Sekilas tidak ada yang berbeda dari Tol Trans-Sumatera ruas Pekanbaru-Dumai, jalan beraspal dengan elevasi beberapa meter dari tanah di beberapa bagiannya.
Namun, tepat di bawah jalan yang dilintasi mobil dengan kencang terdapat terowongan yang
diperuntukkan bagi mamalia terbesar di Nusantara, gajah.
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) adalah salah satu dari tiga subspesies gajah Asia dan endemik di Pulau Sumatera.
Hewan itu sendiri masuk dalam kategori terancam punah menurut daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Bertambahnya populasi manusia dan ekspansi perkebunan sawit yang mengkonversi hutan menjadi salah satu faktor penurunan populasi gajah.
Berdasarkan estimasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tersisa 200 hinga 300 individu gajah di Riau, sementara Rimba Satwa Foundation (RSF) memperkirakaan sekitar 300 sampai 350 individu tersebar di tujuh kantong gajah di seluruh Bumi Lancang Kuning.
Ekspansi pembangunan di wilayah jelajah gajah juga menilmbulkan persoalan baru dalam upaya konservasi, yaitu populasi gajah menjadi terfragmentasi atau terpisah karena jalurnya sudah menjadi hutan tanaman atau malah sudah beralih fungsi berubah bentuk jadi pemukiman dan jalan raya.
Terpecah menjadi beberapa kelompok gajah yang lebih kecil, menimbulkan potensi perkawinan sedarah yang akan menjadi masalah di masa depan.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah kemudian mencari solusi dengan memastikan pembangunan tol baru --yang berfungsi mempercepat laju transportasi Pekanbaru menuju Dumai pada 2017-- untuk mempertimbangkan semua aspek, termasuk konservasi.
Executive Vice President Perencanaan Jalan Tol PT Hutama Karya (Persero) Iwan Hermawan mengatakan dalam proses pembangunan ruas tersebut, pihaknya mendapatkan masukan bahwa terdapat sekitar tiga atau empat kantong gajah yang berada di wilayah itu, yang jalur migrasinya dapat terputus ketika tol berdiri.
Bertemu dengan pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau bersama para penggiat konservasi, munculah ide untuk membuat terowongan gajah demi memastikan tidak terputusnya jalur jelajah mereka.
Konsep terowongan untuk hewan liar sendiri sudah banyak ditemukan di beberapa negara, yaitu membangun struktur yang memastikan satwa dapat menyeberang dan tidak melewati jalur yang digunakan oleh kendaraan.
Berkonsultasi dengan BBKSDA Riau, mereka kemudian menentukan lima titik perlintasan gajah di Tol Pekanbaru-Dumai, yang juga dikenal dengan singkatan Tol Permai.
Terowongan gajah ditentukan berada di KM 61, KM 69, KM 71, KM 73 dan KM 74, ditambah dengan terowongan khusus di KM 12 yang berada tepat di samping wilayah Pusat Koservasi Gajah (PKG) Minas.
Terowongan tersebut dipastikan berada di sekitar kantung gajah dan ukurannya disesuaikan dengan gajah yang akan melintas dengan bentang sekitar 40 meter. Dilengkapi pula dengan tanaman pakan disediakan di sepanjang jalurnya.
FOTO (Terowongan gajah)
Keberadaan tanaman pakan itu diharapkan dapat mendorong gajah yang ingin melintas ke dua kantong gajah di dekat Tol Permai, kantong Giam Siak Kecil dan Balai Raja.
Iwan menekankan bahwa pembangunan terowongan gajah tersebut diharapkan mewujudkan giat pembangunan yang seirama dengan keberlanjutan lingkungan. Sebuah sinergi antara upaya konservasi dan memastikan pembangunan dapat berjalan.
Kepala Balai BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan sendiri menyampaikan bahwa dalam proses pembangunan pihaknya langsung dilibatkan dalam perencanaan terowongan gajah.
KLHK lewat BBKSDA Riau kemudian memberikan masukan terkait jumlah terowongan dan titik-titik yang menjadi keberadaannya, untuk memastikan gajah liar dapat menyeberangi kawasan tersebut.
Apalagi mengingat posisi Tol Permai tepat berada di samping Suaka Margasatwa Balai Raja.
