga mencapai 2.000 ton per tahun dan dari 2.000 ton itu, tidak kurang dari 1.500 ton diproduksi oleh Indonesia, sebagaimana catatan dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Data tersebut juga menyebutkan bahwa mutu minyak nilam Indonesia dikenal paling baik dan menguasai pangsa pasar minyak nilam dunia tidak kurang dari 80 persen.
Artinya, tanpa nilam Indonesia parfum-parfum tersebut tidak akan dapat diproduksi, mengingat minyak nilam Indonesia tidak dapat diganti dengan produk sintetis lainnya.
Kebangkitan Lokal
Nilam (Pogostemon patchouli) adalah tanaman perdu yang tingginya mencapai 1 meter, berbunga dengan bunga berwarna ungu. Minyak nilam sendiri dihasilkan dari daun nilam wangi yang biasanya dipanen beberapa kali dalam setahun. Penyulingan terutama digunakan untuk ekstraksi minyak dari daun kering, tetapi minyak berkualitas tinggi dihasilkan dari daun segar dan oleh karena itu tempat penyulingan harus ditempatkan di sekitar perkebunan nilam.
Aroma Nilam kembali ngetren di tahun 1960-an. Aromanya yang dapat dikenali dan intens berhasil menyamarkan bau ganja di toko-toko tembakau. Pada tahun itulah, permintaan ekspor nilam Indonesia mulai mengalami peningkatan, terutama untuk pasar Eropa.
Dengan jenis nilam Aceh atau Pogostemon cablin sebagai produk unggulan, International Trade Center mencatat bahwa nilai ekspor minyak atsiri dengan unggulan nilam telah mencapai 5,85 miliar dolar atau tumbuh 10,05 persen (yoy) sampai tahun 2021.
Selama lima tahun terakhir (2017-2021), ekspor minyak atsiri dunia secara rata-rata meningkat 1,49 persen per tahun. Indonesia menguasai pangsa pasar ekspor sebesar 4,25 persen pada 2021 atau mencapai 248,41 juta dolar.
Kekuatan nilam Indonesia yang semerbak dan bertahan lama ini sayangnya lebih banyak digunakan oleh jenama parfum global. Indonesia banyak mengekspor nilam dan kembali mengimpor parfum yang telah diolah tersebut dengan harga fantastis.
Namun seiring berjalannya waktu, industri parfum lokal asli Indonesia mulai bergeliat pada kisaran tahun 2017 hingga 2018, meski mengalami kendala stigma negatif dari para pencinta parfum yang menyangka bahwa parfum lokal identik dengan parfum "isi ulang" yang dijual per mililiter, dengan aroma sintetik yang menyengat.
Namun di 2019 industri ini kembali mendobrak pangsa pasar Indonesia meski pandemi menerjang. Sebut saja House of Medici, Fordive, Oulu, Alt. Perfumery, Alchemist, Oaken, Minyeuk Pret dan masih banyak jenama lokal lainnya yang justru mengembangkan sayap mereka di tengah pandemi.
Beberapa jenama seperti HMNS, Alien Objects dan DC Parfumeur bahkan kini memiliki kualitas yang bisa disandingkan dengan jenama internasional yang sudah terkenal secara global.
Kondisi ini tentu membawa optimisme bagi industri parfum lokal agar menjadi semakin mendunia dan bersaing secara global dengan membawa kekuatan aroma nilam Indonesia yang tak lekang waktu.
Meniti jalan panjang sang primadona menembus batas benua
Muhammad Kasim mengembuskan asap rokok kreteknya ke udara untuk ke sekian kali dalam hitungan semenit. Kepalanya mengarah ke kiri sebelah atas seolah membentuk sudut 30 derajat, sedangkan kedua bola matanya bergeming menatap sebuah titik tak kasatmata.
Dalam posisi bersila, lelaki itu sesekali menelengkan kepala, berupaya menyimak pertanyaan yang diajukan kepada dirinya. Sejurus kemudian, dia kembali berusaha berkonsentrasi: membuka rongga demi rongga di dalam sel-sel kelabunya, kemudian mengumpulkan serak-serak ingatan pada masa dua puluh lima tahun silam.
