Garam bukanlah sekedar bumbu masakan dan pemberi asin di lidah karena di setiap butir kristalnya terkandung cerita.
Membuat garam pun tidak semudah menaburkannya ke piring dan mangkok Anda.
Ada kesabaran yang tinggi dari para petani garam yang membanting tulang untuk menyulap air asin menjadi salah satu mineral penting yang diperlukan oleh tubuh tersebut.
Meskipun yang namanya garam pasti rasanya asin, akan tetapi ternyata lokasi dan cara pengolahannya memengaruhi bentuk, ukuran serta rasa dari garam tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia memang memiliki potensi besar dalam produksi garam laut. Namun, ternyata tidak semua garam berasal dari asinnya air laut.
Seperti misalnya garam Bleduk Kuwu yang proses pembuatannya masih tradisional dengan memanfaatkan air asin dari luapan lumpur Bleduk Kuwu di Grobogan, Jawa Tengah.
Kemudian, masyarakat adat di Papua memanfaatkan pelepah nipah, sejenis tanaman mangrove palem yang tumbuh di air payau untuk dijadikan garam alami. Pelepah dikeringkan dan dibakar untuk menghasilkan garam hitam yang asin sebagai campuran masakan.
Bahkan, di dataran tinggi pun masyarakat bisa memproduksi garam. Masyarakat Desa Krayan yang tinggal di perbatasan RI-Malaysia, Nunukan dianugerahi dengan sumur air asin yang bisa mereka manfaatkan untuk membuat garam.
Sejumlah masyarakat juga berupaya mempertahankan tradisi turun temurun pembuatan garam organik. Di pesisir Desa Kusamba, Klungkung, Bali, sekelompok kecil petani garam meneruskan warisan proses pembuatan garam memanfaatkan pasir vulkanik untuk menghasilkan kristal garam organik yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor.
Di tengah pasar yang dibanjiri oleh garam industri dan rafinasi, ternyata garam-garam organik yang dibuat secara tradisional dari Indonesia itu memiliki ceruk pasarnya sendiri.
Beberapa jenama garam tradisional di Bali seperti Kusamba, Amed dan Tejakula juga telah menembus pasar ekspor.
Klungkung, Bali (ANTARA) - Belum penuh matahari muncul, petani yang hidup di pesisir Pantai Kusamba sudah bersiap dengan aktivitasnya, sekitar pukul 6.00 Wita rutinitas dimulai.
Berbeda dengan petani padi yang membutuhkan lahan sawah, petani di sini hidup bergantung dari pasir pantai dan air laut.
Mereka adalah petani garam, tiap hari bekerja dari pagi hingga sore hari demi menghasilkan butir-butir garam khas Kusamba dengan cara tradisional.
Di kawasan Banjar Tribuana, Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali, I Wayan Purna salah satu petani garam berhasil menghidupi keluarganya berkat matapencaharian ini, konsumennya datang silih berganti mulai dari warga sekitar hingga tamu luar negeri.
Untuk rasa, dia tidak terlalu asin, lebih gurih, dan ketika petani membuatnya menggunakan palung kelapa maka akan ada sedikit rasa manis tersisa.
Ciri khas ini yang membuat garam Kusamba berbeda dari garam lainnya, termasuk dari garam lokal Bali seperti Amed dan Tejakula, padahal tak ada unsur kimia yang membantu.
Wayan Purna bercerita, karakteristik garam Kusamba ini tak pernah berubah meskipun ia sendiri tak mengetahui sejarah produk ini lahir, yang pasti ia adalah generasi keempat dari keluarganya yang meneruskan kegiatan ini.
"Ini turun temurun, kalau saya dari 1998 bantu bapak, kalau bapak meneruskan dari kakek, setahu saya dari sebelum kakek saya buyut sudah mulai menggeluti. Setahu saya sepanjang Pantai Kusamba tahun 1980 semua aktivitasnya masih bertani garam," kata dia di Klungkung.
Seiring berjalannya waktu, para petani mulai menelurkan inovasi-inovasinya namun tetap memproduksi dengan cara tradisional agar tidak mengubah ciri khas garam.
Adapun yang mereka ubah adalah media penjemuran saat proses pengkristalan air menjadi butiran garam, di mana sebelumnya mereka sepenuhnya menggunakan palung kelapa yang dibelah dua, kini dibantu dengan alas plastik geomembran.