Salah satu yang BBKSDA Riau tekankan dalam pembangunan itu adalah pentingnya menyesuaikan terowongan dengan besaran gajah.
Mengingat gajah terbiasa melintas dalam kawanan, pengayaan pakan juga menjadi salah satu perhatian dalam pembangunan jalan tol Permai terutama di jalur menuju lintasan terowongan, demi mendorong gajah liar memanfaatkan jalur tersebut.
Hasilnya cukup memuaskan, kata Genman, yang juga menyebutkan bahwa aliran perlintasan gajah tetap terjadi untuk menyeberangi dua kantong gajah tersebut.
Terowongan gajah itu, menurut dia, menjadi suatu terobosan sangat baik dalam hal pembangunan infrastruktur yang sudah mengantisipasi dampaknya terhadap keberadaan satwa liar.
Berbagi ruang menjadi kunci bahwa manusia dan satwa dapat hidup berdampingan dengan harmonis dalam suatu wilayah.
Dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan pengaturan yang baik maka interaksi negatif antara satwa dan manusia dapat ditekan, tidak hanya untuk Tol Permai tetapi juga untuk aktivitas masyarakat sekitar.
Konservasi gajah
Upaya konservasi gajah menjadi salah satu perhatian utama dunia, tidak hanya pemerintah Indonesia. Karena jumlah satwa itu yang mengalami penurunan drastis dalam beberapa dekade terakhir.
Perburuan gading, kehilangan habitat dan fragmentasi wilayah jelajah menjadi beberapa ancaman terhadap satwa herbivora tersebut.
Termasuk di Pulau Sumatera secara keseluruhan, dengan organisasi nirlaba RSF mengestimasi terjadi penurunan 69 persen populasi gajah dalam dua puluh tahun terakhir dan menyisakan sekitar 1.200 ekor di seluruh pulau itu.
Pendiri RSF Zulhusni Syukri mengatakan salah satu kunci untuk memastikan gajah akan tetap dapat ditemukan di alam liar di masa depan adalah sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya konservasi.
Ketika masyarakat mengenal dan merasa gajah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sebuah wilayah, maka diharapkan dapat menekan interaksi negatif gajah dengan manusia.
Menurut data RSF, dalam periode 2021-2023 terdapat 178 interaksi negatif antara gajah dan manusia, dengan 156 di antaranya ditangani dengan baik.
Zulhusni mengatakan gajah sebetulnya cenderung menghindari manusia, tetapi karena saat ini lintasan gajah didominasi oleh aktivitas manusia maka interaksi tidak dapat dihindarkan.
Menanggapi hal tersebut, maka kesadaran untuk berbagi ruang sangatlah penting dengan menyadari bahwa manusia menjadi "pendatang" di wilayah gajah dan tujuan ke depannya untuk memastikan kedua pihak dapat bertahan hidup berdampingan.
Salah satu sosialisasi dilakukan dengan mendirikan Kelompok Masyarakat Peduli Gajah (KMPG) sebagai wadah komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah melalui BBKSDA Riau dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi satwa termasuk RSF.
Kelompok itu menjadi tempat berbagi informasi mengenai pergerakan gajah liar dan cara-cara menggiring gajah tanpa melukai gajah maupun manusia. Dengan demikian, timbul kolaborasi untuk menekan interaksi negatif.
"Pemerintah dengan masyarakat perlu melakukan kolaborasi dan perhatian juga perlu diberikan ketika terjadi konflik. Kebijakan baru yang dibuat pemerintah harus memikirkan dampak lingkungan termasuk terhadap gajah," katanya.
Terowongan gajah dipandang sebagai salah satu cara adaptasi menyikapi kenyataan pembangunan akan terus berjalan, yang memang perlu diseimbangkan dengan upaya konservasi konsisten.
Keberadaaan terowongan gajah Tol Permai akan memastikan koneksi antar kantong gajah tidak terputus, terbukti ketika gajah liar beberapa kali melintas sejak peresmian tol pada 2020.
Ruang untuk perbaikan masih dapat dilakukan terutama dalam bentuk perawatan tanaman pakan di sekitar titik-titik terowongan gajah, untuk memastikan terowongan itu tetap berjalan sesuai fungsinya sebagai jalur alternatif gajah liar.
