Awal musik rock di Indonesia diperkirakan terjadi pada dekade 1950, ketika demam Elvis Presley sang "Raja Rock n Roll" asal Amerika merebak ke penjuru dunia, yang kemudian disusul The Beatles dan Rolling Stones pada 1960-an dari Inggris.
Selengkapnya"Kenapa di kalangan engkau masih banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock n roll, rock n rollan, dansa dansian a la cha-cha-cha, musik musikan ala ngak ngik ngok," kata Presiden Sukarno pada pidato Kemerdekaan RI 17 Agustus 1959.
SelengkapnyaAwal musik rock di Indonesia diperkirakan terjadi pada dekade 1950, ketika demam Elvis Presley sang "Raja Rock n Roll" asal Amerika merebak ke penjuru dunia, yang kemudian disusul The Beatles dan Rolling Stones pada 1960-an dari Inggris.
Denny Sakrie dalam bukunya "100 Tahun Musik Indonesia" menyebut anak-anak muda kaum menengah ke atas mengenal lagu-lagu rock lewat piringan hitam.
Selain piringan hitam, lagu-lagu Chuck Berry, Carl Perkins, Bill Haley and His Comets dan Elvis Presley juga dapat didengar melalui siaran radio luar negeri seperti ABC Australia, Hilversum Belanda, dan Voice of America.
Tak hanya lewat lagu, film musikal "Rock Around the Clock" (1956) yang menampilkan musisi Bill Haley and His Comet juga menjadi jembatan perkenalan anak muda dengan kultur rock tersebut.
Kegemaran mereka akan lagu-lagu tersebut dimanifestasikan dalam bentuk orkes (sebutan band waktu itu) yang membawakan lagu dengan ritmik campuran rhythm and blues serta country.
Lagu-lagu rock yang ada saat itu tak melulu gubahan baru, para musisi kerap membawakan kembali lagu-lagu lama dengan kemasan yang bercorak rock n roll. Seperti lagu berirama keroncong, Bengawan Solo (1940) ciptaan Gesang dinyanyikan kembali dengan irama rock n roll oleh Oslan, diiringi oleh Orkes Irama Cubana Teruna Ria pimpinan Z Arifin.
Pengarsip musik dari Irama Nusantara David Tarigan mengatakan lagu yang direkam sekitar 1958 menjadi salah satu bukti bahwa para musisi saat itu berupaya memainkan lagu yang menjadi tren global di eranya.
Menurut dia, sejak adanya Elvis Persley, dunia memasuki era rock yang banyak mengubah kultur anak muda. Sebelum era Elvis, cara pendengar mengapresiasi musisi belum fanatik.
Rock hadir sebagai paket yang lengkap tidak hanya musik dan lirik tetapi juga gaya hidup.
"Sebelumnya kan tidak ada cewek-cewek teriak-teriak saat menonton musik sampai keleper-keleper. Cara pemujaan baru itu muncul lewat bintang rock," kata David Tarigan.
Di barat sana, kata dia, awalnya anak muda tidak punya musik bagi generasinya, mereka cenderung mendengarkan musik yang sama dengan orang tuanya karena anak muda dianggap tidak punya uang untuk membeli rekaman musik.
Sampai ketika Bill Haley mengeluarkan single rock n roll pertama pada 1951 dengan membawakan ulang lagu "Rocket 88" yang ternyata disukai publik Amerika. Bill Haley yang menjadi tonggak sejarah rock and roll pun mencetak rekor dengan lagu "Rock Around the Clock" yang terjual 25 juta keping menurut Guinness Book of World Records.
Sejak saat itu para pemuda merasa bahwa rock and roll adalah musik yang mewakili mereka, dan mereka bisa berupaya apa saja untuk dapat menikmati musik-musik tersebut.
"Ternyata anak muda kalau pengen sesuatu tuh ya bisa aja, dan pertama kalinya ada satu gaya baru dalam pemujaan. Jadi orang-orang tak hanya mendengarkan lagunya, tetapi juga paket besar yang ditawarkan, ya profilnya, ya orangnya. Anak muda menganut gaya baru itu ya total, seperti bernapas saja," kata David Tarigan.
Tak hanya mengubah kultur dalam menikmati musik, industri musik juga ikut berubah. Rock menjadikan anak muda target pasar mereka. Ekspresi tersebut pun sampai ke Indonesia.
Bukan hanya Bill Haley, Elvis Persley dan kawan-kawan, kalangan kecil anak muda Indonesia juga mulai mengakses rock instrumental seperti band The Shadows asal Inggris.
Bedanya, jika Bill dan Elvis adalah solois, maka The Shadows --yang sebelumnya bernama The Drifters-- adalah band pengiring untuk penyanyi Cliff Richard pada 1958 hingga 1968.
David mengatakan The Shadows yang sempat main di Singapura pada tahun 1960-an telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap tren bermusik di kawasan Asia Tenggara.
"Semua ingin menjadi The Shadows, semua ingin gitar stratocaster yang digunakan Hank Marvin (gitaris The Shadows). Mereka juga meniru vox amplifier yang digunakan oleh The Shadows," kata dia.
Lewat tren ini munculah Eka Sapta yang menjadi grup musik instrumental asal Jakarta pada era 1960-an. Eka Sapta yang terdiri dari Bing Slamet, Ireng Maulana, Idris Sardi, Itje Kumaunang, Benny Mustapha, Darmono dan Kamid, mengawali rekamannya dengan musik gaya The Shadows dan The Ventures.
Theodor KS dalam bukunya "Rock n Roll Industri Musik Indonesia" menyebutkan kelompok tersebut mengiringi penyayi solo di panggung dan di studio rekaman, seperti Rima Melati, Suzanna, Vivi Sumanti, Lilis Suryani, dan Yanti Bersaudara.
Tak hanya The Shadows, duo asal Amerika The Everly Brothers juga menjadi salah satu patokan bermusik musisi Indonesia, hal itu tercermin dari kover album-album awal Koes Bersaudara yang hanya menampilkan Yok dan Yon Koeswoyo, seperti album The Everly Brothers yang menampilkan Don Everly dan Phil Evely.
Tony Koeswoyo dalam kata pengantarnya pada LP pertama Koes Bersaudara (1964) menuliskan bahwa musik-musiknya terilhami oleh Kalin Twin dan Everly Brothers.
Saat The Beatles muncul dan menjadi sensasi baru di dunia musik, barulah semua orang ingin "nge-band" sambil bernyanyi. Sampul album The Bealtes yang menampilkan semua personilnya juga ditiru, maka setelah itu Koes Bersaudara menampilkan semua anggotanya di kover album.
"Kenapa di kalangan engkau masih banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock n roll, rock n rollan, dansa dansian a la cha-cha-cha, musik musikan ala ngak ngik ngok," kata Presiden Sukarno pada pidato Kemerdekaan RI 17 Agustus 1959.
Pidato tersebut menjadi isyarat bahwa Indonesia sedang menentang budaya barat. Musik jadi salah satunya. Alasannya, musik barat dianggap jauh dari kepribadian Indonesia dan dapat merusak moral bangsa.
Pidato si Bung Besar lantas ditindaklanjuti dengan pelarangan memutar lagu barat di Radio Republik Indonesia (RRI) pada Oktober 1959.
Lagu-lagu barat yang dilarang tak sebatas lagu rock n roll, tetapi juga untuk jenis musik lain seperti cha cha, calypso, tanggo, dan juga mambo.
Namun, terbitnya peraturan tersebut tak lantas membuat kreativitas para seniman mati. Mereka tetap memainkan musik-musik barat yang diakali dengan sentuhan dan percampuran musik Indonesia.
Sejarawan JJ Rizal mengatakan, pelarangan yang diterbitkan pemerintah saat itu bukanlah hal yang buruk. Dari kebijakan tersebut lahirlah Benyamin Sueb yang tekun menampilkan irama-irama musik Betawi.
"Padahal awalnya Benyamin sering memainkan musik barat. Namun sejak ada kebijakan itu dia dapat menghadapkan musik Betawi dengan musik barat," kata dia.
Pengarsip Irama Nusantara David Tarigan mengatakan, dari banyak rekaman musik era tersebut, sebenarnya musisi kala itu masih memainkan musik barat, namun disesuaikan dengan nilai-nilai yang diatur oleh pemeritah.
"Jadi mereka mencampur musik dengan banyak hal, dengan musik-musik tradisional misalnya, mengangkat tema kepahlawanan, formulasi rock n roll jadi seperti itu. Tapi jelas agresinya kedengeran," kata dia.
Dia menilai maksud Sukarno saat itu baik, negara Indonesia yang masih muda harus mencari jati dirinya, kalau jati dirinya sudah kuat maka tidak akan terpengaruh dengan nilai budaya yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
"Apalagi pengaruh datang dalam bentuk yang mutakhir, lebih agresif, maka dia semakin hati-hati. Biar Indonesia kuat dulu deh, bukan Sukarno enggak suka sama musik-musik itu. Tetapi Indonesia memang belum siap saat itu," kata dia.
Salah satu cerita yang paling terkenal mengenai pelarangan musik "ngak-ngik-ngok" tersebut adalah dipenjaranya Koes Bersaudara saat memainkan lagu The Beatles di acara makan malam di Djatipetamburan, 24 Juni 1965.
Pada peristiwa tersebut sebenarnya tidak hanya ada Koes Bersaudara, tetapi juga ada Dara Puspita, band asal Surabaya yang semua personilnya adalah perempuan.
Menurut cerita yang David dapat dari Titiek Hamzah --salah satu personil Dara Puspita--, pemahaman aparat tentang musik yang boleh dan tidak boleh juga tidak memiliki aturan baku.
"Pada peristiwa yang sama dengan ditangkapnya Koes Bersaudara, Dara Puspita juga harus wajib lapor dalam kurun waktu tertentu. Namun wajib lapornya lucu. Mereka datang, lalu di sana ada alat band. Jadi di depan kejaksaan dan segala macemnya mereka disuruh main musik," kata dia.
Saat wajib lapor, Dara Puspita disuruh memainkan lagu yang boleh dan tidak boleh. Misalnya saat disuruh memainkan lagu yang boleh, mereka akan memainkan lagu "Burung Kakak Tua", dan ketika disuruh memanikan lagu yang tak boleh mereka memainkan lagu-lagu The Beatles.
Tetapi dalam salah satu sesi wajib lapor, kuartet perempuan ini iseng memainkan tembang "I Can't Get No (Satisfaction)" milik The Rolling Stones. Ketika ditanya oleh petugas lagu apa yang mereka bawakan, Dara Puspita menyebut kalau itu adalah lagu Rolling Stones bukan The Beatles. Anehnya, petugas malah membolehkan.
David mengatakan, apa yang dilakukan oleh Dara Puspita menunjukkan bahwa nilai lagu yang boleh dan tidak boleh saat itu hanya sebatas lagu The Beatles atau bukan.
"Makanya kalau kita dengar lagu "Mari-Mari" yang dibawakan Dara Puspita itu awalannya kan intronya "I Can't Get No (Satisfaction)", nah itu sebenarnya mereka sedang mengejek, dan itu bentuk perlawanan, nah bagi gue itu rock n roll," kata David.
Dia menilai Dara Puspita menawarkan yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia, Dara Puspita adalah band yang pertama kali memainkan rock n roll secara utuh.
"Mereka itu ingusan banget, amatir banget. Mereka main musik itu senang-senang aja, apa yang ditampilkan Dara Puspita banyak yang suka, urakan banget. Ekspresi rock n roll sebenarnya ya seperti itu menurut gue," kata dia.
Tumbangnya Orde Lama membuka pintu bagi masuknya pemikiran dan juga budaya baru yang berkembang dari luar. Barat terutama. Budaya tandingan yang masuk secara masif di era-era awal Orde Baru membuat sebagian masyarakat mengalami gegar budaya.
