Ilustrasi - Para warga Florida antre untuk menggunakan hak pilihnya pada pemungutan suara awal dan layanan pos sebelum Pemilihan Presiden 3 November di Tempat Pemungutan Suara John F Kennedy Library, Hialeah, Florida, Amerika Serikat, Senin (19/10/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Alejandra Cardona/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Sebelum virus corona tipe baru menyebar melintasi batas negara dan dunia dalam hampir setahun terakhir, dunia telah mengalami sejarah panjang pandemi, salah satunya adalah wabah flu Spanyol.
Menurut sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam, kondisi pandemi COVID-19 yang sedang melanda dunia saat ini, mirip dengan pandemi flu Spanyol pada 1918-1919.
Penyakit itu juga mewabah di Indonesia, yang pada masa itu disebut Hindia Belanda. Pemerintah kolonial rutin berkeliling menggunakan mobil untuk menyosialisasikan betapa mematikannya virus flu tersebut dan warga diimbau untuk berada di rumah dan menjaga kebersihan.
Tri mengatakan bahwa pada saat itu terdapat perbedaan sudut pandang antara pemerintah kolonial dengan masyarakat Hindia Belanda dalam menanggapi flu Spanyol.
“Masyarakat memandang penyakit tersebut bersumber dari alam seperti debu, angin, dan lain-lain. Sementara pemerintah kolonial melihat sumber penularan berasal dari luar, yaitu dari orang-orang pendatang yang menjadi pembawa virus,” ujarnya.
Tri menjelaskan pada masa awal flu Spanyol menyebar, hampir tidak ada pemerintah maupun negara di dunia yang siap meresponsnya. Ketidaksiapan itu terlihat dari penanganan yang lamban.
Ketika penyakit itu mulai mewabah, dengan beberapa orang mulai memperlihatkan gejala-gejala tertentu, para petinggi sejumlah negara seolah-olah abai dengan fenomena yang terjadi di masyarakat.
Begitu pula dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ketika sudah ada laporan dari daerah melalui telegram yang menyatakan sudah ada banyak korban, di antaranya di Bali dan Banyuwangi, laporan itu tertahan selama berbulan-bulan di lembaga yang secara administratif setara dengan sekretariat negara.
“Karena tidak mendapat tanggapan, pemerintah kolonial di daerah akhirnya menjadi panik dan menyerahkan kepada masyarakat agar bertindak sendiri,” kata Tri. Ia menambahkan bahwa masyarakat Hindia Belanda lebih mengandalkan obat-obatan tradisional seperti jamu untuk memulihkan diri.
Menginfeksi sekitar 500 juta orang ---atau sepertiga populasi dunia saat itu--- dengan perkiraan 50 juta kematian, flu Spanyol disebut wabah penyakit terburuk pada abad 20.
Flu Spanyol disebabkan oleh virus H1N1 dengan gen yang berasal dari unggas. Meskipun tidak ada konsensus universal tentang dari mana virus berasal, virus tersebut menyebar ke seluruh dunia selama 1918-1919.
Di AS, virus ini pertama kali diidentifikasi pada personel militer pada musim semi 1918. Virus kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui jalur-jalur pelayaran dan perdagangan di sepanjang Amerika Utara, Eropa, Asia, Afrika, Brazil, hingga pulau paling terpencil di Pasifik.
Meskipun virus H1N1 dari tahun 1918 telah disintesis dan dievaluasi, sifat-sifat yang membuatnya begitu merusak tidak dipahami dengan baik.
Tidak ada vaksin untuk melindungi orang dari infeksi influenza, tidak juga antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri sekunder yang dapat dikaitkan dengan infeksi influenza. Dengan keadaan seperti itu, upaya pengendalian di seluruh dunia terbatas pada intervensi nonfarmasi seperti isolasi, karantina, kebersihan diri yang baik, penggunaan disinfektan, dan pembatasan pertemuan publik ---yang diterapkan secara tidak merata.
Sebagian besar orang yang terinfeksi flu Spanyol meninggal dengan cepat setelah timbul gejala, sering kali dengan pendarahan akut pada paru-para atau edema paru, dalam waktu kurang dari lima hari.
Berdasarkan catatan Pusat Nasional untuk Informasi Bioteknologi, Perpustakaan Nasional Kedokteran AS, ratusan autopsi yang dilakukan pada 1918 menunjukkan bahwa kematian orang-orang disebabkan oleh pneumonia dan kegagalan pernapasan.
Temuan ini konsisten dengan infeksi oleh virus influenza yang beradaptasi dengan baik dan mampu bereplikasi dengan cepat ke seluruh saluran pernapasan.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat mencatat tingginya tingkat kematian terjadi pada kalangan orang yang berusia kurang dari 5 tahun, 20-40 tahun, serta pada usia di atas 65 tahun.
Angka kematian yang tinggi pada orang sehat, termasuk kelompok usia 20-40 tahun, merupakan ciri unik pandemi ini. Angka kematian pada usia 15 sampai 34 tahun karena influenza dan pneumonia adalah 20 kali lebih tinggi pada 1918 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya
Universitas Stanford mencatat, pandemi influenza ini menyebabkan penurunan drastis harapan hidup secara global. Di AS sendiri, pengaruhnya begitu parah sehingga rata-rata harapan hidup tertekan selama 10 tahun.
Flu Spanyol mewabah pada akhir Perang Dunia I, ketika bangsa-bangsa telah berusaha mengatasi dampak dan biaya perang.
Tumbuhnya jiwa nasionalisme membuat orang-orang menerima aturan pemerintah, yang memungkinkan otoritas kesehatan dengan mudah turun tangan dan menerapkan langkah-langkah pembatasan untuk menanggulangi pandemi.
Meskipun disebut flu Spanyol, virus H1N1 yang menyebar secara global pada 1918-1919 bukan berasal dari negara Eropa itu.
Menurut sejumlah sumber, termasuk publikasi daring ilmiah Our World in Data, wabah influenza ini tidak terbatas di Spanyol dan bahkan tidak berasal dari sana.
Dinamai demikian karena Spanyol adalah pihak netral dalam Perang Dunia I (1914-1818), yang berarti bebas melaporkan tingkat keparahan pandemi, sementara negara-negara yang bertempur mencoba untuk menyembunyikan laporan tentang bagaimana influenza berdampak pada penduduk mereka, juga untuk menjaga moral dan tidak tampak lemah di mata musuh.
Asal muasal penyakit flu yang mematikan itu tidak diketahui di tengah banyaknya spekulasi.
Beberapa negara sekutu menganggap epidemi sebagai alat perang biologis Jerman. Banyak pula yang mengira penyakit itu adalah hasil dari perang parit, penggunaan gas mustard, dan asap yang dihasilkan dari perang tersebut.
Sebuah kampanye nasional bahkan mulai menggunakan retorika siap perang untuk melawan musuh baru berukuran mikroskopis itu.
Dalam kasus flu Spanyol 1918, dunia mula-mula percaya bahwa penyebarannya telah berhenti pada musim semi 1919, tetapi melonjak lagi pada awal 1920.
Seperti jenis flu lainnya, flu ini mungkin menjadi lebih aktif pada bulan-bulan musim dingin. karena orang menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan dengan jarak yang lebih dekat satu sama lain, ujar dokter dan direktur Pusat Sejarah Kedokteran di Universitas Michigan, Howard Markel.
Flu “cenderung mereda saat cuaca dingin turun, tetapi tidak ada yang tahu mengapa,” kata Markel seperti dilaporkan TIME.
Namun, pada pertengahan 1920, jenis flu yang mematikan itu sebenarnya telah cukup memudar sehingga pandemi berakhir di banyak tempat, meskipun tidak ada pernyataan dramatis atau mengesankan bahwa akhir itu telah tiba.
“Akhir pandemi terjadi karena virus tersebut beredar di seluruh dunia, menginfeksi cukup banyak orang sehingga populasi dunia tidak lagi memiliki cukup orang yang rentan sehingga virus tidak berkembang menjadi pandemi sekali lagi,” kata sejarawan medis J. Alexander Navarro, Asisten Direktur Pusat Sejarah Kedokteran Universitas Michigan.
“Ketika cukup banyak orang mendapatkan kekebalan, infeksinya perlahan-lahan akan mati karena lebih sulit bagi virus untuk menemukan inang baru yang rentan,” kata dia.
Namun, akhir dari pandemi 1918 bukan hanya akibat dari begitu banyak orang yang terjangkit sehingga kekebalan menjadi meluas.
Penerapan pembatasan sosial juga menjadi kunci. Imbauan kesehatan masyarakat untuk mengekang penyebaran virus penyebab flu Spanyol sangat mirip dengan yang diberlakukan di banyak negara saat ini, guna memerangi pandemi COVID-19.
Masyarakat dunia didorong untuk tetap sehat melalui kampanye yang mempromosikan pemakaian masker, sering mencuci tangan, karantina dan mengisolasi pasien, juga penutupan sekolah, ruang publik, dan bisnis yang tidak penting.
Semua langkah itu dirancang untuk memotong rute penyebaran virus.
Ilustrasi: Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, yang menjadi indikator geliat ekonomi, terutama ekspor-impor Indonesia (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)
Pandemi Flu Spanyol mengajarkan pemulihan bisa terjadi ketika masyarakat memiliki literasi yang memadai dan secara disiplin melaksanakan protokol kesehatan
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan berlalu dan hilang dari muka bumi, seiring dengan jumlah korban virus yang terus bertambah setiap harinya.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah resmi kasus virus corona global sekarang lebih dari lima kali lipat jumlah penyakit influenza parah yang tercatat setiap tahun.
Hingga 19 Oktober 2020, jumlah kasus sudah mencapai 40 juta jiwa, dengan angka kematian sebesar 1,2 juta orang, yang sebagian besar terjadi di AS, Brasil dan India.
