Seba Badui

Kamis, 18 Juli 2024 14:28 WIB

Kasih murni warga Badui kepada negeri

  • Bagus Ahmad Rizaldi

Gemercik gerimis ringan menyelimuti suasana malam di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, yang menjadi tanah adat bagi masyarakat Badui. Malam itu, masyarakat adat tersebut baru saja melewati masa ritual yang disebut Kawalu dan Ngalaksa selama tiga bulan sesuai kalender adat mereka.

Dalam suasana gelap malam tanpa aliran listrik, aktivitas masyarakat Badui tetap menyala di rumah-rumah panggung tradisional yang dibangun dari bambu dan kayu, dan atap yang terbuat dari dedaunan pohon sagu. Salah satunya rumah Rasudin yang berada di Kampung Kaduketug, yang berada di wilayah Badui Luar.

Rasudin yang merupakan salah satu tetua di kampung tersebut, sedang menerima tamu yang merupakan rekan lamanya dari Kota Serang, Banten. Selain menyambung tali silaturahmi, Rasudin menerima kedatangan rekannya itu sekaligus meminta bantuan untuk pembuatan desain spanduk secara digital untuk kelompok musik angklungnya.

Pria kelahiran tahun 1977 itu memang sudah didaulat oleh masyarakat setempat sejak tahun 2007, untuk berperan sebagai penanggung jawab tradisi musik angklung yang disebut Angklung Buhun.

Rekannya dari Serang itu pun membawa laptop demi membantu membuat desain untuk Rasudin. Sebagaimana diketahui, masyarakat Badui Luar pun masih tabu dan belum luwes untuk menggunakan peralatan teknologi karena batasan larangan adat. Walau demikian, Rasudin pun sudah memiliki ponsel pribadi yang digunakan seperlunya.

Bukan logo angklung maupun logo lain terkait Suku Badui yang dia inginkan ada di desain spanduknya itu. Dari beberapa desain yang disodorkan rekannya, Rasudin meminta agar spanduknya nanti tercantum lambang Garuda Pancasila serta Bendera Merah Putih.

Dia pun ingin kedua lambang tersebut dipasang sejajar di atas tulisan "Sasaka Angklung Buhun" yang menjadi nama bagi grup angklungnya itu, dan disertai latar belakang gambar hutan bambu.

"Saya kan sering diundang sama lembaga kesenian, atau universitas, di Jakarta juga pernah. Tapi mereka sering bertanya nama grupnya apa, makanya sekarang saya mau bikin spanduk," kata Rasudin.

Entah apa yang ada di pikiran Rasudin yang justru menginginkan lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ketimbang lambang lainnya. Yang jelas, warga Badui tersebut memang mengakui bahwa Indonesia adalah identitas bagi dirinya.

Di saat yang bersamaan, ada sejumlah warga Badui Dalam yang berpakaian serba putih dan hitam tengah berduduk di teras rumah yang berada di samping rumah Rasudin. Mereka di antaranya adalah Sarmin dan Sardi.

Rumah yang dijadikan tempat beristirahat bagi Sarmin dan Sardi itu adalah rumah Saija sebagai Jaro Pamarentah, sebutan adat bagi Kepala Desa Kanekes yang merupakan tokoh perwakilan antara masyarakat Badui secara keseluruhan dengan pemerintah.

Mereka beristirahat setelah berjalan kaki selama sekitar 3-4 jam dari kampungnya di kawasan Badui Dalam yang berjarak lebih dari 10 kilometer, melewati lembah dan bukit. Wilayah Desa Kanekes yang dihuni masyarakat Badui itu memang cukup luas.

Peristirahatan sejumlah warga Badui Dalam ke rumah Jaro Saija itu bukan tanpa sebab, melainkan untuk mempersiapkan diri mengikuti tradisi masyarakat Badui yaitu Seba Badui keesokan harinya, Jumat (17/5).

Seba Badui merupakan hajatan masyarakat Badui untuk bersilaturahmi sekaligus memberikan hasil pertanian atau hasil bumi kepada pemerintah. Pemerintah yang dimaksud dalam kegiatan Seba Badui adalah Bupati Lebak, Bupati Pandeglang, dan Gubernur Banten, yang mereka sebut Bapa Gede atau Ibu Gede.

Dari penuturan para budayawan dan tokoh masyarakat setempat, Seba Badui sudah dilakukan sejak dulu, bahkan sejak masa Kesultanan Banten. Hajatan yang dilaksanakan sesuai dengan kalender mereka itu bukan hanya tradisi semata, melainkan juga ritual adat yang wajib dilaksanakan karena masuk ke dalam rukun keempat bagi masyarakat Badui.

Rajah Murwa Seba

Mengawali hari tanpa sinar matahari akibat langit yang mendung tampaknya tak menyurutkan semangat masyarakat Badui untuk menyambut hari dimulainya Seba Badui.