Ketika menggunakan media ini para petani bisa menghasilkan garam lebih banyak karena mampu menghantarkan panas matahari lebih cepat, ini juga membantu dari segi rasa karena yang semula terdapat rasa manis dapat tergantikan dengan asin yang lebih kuat sesuai minat konsumen.
Secara sederhana, garam Kusamba dibuat dengan cara meratakan pasir pantai kemudian disiram menggunakan air. Setelah dua jam terpapar matahari langsung pasir tersebut dipisahkan bagian atasnya dan diangkut ke penampungan.
Di sana dilakukan penyulingan terhadap pasir untuk memperoleh air tua, sebutan mereka, dengan dibantu tambahan air muda, atau air pantai tanpa proses penjemuran.
Air penyulingan tersebut keesokan harinya dari pagi sampai sore dijemur dalam palungan kelapa atau geomembran untuk proses pengkristalan, sehingga dalam situasi cerah dapat dipastikan garam Kusamba jadi dalam dua hari.
Setelah benar-benar kering, keluarga Wayan Purna akan menyiapkan garam untuk diserahkan kepada Koperasi LEPP Mina Sagara dan sisanya disimpan untuk dijual pribadi.
Dalam satu kali panen dengan cuaca terik tanpa terhalang mendung, hujan, dan angin kencang, ia bisa memanen 20 kilogram garam, dan jika panen rutin dilakukan perkiraan dalam satu bulan ia dapat mengumpulkan 400 kilogram garam.
"Kalau selama ini para petani menyetor ke koperasi sebulan sekali itu 100 kg per bulan. Sisanya saya tampung dalam kantung plastik kalau ada pembeli dikasih, biasanya individu bisa beli sampai 50 kilogram," sebut Wayan Purna.
Lebih lama garam dibiarkan maka akan semakin kering dan gurih, garam itulah yang diberikan kepada pembeli dalam negeri maupun luar negeri yang sengaja datang ke rumah tepi pantai mereka.
Jika dihitung, dalam sebulan apabila seluruh hasil panennya habis maka ia dapat mengumpulkan uang mencapai Rp8,6 juta bersih karena bertani garam tak membutuhkan modal biaya.
Wayan Purna tak tahu pasti peruntukan garam-garam yang dibeli tamu tersebut, namun dari cerita-cerita pelanggan biasanya garam itu digunakan mulai dari konsumsi individu, bahan masakan di restoran, hingga cendramata wisatawan.
"Individu kadang ada yang beli 50 kilogram untuk rendam daging, ada warung makan yang biasa buat sate lilit beli 3 kilogram, ada juga tamu luar negeri beli 1-2 kilogram," sebutnya.
Kerap kali wisatawan domestik dan internasional berkunjung, ada yang bersama pemandu ada pula yang ketika hendak menyebrang di Dermaga Kusamba malah tak sengaja melirik petani bekerja sehingga mata mereka membawanya mendekat ke lahan.
Wisatawan internasional dari Jepang dan Perancis paling sering datang, kata Wayan, biasanya satu orang membeli 1-2 kilogram garam dan dibagi dalam beberapa kemasan untuk dijadikan oleh-oleh.
Untuk wisatawan domestik, mereka yang berasal dari Jakarta dan Manado paling sering ditemui Wayan Purna, bahkan mereka kerap meneruskan informasi ke kerabatnya sehingga bisa membeli sampai 50 kilogram.
Potensi ekonomi dari bertani garam juga tak terbatas di produk garam yang dihasilkan, karena belakangan para petani memanfaatkan limbah dari air tetesan garam pasca-panen untuk dijual.
Air itu dijual kepada produsen tahu untuk proses pembuatan tahu dengan harga Rp90 ribu per 35 liter tabung jirigen.
Hasil dari bertani garam selama ini sangat berguna bagi keluarga petani usia 43 tahun itu, di mana selama hampir 25 tahun kebutuhan rumah sepenuhnya diperoleh dari bertani.
Uang hasil pekerjaan ini digunakan untuk menghidupi orang tua, istri, saudara, dan dua anak perempuannya yang saat ini masih bersekolah.