SelengkapnyaSalah satu fenomena yang menarik dari kultur rock 1970-an adalah berdirinya pemancar gelap dan radio amatir di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya.
SelengkapnyaDari band yang mulanya tampil dari pesta ke pesta, masuk ke dekade 70 kelompok pengusung musik rock mulai punya panggung yang lebih pantas.
SelengkapnyaTumbangnya Orde Lama membuka pintu bagi masuknya pemikiran dan juga budaya baru yang berkembang dari luar. Barat terutama. Budaya tandingan yang masuk secara masif di era-era awal Orde Baru membuat sebagian masyarakat mengalami gegar budaya.
"Begitu kebuka paruh kedua dekade 60, gila tuh setiap hari ada yang baru. Bahkan sampai pemahaman dan nilai-nilai. Jadi ya begitu kebuka dapet (budaya) gondrongnya, distrosi, psikedalik rock yang aneh-aneh masuk. Kebebasan digembar-gemborkan oleh kebudayaan barat," kata David Tarigan pengarsip musik dari Irama Nusantara.
Berbagai nilai perlawanan atas budaya yang dominan tumbuh di kalangan anak muda, seperti munculnya generasi bunga (flower generation) yang berkembang di Amerika pada 1960-an hingga 1970-an.
Gerakan kaum hippies yang mengedepankan cinta dan kasih sayang itu memprotes invasi Amerika Serikat ke Vietnam yang berakibat terjadinya pergolakan sosial dan budaya. Protes yang mereka layangkan tidak hanya dalam bentuk demonstrasi tetapi juga diekspiresikan lewat seni.
Idhar Resmadi dalam bukunya "Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya" menyebutkan gerakan tersebut terinspirasi dari gerakan "beat generation" yang dimulai dari sekelompok penulis seperti Allen Ginsberg dan Jack Kerouac pada 1950-an.
Gerakan tersebut dipercayai menjadi cikal bakal budaya tanding yang mendorong kaum muda untuk melek politik dengan berbagai paham baru seperti gerakan cinta lingkungan, gerakan perempuan, gerakan masyarakat adat, dan gerakan antirasial.
"Budaya tanding ini memunculkan musisi dan band yang kemudian digilai kaum muda seperti The Beatles, Jimi Hendrix, The Doors, Jeferson Ariplane, The Grateful Dead, The Rolling Stones, Bob Dylan, Joan Baez dan lainnya," tulis Idhar mengungkapkan.
Kecemasan yang dirasakan oleh anak-anak muda di belahan barat itu juga dirasakan oleh anak-anak muda di Indonesia. Musisi Hari Pochang yang merupakan salah satu personel band progersif rock 70-an, Gang of Harry Roesli, menuturkan rock hadir lebih daripada sekadar musik, tetapi juga pemberontakan.
"Saat itu ada rasa gerah, tidak hanya dalam politik tetapi juga hal moral," kara Hari Pochang yang saat ini aktif di grup Blues Libre dan menjadi pemain harmonika di beberapa proyek musikal.
Pochang membenarkan bahwa saat Orde Baru berkuasa, referensi kebudayaan relatif lebih bebas diterima oleh anak muda ketimbang era Orde Lama. Namun, bukan berarti tak ada keresahan bagi anak muda saat itu. Karena nyatanya, rezim yang baru cukup lekat dengan militerisme. Anak rock mencoba melawan itu. Tak ayal, semangat perlawanan kaum hippie yang juga sedang marak di Amerika menjadi cocok diadopsi oleh sebagian kalangan anak muda Indonesia.
Mereka bahkan tak hanya mengadopsinya lewat gaya bermusik tetapi juga gaya hidup. Dalam memori Pochang, di kawasan Jalan Dago, Kota Bandung, saat itu mudah ditemui anak muda bergaya hippie dengan rambut gondrong mengenakan baju bercorak bunga hingga hidup 'menggelandang' di ruas jalan itu.
"Saat itu (di kota) banyak juga tentara yang baru pulang dari Kalimantan, Operasi Dwikora. Itu musuhnya orang gondrong (hippie). Karena rezim tentara itu ternyata sangat terasa di era Orba. Kalau (hippies) di luar menyebutnya pig, di sini kami sebut sato (bahasa Sunda yang berarti binatang)," ucap dia.
Budaya hippies yang mulai marak di beberapa kota besar, dalam titik tertentu dinilai sudah meresahkan. Aria Wiratma Yudistira dalam "Dilarang Gondrong!" menyebut, pemerintah menilai keberadaan kaum hippies sudah menganggu ketertiban umum karena pakaian yang tidak teratur, kebiasaan hidup yang menggangu perasaan susila, tidak mempunyai tempat tinggal tetap, dan membawa obat bius tanpa persetujuan dokter.
Pochang membenarkan hal itu. Menurut dia, represi pemerintah pada kaum hippies tak hanya lewat teguran tetapi sudah mulai masuk ke razia. Dia punya kenangan saat harus menyembunyikan temannya di bagasi mobil karena takut kena razia pemotongan rambut dan celana cutbray.
"Dulu saya sama kang Harry Roesly pulang manggung dapat kabar dari teman kalau di Jalan Tamblong ada razia, kebetulan seorang teman kami ada yang gondrong sekali dan akhirnya sampai dimasukin ke bagasi mobil. The Rollies bahkan sampai jalan kaki dari Dago Tea House lewat jalan kampung untuk pulang ke daerah kota agar tidak melewati aparat yang sedang merazia," kata dia.
Namun makin dilarang, anak muda bukannya kapok malah makin menjadi. Musik menjadi salah satu sarana yang kuat atas gairah pembangkangan mereka. Jika di luar pahlawannya adalah musisi-musisi yang banyak disebut tadi, maka di Indonesia juga mulai muncul beberapa nama yang jadi acuan seperti AKA dari Surabaya, Bentoel dari Malang, Godbless dari Jakarta, The Rollies dari Bandung, dan lain-lain. Kejayaan musik rock hadir di awal dekade 70.
"Larangannya kan tidak masuk akal. Mau nonton film, tiba-tiba ada razia. Celana juga kan dipotong. Caranya memang cara militer. Keresahan itu diekspresikan lewat musik," ucap dia.
Salah satu fenomena yang menarik dari kultur rock 1970-an adalah berdirinya pemancar gelap dan radio amatir di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya.
Sebenarnya fenomena pemancar gelap ini sudah terjadi sejak akhir 1960-an. Lewat antena bambu sebagai pemancar transmisi mereka siap memutar lagu-lagu barat kesukaan mereka.
Harry Pochang, yang ikut menyiarkan lagu-lagu folk lewat pemancar gelap, mengatakan, jumlah pemancar gelap saat itu cukup banyak. Lewat piringan hitam, setiap kelompok memutarkan jenis lagu yang berbeda-beda, ada yang khusus memutar lagu-lagu pop saja, ada yang memutar lagu-lagu rock, ada juga yang khusus memutar lagu-lagu folk.
"Pemancar gelap sudah kayak tempat kumpul aja. Jadi teman-teman datang, ada yang pacaran, kita memutar lagu-lagu yang kita suka aja. Ada yang khusus Bee Gees, ada yang lebih serius literaturya ngulik Bob Dylan," kata dia.
Selain dari pemancar gelap, ada juga radio-radio resmi seperti radio Mora di Bandung yang khusus memutarkan lagu-lagu rock seperti Rolling Sotnes dan sejenisnya.
Tak hanya itu, kaset-kaset bajakan juga salah satu yang berkontribusi terhadap perkenalan mereka dengan musik-musik dari luar. Piringan hitam harganya mahal dan hanya bisa diakses oleh keluarga berada.
"Kalau tanpa kaset bajakan dari mana orang bisa dengar musik keren? Piringan hitam mahal. Tapi sebelum ada kaset bajakan kita memang enggak punya pilihan," kata dia.
Pembajakan pada era itu memang terbilang sangat masif; perbandingannya, jika penjualan piringan hitam bekisar belasan ribu judul, kaset bajakan mencapai angka satu hingga dua juta judul (Theodore KS: 2013).
Harry Pochang mengatakan, masuknya nilai-nilai baru lewat musik juga mengubah cara berpikir yang semakin revolusioner dan itu terlihat dari lagu-lagu yang dihasilkan Gang of Harry Roesly yang lebih bebas dan eksploratif.
Referensi musik dari luar juga mengubah nilai estetika dalam bermusik, jika sebelumnya penyanyi identik dengan suara indah, hadirnya Bob Dylan yang suaranya tak semerdu para crooner seperti Frank Sinatra tetapi membawa pesan-pesan kuat dalam lirik-liriknya, membuat para pemuda terinspirasi bahwa menyanyi tidak mesti bersuara bagus.
"Kalau dulu kan penyanyi itu suaranya bagus, tetapi ketika Bob Dylan beken nah orang-orang berani tuh nyanyi meski suaraya jelek. Orang-orang lebih peduli ke isi, pesan-pesan bukan hanya tentang cinta yang personal tetapi lebih ke politik," kata dia.
Tapi dia tak memungkiri ada juga kelompok pemuda yang hanya mengikuti gaya hidup rock saja tanpa mengerti esensi dari nilai pergerakan yang dibawa dari musik-musik tersebut.
Era 1970-an memang menjadi embrio munculnya band-band rock Indonesia. Menurut Pochang, band-band ini biasanya lahir dari pertemanan di sekolah atau tempat nongkrong. Dia dan Harry Roesli misalnya, pertama kali bermain band dengan nama "Batu Karang" saat keduanya duduk di bangku SMA. Bersama tiga temannya yang lain, band mereka terinspirasi The Rolling Stones.
"Dari situ terus kita mengembangkan musik hingga akhirnya bertemu teman yang lain seperti Albert Warnerin, Janto Soedjono, Indra Rivai, dan Dadang Latief, mengeluarkan album pertama yaitu Philosopy Gang pada 1973," ucap dia.
Pengamat musik yang juga akademisi dari Universitas Pasundan, Djaelani, menuturkan, tongkrongan kota memang cukup berpengaruh pada perkembangan musik rock awal, terutama di Bandung. Kata dia, di era 70-an musisi Kota Bandung kerap nongkrong di kawasan Muararajeun. Beberapa nama yang sering berada di situ di antaranya adalah kawanan The Rollies dan Gang of Harry Roesli.
Kala itu, musik rock juga masih bersifat umum mengacu pada musik keras dan belum terkotak-kotak oleh genre turunannya. Tak heran, di saat yang bersamaan seorang pendengar musik rock bisa mendengarkan Rolling Stones yang sederhana hingga Genesis yang relatif lebih rumit.
"Orang main Rolling Stones orang main Beatles ya (disebutnya) rock saja. Belum ada itu heavy metal, belum sampai pada pecah ke subgenre dead metal, thrash metal, dan lain-lain," kata Djaelani.
Dari band yang mulanya tampil dari pesta ke pesta, masuk ke dekade 70 kelompok pengusung musik rock mulai punya panggung yang lebih pantas.
Sebetulnya, band-band yang hadir di dekade 70 bukan tiba-tiba, mereka rata-rata telah terbentuk sejak akhir 60-an. Namun, baru beberapa tahun setelahnya nama-nama mereka mulai sering disebut. Rock jadi satu sisi wajah musik nasional
Sebutlah The Rollies. Kelompok gitar rancak asal Bandung itu sudah memulai karir bermusik sejak 1967 lewat prakarasa Deddy Sutansyah atau yang populer dikenal dengan nama Deddy Stanzah.
Setahun setelah terbentuk, The Rollies yang diisi oleh Deddy Stanzah, Iwan Iskandar, Tengku Zulian Iskandar Madian, Delly, serta Bangun Sugito alias Gito Rollies telah mendapat kontrak rekaman dari label Singapura, Philips Records. Bersama Philips, The Rollies merilis dua album yakni "The Rollies" (1968) dan "Halo Bandung" (1969).