Untuk itu, fokus utama dunia internasional saat ini adalah saling berlomba-lomba untuk menggencarkan pengembangan maupun pemasaran vaksin.
Situasi ini selalu menimbulkan harapan bahwa virus akan hilang, seiring kabar perkembangan positif setiap harinya dari penemuan zat kekebalan tubuh tersebut.
Selain itu, upaya pelaksanaan protokol kesehatan dengan menerapkan "3 M" juga terus dilakukan dengan mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak untuk mencegah penularan virus.
Di Indonesia, tercatat kasus COVID-19 telah mencapai 368.613 dengan sebanyak 289.243 orang sembuh dan 12.617 meninggal hingga 19 Oktober 2020.
Sebelum adanya pandemi ini, wabah serupa pernah melanda dunia, yang waktu itu belum sepenuhnya pulih dari Perang Dunia I, termasuk Hindia Belanda (Indonesia sebelum merdeka), yaitu Flu Spanyol pada 1918.
Jumlah korban dari penyakit mematikan yang disebabkan virus tipe A sub-type H1N1 ini diperkirakan mencapai 21,5 juta hingga 50 juta jiwa di seluruh dunia.
Di negeri tropis jajahan Belanda, setidaknya sebanyak 1,5 juta orang meninggal, dari pandemi yang datang dalam dua gelombang yaitu Juli-September 1918 serta Oktober-Desember 1918.
Flu Spanyol yang diduga berasal dari Kansas, AS ini menyebar pesat melalui mobilisasi tentara serta penduduk yang bermigrasi ke seluruh dunia, termasuk ke wilayah nusantara.
Menurut catatan Burgerlijken Geneeskundingen Dienst (BGD) atau Dinas Kesehatan Hindia Belanda, pandemi itu terjadi hampir di seluruh wilayah selama dua tahun atau hingga Desember 1920.
Sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam menilai kondisi saat terjadinya Flu Spanyol hampir serupa dengan situasi pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal 2020 ini.
Menurut dia, penanganan yang lamban terlihat hampir di seluruh negara ketika awal-awal wabah itu terjadi, karena menganggap penyakit tersebut merupakan flu yang tidak berbahaya.
Di Hindia Belanda, kondisi itu makin diperparah oleh adanya perbedaan sudut pandang antara pemerintah kolonial dengan masyarakat dalam menanggapi wabah ini.
Pemerintah kolonial melihat sumber penularan berasal dari luar, yaitu orang-orang pendatang yang menjadi pembawa virus. Namun masyarakat memandang penyakit tersebut bersumber dari alam seperti debu, angin dan lain-lain.
Pada waktu itu, Jawa termasuk menjadi salah satu episentrum wabah karena jumlah penduduk di daerah ini sangat padat dan pengusaha tetap memaksa adanya perdagangan melalui jalur laut.
Kemudian, pemerintah kolonial rutin melakukan sosialisasi secara keliling dan mengimbau kepada warga untuk memakai masker, menjaga kebersihan serta membatasi pergerakan dengan tinggal di rumah.
Salah satu sosialisasi itu melalui penerbitan buku penanganan wabah dengan menggunakan huruf Hanacaraka serta memanfaatkan tokoh-tokoh pewayangan agar edukasi berjalan dengan optimal kepada masyarakat.
Meski terlambat, pemerintah kolonial juga mengeluarkan protokol resmi atau Influenza Ordonantie pada 1920 yang mengatur hukuman bagi warga yang melanggar protokol, peraturan turun naik penumpang dan angkut barang di pelabuhan.
Dari sisi ekonomi, masalah kesehatan global itu menyebabkan terjadinya resesi karena aktivitas ekonomi tiba-tiba terhenti seiring dengan turunnya produksi dan berkurangnya lapangan kerja.
Di masa itu, kegiatan industri dan jasa maupun bisnis hiburan sempat mengalami kerugian. Meski demikian, ketika pandemi mulai terkendali, sektor kesehatan tercatat mengalami pertumbuhan yang signifikan.
Resesi modern
Sejarah itu kembali berulang di era modern, karena virus corona tidak hanya menimbulkan persoalan kesehatan serius, tetapi juga melahirkan masalah terhadap kegiatan ekonomi.
Terbatasnya aktivitas ekonomi akibat lockdown di berbagai wilayah, untuk mencegah penyebaran virus, telah membatasi pergerakan barang maupun jasa dan menekan permintaan masyarakat dalam masa-masa yang sulit ini.
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi global masih terkontraksi 4,4 persen pada 2020 dalam Laporan Proyeksi Ekonomi Global (WEO) pada Oktober 2020, atau sedikit lebih baik dari perkiraan Juni sebesar minus 5,2 persen.
Khusus Indonesia, IMF memperkirakan ekonomi tanah air di akhir 2020 akan terkontraksi 1,5 persen atau merupakan perkiraan yang wajar mengingat konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya pulih.
Di Indonesia, tanda-tanda perlambatan sudah terlihat pada triwulan I-2020 ketika wabah mulai masuk pada Maret. Permintaan yang lesu bahkan menyebabkan terjadinya inflasi tipis pada April-Juni.
Padahal dalam periode terjadinya Ramadhan dan Lebaran biasanya terjadi laju inflasi tinggi seiring dengan peningkatan konsumsi masyarakat pada momen spesial tersebut.
Kondisi itu menyebabkan ekonomi tidak bergerak dan terkontraksi 5,32 persen pada triwulan II-2020 dan deflasi terjadi selama tiga bulan berturut-turut yaitu Juli hingga September 2020 untuk pertama kalinya sejak 1999.
Untuk memperkuat daya tahan industri dan daya beli masyarakat, pemerintah membuat kebijakan untuk menghidupkan kembali ekonomi dengan memperlebar defisit anggaran hingga 6,34 persen terhadap PDB atau sekitar Rp1.039,2 triliun.
Dari pembiayaan tersebut, sebanyak Rp695,2 triliun dimanfaatkan untuk penanganan COVID-19 dengan beberapa fokus utama adalah penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat miskin, penguatan UMKM serta pemberian insentif bagi industri.
Hingga 14 Oktober 2020, ongkos penanganan COVID-19 sudah menghabiskan dana sebesar Rp344,11 triliun atau sekitar 49,5 persen dari Rp695,2 triliun.
Tahun depan, pemerintah juga memberikan stimulus fiskal dengan menetapkan defisit anggaran 5,7 persen terhadap PDB atau sekitar Rp1.006,4 triliun. Tidak sebanyak 2020, dengan harapan kondisi perekonomian mulai membaik pada 2021.
Berbagai stimulus fiskal ini berjalan seiring dengan kebijakan moneter atau berbagai pelonggaran lainnya yang dikoordinasikan bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Dalam Pertemuan G20, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan stimulus harus terus diberikan karena perekonomian global masih menghadapi ketidakpastian yang tinggi meski telah terdapat tanda-tanda pemulihan secara bertahap.
Komitmen ini dilakukan dalam rangka melindungi masyarakat, memastikan ketersediaan lapangan kerja, pemulihan ekonomi, dan ketahanan sistem keuangan dengan secara hati-hati dalam mengelola potensi risiko terhadap penurunan ekonomi.
Meski sudah melakukan berbagai upaya penanganan melalui sisi fiskal maupun moneter, ketersediaan maupun akses kepada vaksin dan melaksanakan protokol kesehatan secara konsisten merupakan kunci utama dalam pengendalian wabah.
Pandemi Flu Spanyol bahkan mengajarkan pemulihan bisa terjadi ketika masyarakat memiliki literasi yang memadai dan secara disiplin melaksanakan protokol kesehatan serta membatasi pergerakan.
Resep sederhana ini seharusnya bisa mempercepat pemulihan kesehatan dan kegiatan ekonomi agar kita bisa bermimpi untuk hidup normal kembali setelah berbulan-bulan berada dalam jurang ketidakpastian.
Oleh Satyagraha
Editor: Subagyo
COPYRIGHT © ANTARA 2020
Ilustrasi: Seorang pialang memotret layar monitor bursa saham di lantai bursa New York Stock Exchange di New York, (Amerika Serikat. ANTARA/REUTERS/Lucas Jackson/aa.)
Jakarta (ANTARA) - Krisis keuangan global yang terjadi pada 2008 sangat terkait erat dengan kondisi perekonomian Amerika yang memburuk.
Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat telah berkembang menjadi masalah yang serius.
Goncangan yang terjadi pada negara adikuasa tersebut dipastikan telah memberikan dampak terhadap perekonomian dunia. Gejolak perekonomian di AS telah memengaruhi stabilitas ekonomi global di beberapa kawasan.
Keterbukaan ekonomi antar negara, memungkinkan terjadinya resesi di suatu negara untuk mengarah dan mempengaruhi negara lainnya.
Dalam buku yang dirilis Bappenas berjudul "Penyebab dan Dampak Krisis Keuangan Global", disebutkan bahwa krisis keuangan yang terjadi di AS bermula dari krisis kredit perumahan di negara itu. Amerika Serikat pada 1925 telah menetapkan undang-undang mengenai Mortgage (Hipotek).
Peraturan tersebut berkaitan dengan sektor properti, termasuk kredit kepemilikan rumah yang memberikan kemudahan bagi para kreditur. Banyak lembaga keuangan pemberi kredit properti di Amerika Serikat menyalurkan kredit kepada masyarakat --yang sebenarnya secara finansial tidak layak memperoleh kredit.
Situasi tersebut memicu kasus kredit macet di sektor properti (subprime mortgage). Kredit macet di sektor properti tersebut mengakibatkan efek domino yang mengarah pada kebangkrutan beberapa lembaga keuangan di AS.
Keadaan seperti itu dikarenakan lembaga pembiayaan sektor properti umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain --biasanya adalah lembaga keuangan.