"Saat itu, harga jual satu kilogram minyak nilam mentah sebanding dengan harga seekor kerbau yaitu Rp1 juta. Saya pernah mendapatkan nilam sebanyak 100 kilogram hingga 200 kilogram dalam sekali panen," kenang Kasim mendeskripsikan hasil penggalian ingatannya.
Sejak tahun 1995, Kasim adalah seorang petani nilam di Gampong Rerebe, Kecamatan Tripe Jaya, Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Ketika Tanah Air dilanda krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1998, harga minyak nilam langsung meroket karena komoditas tersebut terkait erat dengan nilai mata uang dolar yang saat itu sangat tinggi.
Bila Kasim kala itu beroleh minyak nilam mentah hingga sebanyak 200 kilogram sekali panen, maka artinya dia mampu meraup sebesar Rp200 juta sesuai dengan nilai tukar mata uang saat itu.
Kasim menepekuri profesi sebagai petani nilam selama beberapa tahun. Usahanya itu kemudian berkembang hingga dia tak lagi menghabiskan waktu di kebun-kebun nilam. Masih dalam ruang lingkup yang sama, dirinya lantas memutuskan untuk beralih profesi menjadi seorang penyalur atau agen minyak nilam pada tahun 2004.
"Minyak nilam memang selalu dicari-cari meskipun harga selalu berubah mengikuti permainan di pasaran," kenangnya.
Menurut Kasim, semenjak dahulu banyak petani yang gigih menanam nilam karena memang tidak terlalu sulit untuk melakukan budi daya tanaman tersebut. Penggunaan pupuk organik yang selama ini diterapkan para petani, turut menjadikan kualitas nilam Aceh sebagai salah satu yang terbaik di dunia.
"Kami di sini selalu alami dari dulu, tidak pernah menggunakan pupuk kimiawi. Dulu dalam setahun, kami bisa panen sebanyak dua kali. Selama lahannya masih bagus, maka petani tidak akan berpindah lahan," putusnya.
Metode Tradisional
Apa yang diutarakan oleh Kasim, diluluskan pula oleh Saleh Aman Midi yang telah menanam nilam sejak empat tahun silam. Memiliki lahan seluas satu hektare, Saleh juga menanam komoditas lain seperti cabai dan bawang. Tetapi memang hanya tanaman nilam yang menurut lelaki berusia 50 tahun tersebut, terbilang mendatangkan keuntungan paling besar.
"Saya memilih nilam karena faktor harga bisa sampai Rp600 ribu per kilogram dan ini menguntungkan sekali. Ini berbeda dengan cabai atau bawang yang harganya nggak tentu, kadang naik atau turun, mana tahu. Makanya, saya pilih nilam," buka Saleh.
Sebagai perbadingan, Saleh lantas mengungkapkan bahwa saat ini harga cabai kecil berada pada kisaran Rp20 ribu per kilogram, sedangkan cabai besar mencapai Rp18 ribu per kilogram.
Selama empat tahun mengerjakan lahan nilam, Saleh dengan dibantu keempat anak lelakinya pernah mendulang panen hingga sebanyak 40 kilogram nilam. Sementara angka terkecil saat panen adalah dua kilogram. Maka, dengan kisaran harga Rp600 ribu per kilogram, keuntungan yang Saleh dapatkan dari memanen daun nilam dapat mencapai Rp60-Rp70 juta per tahun.
Saleh masih memaksimalkan cara tradisional dalam proses mendapatkan minyak nilam mentah dengan berbekal parang. Usai menyiangi lahan, dirinya kemudian mencacah daun demi daun menjadi irisan-irisan kecil yang akan dijemur di bawah terik mentari hingga mengering selama 2-3 hari. Bila cuaca kurang bersahabat, proses penjemuran daun nilam bisa memakan waktu hingga 10 hari.
Setelah mengering, daun nilam tersebut kemudian dimasukkan ke dalam drum untuk dikukus sehingga menghasilkan hasil distilasi berupa minyak nilam mentah yang akan ditempatkan ke dalam wadah-wadah semisal botol kaca atau jeriken.
Selain Saleh, Tebet adalah petani nilam yang juga masih menerapkan metode tradisional dalam mengolah daun nilam.
Ayah satu anak itu mengungkapkan bahwa dia membutuhkan waktu selama enam bulan sebelum memanen daun nilam yang akan dipotong, dicacah menjadi bagian-bagian kecil, kemudian dikukus di dalam drum berbekal kobaran api dari kayu limbah.