Sementara di tahun yang sama, arek Suroboyo yang dipimpin Ucok Harahap membentuk kelompok Apotik Kali Asin yang disingkat AKA. Mengajak Soenatha Tanjung, Syech Abidin, Harris Sormin, dan Peter Waas, Ucok dan kawan-kawan memainkan musik rock blues seperti Led Zeppelin, Jimi Hendrix, atau heavy metal seperti Deep Purple.
Tiga tahun setelah terbentuk, AKA baru merilis album pertamanya "Do What You Like" yang dirilis oleh Indra Records. AKA dikenal dengan aksi panggung Utjok yang eksentrik.
Ada pula nama God Bless, legenda hidup yang sampai hari ini masih aktif bermusik sejak 1970-an. Sepulang dari Belanda, sang vokalis Ahmad Albar memulai band bernama Crazy Wheels bersama Fuad Hassan, Donny Fatah, dan Ludwig Lemans --gitaris band Albar saat masih di Belanda, Clover Leaf-- yang pada 1973 berganti nama menjad God Bless.
Dua tahun setelah dinamai God Bless, band ini baru merilis albumnya bersama label rekaman Pramaqua.
Akademisi Seni Musik Universitas Pasundan Djaelani mengatakan, meski pada saat itu banyak band yang tumbuh, kebanyakan dari band saat itu hanya meniru dengan semirip mungkin band idolanya.
"Kalau dulu itu kontestasinya mirip-miripan, semakin mirip yang asli, baik dari sound, sentuhan melodi, sampai gaya berdandan itu paling oke," kata Djae.
Semakin mirip dengan yang aslinya, maka band tersebut akan semakin disenangi oleh pendengarnya. Maka tak jarang band-band besar yang telah memiliki karya sendiri pun akan tetap membawakan lagu-lagu dari musisi barat.
Giant Step yang dipunggawai oleh Benny Soebardja, salah satu band yang sangat percaya diri membawakan lagu-lagu ciptaanya sendiri di panggung, ketika band lainnya lebih memilih menyanyikan lagu The Beatles, Rolling Stones, Deep Purple, Balck Sabbath atau band luar lainnya.
"Giant Step memang kemampuannya luar biasa, dia cuek saja walau membawakan lagu sendiri, orang-orang juga ga ada yang lemparin mereka," kata dia.
Kala itu, meski band-band rock memiliki lagu sendiri namun tak semua bisa dirilis menjadi album karena akses ke studio rekaman sangat terbatas, misalnya The Rollies dan Harry Roesli harus rekaman ke Singapura untuk album mereka.
Djae mengatakan, sebenarnya dibandingkan dengan musik pop, jumlah rekaman musik rock tidak terlalu banyak. Namun mengapa era 70-an disebut sebagai era keemasan rock? Djae berpendapat karena musik rock saat itu sangat berkembang dan beragam, sementara musik di luarnya seperti pop stagnan.
The Rollies, misalnya, hadir sebagai grup funk, rock n roll yang sangat fenomenal pada masanya. Belum lagi Harry Roesli datang dengan gaya yang berbeda. Harry tumbuh menjadi komunitas sendiri yang berbeda dengan komunitas rock yang muncul saat itu.
Harry bersama gangnya memainkan berbagai musik mulai dari pop hingga kontemporer, dia salah satu yang memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan musik di Kota Bandung," kata Djae.
Pada 1975, Harry Roesli juga berhasil menggelar Rock Opera Ken Arok, kemudian lagu-lagu pementasan musik tersebut diedarkan pada 1977 di bawah label Eterna.
Musik rock seakan-akan direstui untuk berkembang. Dia digemari oleh banyak orang, panggung pertunjukannya juga masif dan didukung oleh media musik yang saat itu sangat berpengaruh, yakni Aktuil.
Salah satu panggung musik yang fenomenal adalah konser Summer 28 (Suasana Menjelang Kemerdekaan ke-28 RI) yang berlangsung di Ragunan, 16-17 Agustus 1973. Konser itu dihadiri berbagai macam musisi seperti God Bless. Majalah Aktuil juga pernah menggelar konser khusus musik Rock di Bandung dengan nama Pesta Musik Kemarau pada 1975.
Djae mengatakan, kontribusi majalah Aktuil bagi musik rock nasional terbilang penting. God Bless, misalnya, memang cukup dibesarkan oleh majalah yang didirkan oleh Denny Sabri itu.
Apakah lady rock bentuk pembatasan pada genre dan gender musik? Sebuah pertanyaan mudah terucap namun kompleks dalam jawaban. Berbagai sudut pandang muncul dalam hipotesa pertanyaan tersebut.
SelengkapnyaLantunan musik memiliki daya pikat tersendiri bagi indera pendengar, memberikan rangsangan pada otak untuk mengikuti setiap komposisi yang terpadu. Tidak semua musik memiliki kelembutan serta kenyamanan saat didengar, dan satu dua putaran masa muncullah ekspresi kebebasan musik yang mengatasnamakan genre rock.
SelengkapnyaKesalahan fatal apabila tidak membahas peran Ong Oen Log alias Log Zhelebour dalam perjalan musik rock di bumi nusantara. Lewat tangan dinginnya, ragam produk rock lahir di bawah bendera Log Zhelebour Production melalui Logiss Record.
SelengkapnyaApakah lady rock bentuk pembatasan pada genre dan gender musik? Sebuah pertanyaan mudah terucap namun kompleks dalam jawaban. Berbagai sudut pandang muncul dalam hipotesa pertanyaan tersebut.
Menengok dari pengalaman lady rock Indonesia, seorang legenda hidup sebagai solois berlabel rocker Nicky Astria memiliki jawaban menarik atas terninabobonya simbol feminis musik keras itu di Indonesia.
“Ya karena musik rock itu susah dijual, apalagi penyanyinya wanita. Berbeda dengan pop atau bahkan dangdut di mana penyanyi wanita mudah terkenal,” kata Nicky.
Jawaban spontanitas namun cukup memberikan kesadaran bahwa hal tersebut bisa saja terjadi mengingat dangdut mudah memiliki massa dan mudah sekali diterima di masyarakat.
Nicky Astria membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk menyiapkan sekali konser pada gelaran bertajuk “Terus Berlari” pada 2019.
Waktu yang tidak singkat dalam sebuah sajian audio dengan materi megah serta tetap berpower yang dapat dinikmati sebagai sajian seni pertunjukkan dan tarik suara.
Industri musik Indonesia memiliki “kotak-kotak” penggemar masing-masing.
Hal tersebut mengingat industri musik adalah selera pasar, yang tentu saja banyaknya peminatan menjadi dasar dari target penjualan musik itu sendiri dan hal tersebut pantas menjadi pertimbangan jenis musik apa yang akan ditekuni oleh seorang musisi.
Berbicara hal tersebut, band yang naik pada 2000-an, Cokelat, yang sempat digawangi oleh Kikan, muncul sebagai penyambung dahaga dengan mengedepankan vokalis wanita. Beberapa penikmat musik menyebut Kikan, mantan vokalis Cokelat sebagai “the next lady rocker’.
Cokelat mampu menembus jajaran band papan atas dengan dikomandoi oleh vokalis wanita dan bergenre rock, tidak salah memang jika sebagian masyarakat menyematkan label lady rock kepada Kikan.
Tetapi, Ronny Cokelat (bassis) memiliki pandangan lain. Menurut dia, tidak mudah menyematkan label lady rock pada era 2000-an ke atas.
“Kalau teh Nicky itu kan solois rock era 70-an yang mengusung slow rock, di mana hal itu tidak dipungkiri memang orang melihat dia sebagai simbol rock wanita pada masanya. Namun era 2000-an ke atas, banyak sekali referensi jenis rock yang masuk, tidak hanya slow rock,” kata Ronny.
Dia a menjelaskan bahwa dengan banyaknya referensi tersebut tentu saja akan membuat musik rock lebih memiliki banyak cabang dan akar. Terang saja hal itu membuat sebuah sematan lady rock menjadi beragam atau memiliki banyak pilihan, bukan hanya terpaku pada satu jenis aliran rock, misal slow rock pada saat itu.
Lady rock itu tidak ada
Menilik lebih dalam lagi, banyak obrolan “kelas warung” yang menilai bahwa lady rock di Indonesia sudah tidak bisa menelurkan generasi lagi setelah era keemasan Nike Ardika, Anggun C Sasmi Atiek CB, dan Nicky Astria.
Seakan merekalah generasi terakhir yang pantas menyandang lady rock. Apakah benar demikian?
Berdasarkan pendapat dari Mudya Mustamin, seorang pengamat musik yang mendirikan portal berisikan musik-musik beraliran keras, sebenarnya istilah lady rock tersebut tidak ada.
“Di luar negeri tidak ada istilah lady rocker,” kata Mudya. Menurut dia, istilah tersebut muncul dari permintaan industri supaya mereka lebih mudah dalam menjual musik, mengingat penyanyi rock wanita saat itu masih belum jamak.
Pada masa 80-an bermunculan banyak penyanyi wanita, dan istilah tersebut muncul pada era itu, sebagai tanggapan positif pasar atas digemarinya aliran slow rock. “Jika pun Nike Ardika muncul pada era ini, belum tentu ia disebut lady rock,” katanya. “Tapi yang jelas rock adalah rock,” kata Mudya.
Industri musik era saat ini memang memiliki pergeseran referensi musik seiring berkembangnya teknologi serta kemudahan memainkan serta memproduksi musik. Bisa saja rock saat ini masih ada, hanya saja berkembang dalam bentuk yang lain. Pentolan grup musik Padi yang sekarang menjelma menjadi “Padi Reborn”, berkomentar tentang hal tersebut. Piyu Padi juga melihat adanya perkembangan musik yang berbeda era ini.
“Yang terasa sangat berbeda dari industri musik saat ini adalah proses pemasarannya, bagaimana karya itu bisa langsung didengar orang,” kata Piyu. Piyu melihat bahwa musik modern harus lebih sigap dengan teknologi serta harus melebur dengan semua platform media yang ada.
Tetapi ada yang justru menjadi balik lagi menjadi konvensional, yaitu pemasaran. Ia berpendapat bahwa musisi saat ini justru harus kembali menggunakan strategi “door to door” dalam menjual karyanya.
Ketika era kaset pita, musisi akan lebih mudah menentukan media yang akan digunakan untuk promosi, karena media massa masih menjadi target utama sebagai saluran pemasaran.
“Sekarang kami harus mendatangi satu per satu media massa untuk melakukan promo karya. Kalau tidak, sekarang karya susah akan dikenal oleh masyarakat secara luas,” kata Piyu.
Lantunan musik memiliki daya pikat tersendiri bagi indera pendengar, memberikan rangsangan pada otak untuk mengikuti setiap komposisi yang terpadu. Tidak semua musik memiliki kelembutan serta kenyamanan saat didengar, dan satu dua putaran masa muncullah ekspresi kebebasan musik yang mengatasnamakan genre rock.
Beberapa dekade musik yang identik dengan distorsi serta kebebasan berekspresi ini didominasi kemaskulinan. Melahirkan pujaan baru bagi kaum hawa dalam memandang makna kebebasan berekspresi, membawakan pesan semiotika dalam lirik lagu.
Budaya Indonesia yang santun serta tidak banyak memberikan ruang bagi kebebasan bagi feminim dalam berekspresi nampaknya mulai menjadikan rock sebagai kendaraan kebebasan berkespresi sebenarnya. Jagat rock Insulinde (sebutan lain Nusantara) pernah digetarkan oleh teriakan sopran kaum hawa.
Lantunkan saja "Bintang Kehidupan", master piece lagu dari wanita kelahiran 27 Desember 1975 itu mampu menjadi legenda influencer rock era 90-an. Bahkan hingga saat ini lagu itu senantiasa terekam abadi. Ia adalah Nike Ardila, memulai karir menjadi seorang musisi dengan capaian luar biasa di usia muda, yaitu 14 tahun 2 bulan.