Jaminan yang diberikan perusahaan pembiayaan kredit properti adalah surat utang (subprime mortgage securities) yang dijual kepada lembaga-lembaga investasi dan investor di berbagai negara. Padahal, surat utang tersebut tidak ditopang dengan jaminan debitor yang memiliki kemampuan membayar kredit perumahan yang baik.
Dengan adanya tunggakan kredit properti, perusahaan pembiayaan tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada lembaga-lembaga keuangan, baik bank investasi maupun aset manajemen. Karenanya, likuiditas pasar modal maupun sistem perbankan terpengaruh.
Kondisi tersebut mengarah kepada terkurasnya likuiditas lembaga-lembaga keuangan karena tidak memiliki dana aktiva untuk membayar kewajiban yang ada.
Ketidakmampuan membayar kewajiban tersebut membuat lembaga keuangan yang memberikan pinjaman terancam bangkrut.
Kondisi yang dihadapi lembaga-lembaga keuangan besar di AS memengaruhi likuiditas lembaga keuangan yang lain, baik yang berada di dalam maupun di luar Amerika Serikat --terutama lembaga yang menginvestasikan uangnya melalui instrumen lembaga keuangan besar di negara itu. Di sinilah krisis keuangan global bermula.
Buku yang dirilis Bank Indonesia berjudul "Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2008" menyebutkan akibat terparah dari krisis ini adalah tidak berfungsinya sektor keuangan AS --yang merambat pada tidak berfungsinya sektor keuangan dunia.
Profil risiko pinjam meminjam likuiditas tiba-tiba melonjak tinggi sepanjang tahun 2008, terlebih setelah bangkrutnya bank investasi terbesar keempat di AS seperti Lehman Brothers.
Likuiditas secara tiba-tiba mengering di seluruh dunia dan kegiatan ekonomi global pun melambat.
Krisis global yang terjadi pada 2008 cepat menjalar dan menyerang negara-negara lain. Secara umum, sebagian besar ekonomi dunia terkena imbas krisis ekonomi global melalui dua jalur utama yaitu: perdagangan dan finansial.
Ilustrasi - Para pialang sedang bekerja di lantai Bursa Saham New York, Wall Street, Amerika Serikat. ANTARA/REUTERS/pri.
Di sisi perdagangan, kinerja ekspor semakin tertekan dengan anjloknya harga yang berdampak cukup kuat,khususnya ke negara-negara pengekspor komoditas sumber daya alam (SDA).
Sementara itu dari jalur transaksi finansial, dampak dari krisis ekonomi global merambat ke kawasan Asia. Keadaan itu terindikasi dari penurunan bursa saham dan depresiasi nilai tukar akibat perilaku risk aversion investor asing.
Di Jepang, perekonomian sudah mengalami fase resesi dan diperkirakan akan terus memburuk. Ekonomi Jepang mengalami pertumbuhan negatif dalam dua triwulan terakhir, bahkan di triwulan IV-08 jatuh menjadi -4,3 persen (yoy) atau turun lebih tajam dari ekonomi AS (-0,8 persen, yoy) di periode yang sama.
Perlambatan ekonomi Jepang lebih didorong oleh pelemahan kinerja ekspor akibat tajamnya apresiasi nilai yen dan menurunnya permintaan global, juga melambatnya pengeluaran modal perusahaan.
Dengan melihat perkembangan tersebut, ekonomi negara maju pada keseluruhan tahun 2008 diperkirakan hanya tumbuh sebesar satu persen (yoy) menurun dibandingkan dengan tahun 2007, yaitu sebesar 2,7 persen. Ekonomi negara berkembang juga melambat, terimbas dari krisis ekonomi global.
Dampak perlambatan ekonomi negara maju memengaruhi ekonomi kawasan melalui penurunan kinerja sektor eksternal terutama di negara-negara yang memiliki ketergantungan pada sektor eksternal.
Hampir sebagian besar ekspor negara Asia jatuh akibat kemerosotan permintaan, khususnya dari negara-negara maju.
Sebagian besar bursa di Asia juga mengalami tekanan, yang tercermin dari anjloknya bursa saham yang mendorong menurunnya kesejahteraan dan jatuhnya indeks keyakinan. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi di Asia melambat akibat krisis ekonomi global.
Ekonomi negara-negara Asia, seperti Malaysia dan Thailand, mengalami perlambatan cukup tajam pada triwulan IV-2008, sementara beberapa negara yang tergolong kategori negara industri baru Asia, seperti Hongkong, Singapura, dan Taiwan mengalami kontraksi ekonomi --terutama diakibatkan anjloknya ekspor produk teknologi tinggi atau padat modal.
Ekonomi China dan India, yang lebih mengandalkan permintaan dalam negeri, juga terkena imbas meski dampaknya tidak sebesar negara-negara Asia lainnya.
Penurunan konsumsi domestik tercermin dari penurunan impor sehingga semakin meningkatkan surplus perdagangan --khususnya di China.
Pertumbuhan ekonomi negara berkembang tahun 2008 cenderung melambat menjadi 6,3 persen (yoy) di akhir tahun.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa ekonomi Asia dinilai cukup resisten menghadapi terpaan krisis.
Resiliensi ekonomi Asia terutama terjadi pada negara-negara yang tidak memiliki ketergantungan besar pada ekspor ke negara maju.
Tren penurunan permintaan eksternal dan harga komoditas global berdampak pada kinerja neraca pembayaran di negara-negara Asia yang memburuk.
Pada awal 2008, harga komoditas dunia terus meningkat --dipicu masih tingginya permintaan dari negara berkembang dan dolar AS yang melemah.
Namun pada perkembangan selanjutnya, harga turun tajam seiring krisis finansial global. Keadaan itu mengakibatkan resesi dan penurunan permintaan minyak.
Harga minyak bahkan terus merosot meski OPEC sudah mengumumkan penurunan produksi selama tiga kali, yakni pada September, Oktober, dan Desember.
Harga komoditas dunia turun mengikuti tren harga minyak dunia. Pergerakan harga minyak yang merosot sejak triwulan III-2008 mendorong harga komoditas seperti kedelai dan CPO juga anjlok karena permintaan yang turun sebagai alternatif pengganti energi (biofuel).
Selain itu, harga komoditas turun --dipicu oleh resesi global yang menyebabkan penurunan permintaan atas komoditas dunia. Kemerosotan harga komoditas internasional menurunkan kinerja neraca pembayaran khususnya ke negara-negara pengekspor.
Dalam penelitian ekonom Iman Sugema berjudul "Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia", disebutkan bahwa imbas krisis keuangan di Amerika pada akhirnya juga dirasakan oleh Indonesia.
Keyakinan yang tinggi dari pemerintah Indonesia, bahwa krisis di Amerika tidak akan berimbas kepada perekonomian Indonesia karena memiliki fondasi yang kuat, ternyata tidak terbukti.
Dalam beberapa kurun waktu terakhir, imbas krisis Amerika sangat kuat dirasakan oleh bangsa Indonesia dan terlihat dari beberapa indikator.
Di antaranya ialah merosotnya indeks harga saham di BEI secara tajam, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS --yang sudah menembus ambang batas psikologis, hingga sektor perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas. Bahkan, pemerintah sulit mencari pinjaman di pasar keuangan.
Selain itu, krisis keuangan yang semula hanya dialami Amerika pada prosesnya telah menjalar ke negara-negara lain dan berubah, tidak hanya menjadi krisis keuangan yang berskala global tetapi juga menyebabkan pelambatan ekonomi secara global.
Keadaan itu selain berakibat pada melemahnya sektor keuangan, juga berimplikasi pada sektor riil.
Sektor rill domestik, yang berhubungan dengan sektor keuangan domestik serta dengan sektor riil dan keuangan internasional melalui aktivitas ekspor impor dan pembiayaan, merasakan dampak krisis keuangan dan pelambatan ekonomi global.
Dampak lanjutan dari krisis keuangan dan pelambatan ekonomi bagi masyarakat juga mulai dirasakan dalam beberapa kurun waktu terakhir.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dalam aktivitas industri menjadi opsi kebijakan perusahaan dalam menghadapi kelesuan perekonomian.
Oleh Azis Kurmala
Editor: Tia Mutiasari
COPYRIGHT © ANTARA 2020
Deretan perumahan subsidi. Dokumentasi Kementerian PUPR
Jakarta (ANTARA) - Bola karet itu semakin besar, tersesak oleh udara yang masuk ke dalamnya. Kemudian terbang tinggi, lalu meletus. Naiknya suhu dan tekanan, tak pelak menyebabkan volume meningkat melampaui elastisitas dan meledak.
Ada yang bilang, fisika dan ekonomi adalah teman. Kejadian balon yang pecah saat menjulang ke langit, setidaknya bisa menjadi analogi bagaimana fenomena gelembung ekonomi atau "economic bubble" terjadi di negara adidaya 12 tahun silam.
Sebagai penyumbang sepertiga Produk Domestik Bruto (PDB) dunia saat itu, merosotnya perekonomian Amerika Serikat (AS) berkembang menjadi krisis keuangan global. Krisis keuangan yang ditengarai berawal dari krisis kredit perumahan di Negeri Paman Sam.
Terkuaknya ketidakmampuan BNP Paribas pada Agustus 2007 untuk mencairkan investasi sejenis reksa dana yang terkait dengan kredit perumahan berisiko tinggi atau "subprime mortgage" di AS, menjadi mula krisis likuiditas yang merembet ke seluruh dunia.
Istilah subprime mortgage diberikan untuk kredit perumahan yang diberikan kepada debitur dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Di AS, setiap warganya memiliki peringkat atau rating. Untuk yang memenuhi syarat (prime) mendapatkan kredit, rating-nya di atas 600. Sedangkan di bawah angka itu, dianggap kurang memenuhi syarat (subprime).
Mengutip laporan "Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014" yang dirilis oleh Bank Indonesia, pada 2005 penyaluran subprime mortgage di AS sendiri melonjak mencapai 500 miliar dolar AS dari 200 miliar dolar AS pada 2002.