Dalam satu kali proses penyulingan, lelaki berusia 34 tahun tersebut membutuhkan waktu sedikitnya selama 3 jam dalam kondisi daun kering untuk mendapatkan minyak nilam mentah. Dari sebanyak dua karung daun nilam yang dimuat ke dalam drum, Tebet mendapatkan sebanyak 5-6 ons minyak yang kemudian dia tempatkan ke dalam sebuah botol plastik.
Dia masih mempertahankan cara tradisional tersebut karena tidak memiliki banyak modal untuk mengangkut daun nilam menggunakan mobil dan menyewa tenaga pekerja untuk menyulingnya di pengolahan berbasis mesin listrik.
Selama lima tahun ini, Tebet mengupayakan menanam nilam selain cabai dan bawang yang dia lakukan secara bersamaan. Menurutnya, harga minyak nilam memang terbilang lebih stabil di pasaran sehingga membuatnya lebih yakin untuk mengembangkan tanaman tersebut ketimbang komoditas lain.
Dengan kisaran harga Rp500 ribu-Rp600 ribu per kilogram, minyak nilam mentah jelas lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan cabai atau bawang.
"Harga segitu lumayan bagus lah bagi kami petani, cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Saya bercita-cita menanam nilam di lokasi yang lebih luas, kemudian membeli tanah persawahan. Dari situ, nanti bisa buat rumah dan sekolahkan anak-anak," harapnya.
Harapan Tebet bukan semata angan kosong belaka. Dia bercerita bahwa sebelumnya sang kakak terbukti mampu membangun sebuah rumah sederhana dan membeli perkebunan sendiri berkat bertani nilam. Bagi Tebet, cita-cita terbesar dan termulianya adalah dapat menyekolahkan anak-anak hingga jenjang tertinggi.
"Saya ingin duit dari nilam ini bisa sekolahkan anak saya seperti orang-orang," tegas Tebet yang mengaku tak akan menyurutkan sedikit pun langkah untuk melakukan budidaya tanaman nilam.
Di lain sisi, Tebet mengaku tidak mengetahui secara pasti bahwa minyak nilam mentah yang dia hasilkan dari lahan, ternyata menjadi primadona bagi sejumlah perusahaan parfum ternama dan dimanfaatkan secara global hingga menembus batas benua.
"Saya tidak tahu untuk apa karena selama ini yang saya tahu hanya sebagai minyak biasa. Tetapi tidak tahu digunakan untuk apa," tutupnya seraya tersenyum lebar.
Tebet, Saleh, dan Kasim bisa jadi tidak mengetahui --atau bahkan tidak terlalu mempersoalkan, ke mana perginya minyak nilam yang dihasilkan dari kebun-kebun kecil mereka. Tetapi Tebet, Saleh, Kasim, dan petani-petani di Kabupaten Gayo Lues serta wilayah lain di Provinsi Aceh, hingga kini tetap meyakini dengan keteguhan sepenuh hati bahwa usaha bersahaja semenjak generasi terdahulu itu akan terus samad.
Segudang bekal inovasi hilirisasi, rintis jalan terang nilam atsiri
Ada sebuah sudut yang terbilang cukup sibuk dari waktu ke waktu di sisi barat daya kawasan kompleks Universitas Syah Kuala (USK), Banda Aceh. Menempati tiga bangunan utama nan sederhana dengan halaman terbuka di bagian tengah, Atsiri Research Center (ARC) menaungi sejumlah tenaga dosen, profesor, doktor, dan master dari berbagai macam kepakaran hulu dan hilir ilmu.
"Alat ini disebut Rotary Vacuum Evaporator yang berfungsi memurnikan minyak nilam. Setelah mendapatkan minyak nilam dari warga, kami perlu lakukan purifikasi atau pemurnian nilam sehingga bersih dari residu," buka Adinda Gusti Vonna, M.Si yang memegang amanah sebagai Kepala Sekretariat ARC.
Secara sederhana, perempuan yang akrab disapa Dinda itu menjelaskan bagaimana alat tersebut bekerja. Setelah memasukkan minyak nilam sulingan warga ke dalam tabung berkapasitas maksimal 5 kilogram, dia akan mengelola suhu sekitar 100-140 tekanan untuk menghasilkan fraksi minyak tertentu.