"Garam selama ini sangat menopang keluarga bahkan seperti sekarang di musim hujan kan tidak bisa kerja otomatis kita butuh uang dapur, untungnya sekarang tetap ada (uang) pegangan untuk kebutuhan dapur," tuturnya.
Peluang ekonomi dari bertani garam nyatanya tak hanya dirasakan Wayan Purna, namun juga anggota tani lainnya, hal ini disampaikan Pengolah Garam Yodium Koperasi LEPP Mina Sagara I Wayan Suartika.
Kelompok yang terdiri dari 19 anggota tani itu setiap bulan dibeli garamnya oleh koperasi masing-masing 100 kilogram, setidaknya koperasi harus memiliki 1,2 ton garam tiap bulan untuk disalurkan ke pegawai pemerintahan di lingkup Pemkab Klungkung.
Di koperasi, garam dari petani diolah dengan dicampur yodium sebelum disebarkan dengan kemasan masing-masing 250 gram dengan harga Rp5.500.
Di luar itu, nyatanya nama garam Kusamba sudah terkenal, terbukti dari penyalurannya yang menembus retail dan swalayan, bahkan diekspor ke Singapura sebagai bahan masakan.
Suartika mengatakan nama garam Kusamba mulai mendunia sejak Pemkab Klungkung meresmikan garam lokal ini, ditambah dorongan lewat membagikan garam Kusamba beryodium ke 35 titik pegawai secara rutin sehingga semakin dikenal.
"Kemarin ada koki dari Jakarta sempat pesan tapi untuk di luar negeri, Singapura, garam bumbu 5-20 kilogram. Ini juga ada persiapan 1,2 ton ke Bogor oleh petani," ujarnya.
Peluang ekonomi dari hasil bertani garam Kusamba sejatinya dapat melebihi kondisi saat ini apabila pemasarannya diperluas, khususnya dilakukan masing-masing petani.
Koperasi hanya dapat menjual garam yang telah diolah dan dikemas premium, sedangkan petani sendiri dapat menambah keuntungan jika garam naturalnya dipromosikan secara mandiri.
Namun tak dapat dipungkiri yang menjadi kesulitan para petani adalah waktu dan tenaga yang kurang kalau harus melakukan pemasaran sendiri, saat ini yang masih mereka upayakan adalah bagaimana agar garam tradisional ini tetap eksis dan diteruskan generasi berikutnya.
Sekira 700km dari Kusamba, menyebrang selat Bali menuju Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Mbah Lasiyem, di usia senjanya, meneruskan tradisi pembuatan garam dari fenomena alam lumpur Bleduk Kuwu.
Di bawah terik matahari dan tanpa alas kaki, perempuan berusia 73 tahun itu membelah Bumi yang berwarna abu-abu itu demi menemukan genangan air garam dari endapan lumpur purba yang menyembur dari dalam tanah.
"Karena air yang ada sangat sedikit, maka mengambilnya pakai busa agar lumpurnya tidak ikut terbawa. Kecuali airnya banyak di cekungan yang lebar bisa diambil pakai gayung," kata Lasiyem.
Air asin yang Siyem kumpulkan sejak fajar hingga matahari tempat di atas ubun-ubun kepala, lantas ditampung ke wadah berbentuk persegi untuk mengendapkan lumpur dan tanah yang tercampur.
Setelah air asin yang ia kumpulkan jernih, barulah Siyem melanjutkan proses penjemuran menjadi garam, memanfaatkan teriknya sinar matahari.
Siyem dan para petani garam pada umumnya sangat bergantung kepada musim kemarau, yang biasanya berlangsung dari April hingga Oktober untuk produksi.
Siyem mengatakan tradisi membuat garam saat musim kemarau di kawasan Bleduk Kuwu itu kemungkinan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Sedangkan dirinya mewarisi ilmu yang diturunkan oleh orangtuanya yang memang salah satu keluarga pembuat garam Bleduk Kuwu.
Ia mengenang masa-masa ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), sepulang menuntut ilmu Siyem membantu kedua orang tuanya mengemasi klakah-klakah bambu yang telah seharian dijemur untuk dikelantang kembali pada esok harinya.
Cara tradisional yang ramah lingkungan menggunakan batang-batang bambu itu mulai ditinggalkan oleh para petani garam Bleduk Kuwu sejak tahun 2000 karena membutuhkan minimal dua orang untuk bisa menjemur air garam hingga menjadi garam.