Pada masa itu hit "Bintang Kehidupan" (1990) menembus penjualan 2 juta copy, ketika belum ada media sosial serta musik streaming yang bisa mendongkrak popularitas. Capaian murni dari seorang lady rocker sejati.
Pada usia 12 tahun ia pernah membuat rekaman album dengan nama Nike Astrina, namun album tersebut urung diorbitkan, sebelum akhirnya menjadi Nike Ardila. Tapi, menginjak usia 19 tahun, legenda rock tersebut pergi untuk selamanya. Kecelakaan lalu lintas membuat ia wafat dalam usia belia dan mewariskan lengkingan soprannya sebagai karya abadi dalam rekaman saja.
Sedari awal memilih rocker sebagai jalan hidupnya, 13 album sudah ia kemas dalam label dan sempat membintangi 21 film atau sinetron. "Seberkas Sinar", "Sandiwara Cinta", "Suara Hatiku", "Aku Takkan Bersuara", "Tinggalah Ku Sendiri" dan "Panggung Sandiwara", adalah lagu abadi yang menjadi bukti kemegahan suara emasnya yang masih didengar hingga sekarang.
Meskipun karirnya tergolong singkat dan menjadi simbol lady rocker era 90-an, susah bagi kaum hawa meraih capain tersebut setelah era Nike Ardila. Penggemarnya hingga saat ini justru semakin bertambah merajai FanPage media sosial serta akun-akun penggemar yang semakin bertumbuh.
Komunitas penikmat lagunya pun semakin bertambah meskipun bukan lahir pada masa Nike Ardila masih hidup. Hal tersebut menjadi bukti bahwa pelantun lagu "Matahariku" layak dinobatkan sebagai lady rocker abadi Indonesia.
Sosok lain lady rocker pada masa itu adalah Nicky Astria. Lahir pada 18 Oktober 1967, wanita itu jadi kiblat semua ladyrock era 90. Getaran lirik "Jarum Neraka" (1985) menjadi senjata ampuh mengisi kegersangan simbol ladyrock. Lagu lainnya "Tangan Tangan Setan", "Gersang", "Uang", "Cinta Di Kota Tua", dan "Bias Sinar" tak lupa juga master piece "Mengapa".
Nicky pada masanya mampu mengatasi gempuran slow rock dari negeri Jiran. Demam lagu Malaysia pada saat itu sangat pekat menghiasi saluran radio dan televisi nasional. Nicky pun sempat berkolaborasi dengan komposer Malaysia untuk menegakkan jati diri rock Indonesia.
Hingga saat ini ia tetap konsisten menempuh jalur rock untuk melepaskan ekspresi sebagai musisi. Meski baru saja menggelar konser kembali setelah sekian lama, Nicky mengakui bahwa regenarasi ladyrock Indonesia sulit dilakukan. Regenerasi penyanyi perempuan yang konsisten di genre musik rock berlangsung lambat.
Nicky Astria berpendapat kendala regenerasi lady rocker di industri musik masa kini tak lepas dari pertimbangan aspek komersil. "Karena susah dijualnya," ujar Nicky.
Ia berpendapat, musik rock belum punya jaminan akan sukses secara komersil seperti genre musik lain, dangdut misalnya. Orang-orang yang berkecimpung di dunia musik, kata dia, kemungkinan besar memilih musik yang pasti laku dan diterima pasar. Fenomena itu juga terjadi ketika dia masih aktif bermusik.
Bedanya, saat itu rocker perempuan memang sedang naik daun. Nama-nama seperti Nike Ardilla dan Anggun C. Sasmi adalah sebagian dari penyanyi dari genre tersebut. "Pada masa saya, pertama kali lady rock lagi muncul banyak (termasuk) di (generasi) bawah-bawah saya," tutur musisi 51 tahun itu.
Seiring berjalannya waktu, musik rock mulai meredup. Penyanyi yang mengusung genre tersebut menghilang atau beralih ke genre yang lebih komersil. "Ada juga yang mengikuti alur, enggak berani tetap setia di rock, karena memang susah (rock) enggak selaku dangdut. Kalau dangdut memang enggak pernah mati," ujarnya.
Lantas, siapa penyanyi masa kini yang menurut Nicky menyandang gelar sebagai Lady Rocker?
"Tantri Kotak," jawab Nicky.
Kesalahan fatal apabila tidak membahas peran Ong Oen Log alias Log Zhelebour dalam perjalan musik rock di bumi nusantara. Lewat tangan dinginnya, ragam produk rock lahir di bawah bendera Log Zhelebour Production melalui Logiss Record.
Anak zaman sekarang mungkin tak kenal Log, namun dalam rak kaset generasi 1980 sampai 2000an pasti tersimpan koleksi besutan Log Zhelebour. Sebut saja Jamrud, Boomerang, Elpamas, Power Metal, Mel Shandy, sampai Nicky Astria.
Banyak orang yang menyukai rock, namun setidaknya Log berhasil menunjukkan cintanya dengan membuat musik itu lebih bergema hingga diterima banyak orang.
Dalam buku "Rock 'n Roll Industri Musik Indonesia" oleh Theodore KS dengan pengantar Jakob Oetama disampaikan bahwa Log menginisiasi kompetisi musik rock bersama perusahaan rokok, bertema Djarum Super Rock Festival.
Festival yang digelar perdana pada 1984 itu mendapat gaung yang besar dan disambut meriah para pecinta rock. Pada episode kedua, lahirlah Elpamas asal Malang, Jawa Timur, sebagai juara.
Edisi berikutnya tak kalah menjanjikan, Grassrock (1986) dan Power Metal (1989) muncul sebagai juara.
Kiprah Log meroket saat menemukan dua "mutiara", Boomerang dan Jamrud pada 1990-an. Pada 1994, Boomerang dengan nama awal Lost Angels diberi kesempatan rekaman oleh Logiss Record di Surabaya.
Kepercayaan Log kepada Boomerang membuat band itu selalu merilis album tiap tahun sejak 1994 hingga 2000 dengan total delapan album. Pada 1999, mereka merilis dua album sekaligus "Hard 'n Heavy" dan "Best Ballads" untuk merayakan kiprah lima tahun bermusik.
Setali tiga uang dengan Boomerang, Jamrud juga menjadi anak emas Log dalam Logiss record. Diawali dengan nama Jamrock yang kerap membawakan lagu band lain di pentas, mereka berubah nama menjadi Jamrud kemudian mendapat kesempatan rekaman pada 1995.
Album Nekad (1995) menjadi tonggak awal, diestafetkan Putri (1997) dan Terima Kasih (1998). Album ketiga membuat Jamrud melesat bak roket di kancah musik rock nusantara, apalagi setelah Log mengemas empat lagu menjadi video klip "Terima Kasih", "Dokter Suster", "Berakit-rakit", dan "Otak Kotor".
"Tidak dapat dipungkiri, Jamrud dan Boomerang, semua saya dengar. Mereka dan rock pada masanya adalah inspirasi," kata Gitaris Cokelat Edwin Marshal Syarief kepada ANTARA.
Era Emas Log
Tahun 2000 adalah era emas Log bersama Boomerang juga Jamrud sejalan lahirnya dua album fenomenal "Xtravaganza" dan "Ningrat". Cara Log yang "tidak pelit" untuk mempromosikan anak asuhnya membuat kedua band itu meraih kesuksesan sepanjang karir mereka.
Untuk Roy Jeconiah cs, Log memberikan lima video klip untuk melengkapi album itu antara lain "Pelangi", "Gadis Extravaganza", "Bungaku", "MilikMu" dan "Tragedi".
Sedangkan untuk Aziz MS dan kolega, diberikan enam video komersil, yaitu "Ningrat", "Kabari Aku", "Asal British", "Surti-Tejo", "Pelangi di Matamu", "Jauh (Andaikan...)".
Komposisi kreativitas band, kekompakan, manajemen yang baik dan dukungan komersil dari label rekaman merupakan ramuan jitu Log untuk membuat rock tidak sekadar bersinar, melainkan memimpin industri rekaman mainstream kala itu.
Tidak puas, Log kemudian melanjutkan momentum kesuksesan Jamrud dengan mengantar mereka untuk pentas di berbagai negara. Album Sydney 090102 (2002) yang terjual sejuta kaset/CD juga direkam di Australia.
Roda berputar, Log kemudian mengalami momen surut saat Boomerang hengkang. Status Boomerang sebagai salah satu "anak emas" Log lepas pada 2003. Mereka pindah ke bawah bendera Sony Music Indonesia kemudian merilis "Terapi Visi".
Namun sentuhan Boomerang di rumah barunya berbeda dengan kiprah mereka saat di pangkuan Log. Boomerang seolah masih berada di bawah bayang-bayang kesuksesan sebelumnya, sehingga lupa mengeksplorasi musik mereka yang "datar-datar" saja, hingga gitaris John Paul Ivan hengkang pada 2005 diikuti vokalis Roy Jeconiah.
Jamrud yang dalam periode menurun setelah album All Access In Love (2006), juga harus melepas Krisyanto, meski pria yang identik dengan kacamata hitam itu kembali pada 2011.
Log pun kembali sibuk mengurus Jamrud untuk album Bumi & Langit Menangis (2011), Energi+ dari Bumi dan Langit (2012), Saatnya Menang (2013), Akustikan (2015), dan 20 Years Greatest Hits (2016), meski semuanya tidak pernah mengulang kesuksesan album Ningrat.
Di sela-sela masa surut itu Log tidak berhenti berkarya. Predikat "Dewa Rock" layak disematkan karena dia tetap menjalankan bisnisnya di ekosistem musik cadas.
Sejak terlibat pada delapan edisi Djarum Super Rock Festival hingga 2004, ia kembali menukangi festival rock bersama Gudang Garam Rock Competition pada 2007 untuk melahirkan beberapa band rock baru.
Untuk menunjang publikasi, Log pernah merilis tabloid Rock. Meski tidak sukses seperti di industri rekaman, setidaknya Log mencoba totalitas dan menunjukkan cintanya pada rock.
Sebagai promotor, ia juga pernah mendatangkan Sepultura (1992), Mr BIG (1996), White Lion (2003), Helloween (2004), Skid Row (2008) dan DragonForce (2015).
Momen romantis Log Zhelebour bersama Jamrud selama 22 tahun akhirnya berakhir pada Maret 2017. Jamrud kini memiliki tim manajemen sendiri, sedangkan Log tetap menjalankan bisnis promotornya.
Lantas ke mana alat rekaman, sound sistem, dan tim manajemen Log saat ini? Apakah masih disimpan untuk lahirnya band rock baru?
Dekade boleh berganti, tetapi tren musik tak begitu saja bisa diubah.
SelengkapnyaLantunan musik memiliki daya pikat tersendiri bagi indera pendengar, memberikan rangsangan pada otak untuk mengikuti setiap komposisi yang terpadu. Tidak semua musik memiliki kelembutan serta kenyamanan saat didengar, dan satu dua putaran masa muncullah ekspresi kebebasan musik yang mengatasnamakan genre rock.
SelengkapnyaHair metal yang glamor mendominasi corak musik rock di sepanjang dekade 80 rubuh lewat gerombolan anak-anak muda berkemeja belel dengan jeans yang rombeng pada 1991.
SelengkapnyaDekade boleh berganti, tetapi tren musik tak begitu saja bisa diubah.
Memasuki dekade 90, rock 80-an yang diwarnai oleh corak heavy metal, glam rock, dan hard rock, toh masih cukup punya dominasi di belantika. Nahkodanya, boleh jadi Log Zhelebour lewat festival besutannya atau label rekaman LogIss Records yang dia ampu bersama Iwan Suthadi Sudarta dari Indo Semar Sakti dan Billboard Records.
Meski melecut banyak roster di sepanjang paruh kedua dekade 80, Log dan Iss seolah tak kehabisan formula untuk menaikkan khazanah rock.