Dengan demikian terowongan gajah di Tol Permai membuktikan bahwa gema pembangunan yang bergaung di seluruh negeri dapat bersinergi dengan upaya berbagai pihak menjaga keutuhan keanekaragaman hayati Indonesia.
Tol Pekanbaru-Dumai (Permai) menjadi istimewa karena mempunyai terowongan underpass perlintasan gajah pertama di Indonesia. Tol Permai sepanjang 131,5 km ini pun telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (25/9/2020).
Jalan tol Pekanbaru-Dumai ini menjadi istimewa karena selain diperuntukkan bagi kendaraan roda empat, disediakan pula lima perlintasan Underpass Perlintasan Gajah (UPG) di sepanjang Tol Perkanbaru-Dumai.
Jalan tol ini memang melewati habitat gajah di Kabupaten Bengkalis. Underpass disiapkan agar jalur jelajah gajah tidak terputus, dengan demikian biodiversity Sumatra akan terpelihara. Untuk merancang jalur perlintasan gajah melalui underpass tersebut, Hutama Karya berkoordinasi dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.
Adapun underpass perlintasan gajah di tol Pekanbaru-Dumai ini, keseluruhannya berada di seksi 4 yaitu Kandis Utara - Duri Selatan dekat dengan Suaka Margasatwa Balai Raja.
Lalu, untuk di seksi 2 yaitu Minas-Kandis Selatan terdapat pula Jembatan Sungai Tekuana yang kerapkali disinggahi oleh 13 gajah Sumatera karena lokasinya yang tidak jauh dari Pusat Konservasi Gajah Minas di Kabupaten Siak.
Berkulit gelap dengan tinggi hampir dua meter, "Datuk Godang" bernama Togar berjalan mantap dengan keempat kakinya, menyeberang sungai dan membelah hutan.
Belalai panjangnya sesekali terangkat ke atas menyentuh dedaunan di pohon yang menjadi kanopi hutan dekat Pusat Koservasi Gajah (PKG) Minas di Riau.
Memimpin barisan terdiri dari tiga gajah, derap Togar tetap stabil meski ada bekas luka terlihat di kaki kirinya. Sesekali belalainya terlihat mengambil rerumputan di jalur yang dilaluinya di kawasan yang termasuk dalam Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim itu.
Sang Datuk Godang, nama panggilan gajah oleh salah satu masyarakat asli Riau termasuk di wilayah Kabupaten Siak lokasi PKG Minas, adalah salah satu korban interaksi negatif manusia dan gajah ketika dia terkena jerat yang membuat kakinya hampir putus.
Mahout atau pawang gajah yang merawat Togar, Syahron, mengatakan dia ditemukan beberapa tahun lalu dalam keadaan luka parah dan butuh berbulan-bulan sebelum akhirnya dapat berjalan kembali seperti saat ini, membelah hutan dan bermain di sugai.
Kehadiran Togar memiliki arti khusus bagi Syahron yang kerap memanggilnya "nak". Salah satunya karena tidak lama setelah anak bungsu Syahron lahir, Togar ditemukan dalam keadaan luka parah.
Si gajah kecil itu ditemukan pada 2019 di kawasan hutan tanaman industri di Kabupaten Siak. Jerat babi buatan manusia menembus daging Togar, melukai sendinya sebelum akhirnya gajah itu dibawa ke PKG Minas untuk dirawat.
Layaknya anak-anak, Togar yang tidak dapat kembali ke alam liar karena sudah terkena sentuhan manusia dan tidak memiliki kawanan untuk melindunginya, memiliki sifat iseng yang senang mengganggu gajah yang lebih tua.
Togar adalah salah satu dari 15 gajah yang berada di PKG Minas dan juga yang paling muda dengan usia sekitar 6 tahun. Sementara yang tertua bernama Sengarun yang sudah berusia 59 tahun.
Gajah sumatera, yang memiliki nama ilmiah Elephas maximus sumatranus, bisa dikatakan merupakan salah satu "penduduk asli" di wilayah tersebut.
Namun, keberadaannya semakin terjepit karena habitat yang semakin sempit akibat pesatnya perkembangan perkebunan sawit dan pertambahan populasi, ditambah dengan ancaman pemburu yang mengincar gading gajah.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023, jumlah gajah sumatera di habitat aslinya di Riau diperkirakan tersisa 200 hingga 300 ekor.