Warga Badui Luar yang berpakaian serba hitam dengan ikat kepala berwarna biru itu dari berbagai arah berduyun-duyun lalu berkumpul di rumah Jaro Saija, bahkan hingga ke rumah Rasudin yang berada di sampingnya.

Tanpa beralas kaki, mereka membawa berbagai hasil bumi, mulai dari pisang tanduk, beras, gula aren, hingga sayuran ja'at atau yang biasa disebut dengan kecipir. Ratusan kilogram bahkan lebih hasil bumi itu bakal diserahkan ke para Bapa Gede yang mereka kunjungi.

Namun di pagi itu, keberadaan Sarmin dan Sardi sudah tak tampak di rumah Saija. Warga Badui Dalam yang jumlahnya 12 orang itu sudah lebih awal berangkat dengan berjalan kaki sebelum matahari terbit.

Sekitar pukul 16.00 WIB, rombongan masyarakat Badui yang jumlahnya sekitar 1.500 orang itu tiba di Alun-Alun Rangkasbitung dan masuk ke Kantor Pemerintah Kabupaten Lebak untuk bertemu dengan Bapa Gede, yakni Pj Bupati Lebak.

Banyak pendapat yang menilai bahwa kedatangan mereka ke Bapak Gede itu tak lain merupakan bentuk pengakuan atas kedaulatan pemerintahan yang sedang terselenggara. Namun, tujuan mereka yang paling utama adalah melaksanakan Rajah Murwa Seba.

Rajah Murwa Seba adalah ritual puncak Seba Badui, yang berlangsung ketika Saidi sebagai Jaro Tanggungan 12 atau tetua lembaga adat Badui mengucapkan semacam jampi dengan bahasa sunda di hadapan Bapa Gede.

Pada intinya ucapan-ucapan tersebut mengandung maksud untuk berterima kasih kepada pemerintah dan juga menyampaikan amanah agar alam dijaga oleh pemerintah beserta masyarakat secara umumnya.

Saidi mengucapkan Rajah Murwa Seba itu sembari menyodorkan pelan-pelan sebuah Laksa atau makanan olahan khas Badui yang dibungkus dengan daun pinang. Penyampaian Rajah Murwa Seba itu berlangsung sekitar 10 menit, dengan gestur Saidi seperti seseorang yang sedang memohon.

Ritual itu juga dilaksanakan ketika masyarakat Badui melakukan Seba Badui ke Gedung Negara atau Kantor Pemerintah Provinsi Banten keesokan harinya yakni Sabtu (18/5), untuk bertemu Gubernur Banten yang juga disebut sebagai Bapa Gede.

Kini Pemerintah Provinsi Banten dipimpin oleh Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar. Dia mengaku sangat mengilhami nilai-nilai luhur yang berlangsung dari generasi ke generasi di masyarakat Badui.

Menurutnya masyarakat Badui justru lebih mempelopori perkembangan jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Ketika banyak negara di dunia menyerukan upaya agar lingkungan dijaga, menurutnya masyarakat Badui sudah melakukan hal itu sehari-hari.

"Saya banyak mendapat nilai luhur dari masyarakat Badui, dan itu menjadi dasar kebijakan dan pengambilan keputusan di pemerintahan," kata Al Muktabar saat gelaran Seba Badui di halaman kantornya.

Budayawan dan Tokoh Literasi Uten Sutendy menilai bahwa pesan-pesan luhur yang membumi bagi masyarakat Badui itu layaknya permata yang tidak hilang ditelan zaman. Pesan-pesan itu pun tidak disembunyikan, melainkan juga disebarkan dan ditujukan kepada pemerintah langsung sebagai penguasa.

Seba Badui itu menurutnya menjadi refleksi bagi pemerintah dan masyarakat umum agar tidak merusak alam. Mereka, menurutnya mempercayai bahwa kerusakan alam akan menimbulkan malapetaka.

Dahulu, Uten menjelaskan, Seba Badui itu diisi dengan tradisi mandi di Sungai Cibanten yang berada di dekat Gedung Negara. Namun, kini menurutnya tradisi itu sudah hilang karena air sungai tersebut sudah tidak layak untuk digunakan mandi.

"Akibatnya kan kemarin-kemarin juga terjadi banjir besar di Serang, ya salah satunya mungkin karena sungai yang sudah rusak," kata Uten saat dihubungi Minggu (19/5).

Hanya berpamrih doa

Pamor rupanya tidak tersemat bagi siapapun di masyarakat Badui. Mereka hanya berpegang teguh pada prinsipnya untuk menjaga alam dan seisinya.

Setelah membawa pesan yang terkandung nilai-nilai luhur itu, masyarakat, tetua, maupun jaro sebagai tokoh adat, bersedia untuk tidur di tenda beralaskan karpet seadanya yang tersedia saat gelaran Seba Badui.