Di akhir dekade 80 misalnya, festival yang digarap Log melahirkan talenta-talenta baru yang jadi sorotan. Power Metal yang menjuarai Festival Rock se-Indonesia V (1989) kemudian merilis debutnya "Power One" (1991) di bawah LogIss Records. Sementara Roxx dari Jakarta yang menjadi juara keduanya merilis album pertamanya pada 1992 bersama Blackboard Records.
Meski tak dirilis LogIss, Roxx lewat megahits "Rock Bergemanya" sudah gandrung sebagai anthem rock remaja dan masuk dalam kompilasi besutan LogIss bertajuk "Kompilasi Festival Rock Log Zhelebour" tahun 1989.
Dalam "Heavy Metal Parents;Identitas Kultural Metalhead Indonesia 90-an" Yuka Dian Narendra menulis bahwa "Rock Bergema" dari Roxx adalah lagu bersama anak rock yang belum tergantikan sampai saat ini.
Musababnya adalah pengalaman kolektif para pelaku musik yang menjadi informan penelitian Yuka. Menurut mereka, saat "Rock Bergema" dimainkan di Pid Pub --klab metal di kawasan Pondok Indah Jakarta yang hits di akhir 80-an--, suasana berubah sakral.
"Seluruh penonton ikut bernyanyi bersama sambil mengepalkan tinju ke udara. Merinding, kata para informan yang sempat mengalami masa itu," tulis Yuka.
Harlan Boer, musisi yang juga pengarsip musik tak memungkiri kalau musik yang ada di era itu merupakan perpanjangan tangan dari musik yang sedang ramai di kancah rock internasional seperti Bon Jovi, Motley Crue, dan Guns N Roses.
"Itu hard rock masih besar, mungkin band-band yang besar di awal 80-an yang sudah enggak kedengaran. Tapi yang rilis albumnya di 80-an paruh kedua ya masih besar karena masih sangat produktif. Di Indonesia, yang membawakan cover version band seperti ini tentu banyak," kata Harlan.
Hal ini tak hanya dirasakan untuk subgenre hard rock. Thrash metal, subgenre dari metal dan rock yang lebih rapat dan keras juga punya gaung yang cukup besar di dekade 90-an meski sama-sama dimulai pada dekade 90.
Bahkan thrash metal sudah masuk ke kompilasi Log yang selama ini lebih kental dengan corak heavy metal dan hard rock. "Itu ada Valhalla di Kompilasi Festival Rock se-Indonesia keenam (1991)," ucap dia.
Harlan menilai bahwa thrash saat itu memang menjadi ciri khas tersendiri sebagai rock yang berada di luar standar Log atau GodBless yang merilis "Semut Hitam" pada 1988.
Band-band thrash metal ini juga mempunyai gerakan sendiri yang bisa dibilang sebagai cikal bakal dari skena bawah tanah Jakarta dengan band-bandnya seperti Sucker Head yang dimotori Irvan Sembiring, Krishna Sadrach, Yahya Wacked, Nano, dan Doddy, hingga Roxx yang di awal 90-an mulai berubah haluan dari heavy metal ke thrash yang lebih kencang.
Band-band yang akhirnya di rentang 1990-1992 mulai membentuk ekosistem ini mampu tampil dengan cara mandiri dan mengisi sejumlah perhelatan pentas seni yang marak digelar di sejumlah kampus dan sekolah menengah atas di Jakarta.
Selain Sucker Head dan Roxx beberapa yang mendapat sorotan di antaranya proyek musikal Irvan, Rotor yang merilis album pada 1992 dan ditahbiskan sebagai album thrash metal pertama, No Bra, hingga Toilet yang personelnya perempuan semua.
"Thrash saat itu lagi besar sekali. Hampir semua acara di Jakarta seingat gue bintang tamunya ya mereka," ucap dia.
Yuka Narendra menulis, ekosistem band metal yang mengisi panggung-panggung Jakarta sejak 1987 awal 1990-an banyak yang lahir dari tongkrongan di Pid Pub, Pondok Indah.
Sucker Head, Roxx, dan Rotor di antaranya. Ada juga nama-nama seperti Mortus, Alien Scream, Razzle, atau Parau yang kemudian berganti nama menjadi Getah.
Pid Pub membuka jalan bagi kancah metal lain untuk tumbuh misalnya arena Poster Cafe di Museum Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto di era 1990-an.
Kecenderungan yang sama juga terasa di Bandung. Dengan band-band yang berasal dari kawasan timur Bandung, tepatnya Ujung Berung, sejumlah band metal lahir seperti Burgerkill, Jasad, Necromancy, dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka juga merintis jalan di kancah musik secara independen.
Di satu sisi ada metal yang mulai membangun fondasi skenanya secara mandiri, di sisi lain, rock tak juga pergi dari layar kaca dan tingkat penjualan yang tinggi. Beberapa nama muncul seperti U'Camp, El Pamas, Grass Rock, Boomerang, dan lain-lain. Namun boleh jadi yang sangat disorot saat itu adalah Jamrud.
Jamrud adalah band asal Cimahi, Jawa Barat yang digerakkan oleh Krisyanto, Azis MS, Ricky Teddy, sejak 1984 dengan nama Jamrock.
Setelah melakukan beberapa kali bongkar pasang personel, Jamrock akhirnya berganti nama menjadi Jamrud seiring kontrak rekaman yang mereka terima dari LogIss Records pada 1995. Selain Krisyanto, Azis, dan Ricky, formasi ini diisi pula Fitrah dan Sandy dengan debut "Nekad" pada 1996.
Dari debut, Jamrud terlihat sudah punya gerak yang potensial. Dalam waktu singkat, "Nekad" terjual 150.000 kopi disusul "Putri" setahun kemudian yang terjual 300.000 kopi.
Grafik Jamrud terus naik dengan menjual 800.000 kopi di album "Terima Kasih" (1999) dan melejit pada album "Ningrat" (2000) dengan dua juta kopi.
Prestasi ini diganjar anugerah sebagai Group Rock Terbaik AMI Award 1999 dan membawa mereka bersama Log Zhelebour melakukan tour tunggal di 120 kota, diundang tampil di Jepang dan Korea serta melakukan rekaman di Australia dan melahirkan Album "Sydney 090102" (2002) yang terjual sejuta kopi.
Jika mengamati lagu-lagu Jamrud mereka memang punya banyak eksperimen sehingga musik mereka tak selalu jenuh untuk didengarkan.
Kalau di lagu "Nekad" mereka masih main aman dengan standar hard rock dan heavy metal, di lagu "Putri" mereka sudah berani bermain eksplorasi dengan tempo yang naik turun dan permainan suara dalam proses mixing.
Mereka lebih jauh lagi memasukkan unsur ska di lagu "Dokter Suster" yang ada di album "Terima Kasih". Pada saat yang sama, ska memang mulai menggeliat, belum lagi lirik nakal dan nyeleneh yang membuat Jamrud kerap jadi perhatian.
Di tengah rock yang lebih keras dan agresif mengaung, di salah satu bagian Jakarta, Slank muncul sebagai pilihan berbeda. Mereka memulainya dengan nama Cikini Stone Complex dan mengambil referensi dari musik 60-an. Rolling Stones terutama.
Cikal bakal Slank yang dimulai pada 1983 dimotori oleh Bimbim bersama Boy, Kiki, Abi, Uti, dan Well Welly.
Cikini Stone Complex menjadi Slank adalah sebuah transformasi yang panjang dengan banyak pergantian personel sana sini. Singkatnya, Slank kemudian solid dengan formasi ketiga belas yang diisi oleh Bimbim, Kaka, Bongky, Pay dan Indra dan merilis debutnya "Suit-suit..He..He..(Gadis Sexy)" pada 1990. Setahun kemudian, "Kampungan" dirilis dan juga meledak.
"Slank penting karena bunyinya beda dengan gelombang rock yang ramai saat itu. Saat Slank rekaman album pertama, mereka mencampuradukkan semua yang mereka lalui seperti rock n roll klasik dengan rock yang meledak di 80-an," kata Harlan mengomentari debut Slank.
Lebih dari itu, Slank juga muncul dengan sebuah ekosistem baru yang terpusat di markas mereka, Gang Potlot.
Dari sini tumbuh banyak band dan musisi di antaranya Imanez, Plastik, Oppie Andaresta, Kidnap Katrina, atau beberapa personel band lain yang kerap ikut nongkrong di sini seperti Thomas yang kemudian membentuk Gigi, atau Ahmad Dhani dari Dewa 19.
Nuran Wibisono dalam "Nice Boy Don't Write Rock n Roll: Obsesi Busuk Menulis Musik" menulis waktu remaja kebanyakan dari musisi ini sering nongkrong dan main gitar di daerah tersebut.
"Meledaknya Slank membuka keran juga bagi band-band yang nongkrong di Potlot. Uniknya mereka secara umur di bawah Slank, seperti The Flowers, Kidnap Katrina, sehingga mereka dipengaruhi dari yang alternatif hingga revivalis musik 70-an. Dan mereka lagi-lagi main di pensi-pensi," kata Harlan.
Daya tarik Slank bagi generasi 90-an adalah masuknya unsur-unsur bahasa slang dalam lirik yang mereka gubah dan punya relasi dengan kehidupan anak muda urban terutama Jakarta.
Menurut Harlan, meski musik mereka mengadopsi rock barat, tetapi cita rasa Indonesianya kental sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat dari berbagai lapisan.
Eka Annash, dari The Brandals menyebut bahwa dua album pertama Slank adalah album yang paling penting untuk generasi dia yang besar di awal 90-an.
Menurut dia, saat itu belum banyak band yang bisa mewakili secara gamblang dorongan kebebasan mereka dalam berekspresi.
Slank tidak hanya mewakilinya lewat musik, lirik yang beragam, tetapi juga fesyen dan aksi panggung.
"Konteks lagunya mulai dari aborsi, nraktir cewek, sampai melawan ke otorita dia ada. Mereka memantik rasa percaya sama diri sediri walau pun lo anak kampung, itu nempel ke gue rasa percaya diri dari lirik-lirik mereka," ucap dia.
Slank kemudian melaju dengan formasi album pertama dan kedua hingga album "Minoritas" pada 1996. Sayang, pada album keenam, "Lagi Sedih", Slank ditinggal Pay, Bongky, dan Indra hingga hanya menyisakan Bimbim dan Kaka saja. "Lagi Sedih" (1997) pun digarap dengan bantuan Ivan pada bass dan Reynold pada gitar.
Pada 1998, Slank solid dengan formasi baru yakni Kaka, Abdee, Ivan, Ridho, dan Bimbim dengan merilis album "Tujuh" dan bertahan sampai hari ini.
Selain Slank di Jakarta, rock yang lebih mudah didengar sejatinya bukan hanya milik Jakarta. Di Surabaya misalnya ada Dewa 19 yang dipenggawai oleh Ahmad Dhani, Ari Lasso, Andra, Erwin, dan Wawan yang merilis debutnya pada 1992 dengan memunculkan hits "Kangen".
"Itu membuat musik rock yang lebih manis pun ada, si Dewa ini. 'Kangen' kan video klipnya kencang banget, (rock) beragamanya tuh beragam sekali. Sudah campuran macam-macam musik," ucap dia.
Hair metal yang glamor mendominasi corak musik rock di sepanjang dekade 80 rubuh lewat gerombolan anak-anak muda berkemeja belel dengan jeans yang rombeng pada 1991.
Mereka menjadi antitesa dengan musik yang bising dengan riff yang sederhana jauh dari skill gitar paripurna ala rock heavy metal, hard rock, glam rock, dan sejumlah turunannya.
Lengkingan vokal tinggi pun diganti dengan teriakan kemarahan. Dengan nama grunge, anak-anak muda ini menjadi perwakilan gemilang dari para generasi x.