Minyak nilam yang dimanfaatkan untuk parfum, kata Dinda, harus berada pada tingkatan tertinggi atau hi-grade fraksi berat dengan kadar patchouli alcohol (PA) mencapai 65% ke atas. Sedangkan nilam yang diproses menjadi minyak hi-grade fraksi ringan dengan kadar PA belasan sampai 22%, selama ini lazim dimanfaatkan untuk bahan kosmetik seperti sabun, losion, dan produk non-parfum lain.
Dari proses pemurnian sebanyak 1 kilogram minyak nilam, seperempatnya bersifat hi-grade fraksi berat atau 250 miligram. Sisanya sebanyak 750 miligram terbagi atas 600 miligram fraksi ringan dan 100 miligram residu.
Lantas, seperti apa perbedaan fisik minyak nilam fraksi berat dan fraksi ringan?
"Fraksi berat lebih kental dan berwarna pekat kuning keemasan, sedangkan fraksi ringan lebih encer dan berwarna kuning pucat. Sementara residu berwarna hitam dan sangat lengket," jelasnya.
Dinda menerangkan, dari minyak nilam fraksi ringan diketahui ternyata masih terdapat banyak sekali kandungan selain PA, di antaranya antiaging, antibakteri, serta antidepresan untuk aroma terapi.
"Juga ada antifungal, antidandruf untuk ketombe, dan lainnya. Ada sekitar 40 anti dari fraksi ringan ini. Daripada terbuang, maka fraksi ringan inilah yang menjadi produk turunan non-parfum. Jadi, memang khusus untuk parfum harus menggunakan PA dengan hi-grade fraksi berat yang sudah bisa langsung dipakai untuk kulit dan lainnya," terang Dinda.
Inovasi dan sinergi
Adinda Gusti Vonna, M.Si, hanya satu dari puluhan sosok penting yang menceburkan diri di lembaga riset ARC. Tercetus sejak akhir tahun 2016, lembaga tersebut turut memberi warna baru dalam perjalanan industri nilam di Aceh.
"ARC bermula sewaktu Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) mencari tenaga ahli untuk membuat dokumen Sistem Inovasi Daerah (SIDA) berbasis inovasi dari hulu ke hilir. Saat itu, pihak USK turut tergerak untuk ikut membantu memperkuat pangsa pasar minyak nilam produksi masyarakat Aceh yang memang sudah konsisten sejak zaman dahulu," buka a di ruang kerja yang sederhana dan bersahaja.
ARC telah melakukan beberapa intervensi hulu-hilir secara fundamental, seperti pengembangan bibit unggul nilam dan pupuk organik, bio pestisida, budidaya dengan sistem fertigasi (fertilisasi-irigasi), dan permaculture (lahan permanen).
"Seiring waktu, kami melihat ternyata masyarakat nggak perlu inovasi muluk-muluk segala macam karena mereka hanya butuh hari ini ada minyak, hari ini ada uang. Akhirnya, kami menyadari bahwa harus ada pengembangan ke arah bisnis," aku Syaifullah.
Upaya mewujudkan gagasan tak mengenal lelah itu menemui titik terang pada tahun 2019 ketika ARC membentuk Koperasi Inovasi Nilam Aceh (Inovac) sebagai unit usaha yang memperoleh hak untuk mengkomersialisasi semua hasil riset dan purwarupa penelitian.
Koperasi Inovac memulai debut komersialisasi lewat produk parfum “Neelam” dalam kemasan kecil berukuran 30 miligram seharga Rp150 ribu. Selepas itu, menyusul kemudian berbagai produk perawatan tubuh seperti body butter, body serum, hand and body wash, serta produk rumah tangga seperti sabun pencuci piring, hand sanitizer, dan disinfektan.
Semua produk turunan minyak nilam karya anak bangsa itu juga telah memiliki Hak Kekayaan Intelektual dan didaftarkan melalui Kementerian Hukum dan HAM yang mencatat ARC sebagai pemiliknya.
Selanjutnya pada tahun 2021, koperasi juga mendirikan PT Biona Cedah Rupa yang dikelola oleh anak-anak muda berfokus pada empat produk yaitu facial foam, toner, serum antiaging, dan moisturizer.
Soal pemasaran produk pun tak tergolong sulit. Sebagai salah satu unit dari USK, maka Inovac kerap memasarkan produk-produknya ke lingkungan kampus seperti dosen dan mahasiswa.