Kerendahan hati para masyarakat Badui itu pun ditunjukkan oleh Jaro Saija sebagai perwakilan untuk urusan pemerintahan. Saat diberi kesempatan untuk menyampaikan pesan kepada Bapa Gede, Jaro Saija hanya meminta agar seluruh masyarakatnya didoakan selamat saat perjalanan pulang menuju Badui.

Selama ini, masyarakat Badui pun tak mengenyam pendidikan formal seperti masyarakat pada umumnya. Mereka pun hanya diberi pemahaman bahwa ada pemerintah yang menaungi segala urusan kehidupan.

Jaro Saidi sebagai pengayom masyarakat Badui, mengatakan bahwa Seba Badui itu tak lain merupakan upaya demi menghindari selisih paham agar terwujudnya suasana damai.

Menurutnya kedamaian hanya akan tercipta dari adanya ikatan silaturahmi dengan siapapun. Maka dengan kedamaian itu, masyarakat Badui bisa dengan leluasa menjaga alam dan menjalankan nilai-nilai luhur yang ada.

"Jadi kita diajarkan dari mulut ke mulut, atau ajaran orang tua masing-masing, supaya bisa sepaham," katanya.

Suku Badui Kabupaten Lebak Banten

Menyambut masyarakat Badui di kota

  • Bagus Ahmad Rizaldi

Masyarakat Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, yakni masyarakat adat Badui terkenal tertutup dan jauh dari budaya moderen dibandingkan masyarakat pada umumnya.

Namun mereka yang masih memegang adat dan tradisi dari leluhurnya itu mengundang penasaran dari masyarakat luar. Tak jarang ada masyarakat yang sengaja berkunjung ke desa untuk melihat keberadaan dan kehidupan masyarakat Badui, bahkan menginap di salah satu rumah warga.

Kunjungan demi kunjungan dari masyarakat luar ke Badui itu seiring waktu menciptakan aktivitas pariwisata yang juga berdampak ekonomis kepada warga Badui.

Namun masyarakat Badui pun kurang berkenan apabila wilayahnya dijadikan tempat wisata. Mereka hanya setuju apabila masyarakat luar berkunjung ke Badui untuk mengilhami budaya yang ada, dengan program "Saba Budaya Badui".

Wisatawan dari berbagai daerah yang berkunjung ke Badui pun kini tak jarang sudah mengenal dan memahami budaya dan amanat leluhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang hidup di perbukitan tersebut dengan istilah "Pikukuh Badui".

Namun dari semua aktivitas masyarakat Badui, ada satu hajatan atau ritual yang menarik untuk diikuti, yakni "Seba Badui". Jika istilah "Saba" mengandung makna bahwa masyarakat Badui yang menerima kunjungan, makna "Seba" adalah ketika masyarakat Badui yang sebaliknya berkunjung ke luar.

Hajatan tersebut secara rutin digelar oleh masyarakat Badui setiap tahunnya sesuai dengan kalender mereka sendiri. Jadwalnya, adalah ketika masyarakat Badui selesai melaksanakan Kawalu, yakni ritual berpuasa sesuai adat mereka selama tiga bulan, dan diakhiri dengan ritual Ngalaksa.

Adapun kunjungan keluar yang dilakukan dalam ritual "Seba Badui" itu yakni menuju ke Kantor Bupati Lebak, Bupati Pandeglang, dan Gubernur Banten.

Berdasarkan penuturan masyarakat setempat dan para budayawan, mereka sudah melakukan ritual itu sejak lama, bahkan sejak masih berdirinya Kesultanan Banten.

Ketika pelaksanaanya, rombongan masyarakat Badui yang cukup besar berkunjung ke pemerintahan atau penguasa setempat guna memberikan hasil bumi berupa pertanian sebagai pengakuan, sekaligus menyampaikan pesan agar penguasa ikut menjaga alam dan seisinya.

Karena "Seba Badui" digelar sesuai dengan kalender mereka sendiri, maka pelaksanaanya tidak tentu setiap tahunnya. Pada tahun 2024 ini, mereka melaksanakan kegiatan itu pada 17 Mei 2024.

Namun ketika hendak melaksanakan kegiatan tersebut, mereka selalu bersurat kepada pemerintahan setempat. Selanjutnya pemerintah pun bakal menyiapkan kedatangan masyarakat Badui, juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai agenda pariwisata.

Daya tarik wisata

Kehadiran warga Badui di kawasan perkotaan selalu menarik mata bagi siapapun yang melihatnya. Karena jarang mereka pun berpergian ke kota, termasuk ke Jakarta, secara berkelompok untuk berjualan madu atau pernak-pernik khas Badui yang dibawanya.