Sementara data Rimba Satwa Foundation (RSF) memperkirakan tersisa 300-350 ekor gajah yang tersebar di tujuh kantong di seluruh Riau.
Upaya konservasi terus dilakukan, termasuk pelindungan gajah di alam liar dan penguatan kapasitas penegakan hukum, penanggulangan konflik dengan manusia dan promosi praktik hidup berdampingan, serta penyelamatan populasi gajah.
"Program yang kita lakukah salah satunya mengingat populasi gajah sumatera sudah terancam punah, yang kita lakukan di sini ada namanya breeding program, yaitu pengembangan biakan. Kemudian dari sektor memperkaya pakan, kita juga melakukan beberapa kegiatan, seperti penanaman, harapan kita ke depan bisa mencukupi," jelas Pengendali Ekosistem Hutan di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Muktiali Harahap, ketika ditemui di PKG Minas.
Selain upaya meningkatkan populasi gajah, BBKSDA Riau yang beroperasi di bawah KLHK juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mencegah interaksi negatif antara manusia dengan mamalia terbesar di Indonesia itu.
Bersama dengan warga sekitar, telah dibentuk Kelompok Masyarakat Peduli Gajah (KMPG) untuk menjadi wadah komunikasi antara masyarakat dengan penggiat konservasi baik dari pemerintah melalui PKG Minas serta BBKSDA Riau dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi satwa termasuk RSF.
Muktiali mengatakan dilakukan pula penanganan dini untuk mencegah konflik.
Memperhatikan pola pergerakan gajah liar, mereka membuat blokade, api unggun dan menggunakan bunyi. Namun, ketika upaya-upaya itu tidak membuahkan hasil, gajah patroli yang berada di PKG Minas akan dikerahkan untuk menggiring pergerakan gajah liar.
Di sekitar PKG Minas sendiri terdapat satu kantong gajah liar, dengan 10 ekor gajah teridentifikasi dalam kawanannya.
Untuk memastikan pergerakan maka pihaknya sudah memasangkan GPS collar atau kalung GPS kepada pemimpinan kawanan gajah tersebut.
Selain itu, penanaman pakan gajah di wilayah jelajahnya untuk memperlambat pergerakan dan menghindari konflik dilakukan karena selama ini banyak daerah jelajah gajah liar yang sudah terkonversi menjadi perkebunan sawit, tetapi tidak menyediakan tempat untuk gajah bergerak dan mencari makan.
Sosialisasi dan edukasi juga dilakukan dengan cara yang unik, seperti ketika tiga gajah dari PKG Minas bernama Indah, Vera dan Baskin menjadi petugas upacara peringatan HUT RI ke-78 pada tahun lalu.
Bersama mahout masing-masing, ketiga gajah itu berbaris rapi membawa Sang Merah Putih dan menjadi pengerek bendera.
Berbagai upaya pencegahan dan sosialisasi itu dilakukan karena interaksi negatif berbahaya tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk gajah, seperti yang dialami Togar.
Selanjutnya, upaya menambah ketersedian pangan untuk gajah juga perlu diperluas karena keberadaan ketersediaan pakan mumpuni dapat menekan tingkat konflik antara manusia dan gajah sekitar 15-20 kali per tahun.
Kehidupan yang harmonis membutuhkan pengertian semua pihak.
Dalam kasus ini, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat desa diperlukan agar mereka dapat hidup berdampingan dengan para gajah dengan memahami kebiasaan dan kebutuhannya, karena sebelum masyarakat tiba di sana, wilayah itu merupakan rumah bagi gajah.
Dalam arti, manusia dapat dikatakan sebagai "pendatang" di tempat para gajah, kata Muktiali.
Pendekatan budaya
Tidak hanya dari pemerintah, komunitas masyarakat juga bergerak untuk memastikan keberlanjutan populasi gajah terutama di wilayah Riau, termasuk dengan menggunakan pendekatan budaya.
Git Fernando, Manajer Elephant Monitoring Team di RSF, menyampaikan bahwa sosialisasi memperkenalkan gajah sebagai bagian tidak terpisahkan dari budaya masyarakat Riau terus dilakukan.