Di departemen lirik, grunge cenderung depresif dan dinilai pas dengan situasi Amerika di bawah Reagan saat itu yang lewat kebijakan ekonomi politiknya melahirkan generasi muda yang ambigu, sinis, dan apatis.
Harlan Boer, musisi sekaligus pengarsip menyebut album "Nevermind" dari Nirvana yang dirilis pada 1991 meledak sekaligus mengancam eksistensi heavy metal yang kental dengan band-band rock era 80-an.
"Itu bisa dibilang (rock 80-an) sudah selesai. Nirvana menjadi sangat besar," kata Harlan.
Sejatinya, grunge adalah nama yang diciptakan media untuk rumpun dari punk yang muncul di Amerika dan Inggris dekade 70.
Bedanya, grunge lebih bereksplorasi lagi pada sound gitar sehingga menghasilkan kebisingan yang lebih tajam dan kotor.
Taufiq Rahman dalam "Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock and Roll Sampai 15.000 Kilometer" menyebut "Nevermind" adalah pemberontakan yang sangat laku.
Kritikus musik menilainya sebagai saat yang tepat untuk punk dan memboyong banyak band-band senafas yang sebelumnya hanya bermain di kancah bawah tanah seperti Alice in Chain, Soundgarden, Stone Temple Pilot, hingga Pearl Jam.
Persaingannya dengan hair metal diulas oleh Nuran Wibisono dalam "Nice Boys Don't Write Rock n Roll: Obsesi Busuk Menulis Musik". Menurut dia, Guns n Roses yang bersaing hebat dengan Nirvana saat itu mewakili zamannya masing-masing.
Guns n Roses tipikal pemuda 80-an yang bandel dan memberontak tetapi juga sangat gemar bersenang-senang, sementara Nirvana mewakili kemarahan dan apatisme generasi X.
Sementara di kancah lokal, ledakan grunge yang memboyong banyak referensi musisi Seattle lainnya menghadirkan semangat baru atas rock yang selama ini hanya dimainkan oleh mereka yang punya skill di atas rata-rata.
Lewat grunge, timbul pemahaman bahwa semua bisa bermain musik. Ini menjadi cikal bakal skena independen yang berkecambah di era 90-an terutama Bandung dan Jakarta.
Sebetulnya, grunge masuk ke skena lokal bukan sebagai referensi tunggal. Di era yang sama, punk juga mulai diembuskan oleh kolektif Young Offender.
Dibentuk oleh sejumlah anak muda yang sempat mengenyam pendidikan di Amerika, Young Offender disebut sebagai komunitas punk pertama di Indonesia dan menghadirkan sejumlah band seperti Submission, Punktat, Pestol Aer, Wondergel, dan lain-lain.
Penulis "Bandung Pop Darlings" Irfan Muhammad menyebut bahwa Young Offender bukan hanya melahirkan band tetapi juga menyebarkan referensi musik yang saat itu belum mudah diakses.
Lewat acara berkala bernama Black Hole, para penggawa Young Offender mengubah klab malam yang selama identik dengan disko menjadi ajang memutar musik punk, alternative rock, indie, hingga industrial.
"Kecuali metal. Young Offender itu justru hadir sebagai antitesa dari metal. Saat itu Jakarta sedang gandrung thrash dan mereka memperkenalkan bahwa selain thrash adalagi musik-musik keren yaitu punk dengan segala macam turunannya," kata Irfan.
Pestol Aer, band dari kelompok Young Offender pula yang akhirnya membuat tren baru dengan membanting stir dari membawakan punk seperti Sex Pistols menjadi Britpop seperti Oasis dan The Stone Roses.
Memasuki millenium ketiga, musik rock di Indonesia memiliki lebih banyak ragam. Selain karena warisan musik independen 90-an yang sudah banyak menawarkan referensi baru, ragam jenis rock di ranah nasional pun berkelindan dengan gejala perkembangan musik rock di jagat internasional.
SelengkapnyaRiuhnya rock di era ini tak hanya milik arus utama, kelompok musik yang besar dari lingkungan panggung bawah tanah mulai punya ruang gerak yang lebih leluasa.
SelengkapnyaMemasuki millenium ketiga, musik rock di Indonesia memiliki lebih banyak ragam. Selain karena warisan musik independen 90-an yang sudah banyak menawarkan referensi baru, ragam jenis rock di ranah nasional pun berkelindan dengan gejala perkembangan musik rock di jagat internasional.
Pasca-grunge di 90-an misalnya, Amerika Serikat menghadirkan banyak band modern rock atau rock alternatif seperti Creed, Alter Bridge, Hoobastank, Audioslave, hingga Puddle of Mudd yang lebih punya fidelitas tinggi ketimbang grunge yang amatir.
Beberapa band ini sebetulnya sudah terbentuk sejak 90an, tetapi baru mendapat sorotan di era 2000-an. Misalnya Puddle of Mudd yang terbentuk 1991, tetapi baru mendapat rekaman profesional sepuluh tahun setelah terbentuk dan melejitkan single "Blurry" ke Billboard Top 100.
Sama seperti di Amerika, euforia Britpop yang terjadi di Inggris pada dekade 90 pun diteruskan karakternya meski dengan semangat yang berbeda. Inggris menghadirkan band-band yang lebih eksperimental seperti Muse, Radiohead, atau Coldplay yang lebih mudah didengar.
Kemunculan band-band seperti ini banyak mengilhami band pop rock di kancah arus utama musik nasional. Apalagi setelah Peter Pan sukses dengan lagu "Mimpi Yang Sempurna" pada 2003.
Beberapa band lain yang bisa disebut dapat sorotan di antaranya The Cat, Tic Band, Taboo, Dr. PM, dan Nidji. Sementara sebelum mereka, gejalanya sudah terlihat lewat band-band seperti Sheila on 7, Alv, atau jebolan kompilasi Indie Ten (1998) yaitu Cokelat, Caffeine, hingga Padi yang merilis debut albumnya di rentang 1999 sampai 2000.
Di saat yang bersamaan, jenis musik yang sebelumnya tidak identik dengan genre rock pun mulai banyak yang mengadopsi formula musik rock.
Ini cukup kentara untuk jenis musik ska dan hip hop, ska yang muncul di 1950-an mulai mendapat pengaruh dari punk dan hardcore sejak 90-an hingga disebut sebagai gerakan gelombang ketiga dari musik ini.
Penulis buku "Bandung Pop Darlings", Irfan Muhammad mengatakan, di ranah lokal, fenomenanya sudah terasa sejak musik independen marak. Tetapi semakin mudah diakses ketika gelombang band-band ska-punk seperti Tipe-X, Noin Bullet, Purpose, Jun Fan Gang Foo yang sebelumnya underground mengikat kontrak dengan label rekaman besar. Itu terjadi di rentang tahun 1999 hingga paruh pertama dekade 2000.
Sementara itu hip metal yang di luar diwakili oleh band-band semacam Limp Bizkit, Linkin Park, Korn, P.O.D, atau Rage Against The Machine, di kancah lokal diadopsi oleh band-band seperti Kripik Peudeus, 7 Kurcaci, Scope, dan Saint Loco.
Irfan menuturkan, di era ini banyak sekali band lokal yang secara "plek-plekan" terinspirasi dari band luar dan tanda tangan kontrak dengan label mayor.
Selain 7 Kurcaci yang cukup serupa dengan Korn ada juga misalnya Funky Kopral yang terlihat banyak mengambil pengaruh dari Red Hot Chilli Peppers atau band Gallery, pesohor Cindy Fatikasari yang hampir menyerupai No Doubt.
"Enggak cuma band dari barat tapi juga band-band dari Jepang. J-Rocks misalnya sangat ketahuan kalau terinspirasi L'arc en Ciel. Jika sebelumnya musik yang tak biasa ini hanya muncul di panggung underground, memasuki millenium baru, band-band ini masif menghadirkan tawaran musik baru di arus utama," kata Irfan.
Di sisi lain, band-band rock yang telah duluan ada mampu membuat kejutan yang lebih segar di era ini. Jamrud misalnya, merilis "Ningrat" (2000), Slank dengan "Virus" (2001), dan Dewa yang kembali setelah Ari Lasso hengkang dengan "Bintang Lima" (2000).
"Ada juga Edane, band lama yang kemudian mendapat pendengar baru lewat single 'Kau Pikir Kaulah Segalanya' atau pecahan Slank Bongky, Indra Q, dan Pay yang membentuk BIP dengan single '1000 Puisi' pada 2001. Kalau boleh dibilang meski tidak besar gaungnya, tapi khazanah rock di era ini lebih beragam. Mau tidak mau entah kenapa orang bisa dengar dan diam-diam hapal lagunya," kata Irfan.
Perhatian publik pada peluncuran lagu-lagu itu terbilang cukup baik. Dalam "Rock N Roll Industri Musik Indonesia: Dari Analog ke Digital", Theodore KS menulis Jamrud bisa menjual "Ningrat" sebanyak dua juta keping hingga diganjar 10 Platinum dari Logiss Records.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Dewa dengan "Bintang Lima" atau pendatang baru saat itu, Sheila on 7 yang menjual debutnya hingga satu juta kopi.
Riuhnya rock di era ini tak hanya milik arus utama, kelompok musik yang besar dari lingkungan panggung bawah tanah mulai punya ruang gerak yang lebih leluasa.
Apalagi ketika musik arus utama yang kerap menghiasi televisi semakin membosankan, sebagai imbas dari banyaknya band --mengutip Denny Sakrie-- pop (rasa) melayu dan terlalu sering tampil di layar kaca pada paruh kedua dekade 2000.
Dalam "100 Tahun Musik Indonesia", Denny Sakrie menulis, acara-acara musik TV yang terlampau banyak dan menampilkan band-band pop (rasa) melayu ini tak jarang mendapat cemooh karena kualitas musik yang rendah dan lirik yang hanya berkutat pada permasalahan selingkuh saja.
"Pada saat itulah muncul 'counter' yang bertolak belakang. Ada suatu yang baru dengan cepat memikat titik perhatian," tulis Denny. "Counter" yang Denny maksud adalah musik indie.
"Gerakan indie label yang semula seperti mengenyam dunia sendiri, secara perlahan mulai dilirik. Mereka mulai menempati relung-relung penyimak musik Indonesia," tulis Denny lagi.
Pelaku skena musik indie, Eka Annash menyebut bahwa embrio musik indie sudah terasa di era 2000-an awal. Itu merupakan perpanjangan dari skena yang sudah dimulai sejak dekade 90.
Eka dikenal sebagai vokalis dari band rock n roll The Brandals yang berdiri di era 2000-an. Namun sebelum itu, di era 90-an, Eka lebih diketahui sebagai vokalis Waiting Room.
Hubungannya dengan kancah musik independen Jakarta sempat terputus seiring kepergiannya ke Australia untuk sekolah. Sepulangnya dari benua Kangguru, Eka sempat diajak beberapa kawannya untuk menghadiri perhelatan musik independen di Jakarta yang dia kira sudah tak ada lagi.
Di sebuah perhelatan musik di Institut Kesenian Jakarta, Eka menonton The Upstairs. Band yang membuatnya kepincut sebelum kemudian berkenalan dengan vokalisnya, Jimmi Multazam.
"Dari situ gua merasa kalau band-band begini masih ada. Panas gua langsung, pengen punya band lagi. Pas gua pulang, adik gua almarhum lagi bikin band sama teman-temannya, gua denger keren juga. Diajak lah gabung," kata Eka.
"Jadi bisa dibilang era 2000-an ini renaisans-nya musik independen di Jakarta," kata dia.
Eka tak mengetahui pasti apa sebabnya percikan band independen ini bisa mendapat sorotan. Dia menduga di era itu industri sempat stagnan yang membuat gerakan bawah tanah jadi pilihan.
Tak berselang lama, band-band ini kian menguatkan eksistensinya dengan rekaman yang dirilis lewat label independen seperti Aksara (Jakarta) atau FFWD (Bandung) dan semakin dikukuhkan lewat industri Pesta Seni di sekolah-sekolah menengah atas, terutama di Jakarta dan Bandung.