Sedangkan mereka yang menggunakan model terbaru dengan media plastik berukuran 2,5 meter persegi, bisa mengerjakan produksi seorang diri mulai dari pengumpulan air, penjemuran, hingga panen.
Siyem melanjutkan pembuatan garam secara tradisional itu bersama suaminya hingga dirinya punya dua anak, satu laki-laki dan perempuan serta memiliki empat cucu.
Hanya saja, setelah sang suami meninggal dunia pada tahun 2012, Siyem beralih ke media plastik yang lebih ringkas.
Hasil produksi garam Bleduk Kuwu memang belum menjanjikan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Maklum saja, karena proses produksinya hanya bisa dilakukan saat musim kemarau yang biasanya hanya berlangsung antara empat hingga lima bulan, sedangkan lokasinya juga berada di kawasan objek wisata Bleduk Kuwu yang nyata-nyata terpampang papan nama bahwa kawasan sekitar dimiliki oleh Pemkab Grobogan.
Harga jual garam Bleduk Kuwu setiap kilogramnya berkisar Rp7.000 hingga Rp10.000. Sedangkan air garam yang dipercaya bisa untuk mengobati gatal-gatal di kulit untuk setiap botol dengan kapasitas 600 mililiter dijual Rp5.000 dan kapasitas 1500 mililiter dijual Rp10.000.
Demi menjaga tradisi pembuatan garam Bleduk Kuwu yang tidak ditemukan di daerah lain, Siyem warga Dusun Mbladokan, Desa Grabagan, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan itu tetap gigih memproduksi garam yang sudah ditekuni sejak usai belia, meskipun tanpa bantuan sanak famili maupun pekerja.
"Memang tidak mencukupi untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari, tetapi tak apalah agar masyarakat yang sudah mencitai gurihnya garam Bleduk Kuwu tetap bisa merasakan hingga sekarang," ujarnya.
Meskipun kepopuleran garam Bleduk Kuwu kalah dengan garam dapur pada umumnya, ternyata banyak warga luar daerah yang berminat membelinya.
Warga Surabaya, Pati, Kudus, dan Kalimantan tercatat menjadi konsumen yang tetap setia berburu garam yang diklaim memiliki banyak manfaat itu. Bahkan, warga sekitar yang berprofesi sebagai pekerja migran di Korea Selatan juga sering kali membawa garam Bleduk Kuwu sebagai oleh-oleh khas.
"Setiap ada tenaga kerja Indonesia (TKI) yang balik ke Purwodadi, sering membawa garam Bleduk Kuwu ketika balik ke tempat kerjanya di Korea karena rasa garamnya ngangeni (dirindukan)," ujar Mbah Siyem.
Garam Bleduk Kuwu memiliki cita rasa asin yang tersendiri dan konon tak memunculkan rasa pahit apabila terlalu banyak digunakan, tidak seperti garam pada umumnya yang dibuat dari air laut.
Pemkab Grobogan kini berupaya melakukan penataan untuk menjadikan Bleduk Kuwu sebagai objek wisata unggulan sekaligus membantu Siyem dan para petani setempat memasarkan produk garamnya ke berbagai daerah.
Pemerintah setempat juga bakal memberikan tempat tersendiri bagi para petani garam, karena nantinya mereka bakal dijadikan daya tarik wisata khas daerah tersebut.
"Penataan objek wisata Bleduk Kuwu bakal menyeluruh, termasuk petani garam agar bisa menjadi daya tarik wisata," kata Pelaksana tugas Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Grobogan Heru Dwi Cahyono.
Tradisi pembuatan garam Bleduk Kuwu nantinya juga bisa dikemas menjadi paket wisata edukasi yang menarik.
"Tak berhenti disitu, kami juga akan melakukan uji laboratorium soal kandungan garam, air garam, hingga lumpur yang selama ini dipercaya bisa digunakan untuk pengobatan. Sehingga ketika produknya dipromosikan, selain didukung kemasan yang menarik juga terdapat keterangan kandungan di dalamnya," ujarnya.
Krayan merupakan salah satu daerah yang unik di Indonesia. Selain sebagai daerah terluar Indonesia yang sangat kaya adat istiadat dan budayanya, daerah ini juga diberi keunikan berupa kehadiran mata air asin yang oleh masyarakat setempat diolah menjadi garam.