Dasar untuk kegiatan itu sudah ada karena masyarakat asli Riau mengenal gajah sebagai Datuk Godang atau datuk besar. Git menyampaikan panggilan datuk di masyarakat Riau diberikan kepada orang yang dituakan dan dihargai.
Dengan pendekatan bahwa gajah memiliki panggilan datuk di dalam budaya Riau maka masyarakat akan lebih memberikan penghormatan dan menganggapnya sebagai bagian tidak terpisahkan dari budaya mereka.
Menekan rasa permusuhan dan mengembalikan gajah sebagai bagian dari masyarakat akan membangun rasa kepemilikan masyarakat, dan pada akhirnya akan mendorong keinginan untuk menjaga satwa yang terancam punah itu.
Pendekatan budaya itu diperlukan karena sosialisasi kepada masyarakat lewat pendekatan hukum tidak akan terlalu efektif. Karena itu akan melawan kebutuhan ekonomi, ujar Git.
Terlebih pendekatan budaya, yang memperkenalkan gajah sebagai datuk yang dihargai oleh orang-orang tua sejak zaman dulu, akan lebih memberikan dampak kepada pola pikir warga.
Git mengaku pihaknya sejak 2021 terus melakukan pendekatan budaya tersebut, dengan sosialisasi menyasar ke masyarakat terdampak yang dipetakan berada di 34 desa di wilayah tersebut.
Hal itu perlu dilakukan karena survei persepsi yang diadakan oleh RSF beberap tahun sebelumnya memperlihatkan warga desa menganggap gajah sebagai hama pengganggu keberlangsungan perkebunan.
Untuk itu, berbagai kegiatan sosialisasi tersebut pada akhirnya bertujuan untuk mencapai harmonisasi manusia dan gajah, karena saat manusia menyadari perlunya berbagi ruang maka akan mendukung pelestarian gajah.
Upaya-upaya itu pun mulai membuahkan hasil, yang salah satunya terlihat dalam momentum kelahiran 8 ekor gajah yang terjadi dalam tiga tahun terakhir di Riau.
Git menyebut kebahagiaan para penggiat konservasi tidak hanya karena adanya kelahiran baru gajah liar, tapi juga laporan masyarakat desa yang menyebut mereka sebagai "gajah kita".
Hal itu memperlihatkan adanya pergeseran sudut pandang warga yang melihat gajah sebagai harta bersama yang perlu dijaga.
Rasa kepemilikan dan penghormatan kepada gajah tersebut harus terus dipupuk, untuk memastikan generasi baru di masa depan dapat terus melihat Datuk Godang berjalan menyusuri hutan dan bermain di sungai di Bumi Lancang Kuning.
Data Forum Konservasi Gajah Indonesia menyebutkan, populasi gajah Sumatera (elephas maximus sumatranus) mengalami penurunan drastis dalam kurun 20-30 tahun terakhir hingga mencapai 70 persen yang diperkirakan menyisakan sekitar 1.970 ekor pada 2013 karena ancaman kehilangan habitat hutan, konflik dengan manusia serta perburuan liar.
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi dimana konflik gajah dengan manusia di Sumatera cukup tinggi. Ledakan populasi manusia dan kebijakan pemerintah yang mengatasnamakan pembangunan juga turut serta membuat hutan sebagai habitat gajah Sumatera makin berkurang lebih cepat dan yang paling mengerikan masih ada sebagian orang yang menyebut gajah itu sebagai hama.
Pusat Konservasi Gajah (PKG) Minas, Kabupaten Siak, Riau, menjadi suaka kecil untuk kelangsungan gajah Sumatera yang hampir punah ini. PKG Riau adalah sebuah unit di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, yang merupakan badan di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
PKG Riau yang berada di kawasan Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim II ini sekarang merawat 16 ekor gajah Sumatera yang ada di tempat itu, 11 di antaranya merupakan gajah jantan.
Sebagian gajah di PKG awalnya merupakan gajah liar yang diselamatkan. gajah-gajah tersebut setiap hari dipantau kesehatannya oleh sekitar 30 mahout (pawang) dan tenaga medis, bahkan rutin tiap tiga bulan diberi obat.Gajah-gajah tersebut kini jinak, bahkan ada yang pandai beratraksi dan akrab dengan manusia. Kelompok gajah tersebut juga kerap diterjunkan ke lapangan ketika terjadi konflik manusia dengan gajah liar.