Banyaknya lembaga keuangan pemberi kredit properti di AS yang menyalurkan kredit kepada masyarakat yang secara finansial tidak layak memperoleh kredit, akhirnya menimbulkan masalah. Kredit macet pun terjadi dan berdampak pada bangkrutnya beberapa lembaga keuangan di AS, salah satunya Lehman Brothers, bank investasi terbesar keempat di AS yang sudah berusia 158 tahun.
Lembaga pembiayaan sektor properti biasanya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain yang umumnya adalah lembaga keuangan, dengan jaminan surat utang atau "subprime mortgage securities" yang dijual kepada lembaga-lembaga investasi dan investor di berbagai negara. Sayangnya, surat utang tersebut tidak ditopang oleh jaminan debitur yang memiliki kemampuan membayar kredit perumahan yang baik.
Subprime mortgage yang dikemas dalam bentuk sekuritas lain dan diperdagangkan di pasar finansial global itu lah sejatinya yang menyebabkan kerugian yang lebih besar dibandingkan subprime mortgage itu sendiri.
Awalnya, sekuritisasi dilakukan terhadap beberapa subprime mortgage menjadi produk sekuritas yang dinamakan Mortgaged-Backed Securities (MBS). Praktik tersebut lazim dalam era sistem keuangan modern. Pada 2006, jumlah kredit perumahan di AS yang telah disekuritisasi menjadi MBS hampir menyentuh 60 persen dari seluruh posisi utang (outstanding) kredit perumahan.
Adapun dalam prosesnya, sekuritisasi melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah maupun swasta seperti Fannie Mae dan Freddie Mac, dua perusahaan penting bagi pasar kredit perumahan serta hipotek AS karena menguasai separuh dari 12 triliun dolar AS tunggakan kredit perumahan di AS. Pihak ketiga ini acap kali melakukan pengemasan dengan menggabungkan sejumlah mortgage lalu dijual kepada investor, sekaligus bertindak sebagai penjamin untuk menanggulangi risiko gagal bayar.
Ternyata, praktik sekuritisasi mortgage terus berlanjut. MBS disekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt Obligations (CDOs). Persentase jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs itu terus naik seiring dengan jumlah MBS yang terus bertambah. Total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi 500 milar dolar AS dimana separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS, padahal pada 2004 total penerbitan CDOs global baru mencapai 150 miliar dolar AS.
Di samping CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa bentuk sekuritas lain yang semakin susah dilacak bentuk maupun jumlahnya, misalnya sekuritas Structured Investment Vehicles (SIV). Perdagangan CDOs di pasar global juga semakin ramai seiring hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung "underpricing" terhadap risiko dari produk-produk derivatif tersebut.
Kendati demikian, perubahan arah kebijakan moneter bank sentral AS The Federal Reserve menjadi lebih ketat pada medio 2004, mengakibatkan tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan terus berlangsung hingga 2006. Kondisi yang akhirnya memukul pasar perumahan AS, yang diindikasikan dengan banyaknya debitur yang gagal bayar bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di AS. Para investor maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan pun terseret ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar.
Situasi yang dihadapi lembaga-lembaga keuangan besar di AS memengaruhi likuiditas lembaga keuangan yang lain baik yang berada di AS maupun di luar AS, terutama lembaga yang menginvestasikan uangnya melalui instrumen lembaga keuangan besar di AS. Titik inilah yang dinilai sebagai awal krisis keuangan global.
Ekonom penerima Nobel Ekonomi Paul Krugman menilai, krisis yang dihadapi AS pada 2008 terlihat seperti kombinasi krisis pada 1990 dan 2001. Pada 1990, terjadi resesi yang dikenal dengan nama resesi Perang Teluk dimana selama delapan bulan ekonomi AS negatif akibat
The Fed yang menurunkan bunga secara bertahap untuk menekan laju inflasi. Sedangkan pada 2001, terjadi resesi di AS akibat gelembung dot-com, yaitu gelembung spekulasi karena peningkatan pesat dalam penilaian ekuitas saham teknologi AS yang dipicu oleh investasi di perusahaan berbasis internet selama pasar dalam tren menguat atau "bullish" di akhir 1990-an.
"Krisis 2008 ini mungkin lebih besar dari gabungan kedua krisis tadi. Anda mengalami gangguan keuangan, yang mungkin lebih besar dari krisis simpan pinjam. Dan Anda kehilangan kekayaan dari kehancuran sektor perumahan, yang lebih besar dari kehancuran dot-com. Jadi ini terlihat cukup buruk," ujar Krugman.
Krugman pun saat itu memprediksi bahwa resesi akan berakhir delapan bulan sebagaimana resesi terakhir yang dialami AS, namun lapangan pekerjaan baru akan benar-benar pulih setelah 30 bulan setelah resesi atau sekitar pertengahan 2010. Pada 2008, PDB AS tercatat negatif 0,1 persen dan pada 2009 minus 2,5 persen. Namun pada 2010, ekonomi AS telah kembali tumbuh 2,6 persen, sebagaimana ramalan Krugman.
Dari domestik, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2008 sendiri masih cukup baik yaitu mencapai 6,1 persen, hampir sama dengan pertumbuhan tahun sebelumnya 6,3 persen. Dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia mulai dirasakan pada triwulan IV 2008 yang hanya tumbuh 5,2 persen.
Sampai triwulan III 2008, perekonomian Indonesia tumbuh tinggi karena masih tingginya pertumbuhan ekspor yang melonjak seiring dengan kenaikan harga komoditas tambang dan pertanian global serta ditopang oleh pertumbuhan ekonomi China dan India yang relatif masih kuat. Hal itu mendorong peningkatan daya beli terutama di wilayah penghasil ekspor dan menopang tingginya pertumbuhan konsumsi dan investasi. Pertumbuhan impor pun juga melonjak, baik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku maupun barang modal.
Pertumbuhan di dalam negeri berangsur melemah sejak awal semester II 2008 akibat perlambatan ekonomi dunia yang semakin dalam dan anjloknya harga komoditas global, yang mendorong merosotnya pertumbuhan ekspor. Konsumsi rumah tangga, investasi dan impor pun bersamaan juga tumbuh melambat.
Meluasnya imbas permasalahan sektor perumahan di AS dan upaya penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah AS dan bank sentral terhadap beberapa lembaga pembiayaan, masih direspon secara negatif oleh pasar sehingga menimbulkan intensitas gejolak yang semakin tinggi di pasar keuangan global. Ketidakstabilan di pasar keuangan tersebut memicu sentimen negatif yang menyurutkan "risk appetite" investor sehingga memunculkan tren perubahan komposisi portofolio global. Selain tingginya faktor ketidakpastian, ketatnya likuiditas semakin memperberat upaya peningkatan ekspor dan mendorong penarikan investasi asing dari pasar berkembang, termasuk dari Indonesia.
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) memburuk terutama mulai semester II 2008. Secara tahunan, NPI mencatat defisit 2,2 miliar dolar AS dengan posisi cadangan devisa pada akhir 2008 mencapai sebesar 51,6 miliar dolar AS, setara dengan 4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Pada semester I 2008 kinerja NPI relatif solid, tercermin dari cadangan devisa dan surplus masing-masing mencapai 59,4 miliar dolar AS dan 2,35 miliar dolar AS.
Dampak krisis global juga tampak pada perkembangan nilai tukar rupiah yang ditandai oleh tekanan depresiasi yang tinggi dan volatilitas yang meningkat, terutama sejak Oktober 2008. Selama semester I 2008, surplus neraca transaksi berjalan dan respons kebijakan ekonomi makro yang prudent mampu meredam tekanan yang ditimbulkan oleh gejolak eksternal. Namun sejak triwulan III 2008, imbas krisis pasar keuangan global semakin kuat seiring dengan jatuhnya berbagai lembaga keuangan besar di AS.
Semakin meningkatnya risiko secara global, memicu pelepasan investasi portofolio asing di pasar keuangan domestik. Di sisi lain, neraca transaksi berjalan mulai tertekan akibat jatuhnya harga komoditas dan merosotnya kegiatan ekonomi mitra dagang. Perkembangan tersebut menyebabkan rupiah tertekan hingga sempat mencapai Rp12.150 per dolar AS di November 2008 diiringi melonjaknya volatilitas yang mencapai 4,67 persen. Secararata-rata, nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,4 persen dari Rp9.140 pada 2007 menjadi Rp9.666 pada 2008.
Pada 2009, perekonomian global yang masih terkontraksi tidak dapat dihindari memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, utamanya ekspor yang mencatat pertumbuhan negatif . Perlambatan ekonomi domestik akibat kontraksi ekspor tersebut, serta suku bunga perbankan yang masih tinggi, pada gilirannya berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan investasi. Kinerja ekspor dan investasi yang turun, ekonomi Indonesia pada tahun itu pun banyak ditopang oleh kegiatan konsumsi domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah.
Peran konsumsi secara keseluruhan masih mampu menopang kegiatan ekonomi Indonesia pada 2009 untuk tetap tumbuh positif sebesar 4,5 persen. Meskipun lebih rendah dibandingkan dengan 2008, pertumbuhan ekonomi pada 2009 masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan awal tahun 2009 sebesar 4 persen dan lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara lain yang sebagian besar mencatat kontraksi.
Setahun setelahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi global yang mendorong naiknya volume perdagangan internasional serta memicu kenaikan harga-harga komoditas yang berdampak pada tingginya pertumbuhan ekspor Indonesia. Pada 2010, ekspor menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kinerja ekspor yang meningkat tinggi mampu mempertahankan surplus transaksi berjalan. Di sisi transaksi modal dan finansial, pemulihan ekonomi global yang disertai derasnya aliran modal masuk menyebabkan surplus neraca modal yang besar dalam NPI.