"Sebagian besar dosen di kampus telah memakai produk sendiri karena semua keuntungan juga kembali ke USK dan tentu membantu Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) bagi mahasiswa," jelas Ketua Koperasi Inovac, apt. Nadia Isnaini, S.Farm., M.Sc.
Pemberdayaan petani
Sejak 2017, ARC membina masyarakat petani di Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Besar, Pidi, Pidi Jaya, Bireun, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Utara, Aceh Timur, Tamiang, sampai Sabang.
Di satu desa, biasanya terdapat 80-200 orang petani yang mendapatkan pelatihan dan tetap mendapatkan pemantauan selepas masa pembinaan. Hingga detik ini, ARC bahkan masih memantau dan membina masyarakat di Kabupaten Aceh Jaya yang kali pertama mendapatkan pelatihan pengembangan pertanian tahun 2016.
"Selama masyarakat berminat untuk berkembang, maka kami pasti mendukung. Jangan sampai produk daerah hanya muncul saat pameran. Artinya tidak menjadi bisnis atau driving force economy untuk lokal. Perlu juga ada pendampingan konsisten dari perbankan agar ada pembiayaan," imbuhnya.
Pengembangan produk turunan melalui pelatihan secara berkelanjutan telah menciptakan berbagai usaha kecil yang secara progresif terus berkembang hingga ke pasar nasional, bahkan mulai merambah ke skala global. Beberapa kelompok tani dan UMKM produk turunan nilam telah mendapatkan pembiayaan dari bank yang mengindikasikan iklim bisnis semakin tumbuh positif.
Selain itu hadirnya anak-anak muda dengan daya kreatif mereka saat ini, lanjutnya, bisa memberikan peran dalam mengembangkan potensi bisnis parfum, kosmetika, dan perawatan tubuh berbasis minyak nilam berbekal alih pengetahuan hasil penelitian lembaga riset Tanah Air seperti ARC.
"Kami percaya diri karena ada 57 profesor doktor yang menjadi investasi sangat besar oleh negara dan bisa didedikasikan untuk pembangunan masyarakat. Jadi, kita bisa ciptakan produk parfum berkualitas, walau katakanlah tidak sebaik Prancis karena mereka sudah mulai ratusan tahun lalu. Tetapi kita tetap bisa buat yang baik, apalagi kalau mesin-mesin modern tersedia," ulas Syaifullah penuh keyakinan.
Petani nilam
Menyanggam kekuatan alam, merentang asa ke masa depan
Seorang lelaki tegap berjalan menuruni anak tangga satu demi satu dengan langkah-langkah cepat dan pasti, tanpa harus merasa khawatir bahwa salah satu kakinya bisa saja terantuk bilah-bilah besi atau tak menapak dengan sempurna. Meski telah memasuki usia akhir 50-an, gaya berjalan cepat tanpa menyisakan sedikit pun keraguan seolah menjadi kebiasaan lelaki itu selama bertahun-tahun untuk serba gesit dalam menepekuri apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Suatu hal yang lumrah bila lelaki tersebut terbiasa melakukan segala sesuatu dengan kesigapan efektif nan luar biasa. Lawan main hidupnya adalah semua hal yang berkaitan dengan kekuatan alam: mengenai aliran air, tinggi permukaan air, dan jumlah debit air per detik. Bila hal-hal tersebut dapat dikuasai dengan sempurna, maka dia sah menjadi seorang pembawa maslahat bagi masyarakat.
Selama puluhan tahun menikmati kemaslahatan berupa energi listrik yang menerangi perkampungan, warga Gampong Rerebe Kabupaten Gayo Lues, Aceh, mengenal Saidi Mustafa sebagai sosok yang paling bertanggung jawab memastikan seluruh hal yang bersinggungan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) berjalan dengan semestinya.
"Pembangkit ini bantuan dari Pemerintah Jepang konstruksi tahun 1997. Sebelumnya, pembangkit ini hanya dimanfaatkan untuk penerangan rumah penduduk karena kebetulan di wilayah sini ada kawasan transmigrasi," buka Saidi sambil melemparkan kembali ingatan ke masa lalu.