Garam itu dihasilkan dari sumur air asin di dataran tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, kurang lebih 900 meter di atas permukaan laut.
Daerah dataran tinggi ini dulunya diyakini adalah hamparan lautan. Lalu dari proses geologi yang cukup panjang terbentuklah dataran tinggi yang menyisakan banyak mata air asin.
Sudah sejak lama dan turun temurun masyarakat Krayan mengolah air asin dataran tinggi tersebut menjadi garam, yang oleh masyarakat setempat disebut Tucu’.
"Garam gunung kita ada di beberapa titik, yang paling laris berada di Long Midang (Ibu Kota Kecamatan Krayan)," kata Camat Krayan Tengah, Marjuni di Tanjung Selor.
Proses pembuatan garam gunung sejak ditemukan pertama kalinya tidak mengalami perubahan hingga sekarang, cita rasanya pun tidak berubah sama sekali. Air asin yang didapat dari sumur tersebut dimasak berjam-jam dengan menggunakan kayu bakar hingga membentuk kristal putih yang kemudian dijemur.
Tidak hanya rasa asinnya, keunikan dan khasiat garam Krayan, khususnya di daerah Long Midang menjadikannya mampu menembus pasar Malaysia dan Brunei Darussalam. Bahkan, Garam Krayan termasuk kesukaan pemimpin tertinggi negara Brunei Darussalam, Sultan Haji Hassanal Bolkiah.
"Beliau juga mengonsumsi beras endemik dan organik asal Krayan yaitu Beras Adan," kata Marjuni.
Garam Gunung Krayan ada dua jenis, berbentuk garam bubuk dan berbentuk garam batang, dan cita rasa dan aroma keduanya tetap sama.
Garam Krayan masih terus diproduksi sampai hari ini oleh masyarakat setempat. Dataran tinggi Krayan disebut memiliki 33 mata air asin. Dari jumlah itu terdapat empat mata air sumur garam yang berproduksi yaitu di Long Midang, Pa Kebuan Kecamatan Krayan Timur, Desa Long Layu Kecamatan Krayan Selatan, dan satu lagi di Kecamatan Krayan Barat.
Di Kecamatan Krayan Tengah sejatinya juga terdapat mata air garam, hanya saja belum dikelola. Marjuni mengatakan, ke depan potensi itu akan dikembangkan untuk membantu perekonomian setempat.
Dalam sehari semalam, produksi Garam Krayan mampu mencapai 20 kilogram. Pengelolaannya dilakukan secara individu melalui kelompok.
"Artinya ada kelompok pengelola, berjadwal, misalnya satu kepala keluarga mengelola selama satu minggu, pada minggu selanjutnya ganti kepala keluarga lagi," ujarnya.
Dengan sistem pengelolaan seperti itu, hampir seluruh masyarakat di sekitar tempat pengelolaan kebagian rezeki atas kehadiran sumur mata air garam.
Saat ini, masyarakat tengah gencar memperbaiki kemasan Garam Krayan menjadi lebih baik. Selain untuk menampung dan melindungi isi saat distribusi ke konsumen, juga berfungsi sebagai sarana pemasaran untuk mengundang daya tarik pembeli agar penjualan lebih meningkat.
"Dulu masih dibungkus dengan daun, sekarang sudah mulai di-packing dengan baik dan menampilkan kadar kandungan gizi," ujarnya.
Wakil Gubernur Kalimantan Utara Yansen TP menyebut garam Gunung Krayan berkhasiat tinggi dan telah dikonsumsi masyarakat Dayak Lundayeh di Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara sejak ratusan tahun lalu.
"Dan satu hal yang pasti bahwa orang Krayan tidak ada gondok, itu artinya garam itu (Garam Gunung Krayan) mengandung yodium yang bagus," kata Yansen TP.
Adapun khasiat-khasiat garam endemik dataran tinggi Krayan itu menurutnya perlu dikaji lebih mendalam di laboratorium. Namun, sebagai konsumen Garam Krayan sejak lama, Yansen TP merasakan beberapa keunikan garam ini dibanding garam air laut yang diproduksi pada umumnya.