Perkembangan kondisi makroekonomi yang membaik itu membawa perkembangan positif bagi pasar modal Indonesia dimana arga saham meningkat cukup tinggi hingga menjadikan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai bursa terbaik di negara-negara kawasan. Sedangkan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) terus mengalami penurunan yang signifikan sejak 2009. Derasnya arus modal masuk pun membuat nilai tukar rupiah menguat cukup signifikan dan likuiditas di pasar uang jangka pendek meningkat.
Dari domestik, meningkatnya keyakinan konsumen dan daya beli masyarakat menjadi faktor utama cukup tingginya pertumbuhan konsumsi pada 2010. Situasi itu kemudian direspon oleh peningkatan pertumbuhan investasi seiring dengan membaiknya tendensi bisnis dan permintaan ekspor yang tinggi. Berbagai perkembangan itu membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali meningkat ke level 6,1 persen.
Oleh Citro Atmoko
Editor: Subagyo
COPYRIGHT © ANTARA 2020
Ilustrasi - Pengunjung melihat-lihat produk kerajinan tangan pada Pameran Usaha Kecil Menengah (UKM) Solo Leading Industry Expo 2020, di Mall Solo Square, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (17/10/2020). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/hp.
Indonesia memiliki 'keberuntungan yang tidak disengaja' sehingga implikasi resesi global justru tidak terlalu berdampak signifikan
Jakarta (ANTARA) - Senin, 15 September 2008, Lehman Brothers sebuah institusi keuangan yang didirikan tiga bersaudara imigran asal Jerman, yakni Henry, Emanuel dan Mayer Lehman menyatakan diri bangkrut setelah gagal mendapatkan opsi Chapter 11 Protection atau proteksi dari kebangkrutan.
Chapter 11 Protection itu merupakan mekanisme emergensi terhadap Iembaga keuangan di AS yang mengalami masalah Iikuiditas meminta pertolongan otoritas moneter AS.
Dari situlah, berita kebangkrutan Lehman Brothers seperti sebuah virus yang cepat menyebar.
Dalam buku yang dirilis Bank Indonesia berjudul "Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan" disebutkan kucuran kredit kepada warga AS untuk membeli properti melalui kreditur nonbank (sub-prime mortgage) menjadi sumber pemicunya.
Mengapa? Sebab, banyak lembaga keuangan pemberi kredit properti di Amerika Serikat menyalurkan kreditnya kepada masyarakat yang sebenarnya secara finansial tidak layak memperoleh kredit kepemilikan rumah (KPR), yang akhirnya memicu terjadinya kredit macet di sektor properti (sub-prime mortgage).
Kredit macet di sektor properti tersebut mengakibatkan efek domino yang mengarah pada bangkrutnya beberapa lembaga keuangan di Amerika Serikat seperti Lehman Brothers. Satu demi satu industri keuangan yang ada kaitannya dengan bisnis properti di AS pun ikut tenggelam.
Hal itu dikarenakan lembaga pembiayaan sektor properti umumnya meminjam dana jangka pendek ke lembaga keuangan, dan jaminan yang diberikan perusahaan pembiayaan sektor properti itu adalah surat utang subprime mortgage.
Kondisi itu mengarah kepada terjadinya pengeringan likuiditas lembaga-lembaga keuangan akibat tidak memiliki dana aktiva untuk membayar kewajiban yang ada. Ketidakmampuan membayar kewajiban itu membuat lembaga keuangan yang memberikan pinjaman terancam kebangkrutan.
Kondisi yang dihadapi lembaga-lembaga keuangan besar di AS itu pun mempengaruhi likuiditas lembaga keuangan lainnya, baik yang berada di AS maupun di luar, terutama lembaga yang menginvestasikan uangnya melalui instrumen lembaga keuangan besar di Amerika Serikat. Disinilah krisis keuangan global bermula.
Krisis keuangan global yang terus berlangsung menyebabkan macetnya sistem keuangan dunia sehingga aktivitas ekonomi dan perdagangan dunia merosot yang imbasnya juga dirasakan oleh Indonesia.
Indonesia sebagai negara dengan perekonomian yang terbuka antar negara dan kawasan, secara alamiah tentu tidak sepenuhnya kebal dari penularan krisis global.
Secara kasat mata, salah satu indikasi bahwa Indonesia terdampak krisis global dapat dilihat dari fluktuasi nilai tukar rupiah yang tertekan hingga menembus angka psikologisnya di level Rp10.000 per dolar AS.
Sebelum Lehman Brothers mengumumkan kebangkrutannya, nilai tukar rupiah stabil di level Rp9.000 per dolar AS. Memasuki pertengahan September, begitu terlansir berita Lehman Brother bangkrut, rupiah mulai berfluktuasi. Puncaknya, rupiah tertekan menembus angka Rp12.650 per dolar AS pada 24 November 2008.
Indikator lainnya yang juga menjadi bukti Indonesia terimbas krisis global yakni pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kala itu, banyak investor dalam negeri yang tiba-tiba menjadi sering bengong dan memasang muka masam.
Maklum saja, krisis keuangan global itu menyeret kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI masuk dalam tren negatif. Bahkan otoritas bursa sempat melakukan suspensi perdagangan efek selama dua hari setelah pada 8 Oktober 2008, IHSG terkoreksi hingga 10,38 persen menjadi 1.451,7 poin.
Salah seorang pelaku pasar, Alex Marco bercerita, ia pernah menikmati keuntungan yang fantastis dari investasi saham di BEI hingga ratusan juta rupiah saat harga sahamnya melambung tinggi.
Portofolionya yang berjumlah lebih kurang Rp50 juta dapat menjadi ratusan juta dalam jangka waktu kurang dari setahun.
Namun, keadaan berbalik, saat krisis finansial global yang terjadi pada 2008, harga saham jatuh, ia bahkan sampai menjual beberapa barang berharganya untuk menambah modal di portofolionya.
Baca juga: Lehman Berencana Bayar Kembali Para Kreditor
Pasar domestik
Saat krisis keuangan global 2008 - 2009, Indonesia masih terbilang dapat bertahan dan terhindar dari situasi keterpurukan seperti krisis yang terjadi pada 1997 - 1998.
Ekonomi Indonesia pada tahun 2008 tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 6,01 persen. Pada tahun berikutnya, juga mencatatkan pertumbuhan meski lebih rendah dari tahun 2008, yakni sebesar 4,63 persen.
Sejumlah ekonom mengatakan, selamatnya Indonesia dari guncangan krisis keuangan 2008 - 2009 adalah karena pasar domestik yang sangat besar. Itu menjadi sebuah keunggulan komparatif tersendiri bagi Indonesia.
Hal itu pun diamini dalam penelitian ekonom Iman Sugema berjudul "Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia".
Indonesia memiliki “keberuntungan yang tidak disengaja” sehingga implikasi resesi global justru tidak terlalu berdampak signifikan. Indonesia juga tidak terlalu bergantung pada ekspor dikarenakan pangsa ekspor Indonesia tidak mencapai setengah dari PDB Indonesia.
Kemudian, sektor perbankan dan sektor finansial Indonesia juga tidak mengalami dampak seberat negara lain karena tingkat kebergantungannya tidak sedalam negara-negara lain.
Sekalipun pasar ekonomi global tengah terkontraksi, sekiranya Indonesia masih dapat mengelola permintaan pasar domestik dan menjaga daya beli masyarakat agar perekonomian tetap terjaga.
Sektor UMKM pada krisis 2008 - 2009 terbukti mampu menjaga perekonomian nasional berada di level positif.
Sementara di tengah krisis karena COVID-19 tahun 2020 saat ini, pemerintah pun kembali menaruh harapan besar pada UMKM. UMKM menjadi sektor kedua tertinggi mendapat alokasi anggaran PEN setelah bantuan perlindungan sosial.
Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional mencatat, di sektor UMKM terjadi kenaikan DIPA menjadi Rp28,80 triliun dari semula Rp22,01 triliun untuk program Banpres Produktif Usaha Mikro, yang disebabkan adanya perluasan dari target 9,1 juta menjadi 12 juta penerima manfaat yaitu para pelaku usaha mikro.
Sedangkan program penempatan dana telah mencapai Rp63,20 triliun atau 80,22 persen dari pagu anggaran hingga minggu pertama kuartal IV.
Pemerintah terus mengupayakan mencapai realisasi penuh di akhir tahun 2020 bersama dengan program-program Pemulihan Ekonomi Nasional lain.
Baca juga: Sri Mulyani: Realisasi anggaran PEN capai Rp344,11 triliun
Penerbitan tiga Perppu
Dalam suasana krisis keuangan 2008 - 2009, sektor perbankan nasional pun relatif masih cukup sehat dengan indikator yang masih terjaga. Meski demikian, pemerintah dan BI tetap merasa perlu mengeluarkan kebijakan untuk memitigasi ancaman krisis keuangan global.
BI selaku otoritas moneter pun berjaga-jaga mengantisipasi bila ada bank menghadapi masalah. Bl menyempurnakan sejumlah Peraturan Bank Indonesia (PBI) seperti kelonggaran dalam hal Giro Wajib Minimum dari 7 persen menjadi 5 persen.
Selain itu, BI juga mengendurkan syarat bagi bank yang ingin mendapatkan Fasilitas Pembiayaan Darurat tatkala likuiditasnya kering.
Pemerintah pun menerbitkan 3 (tiga) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai upaya memitigasi dampak resesi ekonomi global, yakni Perpu No 2/2008 tentang Perubahan UU Bank Indonesia yang memungkinkan kredit berkolektibilitas lancar dijadikan agunan guna mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kehadiran Perppu ini untuk memberikan payung hukum bila ada bank yang mengalami kesulitan likuiditas untuk mendapatkan suntikan dana segar.
Kemudian, Perpu No. 3/2008 perihal perubahan nilai simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Perppu ini pun semakin memberikan rasa aman bagi deposan untuk tidak memindahkan dana mereka ke tempat lain.