Kala itu, penggunaan listrik yang dihasilkan dari pembangkit mikro hidro memang diprioritaskan untuk permukiman transmigran di wilayah tersebut. Proyek PLTMH Gampong Rerebe diresmikan oleh Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah saat itu yakni Adi Sasono pada 12 April 1999. Proyek eletrifikasi untuk perdesaan tersebut merupakan bentuk kerja sama Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Jepang lewat skema bantuan luar negeri Official Development Assistance(ODA) yang disalurkan oleh JICA (Japan International Coorporation Agency).
Menurut Saidi, selama 26 tahun beroperasi, pembangkit listrik tersebut baru sekali mengalami pembongkaran besar yang langsung ditangani oleh operator dari Jepang. Proyek tersebut memang masih mendapatkan garansi perbaikan dan perawatan selama 10 tahun terhitung sejak serah terima pada tahun 1999.
Pembangkit listrik bertenaga air di Gampong Rerebe menghasilkan listrik sebesar 250 kWh yang didistribusikan untuk 10 desa dengan pelanggan sebanyak 1035 meteran listrik.
"Pengelolaan pembangkit diserahkan kepada masyarakat secara swadaya. Setiap kerusakan bisa kami tangani sendiri, misalnya pipa yang putus, kebocoran, atau jebolnya elemen yang sangat sensitif kalau debit air berkurang. Setiap saat, kami harus menjaga level air sungai," papar lelaki kelahiran Buntul Musara, 25 Desember 1964 itu.
Penyulingan modern
Selama 17 tahun mengabdi, Saidi berhasil menjaga dan mengelola pembangkit listrik Gampong Rerebe dengan penuh ketekunan. Semangat Saidi untuk mengelola pembangkit listrik berbasis tenaga air semakin membuncah ketika datang bantuan dari pihak United States Agency for International Development (USAID)-Indonesia Forest & Climate Support Project (IFACS) dalam bentuk alat penyulingan yang memanfaatkan tenaga PLTMH.
Program bertajuk "Sustainable Alternative Development of The Patchouli Oil Industry in Gayo Lues" tersebut berjalan sejak tahun 2012 yang mendapatkan dukungan dari pihak Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh dan Kabupaten Gayo Lues, serta Dinas Perindustrian dan Koperasi tingkat Provinsi Aceh dan Kabupaten Gayo Lues.
Berkat bantuan tersebut, Saidi dan warga Gampong Rerebe memiliki alternatif baru nan modern untuk melakukan proses penyulingan tanaman nilam dan sereh wangi dengan menyanggam tenaga alam yang disalurkan lewat pembangkit listrik. Sebelumnya, mereka hanya menerapkan satu cara tradisional untuk memproduksi minyak mentah yakni mengukus daun dengan menguapkan ketel drum.
Salah satu keunggulan mesin penyulingan berbasis tenaga listrik adalah efisiensi tenaga dan waktu. Mekanisme kerja mesin yang tergolong tidak rumit, dapat dikatakan bahwa proses penyulingan minyak sesederhana menekan tombol "on". Setelah itu, kata Saidi, semuanya akan berjalan sesuai pengaturan tanpa harus merasa khawatir ketel uap kehabisan daya untuk proses penyulingan berkat adanya asupan tenaga listrik yang konsisten.
"Begitu mesin bekerja, kami bisa melakukan aktivitas lain. Sedangkan penyulingan cara manual, ketika sumber api mati, maka proses penguapan di ketel berhenti, sehingga harus selalu dipantau. Dengan ketel listrik, penggunaan tenaga kerja berkurang hingga 50 persen," imbuh lelaki yang memiliki pengetahuan di bidang dinamo, kelistrikan, dan jaringan itu.
Tenaga kerja yang diperlukan untuk menjalankan proses penyulingan dengan mesin listrik pun paling banyak hanya dua orang. Pembuangan limbah penyulingan yang menggunakan sistem engsel dan bukan katrol juga tak memerlukan banyak tenaga manusia. Efisiensi kerja menjadi nilai utama dari mesin penyulingan bertenaga listrik tersebut.
"Untuk kelistrikan, kami pakai skema 20x3 yaitu 60 ampere. Sebanyak 80% tenaga mesin ini menggunakan listrik, sisanya pakai bahan bakar kayu dan tempurung kemiri hanya sebagai pendorong tenaga terakhir. Ketika proses menekan minyak memang membutuhkan lebih banyak dorongan," terangnya.