Beberapa band yang muncul selain The Brandals dan The Upstairs di antaranya Seringai, Teenage Deathstar, dan The S.I.G.I.T.
"Musiknya juga variatif, tidak ada satu corak tertentu. Di Pensi line-up-nya diambil dari band-band ini. Banyak yang jadi Raja Pensi. Lama-lama sudah terbentuk industrinya, konsumennya, sehingga permintaan sudah mulai ada," kata dia.
Eka tak menampik bahwa sebelum era ini, Pensi sudah sering digelar. Namun di dekade 1990-an itu hanya terbatas pada sekolah-sekolah yang dikenal elit.
Sementara di dekade 2000-an, Pensi bisa digelar oleh sekolah mana saja seiring zaman yang lebih fleksibel baik dari pengadaan logistik dan banyaknya band yang punya kualitas bagus namun dengan rate yang lebih murah ketimbang band-band yang main di Pensi 90-an.
"Kalau di Pensi 90-an itu kan yang datang misalnya Java Jive, Dewa, Kahitna, GIGI yang mahal. Bawa ke sponsor pun enggak nutup. Di era 2000-an lebih 'budget friendly'," kata dia.
Dekade ini pun disebut Eka sebagai era musik independen mendapat kue yang besar dari industri musik Indonesia.
Mengenai fenomena ini, Penulis Bandung Pop Darling Irfan menyebut dukungan media juga cukup masif untuk kemunculan dan keterkenalan band-band ini.
MTV Indonesia yang belum lama terbentuk misalnya, rutin memutar klip dari band-band ini. Begitu juga media alternatif yang punya pengaruh besar seperti Ripple Magazine di Bandung, atau HAI yang mencakup skala nasional.
"Soundtrack juga. Misalnya ada 'Janji Joni' (2005), 'Catatan Akhir Sekolah' (2005) yang cukup laku di pasaran dan lagu latarnya diisi oleh band-band ini," kata Irfan.
Pengamat dan penulis musik Idhar Resmadi menuturkan, saat itu bisa dibilang media informasi seperti cetak, TV, dan radio memang sedang jaya-jayanya. Hal itu berimbas juga pada band-band indie yang berkembang tadi karena sering dapat jatah tayang di media-media tersebut.
Di fase kekosongan ideologi ini, band-band indie yang muncul juga lebih banyak bercerita tentang keseharian atau diri sendiri yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk menikmati musik yang lebih lepas.
"Beda dengan 90-an Pure Saturday dengan 'Utopia' (1999) juga ada unsur politiknya, pengaruh lingkungan. Memasuki 2000-an pasca-reformasi kan euforia kita lepas, kebudayaan barat tinggi, liberal, itu kelihatan banget, dari musik, budaya, parti bebas," ucap dia.
Adapun yang jadi pengaruh untuk kelompok musik indie, diakui Idhar cukup beragam, namun seperti yang terjadi di luar banyak pengaruh dari musik era 70-an yang diadaptasi kembali oleh generasi rock di dekade 2000.
"Makanya ada istilah era revivalist. Mulai kelihatan di scene lokal, misalnya kayak The S.I.G.I.T, Teenage Death Star, The Adams, mereka mengkomposisi musik-musik lama jadi kekinian," ucap dia.
Ungkapan musik rock sudah mati dengan mudah dibantah dengan masih ramainya band-band berdistorsi yang naik-turun di tangga lagu internasional.
SelengkapnyaPerkembangan teknologi dari analog ke digital dalam memproduksi musik, secara langsung, turut mengubah industri musik, terutama bagaimana musik itu dibuat dan dikonsumsi.
SelengkapnyaTidak ada rumus untuk menebak tren musik di masa depan, tapi ada yang meyakini bahwa musik sama seperti fesyen; ada siklus pengulangan tren dalam sebuah era.
SelengkapnyaUngkapan musik rock sudah mati dengan mudah dibantah dengan masih ramainya band-band berdistorsi yang naik-turun di tangga lagu internasional.
Di kancah internasional hingga September 2019 masih banyak produksi musik dari keluarga besar rock, antara lain Motley Crue, Slipknot, Blink 182, SUM41, Weezer, Green Day, dan Bring Me the Horizon.
Maka tidak salah juga apabila beberapa musisi Indonesia menilai bahwa rock memang tidak mati. Mungkin para pendengarnya yang terlalu asyik dengan musik di eranya sendiri, sehingga tidak update terhadap perkembangan musik saat ini.
"Memang tidak bisa dibantah, kita sering tidak mau dengar musik yang di luar era kita," kata gitaris Edane dan mantan personel God Bless, Eet Sjahranie, kepada ANTARA.
"Mungkin lebih tepat band-bandnya yang berkurang, tapi musik rock jalan terus," kata dia.
Musisi dan presenter Eddi Brokoli juga menilai rock tidak mati, melainkan hadir dengan kemasan lain yang tidak tertangkap media konvensional, misalnya televisi, sehingga anggapan itu muncul.
"Coba tengok Youtube. Ketik 'rock 2019' segala macam rock dengan berbagai kemasan ada. Mulai dari musik terbarunya, video klip, sampai channel khusus rock," kata Eddi.
Di panggung nasional masih ada Seringai, Burgerkill, Superman is Dead, Kelompok Penerbang Roket, hingga Navicula. Saintloco bahkan merilis single "Nakal" dan Cokelat mengenalkan "Anak Garuda" pada tahun ini.
Kendati demikian, akan terlalu naif jika menggambarkan skena musik rock di Indonesia sedang baik-baik saja. Istilah stagnasi mungkin tepat untuk menggambarkan hal itu.
Stagnasi terjadi karena tidak ada hal yang benar-benar baru dan segar yang bisa ditawarkan musik rock di era sekarang.
"Sebetulnya perkembangan sementara ini sedang stagnan karena semuanya sudah terlaksana. Semua hal sudah dilakukan, jadi seolah tidak ada hal baru," kata Eet.
Eet menggambarkan bahwa musisi rock sudah berupaya menghadirkan hal yang segar sejak era 1990-an, baik itu lewat kolaborasi atau menghadirkan hal baru pada album rekaman. Saat industri rekaman meredup, musisi rock juga menghadirkan kreasi baru di panggung.
"Kolaborasi biasanya banyak di panggung ketimbang rekaman, karena peluangnya akan terbuka lebih banyak di panggung. Misalnya saya sering banget bareng sama God Bless," kata dia.
Gitaris Cokelat, Edwin Marshal Syarif, menilai bahwa stagnasi di musik rock tidak perlu diperdebatkan, melainkan menjadi tantangan bagi para musisi untuk menghasilkan karya baru.
"Sejak dahulu ya, rock itu pasarnya unik. Musik rock bukan santapan banyak orang. Tapi pendengarnya loyal, bahkan tumbuh kok, meski tak jadi menu mainstream," katanya.
Tetapi untuk melahirkan hal baru di dunia rock tidaklah mudah. Sosok jenius yang bisa membuat rock tidak berjalan di tempat justru tidak kunjung hadir di Indonesia.
Sosok jenius masih berputar di nama Ian Antono, Ahmad Albar, Aziz MS Jamrud, Piyu Padi, Eross Sheila on 7, Jerinx Superman Is Dead, Roy Jeconiah eks-Boomerang, dan nama-nama lainnya yang tidak terlalu banyak untuk disebutkan.
Alih-alih bereksperimen mencari hal baru, ternyata banyak juga yang memilih untuk bertahan dengan karakternya. Hal baru mungkin akan menggaet pendengar muda, namun bisa saja menuai protes dari penggemar lama.
Penggemar hard rock pasti condong menyukai musik dari gitaris skill level tinggi dengan lirik romansa ketimbang musik rock alternatif yang ditawarkan beberapa tahun lalu.
Atau penggemar punk rock akan masuk ke dunia lain saat menyaksikan vokalis kesayangan menggendong gitar sambil bernyanyi dengan tiga chord bertempo cepat, daripada menguping sebaris lagu dari band punk yang bereksperimen dengan suara digital synthesizer.
Bahkan, saat ini rasanya lebih mudah mencari band yang memainkan musik "mundur" ke era 1970-1980-an, misalnya rock n'roll, metal, dan hardcore.
Apakah musik rock yang benar-benar segar itu memang sudah tidak ada?
Perkembangan teknologi dari analog ke digital dalam memproduksi musik, secara langsung, turut mengubah industri musik, terutama bagaimana musik itu dibuat dan dikonsumsi.
Pada era analog, musisi rock Indonesia pernah merasakan manisnya penjualan album fisik, misalnya God Bless melalui album Semut Hitam pada 1998 sekira 400 ribu copy. Sedangkan pada era semi-digital Jamrud bisa menembus 2 juta copy melalui album Ningrat pada 2000.
Padi, Dewa, dan Cokelat adalah beberapa band yang dengan embel-embel rock -- rock alternatif atau pop-rock -- yang pernah mencicipi manisnya era musik dari sisi bisnis sebelum era digital benar-benar bergulir.
Era digital dalam produksi musik ibarat "taman bermain" bagi musisi. Mereka bisa menciptakan efek suara, bereksperimen, dan proses rekaman menjadi lebih praktis. Jadi, bukan itu masalahnya. Sampai di sini perlu disepakati bahwa teknologi digital begitu berguna dalam proses produksi.
Yang menjadi masalah adalah ketika format musik digital MP3 begitu mudah diunduh, disebar, dan dinikmati dalam bentuk "bajakan".
"Manis banget, tapi zaman berubah. Masa kaset ke CD tidak terlalu terasa, namun ketika CD dihajar MP3, itu terasa banget. Bajakan di mana-mana. Tapi musik tetap bertahan," kata pemain bass Cokelat Ronny Febry Nugroho kepada ANTARA.
Produk bajakan bukan hal baru di industri musik. Sudah ada sejak zaman kaset pita, jadi bukan alasan bagi musisi untuk habis akal, meski tetap susah untuk dilawan.
Penjualan album fisik pada awal 2000-an terus turun. Bahkan setelah era itu tidak ada yang bisa menembus 1 juta kopi hingga 2010. Jangan tanya bagaimana era sekarang, tembus 150 ribu copy saja sudah mendapat gelar platinum.
Tentu hal itu adalah dekade yang penuh tantangan untuk pemusik. Lantas bagaimana mereka bertahan dalam periode transisi teknologi dan bisnis itu?
"Jangan karena pernah jual 1 juta copy, dan sekarang cuma jual 150 ribu, terus jadi lemah dan malas," kata Ronny. "Justru ini tantangannya. Bagaimana berkarya saat teknologi terus bergerak. Ada digital, ada streaming, dan bagaimana peluang di masa depan."
"Teruslah berkarya, karena karya terbaik akan tetap dicari. Musik tak akan mati. Bisnis lain tidak mati dengan hadirnya digital, bukan?" kata dia.
Eet Sjahranie, gitaris Edane dan mantan personel God Bless, tidak punya resep khusus untuk bertahan di skena musik rock selama lebih 30 tahun, selain semangat untuk terus berkarya.
"Kuncinya karena senang. Bukan tak butuh duit, tapi kalau senang ya tak kepikiran yang lain. Berkarya saja terus," kata Eet.
Gitaris nyentrik penggemar band hard-rock Van Halen itu tidak mau ambil pusing soal pergeseran teknologi analog ke digital yang turut mengubah pola pendengar dari kaset ke streaming melalui ponsel.
"Digital itu memberikan hal yang praktis," katanya. "Tidak ada kesulitan dan memang harus ikut zaman."
Selain pernah sukses bersama God Bless, nama Eet juga pernah berkibar saat Edane merilis 170 Volts pada 2002 dengan hits "Kau Pikir Kau Lah Segalanya".