Dan Perpu No. 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Penerbitan aturan ini untuk memberikan jaminan bila ada bank atau lembaga keuangan bukan bank uang mengalami kesulitan likuiditas.
DPR pun menyepakati dan menyetujui langkah-langkah yang diambil pemerintah dan BI di tengah situasi yang tidak normal.
Menandakan betapa Indonesia jauh lebih siap dalam menghadapi situasi krisis 2008 - 2009. Koordinasi antar instansi maupun lembaga terasa jauh lebih baik dibanding ketika krisis 1997 -1998.
Indonesia juga dinilai sukses mengelola perekonomiannya melewati badai krisis keuangan global 2008 - 2009 oleh sejumlah lembaga keuangan internasional dikarenakan Indonesia mampu membukukan pertumbuhan positif di tengah banyak negara mengalami pertumbuhan ekonomi minus atau nol persen.
Meski Indonesia lolos dari krisis keuangan 2008 yang dipicu dari krisis kasus subprime mortgage di AS, pemerintah, BI dan lembaga lainnya harus tetap perlu bahu-membahu menjaga pasar domestik dengan kalangan dunia usaha serta menerapkan manajemen krisis secara optimal, efektif, dan efisien.
Dengan melibatkan dunia usaha, baik UMKM maupun korporasi besar, Indonesia memiliki benteng yang lebih tangguh untuk menahan krisis yang bisa saja datang secara tiba-tiba di kemudian hari.
Oleh Zubi Mahrofi
Editor: Ahmad Wijaya
COPYRIGHT © ANTARA 2020
Ilustrasi - Corona virus (ANTARA/Shutterstock)
Tak seorang pun juga menyangka persoalan kesehatan itu merembet ke krisis sosial dan ekonomi.
Jakarta (ANTARA) - Kapan krisis pandemi berakhir? Menjelang tutup tahun 2020, kasus COVID-19 masih menunjukkan eskalasi meski seluruh negara terus berupaya menekan penyebaran sekaligus menanggulangi dampaknya.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat penyakit dari virus SARS CoV-2 ini terus menyebar dan hingga 19 Oktober 2020, kasus konfirmasi COVID-19 mendekati 40 juta secara global dengan 1,11 juta orang meninggal dunia.
Tak seorang pun juga menyangka persoalan kesehatan itu merembet ke krisis sosial dan ekonomi.
Sejumlah negara yang dulu membuka pintu baik perdagangan maupun lalu lintas manusia, kemudian saling menutup diri.
Pembatasan dilakukan mulai bersifat semi hingga total penguncian wilayah atau lockdown.
Upaya itu dilakukan untuk menekan penyebaran COVID-19 yang menyebabkan ekonomi di negara miskin terguncang, ekonomi negara berkembang dan negara maju pun babak belur.
Hampir seluruh sendi ekonomi terdampak mulai usaha mikro dan kecil, kinerja industri manufaktur, sektor keuangan, perdagangan, ekspor impor hingga jasa seperti pariwisata.
Beberapa komoditas seperti minyak dunia yang diperdagangkan di kontrak berjangka West Texas Intermediate (WTI) anjlok menjadi minus 37,63 dollar AS per barel karena lesunya permintaan di Amerika Serikat maupun global.
Sementara itu, bursa saham di sejumlah negara juga anjlok pada awal Maret 2020 misalnya indeks saham Dow Futures di Amerika Serikat turun lebih dari 1.000 poin.
Bursa saham di negara lain juga turun di antaranya indeks saham Jepang Nikkei amblas 5,82 persen, indeks saham Hong Kong HangSeng turun 4,02 persen dan indeks saham Australia anjlok 6,34 persen.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat turun lima persen, bahkan Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat membekukan perdagangan beberapa kali yang saat itu menyentuh level di bawah 4.000.
Hingga saat ini, aktivitas ekonomi masih naik turun mengingat kondisi ekonomi global diwarnai ketidakpastian seiring kekhawatiran gelombang COVID-19 baru di Eropa.
Bank Dunia menyebut krisis akibat pandemi COVID-19 ini menimbulkan resesi terburuk sejak Perang Dunia II. Setali tiga uang, IMF juga menyebut krisis ini terburuk sejak Depresi Besar tahun 1929 yang menjalar ke seluruh dunia.
Sejumlah lembaga internasional membuat proyeksi ekonomi global yang kontraksi selama tahun 2020.
Bank Dunia pada Juni 2020 mengeluarkan proyeksi ekonomi global kontraksi 5,2 persen.
Selanjutnya, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada Juni 2020 merilis proyeksi minus 7,6 hingga minus 6 persen.
Kemudian, pada September 2020 OECD kembali merevisi dengan perbaikan meski masih kisaran minus 4,5 persen.
Begitu juga, Dana Moneter Internasional (IMF) pada Oktober 2020 memproyeksi ekonomi global kontraksi 4,4 persen atau ada perbaikan dari proyeksi Juni 2020 mencapai 5,2 persen.
Proyeksi itu menguatkan keadaan di sejumlah negara yang sudah mengalami resesi atau pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Inggris mengecap resesi pada kuartal I dan II-2020 kontraksi 1,7 persen dan 21,7 persen, begitu juga Jerman berturut-turut kontraksi 2,3 persen dan 11,7 persen.
Sementara itu, negara di kawasan ASEAN di antaranya Singapura juga sudah resesi pada kuartal I dan II masing-masing mencapai kontraksi 0,3 persen dan 12,6 persen serta Thailand mengalami resesi yakni negatif 2 persen dan 12,2 persen.
Indonesia masih lebih “beruntung” karena pada kuartal I-2020 tumbuh 2,97 persen dan kuartal II negatif 5,32 persen.
Pertumbuhan ekonomi global yang terpukul itu memberi dampak bertambahnya angka kemiskinan di seluruh dunia.
Bank Dunia memperkirakan pandemi ini mendorong 71 juta hingga 100 juta orang di seluruh dunia masuk ke jurang kemiskinan ekstrim tahun 2020 berdasarkan laporan yang dipublikasikan per 6 Agustus 2020.
Sementara itu, angka pengangguran juga meningkat sebagai dampak terhentinya aktivitas ekonomi industri.
OECD memproyeksi angka pengangguran pada April 2020 naik menjadi 8,4 persen dari posisi Maret 2020 sebesar 5,5 persen dengan perkiraan dari 18,4 juta menjadi 55 juta di 37 negara anggota.
AS mencatat pengangguran paling banyak yakni 15,9 juta orang.
Stimulus fiskal-moneter
Melonjaknya masalah sosial dan ekonomi mendorong para pemangku kebijakan di seluruh dunia mengerahkan semua kemampuannya untuk menyelamatkan masyarakat dan juga ekonominya.
Stimulus fiskal dan moneter menjadi senjata pamungkas yang diambil para pemangku kebijakan di seluruh dunia.
Menurut Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, gelontoran stimulus yang masif menjadi salah satu indikator pertumbuhan ekonomi global 2020 diperkirakan terjadi perbaikan, meski dunia masih diwarnai ketidakpastian.
Pemberian stimulus pada masa pandemi menyebabkan defisit fiskal melebar serta tingkat utang di banyak negara melonjak.
IMF dalam Outlook Ekonomi Dunia pada Oktober 2020 mencatat proyeksi rasio utang tahun 2020 di sejumlah negara di antaranya Amerika Serikat mencapai 131,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau naik dari tahun 2019 mencapai 108,7 persen.
Jepang rasio utangnya mencapai 266,2 persen terhadap PDB atau naik dibandingkan tahun 2019 mencapai 238 persen, Kanada diproyeksi memiliki rasio utang 114,6 persen terhadap PDB.
Negara lain yang rasio utangnya di atas 100 persen di antaranya Italia (161,8), Prancis (118,7) dan Inggris (108).
Sementara itu, proyeksi utang China juga meningkat menjadi 61,7 persen dari tahun 2019 mencapai 52,6 persen terhadap PDB.
Negara tetangga yakni Malaysia rasio utangnya diproyeksi meningkat tahun ini menjadi 67,6 persen dari tahun sebelumnya mencapai 57,2 persen terhadap PDB.
Thailand juga diproyeksi meningkat rasio utangnya dari 41,1 persen pada 2019 menjadi 50,4 persen terhadap PDB.
Sementara itu, rasio utang Indonesia masih lebih rendah yakni diproyeksi mencapai 38,5 persen terhadap PDB atau naik dibandingkan posisi 2019 mencapai 30,5 persen terhadap PDB.
Indonesia menganggarkan Rp695,2 triliun untuk penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) dengan besaran defisit fiskal mencapai 6,34 persen
Anggaran itu untuk kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, dukungan UMKM, pembiayaan korporasi dan sektoral kementerian/lembaga dan pemda.
Selain stimulus fiskal, stimulus moneter juga dikerahkan di antaranya Amerika Serikat yakni suku bunga nol hingga 0,25 persen dan diproyeksi tetap mendekati nol hingga 2023.
China juga memperluas fasilitas re-lending dan re-diskon untuk sektor manufaktur alat medis serta menurunkan reverse repo rate tenor tujuh dan 14 hari sebesar 30 basis poin.
Bank Indonesia (BI) menginjeksi likuiditas di perbankan mencapai Rp667,6 triliun melalui penurunan giro wajib minimum Rp155 triliun dan ekspansi moneter Rp496,8 triliun per 9 Oktober 2020.
Tingkat suku bunga acuan juga diturunkan yang pada Oktober 2020 kembali dipertahankan pada level empat persen.
Pemerintah RI dan BI kemudian berbagi beban untuk pembiayaan PC-PEN.
Upaya inklusif
Kebijakan fiskal dan moneter dapat menjadi bantalan guna mendorong pemulihan. Namun dalam jangka panjang, perlu upaya berkelanjutan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan negara harus menggunakan instrumen selain fiskal dan moneter seperti transformasi struktural di antaranya omnibus law yang akan mempermudah masa transisi.