Berbekal dua tabung distilasi anti-karat masing-masing berkapasitas maksimal 100 kilogram, Saidi menerangkan bahwa butuh waktu selama 4 jam untuk memanaskan tabung atau ketel hingga mendapatkan kondisi air yang benar-benar mendidih. Sedangkan proses penyulingan rata-rata 2 kilogram daun nilam biasanya memakan waktu satu hari satu malam.
Meski terdapat dua tabung distilasi, namun menurut Saidi proses penyulingan tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Satu tabung atau ketel tersebut dapat menghasilkan rata-rata 1 kilogram 2 ons rendemen minyak yang sangat bergantung pada kualitas daun nilam.
Selama dua puluh hari kerja, Saidi bisa mendapatkan 40 kilogram minyak dengan skema biaya ongkos produksi sebesar 20% dari setiap 1 kilogram minyak yang dihasilkan. Bila berlangsung secara berkelanjutan, maka proses penyulingan bisa dilakukan hingga sebanyak 10 kali.
"Dari hasil produksi, kami dapat 2 ons, sisa 8 ons untuk pemilik barang. Dalam sekali produksi 1 ons harganya Rp60 ribu. Jadi, kalau 4 ons, ongkosnya Rp240 ribu. Biaya kayu, tempurung kemiri, serta tenaga kerja, mencapai 60% dari total. Sisa 40% bersih untuk kami sebagai pengelola," terangnya.
Selain nilam, Saidi juga biasa menggunakan mesin untuk menyuling tanaman sereh wangi. Ia bahkan berencana menyuling gaharu yang membutuhkan waktu mengukus selama 36 jam. Produksi minyak gaharu pada masa mendatang, kata Saidi, merupakan pangsa pasar yang dahsyat karena nilai jual di pasaran yang amat tinggi.
"Kami sedang berupaya lakukan inokulasi (induksi jamur pembentuk gaharu pada pohon) beberapa ratus batang gaharu hingga usia 1 tahun bisa digiling, dijadikan serbuk, lalu masuk penyulingan. Kalau jadi minyak, nilainya mengerikan sekali. Dari satu ketel saja bisa menghasilkan 1 ons minyak, sedangkan harganya Rp180 juta per kilogram. Artinya, satu ons bisa Rp18 juta," bayang Saidi dengan mata berbinar.
Menguar semerbak wangi nilam dari dataran tinggi Gayo Lues
Seraya menyesap secangkir kopi di hadapannya, pria yang akrab disapa Sidi itu menuturkan awal kisah terbentuknya koperasi yang memang tak dapat dilepaskan dari komoditas utama pertanian warga setempat yaitu minyak nilam mentah.
Tak main-main, potensi minyak nilam mentah berkualitas tinggi yang dihasilkan dari kebun-kebun masyarakat di Kabupaten Gayo Lues, termasuk dari Kecamatan Tripe Jaya Gampong Rerebe, sudah mulai diekspor sejak awal pandemi lalu ke Prancis, Eropa.
Koperasi Elixir De Gayo yang berada di bawah naungan PT U-Green Aromatics International menyepakati kontrak kerja sama pengiriman minyak nilam mentah pada tahun 2021 hingga 2022 sebanyak minimal 1 ton per bulan yang kemudian diperpanjang hingga tahun 2025.
Terbentuknya koperasi yang kini beranggotakan sebanyak 270 orang petani di Kabupaten Gayo Lues tersebut memang amat membantu tumbuhnya iklim persaingan sehat usaha karena meminimalisasi permainan harga atau monopoli yang lazim muncul di pasaran.
"Sebelumnya, harga minyak nilam tidak stabil karena perbedaan harga agen-agen di Aceh dan Medan," jelas Sidi. Dirinya lantas melanjutkan, "Terkadang jelang bulan Ramadan, stok minyak yang ada di sini terlalu banyak sehingga harga menjadi turun sampai ke angka Rp350 ribu - Rp400 ribu per kilogram. Tetapi kami tetap membeli dari anggota dengan harga terendah sebesar Rp500 ribu agar mereka tidak merugi".
Salah satu keunggulan dari sistem keanggotaan koperasi adalah petani berhak untuk menuntut apabila harga pembelian minyak nilam mentah yang ditawarkan kepada mereka berada di bawah kisaran harga standar yaitu Rp500 ribu.