Dalam transisi pola rekaman, Eet mengakui bahwa Edane pun beradaptasi menuju era digital. "Kami sudah digital sejak 2004. Terakhir yang semi-digital pada 2001, awalnya masih pakai pita terus pindah ke digital," kata Eet.
Streaming
Studi "Music in the Digital Age: Musicians and Fans Around the World 'Come Together' on the Net" dari State University Winston-Salem, North Carolina Amerika Serikat, menuliskan bahwa ada tiga jenis pendengar musik.
Pertama adalah yang siap atau berusaha membeli karya, kedua adalah yang tidak pernah membeli tapi menikmati musik melalui radio atau televisi, dan ketiga adalah penikmat musik bajakan.
Saat penjualan CD menurun dihantam mudahnya akses musik bajakan, teknologi terus berinovasi sampai kemunculan layanan streaming musik. Penikmat musik ilegal tidak perlu membajak musik, cukup dengarkan melalui aplikasi streaming. Sedangkan pendengar loyal tentu akan tetap membeli album fisik.
Streaming musik juga membuka jendela bagi pendengar musik lainnya untuk mencoba mendengarkan musik-musik baru. Penggemar rock bisa mendengarkan musik jazz atau country tanpa harus membeli, sedangkan musisi tetap mendapatkan haknya dari pemutar digital itu.
Musisi Eddi Hidayatullah atau akrab disapa Eddi Brokoli menilai bahwa era musik rock saat ini sudah lebih terbuka dan lepas dari pakem-pakem rock terdahulu.
"Sekarang rock semakin ramai. Jika gua punya anak di era 2000-an, mungkin rak kasetnya berisi Metallica, Pantera, Antrax, Slayer, alias satu genre semua. Bisa juga Sex pistols, The Clash, Ramones, dan kawan-kawannya," katanya.
"Tapi anak rock sekarang bisa saja habis dengan Greenday pindah ke Coldplay, dan lain-lain. Mereka tak salah, memang era ini membuat referensi menjadi banyak," kata vokalis Harapan Jaya itu.
"Sekarang semua orang layak menjadi music director karena referensi musiknya banyak."
Era musik streaming juga membuka mata penikmat musik untuk menyimak perkembangan terkini. Tanpa harus berburu kaset, cukup pijat layar ponsel.
"Saat gua buka Youtube, gua mau tahu the latest band rock, ternyata banyak yang gua belom tahu. Ternyata ada band ini, musik rock sekarang seperti ini. Tapi ada juga band rock yang lain, yang berbeda," kata Ronny
Tidak sekadar membuat musik lebih praktis, era streaming juga memberikan harapan kepada para musisi untuk mendapatkan hak-haknya dari lagu-lagu yang diputar secara digital.
"Sejauh ini belum cek detail, tapi ada report dari record company kalau memang ada yang masuk dan digital itu ada efeknya," kata Eet.
Eet, Ronny, dan Eddi menilai bahwa era musik streaming membuka peluang seluas-luasnya kepada calon musisi untuk berkarya. Berkat kemudahan digital, musik bisa diproduksi di rumah, didistribusikan lewat platform online, tanpa terikat label rekaman, biaya rendah, efisien dan dapat menyentuh segmen pendengar secara spesifik.
Satu lagi, melalui platform digital berbasis web, musisi tidak hanya menyuguhkan lagu, melainkan informasi jadwal panggung, musik hingga penjualan merchandise dalam satu paket.
"Kuncinya adalah karya. Terus berkarya, nanti ketemu jalannya," kata Ronny.
Tidak ada rumus untuk menebak tren musik di masa depan, tapi ada yang meyakini bahwa musik sama seperti fesyen; ada siklus pengulangan tren dalam sebuah era.
Dalam skena musik rock Indonesia, era 1970-an adalah masa terang setelah musik keras itu masuk ke bumi nusantara. Entah kebetulan atau faktor lain, musik rock kian berkembang dan lebih berwarna pada 1990-an.
Hard rock dan progresif merajai panggung musik gahar 1970, kemudian 20 tahun kemudian satu gerbong berisi musik keras jenis punk, grunge, hardcore, dan lainnya lantang bersuara pada 1990-an.
Konsep do it yourself (DIY) atau berproduksi mandiri alias indie (independent) menjadi salah satu repertoar yang disisipkan beberapa musisi rock di era 1990-an.
Alasannya mungkin musik keras jenis itu belum masuk radar perusahaan rekaman di sini, bisa juga karena musik yang terlalu cadas, tapi yang pasti marketnya tidak sesuai dengan bidikan sang raksasa rekaman.
Namun pasar selalu memberikan tanda-tanda yang bisa ditangkap perusahaan rekaman. Pada 1990-an musik rock alternatif menjadi warna baru dalam industri rekaman Indonesia.
Musik rock bawah tanah punya jalurnya sendiri. Mereka memproduksi sendiri, memanfaatkan basis penggemar loyal, kemampuan produksi mandiri secara kolektif, dan sistem distribusi langsung kepada penggemar atau "tongkrongan" secara efisien.
Indie bukan sekadar musik. Di dalamnya ada simpul-simpul produksi padat karya untuk memproduksi ragam produk fesyen, panggung, hingga majalah komunitas. Pokoknya urusan musik dan segala produk penunjangnya selesai oleh tangan mereka sendiri.
"Era indie, komunitas sangat mendukung. Band dibesarkan bukan oleh label. Tapi oleh komunitasnya sendiri," kata Eddi Brokoli, musisi yang populer bersama Harapan Jaya di era 1990-an, kepada ANTARA.
Musisi dan presenter berambut kribo itu menilai musik indie -- termasuk rock -- punya penggemar loyal yang membuat terus berputarnya siklus produksi musisi kemudian dikonsumsi oleh penggemar.
Tidak perlu mengulas kiprah PAS Band, Pure Saturday, Superman is Dead, Sore, Naif, hingga Rocket Rockers, saat mereka memulai kiprah secara mandiri. Kendati sebagian ada yang melompat ke major label, itu merupakan dinamika yang membuktikan bahwa pasar pernah berpihak pada musik dengan sound berdistorsi.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah musik indie setidaknya lebih punya ketahanan dalam menghadapi pergeseran pasar. Saat industri rekaman besar dihajar badai penurunan penjualan, musisi indie tetap punya panggung untuk bertahan.
Atas dasar itu, Eddi menilai bahwa zaman sedang berpihak pada musik indie pada saat ini. Bahkan ia menyebutkan bahwa hampir semua musisi sudah indie untuk saat ini.
"Sejarah sedang berulang, musik indie lagi naik kembali seperti zaman gua dahulu," kata Eddi. "Sekarang sebut siapa band major label yang besar, hitungan jari. Sebut yang indie, banyak, kan?"
Dadang SH Pranoto, gitaris Navicula, sependapat dengan hal itu. Ia mengatakan skema indie bukan sekadar memproduksi mandiri, melainkan sebuah pergerakan.
"Aku pikir grafiknya naik, apalagi setelah mayor label kolaps. Indie bergerak, seperti pergerakan," kata Dadang di Bali beberapa waktu lalu.
"Festival sudah jarang digarap mayor. Sekarang isinya indie. Pada zamannya band itu tur 30 kota. Sekarang yang kita lihat, Seringai, Barasuara yang tur kemana-mana. Membanggakan memang," kata dia.
Eet Sjahranie tidak spesifik menyebut era musik indie, namun gitaris Edane itu meyakini bahwa saat ini adalah sebuah periode pengulangan dari era 1970-an ke 1990-an.
"Sekarang ini pengulangan dari yang lama," kata Eet. "1990-an adalah era kembalinya 1970-an."
"Bedanya, sekarang era yang merangkum semuanya. Dari musik hard rock 1970 hingga rock blues, punk, metal 1990-an, bercampur di saat ini."
Musisi sekarang sudah meringkas alur "birokrasi" untuk menerbitkan karya. Dahulu, musisi yang ingin besar harus menuju perusahaan label, melewati fase promosi di televisi dan radio, wawancara media dan konser untuk promo album. Hal itu melibatkan ekosistem besar bernama manajemen yang mengatur semuanya agar seirama.
Namun saat ini, musisi harus terjun langsung mengenalkan dirinya melalui media sosial. Tanpa terikat label pun tetap bisa berkarya untuk membuat album musik sendiri, mempromosikan sendiri, membentuk tim kecil yang bekerja lebih efisien.
"Dulu kami adalah musisi yang tidak sibuk karena diurus record company dan manajemen. Kami tahunya buat musik, wawancara, syuting video dan TV," kata Eet.
"Sekarang tidak bisa begitu. Sekarang kami juga mau tak mau nyebar pengumuman juga, lewat sosmed. Ini urusan record company, tapi ini kepentingan kami juga, jadi harus mau tahu urusan begini," kata dia.
Rock kian berona
Pakem musik rock tetap bermuara pada musik berdistorsi. Namun warna-warninya kian terlihat pada era 1990-an hingga masa kini.
Sulit mendefinisikan karakteristik musik rock Indonesia saat ini. Dari panggung-panggung besar mungkin penikmat musik bisa menyebut rock adalah God Bless, Jamrud, /RIF, Andra and The Backbone, bahkan Kotak.
Namun di skena lainnya, perlu pendalaman lebih lanjut untuk mendefinisikan sebuah musik untuk masuk dalam kategori rock. Superman is Dead misalnya, memblender punk-rock dengan rockabilly, terkadang disisipkan nuansa ska-reggae kala kolaborasi dengan Shaggy Dog. The SIGIT mengusung rock and roll, meski ada yang bilang garage rock.
Artinya, musik rock saat ini membobol batas-batas sub-genre dalam tubuh rock itu sendiri. Rock tidak selalu beriringan dengan vokal yang melengking, kadang mereka bisa berpadu dengan rap, juga deru distorsi menjadi akustik.
Apalagi saat ini, musik rock sudah ada yang dipadupadankan dengan turntable, bahkan orkestra.
"Rock ibarat mobil Ferrari. Semua orang tau Ferrari tapi tidak semua orang memahami spesifikasi Ferrari. Itulah rock," kata bassist Cokelat Ronny Febry Nugroho.
Kendati demikian, Ronny menilai tidak ada yang salah atas hal itu. Dengan banyaknya referensi musik yang masuk dan keluar dari telinga musisi, tentunya menjadi inspirasi untuk berkarya.
Tidak adanya label rekaman yang menaungi juga membuat musisi dapat berkarya tanpa adanya batasan, sejalan dengan itu, musik rock kian berwarna.
"Kami pernah merilis album indie, tidak mudah tapi kami merasakan," kata gitaris Cokelat Edwin Marshal Syarif sambil menambahkan bahwa merilis album secara mandiri memberikan proses yang lebih berkesan dan melibatkan kreatifitas yang mendalam.
Atas alasan itu, maka bisa dikatakan bahwa musik rock tidak mati, melainkan terus lahir kembali dengan rona yang berbeda. Hal itu adalah peluang bagi musisi muda untuk berkarya, apalagi sudah tidak ada batasan antargenre musik dan tidak harus melalui dapur perusahaan rekaman.
"Di masa sekarang, kita bisa dikenal orang dengan mudah tanpa perlu TV konvensional. Bisa bikin acara sendiri di Youtube, ada Instagram untuk kenalkan karya. Tidak perlu rekaman yang ribet seperti dahulu," kata Eddi.
"Kembali lagi, hal yang patut kami jual adalah source awalnya, musik itu sendiri. Tidak perlu lagi gimmick bahwa band itu keren hanya karena sering promosi sehingga orang terdoktrin," kata Dadang.
Akhmad Munir, Budi Setiawanto, Saptono, Teguh Priyanto
Sapto HP
Panca Hari Prabowo, Suryanto
Aubrey Kandelila Fanani, Afut Syafril, Alviansyah Pasaribu, Nanien Yuniar
Prasetyo Utomo
YOUTUBE
Yudi Rinaldi
Copyright © 2019 Antara