Olahan makanan seperti sayur-sayuran yang menggunakan Garam Krayan, mampu mempertahankan karakteristik warna sayur walau disimpan cukup lama. Misal, jika menggunakan garam pada umum, biasanya warna sayur berubah menjadi coklat. Jika menggunakan garam gunung (Krayan), sayurnya akan tetap bertahan dengan warna hijau meski disimpan dalam jangka waktu beberapa hari.
"Tetapi itu masih harus diuji, tetapi berkenaan tentang rasa, kenikmatan saya kira garam gunung ini tidak bisa lagi diabaikan, memiliki cita rasa yang cukup tinggi," ujarnya.
Ia juga menyebut air yang dihasilkan dari pengolahan air asin gunung Krayan memiliki kandungan yang baik dijadikan pupuk.
"Saya kira paling mendasar, bahwa garam gunung ini higienis dan cita rasanya juga alami, dan manfaatnya juga seperti (membuat) makanan empuk dan tidak mengubah warna, betul-betul nikmat," demikian Yansen TP.
Masyarakat adat di sejumlah wilayah Papua telah turun temurun memproduksi garam hitam yang eksotis.
Garam hitam sangat lah unik karena, tidak seperti garam pada umumnya, produk tersebut dihasilkan dari proses pengolahan batang nipah.
Batang pohon nipah, sejenis palem yang tumbuh di lingkungan air asin, digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan garam hitam.
Charles Toto, seorang chef dan putra asli Papua, mengatakan bahwa tradisi pembuatan garam hitam telah berabad-abad dilakukan oleh masyarakat adat di daerah pegunungan Lembah Baliem Papua.
Ketika pembuatan garam hitam berkembang ke masyarakat di dataran rendah dan pesisir, chef yang akrab dipanggil Chato dan Jungle Chef itu melihat pola pembuatan yang serupa meski menggunakan bahan baku yang berbeda.
Seperti misalnya suku Kais di Sorong Selatan yang memasak menggunakan pelepah nipah untuk membuat masakan mereka asin. Itu lah salah satu keunikan dari garam hitam Papua.
"Garam pada dasarnya itu semua diambil dari laut. Yang menjadikannya otentik itu kan garam ini bersumber dari tanaman," kata Chato ketika ditemui Antara pada September lalu.
Chato mengatakan proses pembuatan garam hitam melibatkan beberapa tahap yang memerlukan ketelitian dan memakan waktu.
Proses pertama adalah pengumpulan batang Nipah. Proses dimulai dengan pengumpulan batang nipah. Batang nipah yang digunakan harus cukup tua dan besar untuk menghasilkan garam hitam yang berkualitas.
Biasanya, petani atau pengrajin lokal yang berpengalaman terlibat dalam pengumpulan batang nipah ini. Selanjutnya, batang nipah dipotong menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan kemudian dikupas untuk menghilangkan kulit luar. Itu adalah tahap awal dalam memisahkan garam hitam yang diinginkan.
Selanjutnya potongan batang nipah yang sudah dikupas kemudian dijemur di bawah sinar matahari terbuka selama beberapa hari. Proses pengeringan ini penting untuk mengurangi kadar air dalam bahan baku.
Setelah pengeringan, potongan-potongan batang nipah dihancurkan menjadi serbuk kasar. Serbuk ini kemudian disaring untuk menghilangkan debu dan partikel halus lainnya.
Serbuk batang nipah yang sudah disaring kemudian dipanaskan dalam wadah khusus. Selama pemanasan, garam hitam akan terpisah dari bahan lainnya. Proses ini disebut "penyaringan lanjutan" dan melibatkan pemisahan garam hitam murni dari komponen lain.
Garam hitam yang telah dihasilkan akan disimpan dalam wadah tertutup untuk menjaga keaslian dan kualitasnya. Sebagian besar produksi garam hitam tradisional masih menggunakan wadah-wadah tradisional seperti bambu atau keranjang untuk penyimpanan.
Proses pembuatan garam hitam dari batang nipah membutuhkan keahlian dan waktu yang cukup lama.
Namun, hasil akhirnya adalah produk yang memiliki rasa dan aroma yang khas, serta digunakan dalam berbagai hidangan khas regional. Garam hitam juga dikenal memiliki kandungan mineral dan nutrisi yang baik untuk kesehatan. Ini adalah contoh nyata bagaimana budaya dan tradisi lokal dapat menciptakan produk unik yang bernilai tinggi.