Restorasi perdagangan dan aliran modal juga diperlukan setelah sejumlah negara menutup diri karena COVID.
Dalam mendesain pemulihan ekonomi, lanjut dia, juga harus melihat dari sisi gender khususnya peran wanita karena dampak COVID-19 banyak menimpa wanita.
Selain itu, lanjut dia, pemulihan hijau lebih ditekankan mengingat perubahan iklim berpotensi meningkatkan kemungkinan wabah penyakit, menyebabkan pandemi dan krisis kesehatan publik yang sama atau bahkan lebih buruk dari pandemi COVID-19.
Krisis akibat pandemi COVID-19 ini bisa dikatakan masih jauh dari kata akhir. Namun yang pasti para peneliti dari seluruh dunia berlomba menemukan vaksin, penawar yang ditunggu-tunggu.
Setidaknya, ini menjadi asa bahwa virus corona sekaligus krisis ekomomi bisa diakhiri.
Tentunya, seperti kata Presiden Joko Widodo bahwa semua negara harus mendapatkan akses vaksin yang setara. Untuk itu, kerja sama nasional dan internasional diperlukan agar semuanya menjadi bagian dari solusi.
Oleh Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2020
Sejumlah kapal melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (18/3/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/aa.
Tidak juga terlalu khawatir sehingga takut untuk melakukan konsumsi. Konsumsi sewajarnya dan tetap punya tabungan untuk berjaga-jaga
Jakarta (ANTARA) - Perbaikan pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2020 diperkirakan tetap terjadi meskipun tidak sesuai ekspektasi. Setidaknya ekonomi domestik tidak akan terlalu muram seperti yang terjadi pada kuartal II 2020 ketika Produk Domestik Bruto (PDB) menurun hingga minus 5,3 persen.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada 22 September 2020 mengumumkan proyeksinya bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kuartal III 2020 akan berada di kisaran minus 1 persen sampai minus 2,9 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Merujuk definisi resesi secara teknis, Menkeu telah memperkirakan Indonesia memasuki zona resesi di periode Juli-September 2020 ini atau pertama kalinya sejak krisis finansial pada 1998.
Definisi resesi memang kerap dipahami sebagai laju ekonomi negatif dalam dua periode waktu, atau kuartal secara beruntun. Namun, yang pasti gejala resesi tidak datang ujug-ujug. Tanda-tanda perlambatan kerap sudah terasa sebelum stempel resesi diberikan.
Gejala resesi di Indonesia sudah terlihat sejak awal tahun ketika Indonesia secara beruntun mengalami penurunan tahunan pertumbuhan PDB riil. Perekonomian secara tahunan pada kuartal I 2020 lalu hanya tumbuh 2,97 persen atau signifikan melambat dibandingkan periode sama 2019 yang sebesar 5,07 persen. Di kuartal IV 2019, ekonomi Indonesia juga telah tumbuh melambat ke 4,97 persen dibandingkan 5,18 persen pada periode sama tahun sebelumnya imbas perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Dampak perlambatan semakin berat ketika pagebluk COVID-19, yang disebabkan virus SARS-CoV-2, menjangkiti Indonesia dan 214 negara lainnya di dunia. Berbeda dengan krisis 1998 yang disebabkan gejolak di pasar keuangan, beban ekonomi pada 2020 jauh lebih berat karena bersumber dari krisis kesehatan masyarakat.
Sejauh ini periode kuartal II 2020 kerap dinilai sebagai fase terberat laju ekonomi Tanah Air. Dampak penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan perekonomian merosot. Hampir semua sektor industri terganggu, utilitas produksi menurun, dan menyebabkan omzet penjualan lesu.
Semua negara kini tertuju pada jalur cepat perbaikan ekonomi di China. Negara pertama di dunia yang menjadi episentrum COVID-19 itu diperkirakan akan meninggalkan tahun 2020 dengan pemulihan yang ekspansif.
Bank Dunia memperkirakan ekonomi China bisa tumbuh 2 persen pada 2020 ketika ekonomi global diperkirakan terkontraksi hingga minus 5,3 persen. Negara ekonomi kedua terbesar di dunia itu mendaki jalur pemulihan dengan cepat seperti model V, melalui berbagai insentif untuk sektor industri termasuk subsidi kepada konsumen otomotif, yang memiliki efek pengganda ekonomi.
Bagaimana dengan Indonesia? Walaupun realisasi PDB kuartal III belum dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), Menkeu Menteri Keuangan telah memproyeksikan Indonesia memasuki resesi.
Jika siklus ekonomi diibaratkan sebuah roda, fase resesi adalah perputaran setelah puncak (peak) siklus menuju lekukan dasar (trough) roda tersebut.
Hal yang penting menjadi fokus saat ini adalah apakah kita sudah benar-benar mendekati dasar (trough) siklus itu, dan bagaimana cara untuk melewati dasar agar kemudian bisa menanjak kembali ke fase pemulihan (recovery).
Dan jika kita belum mencapai dasar siklus atau roda, apakah kita sudah siap saat ketika berada di dasar (trough) ?
Jika menggunakan proyeksi pemerintah bahwa ekonomi Indonesia di kuartal III 2020 tumbuh di -1 hingga -2,9 persen, maka saat ini semestinya kita sudah melewati dasar, dan bersiap untuk menanjak ke fase pemulihan. Namun jika melihat data-data perekonomian terakhir seperti deflasi yang terjadi beruntun sepanjang Juli-September 2020, ataupun stagnasi Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), tampaknya Indonesia sudah memulai pemulihan, namun belum ekspansif.
Meski demikian, Indonesia masih berpeluang untuk pulih dengan model V (V-shape) dengan garis kanan yang lebih landai, tidak curam. Hal yang perlu diwaspadai adalah jika fase resesi berjalan lama seperti huruf U, atau malah dengan pemulihan yang tidak menentu seperti huruf L karena pandemi terjadi berkepanjangan.
Ketika alarm resesi menyala, masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah adalah segmen yang sangat terpukul. Saat resesi terjadi, tekanan ekonomi terus bertambah hingga membuat banyak orang bisa kehilangan pendapatannya.
Seperti tertulis di Buku Laporan Tahunan 2020, Peringatan Setahun Jokowi-Ma’ruf, pemerintah mencatat pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan sudah mencapai 3,5 juta orang. Pengangguran tahun ini diperkirakan naik menjadi 10,4 juta orang.
Sementara, data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan perkiraan jumlah orang miskin bisa bertambah menjadi 28 juta orang atau sebesar 10,62 persen dari total masyarakat Indonesia pada 2020 jika tidak ada intervensi signifikan untuk mengendalikan kasus COVID-19.
Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, resesi ekonomi bisa memberikan dampak yang sangat berat terhadap kelompok masyarakat menengah ke bawah, terutama bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, hingga tidak memiliki pendapatan sama sekali.
Sementara, kelompok menengah hingga menengah ke atas turut merasakan dampak dari resesi, namun masih memiliki daya beli. Kemampuan beli itu tidak diwujudkan untuk konsumsi, melainkan investasi, atau menabung. Tak ayal, dalam beberapa bulan terakhir, jumlah simpanan atau investasi di industri keuangan terus bertumbuh.
Maka dari itu, untuk saat ini, masyarakat diimbau untuk bersiap menghadapi resesi, atau dampak lebih buruk dari resesi itu jika terjadi berkepanjangan.
Piter mengusulkan agar masyarakat lebih banyak mengalokasikan dananya saat ini ke dalam tabungan. Masyarakat juga tidak perlu panik. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah agar masyarakat mengendalikan pengeluaran agar tidak boros dan mampu mengamankan kondisi tabungan.
“Tidak juga terlalu khawatir sehingga takut untuk melakukan konsumsi. Konsumsi sewajarnya dan tetap punya tabungan untuk berjaga-jaga,” ujar dia.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan saat ini masyarakat lebih baik membentuk dana darurat dengan besaran yang mampu mengantisipasi jika sewaktu-waktu masyarakat mengalami penurunan atau kehilangan pendapatan secara ekstrem.
Dana darurat juga penting untuk biaya penanganan kesehatan anggota masyarakat, mengingat saat ini Indonesia masih menghadapi pandemi COVID-19.
Bhima juga berharap pemerintah dapat meningkatkan perannya untuk mempercepat pemulihan konsumsi masyarakat. Pemerintah dapat melipat-gandakan jumlah bantuan sosial, terutama yang berbentuk bantuan langsung tunai kepada masyarakat agar dapat mempercepat pemulihan ekonomi.
“Misalnya, untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) hanya Rp600 ribu per orang per bulan. Idealnya Rp1,2 juta per bulan per orang dengan asumsi setiap orang menanggung tiga anggota keluarga,” ujar Bhima.
Total, pemerintah telah menganggarkan Rp695,2 triliun di APBN 2020 untuk penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Akibat alokasi belanja itu, pemerintah harus mengambil risiko dengan melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 6,3 persen PDB atau setara Rp 1.039,2 triliun.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu mendorong kelompok masyarakat menengah dan menengah atas untuk meningkatkan konsumsinya dengan tidak melupakan urgensi pembentukkan dana darurat sebagai bantalan dana.
Jika merujuk data Bank Indonesia, simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) di perbankan pada September 2020 bertumbuh makin kencang hingga 12,88 persen dari sebelumnya pada Agustus 2020 yang sebesar 11,64 persen.
Apabila melihat data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Agustus 2020, pertumbuhan tertinggi DPK ternyata terjadi pada kelompok simpanan dengan nominal di atas Rp5 miliar yang bertumbuh 15,2 persen menjadi Rp3.186 triliun. Kemudian kelompok simpanan Rp500 juta hingga Rp1 miliar, bertumbuh 10,1 persen.