Kualitas Terbaik
Mursidi menjelaskan tahapan demi tahapan bagaimana daun nilam yang tumbuh dan dipanen di ladang-ladang warga mewujud menjadi minyak melalui proses distilasi, melewati rangkaian transaksi jual beli di koperasi, ditampung ke dalam berbagai wadah, hingga akhirnya bertualang membelah lautan menuju benua biru Eropa.
Sebagian besar masyarakat petani di Kabupaten Gayo Lues menerapkan pola menanam nilam dengan jarak 80 sentimeter antarpohon dengan hasil yang terbilang bagus. Tetapi karena keterbatasan lahan, ada pula petani yang menerapkan jarak antarpohon yang lebih rapat, sekitar 50 sentimeter.
Dari hamparan lahan sebesar 25x25 meter persegi, biasanya petani mampu menghasilkan sebanyak 5 hingga 6 kilogram minyak nilam mentah. Jangka waktu untuk menanam nilam paling cepat sekitar 6 bulan sebelum tiba masa panen.
Setelah memanen dan melakukan penyulingan yang kerap dilakukan secara tradisional dengan menggunakan ketel drum sederhana berbahan bakar kayu, para petani kemudian membawa minyak yang ditempatkan dalam jeriken atau botol untuk dijual ke koperasi.
Koperasi Elixir De Gayo Lues menerapkan sejumlah metode untuk menakar kualitas minyak nilam mentah hasil penyulingan yang dilakukan para petani. Setelah mengukur bobot minyak, pihak koperasi biasanya mencermati warna dan aroma minyak.
"Minyak nilam mentah yang bagus akan memiliki aroma sangat menyengat. Dari segi warna, minyak yang baik berwarna merah agak kehitaman. Kemudian, kami menggunakan meterlak untuk mengetahui kadar kandungan minyak," jelasnya.
Meterlak atau alkoholmeter adalah perangkat tabung hydrometer yang secara spesifik kerap digunakan untuk mengukur konsentrasi alkohol (etanol) dalam air. Perangkat tersebut menguji campuran minyak nilam mentah dengan alkohol berkadar 99%. Setelah kedua material tersebut bercampur, maka Sidi akan melakukan perkiraan sederhana lewat hitungan 10 denyut nadi tangan.
"Bila buih campuran tersebut segera menghilang dan cairan tetap bening, maka berarti minyak nilam berkualitas baik. Reaksi dari proses tadi akan memicu warna putih seperti susu untuk minyak yang kurang baik," katanya. "Kalau dalam proses muncul hal seperti itu, maka kami meminta maaf kepada petani karena minyak tersebut tidak dapat kami beli dan sesuai standar untuk pengiriman ke Prancis".
Begitu proses pengecekan kualitas minyak selesai, barulah pihak koperasi menampung minyak nilam menggunakan penyaring agar air tidak ikut terbawa masuk ke dalam drum dengan berat bersih 205,6 kilogram. Semua proses itu berlangsung singkat, hanya sekitar 15 menit setiap 1 petani dengan transaksi langsung secara tunai.
Biasanya, satu jeriken yang dibawa petani memiliki kapasitas sebesar 5 kilogram minyak nilam mentah. Bila petani menjual dua jeriken dengan harga jual Rp600 ribu per kilogram, maka mereka mendapatkan sekitar Rp6 juta dalam satu kali transaksi penjualan minyak nilam mentah.
Usai dipindahkan ke dalam drum-drum berkapasitas bersih 205,6 kilogram, minyak nilam mentah kembali ditimbang dan ditempatkan ulang ke dalam sebuah wadah penampungan yang dapat menampung total sebanyak 1 ton minyak. Minyak tersebut kemudian diendapkan selama dua hingga tiga hari.
"Kami campurkan garam kuat sebanyak 7 kilogram untuk memisahkan air dari minyak. Dari proses itu, kami pindahkan kembali minyak ke dalam drum yang benar-benar baru, tidak boleh bekas pakai," tegas Sidi.
Deretan drum berisi minyak nilam mentah itu lalu disegel sesuai dengan prosedur pengiriman ekspor kemudian diangkut menggunakan kendaraan berjenis flat deck menuju ke Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Perjalanan dari Kabupaten Gayo Lues ke Pelabuhan Belawan membutuhkan waktu sekitar satu malam.