Selain busana adat yang dikenakan kemanapun mereka pergi, warga Badui pun berpergian tanpa beralas kaki. Sehingga masyarakat pada umumnya kerap beranggapan lain tentang mereka.

Namun dalam kegiatan "Seba Badui", masyarakat adat itu pun berpergian dengan jumlah lebih dari 1.000 orang. Berdasarkan adat mereka, masyarakat Badui Dalam berpergian tetap dengan berjalan kaki, sedangkan masyarakat Badui Luar boleh berpergian menumpangi kendaraan umum tetapi bukan sebagai pengemudi.

Sebagai tujuan pertama, pada 2024 ini Pemerintah Kabupaten Lebak pun memanfaatkan momen tersebut untuk menggelar festival budaya di Alun-Alun Rangkasbitung sebagai pusat pemerintahan.

Dalam festival itu, pemerintah menghadirkan berbagai stan yang menjual produk masyarakat Badui mulai dari tas selempang rotan yang bernama koja dan jarog, serta kain songket yang ditenun secara tradisional. Harga produk-produk yang dijual itu mulai dari Rp50 ribu hingga Rp500 ribu.

Alun-Alun Rangkasbitung itu pun aksesnya kini sudah tak sulit untuk dikunjungi, karena sudah terhubung dengan Jakarta melalui Kereta Commuter relasi Stasiun Tanah Abang-Rangkasbitung.

Maka tak heran dalam festival tersebut banyak masyarakat yang antusias menunggu kehadiran rombongan dari Badui, salah satunya pemuda asal Tangerang Selatan yang bernama Tantra Arjunanto (35). Dia mengaku sudah beberapa kali berkunjung ke Desa Kanekes yang menjadi tempat bermukim masyarakat Badui, tetapi belum pernah menyaksikan kegiatan "Seba Badui".

Tantra yang aktif dalam komunitas fotografi itu memiliki banyak koleksi foto tentang kehidupan masyarakat Badui. Namun, dia pun ingin melengkapi koleksi fotonya itu dengan mengabadikan momen seribuan masyarakat Badui yang berkunjung ke luar pemukimannya.

"Saya sudah dari hari kemarin di Badui, sekarang ikut ke Rangkasbitung untuk lihat keramaian acara Seba," kata Tantra.

Selain Tantra, masyarakat maupun wisatawan yang berada di kawasan Rangkasbitung pun antusias untuk menyambut masyarakat Badui berjalan kaki menuju ke alun-alun.

Karena walaupun masyarakat Badui Luar menumpangi kendaraan, mereka akan bergabung dengan masyarakat Badui Dalam hingga menjadi rombongan besar untuk berjalan kaki sekitar 1,2 kilometer, melewati jalan raya dan jembatan Sungai Ciujung yang menjadi akses utama menuju Alun-Alun Rangkasbitung dari arah kedatangan.

Agenda wisata nasional

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Lebak menyatakan selalu hadir setiap tahunnya untuk menyambut kedatangan masyarakat Badui sebagai momen pariwisata. Pada 2024, tercatat ada sekitar 1.500 warga Badui yang mengikuti "Seba Badui"

Walaupun begitu, Kepala Disbudpar Kabupaten Lebak Imam Rismahayadin mengatakan tak hanya festival yang digelar oleh pihaknya, melainkan juga program Walking Tour Seba Badui. Dalam program itu, pihaknya bekerjasama dengan agen wisata agar wisatawan bisa merasakan pengalaman seluruh proses hajatan adat tersebut dari Badui hingga ke Rangkasbitung.

Sejak awal tahun hingga Mei 2024, dia mencatat sudah ada sekitar 510 ribu wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Lebak. Namun dengan adanya Seba Badui, dia menargetkan kunjungan wisatawan bertambah hingga menjadi 550 ribu orang.

Pada tahun ini pula, kegiatan Seba Badui masuk ke dalam 110 event terpilih Karisma Event Nusantara 2024 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Penghargaan itu pun ditandatangani langsung oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga pada 6 Mei 2024.

Imam mengatakan Seba Badui itu menjadi agenda wisata yang mewakili Banten di tingkat nasional. Ke depannya, dia pun berharap ada kegiatan-kegiatan lainnya yang juga masuk ke Karisma Event Nusantara.

Menurutnya tradisi masyarakat Badui pun perlu diketahui oleh masyarakat luas. Sebab menurutnya banyak tradisi dan budaya di Badui yang merupakan warisan dari leluhurnya dan masih dilestarikan hingga saat ini.

"Kalau cuma lihat di media sosial ya cuma begitu, tapi kalau hadir di sini akan mendapatkan pengalaman. Kami setiap tahun melaksanakan Seba Badui, tapi setiap tahunnya itu berbeda-beda," katanya.

Seba Badui

  • Muhammad Bagus Khoirunas