Artinya banyak lapisan masyarakat terutama kelompok menengah-atas yang mengalokasikan lebih banyak pendapatan mereka ke tabungan dan investasi. Tentu pemerintah perlu membidik permasalahan perlambatan konsumsi ini, salah satunya dengan mendorong kelompok masyarakat menengah dan menengah atas untuk meningkatkan belanja mereka, tanpa melupakan alokasi untuk dana darurat.
Oleh Indra Arief Pribadi
Editor: Risbiani Fardaniah
COPYRIGHT © ANTARA 2020
Presiden Joko Widodo kembali memberikan bantuan modal kerja kepada pelaku usaha kecil di halaman Istana Merdeka pada Rabu, (30/9/2020). Presiden Joko Widodo mengajak para penerima bantuan untuk tetap semangat dan mau bekerja keras sehingga apabila nanti kembali pada keadaan yang normal, keadaan ekonomi para pelaku usaha dapat segera berangsur pulih. ANTARA/presidenri.go.id/pri.
Jakarta (ANTARA) - Padatnya lalu lintas dan bisingnya mesin knalpot tak lagi menjadi paradoks perkotaan yang membawa rezeki bagi Nahrowi. Dia memandang nanar dagangan kudapan, kue-kue basah, dan kopi sachet yang tidak terjual di bawah terik panas matahari kawasan timur Jakarta,
Sistem kerja dari rumah (work from home) imbas pandemi COVID-19 turut menghentikan mobilitas para pelanggannya, yang kebanyakan pekerja dan pengojek daring. Warung kelontong sederhana di bilangan Jalan Kalimalang, Jakarta Timur, adalah sumber utama mata pencaharian Nahrowi. Warung itu menjadi tempat singgah para pekerja, pengojek daring, dan juga pelajar di kawasan Jakarta Timur dan Bekasi, Jawa Barat.
Sebelum pagebluk menyerang, Nahrowi mengaku bisa memperoleh pemasukan Rp600 ribu setiap harinya dari berdagang kopi dan kudapan. “(Saat pandemi) sama sekali tidak karena tidak ada lagi mereka yang nongkrong,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan Nahrowi, Narsih yang setiap harinya menjajakan jamu kepada para pekerja di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, harus bersiasat agar memperoleh pemasukan tambahan untuk menutupi semua kebutuhan hidup. Dagangan Narsih kini kerap tak laku karena para pelanggannya bekera dari rumah sesuai imbauan pemerintah provinsi DKI Jakarta.
Tak sedikit pula, para pelanggan Narsih yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena perusahaan mereka mengalami kesulitan keuangan. Banyak tempat usaha yang tutup atau mengurangi jam operasional karena penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah itu.
Masa pagebluk telah membuat omzet Narsih berkurang lebih dari 50 persen menjadi hanya Rp150 ribu perhari. “Sekarang susah banget cari pelanggan,” ujar wanita yang sudah 20 tahun berjualan jamu ini.
Nahrowi dan Narsih merupakan potret rakyat kecil yang terdampak langsung pagebluk yang disebabkan wabah virus SARS-CoV-2, penyebab penyakit COVID-19.
Mereka yang berprofesi sebagai pedagang skala ekonomi mikro terdampak karena adanya pembatasan interaksi fisik, pelemahan rantai pasok dan distribusi, serta juga masalah dari sisi kesehatan.
Tak terhitung sosok pengusaha mikro seperti “Nahrowi” dan “Narsih” di seluruh penjuru Tanah Air yang turut terdampak pagebluk. Data terakhir yang dipublikasi Kementerian Kementerian Koperasi dan UMK pada 2018, menunjukkan terdapat 63,3 juta pengusaha mikro, yang mendominasi total Usaha MIkro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia.
Situasi sosial dan ekonomi akibat pandemi COVID-19 memberikan tekanan hebat kepada masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah di berbagai negara. Ini belum menghitung dampak kerugian yang diderita oleh petani dan nelayan yang merupakan produsen sekaligus konsumen.
Data terakhir angka kemiskinan di Indonesia mencapai 24,79 juta orang berdasarkan pencatatan Badan Pusat Statistik (BPS) hingga September 2019. Adapun menurut perkiraan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah orang miskin bisa bertambah menjadi 28 juta orang atau sebesar 10,62 persen dari total masyarakat Indonesia pada 2020, jika tidak ada intervensi signifikan dari pemerintah.
Apa yang dialami Nahrowi dan Narsih merupakan gejala resesi ekonomi ketika pendapatan riil menurun, aktivitas industri lesu, ditambah fakta mulai banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang membuat efek pengganda ekonomi hilang.
Prediksi pemerintah sudah memastikan Indonesia akan memasuki resesi secara teknikal selama kuartal III 2020 (Juli-September) atau di momen yang telah kita rasakan. Pekan lalu, pemerintah meramalkan pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 di kisaran minus 1 persen sampai minus 2,9 persen, yang berarti Indonesia mengalami resesi.
Sebenarnya, gejala resesi sudah dialami sejak awal tahun ketika Indonesia secara beruntun mengalami perlambatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil. Perekonomian secara tahunan pada kuartal I lalu hanya tumbuh 2,97 persen, sementara triwulanan minus 2,41 persen. Fenomena yang seharusnya diantisipasi pemerintah karena dalam satu dekade terakhir, pertama kalinya ekonomi Indonesia tumbuh di bawah lima persen.
Memang definisi resesi selalu didalihkan pada laju ekonomi negatif dalam dua periode waktu atau kuartal beruntun. Namun apakah perbedaan angka negatif dan positif dalam ukuran pertumbuhan ekonomi memberikan gap yang signifikan ?
JIka siklus ekonomi diibaratkan sebuah roda, fase resesi adalah perputaran setelah puncak (peak) siklus menuju lekukan dasar (trough) roda tersebut. Hal yang lebih penting menjadi fokus, apakah kita sudah benar-benar mendekati dasar (trough) siklus atau roda itu, dan bagaimana cara untuk melewati dasar agar kemudian bisa menanjak kembali ke fase pemulihan (recovery).
Dan jIka kita belum mencapai dasar siklus atau roda, apakah kita sudah siap saat ketika berada di dasar (trough) ?
Jika menggunakan skenario pemerintah, saat ini yang merupakan awal kuartal IV 2020, semestinya kita sudah melewati dasar, dan bersiap untuk menanjak fase pemulihan. Namun, data-data perekonomian, seperti deflasi beruntun sepanjang Juli-September 2020 dan stagnasi Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), tampaknya belum mendukung skenario pemerintah berjalan mulus.
Peluang ekonomi Indonesia untuk pulih dengan model V (V-shaped economy recovery) enipis. Kans lebih besar bagi Indonesia adalah pemulihan dalam bentuk V namun dengan garis kanan yang lebih landai, tidak curam. Artinya pemulihan ekonomi Indonesia tidak akan berjalan dalam garis kurva yang cepat. Hal yang perlu diwaspadai adalah jika fase resesi berjalan lama seperti huruf U, atau malah dengan pemulihan yang tidak menentu seperti huruf L.
Bank Dunia dalam kajian terbarunya memperkirakan ekonomi Indonesia akan terkontraksi hingga minus 1,6 persen sampai 2 persen untuk keseluruhan 2020, atau pertama kalinya pertumbuhan ekonomi negatif untuk keseluruhan tahun sejak 1998.
Baca juga: Kemenkeu: Deflasi tiga bulan beruntun sinyal ekonomi belum pulih
Teori ekonomi Keynesian menyebutkan pentingnya permintaan agregat sebagai penggerak perekonomian. Konsumsi, yang menggerakkan siklus perekonomian, harus didukung dengan pengeluaran pemerintah, terlebih ketika ekonomi sedang lesu.
Ketika perlambatan ekonomi terjadi, masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah seperti Nahrowi dan Narsih menjadi segmen yang sangat terpukul. Tak heran, pemerintah melipat-gandakan program-program dalam jaring pengaman sosial untuk penanganan dampak COVID-19. Menurut data Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah di akhir September 2020 sudah menghabiskan Rp318,5 triliun atau 45,8 persen dari total anggaran Penanganan COVID-19 dan PEN Rp695,2 triliun.
Namun, ada pemandangan kontras jika melihat pola konsumsi dan tabungan masyarakat. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan simpanan masyarakat di perbankan, berupa tabungan dengan nominal jumbo, justeru meningkat
Merujuk data terakhir di Agustus 2020, dana pihak ketiga (DPK) perbankan per Agustus 2020 tumbuh sebesar 11,64 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Pertumbuhan itu melanjutkan tren menumpuknya dana di perbankan pada Juli 2020, ketika pertumbuhan DPK mencapai 8,53 persen (yoy).
Melihat lebih dalam lagi, pertumbuhan tertinggi DPK ternyata terjadi pada kelompok simpanan dengan nominal di atas Rp5 miliar yang bertumbuh 15,2 persen (yoy) menjadi Rp3.186 triliun. Kemudian kelompok Rp500 juta hingga Rp1 miliar, bertumbuh 10,1 persen (yoy), dan selanjutnya kelompok simpanan Rp200 juta hingga Rp500 juta yang sebesar 9,5 persen (yoy).
Tampak pertumbuhan simpanan dari nasabah kakap ini melegakan, namun memberikan implikasi lain karena besarnya dana mengendap di perbankan akan memperlambat perputaran ekonomi. Hal itu juga diperparah dengan fungsi intermediasi perbankan yang belum menggembirakan.
Tentu pemerintah perlu membidik permasalahan perlambatan konsumsi ini, salah satunya dengan mendorong kelompok masyarakat menengah dan menengah atas untuk meningkatkan belanjanya, ketimbang saving melulu.
Jika masyarakat menengah ke bawah sudah disitimulus dengan berbagai jaring pengaman sosial agar bisa menggerakkan daya beli, bahkan sampai membuat Presiden Joko Widodo terus melebarkan defisit APBN, kelompok menengah dan menengah perlu diberikan confidence (keyakinan) agar aman dalam berkegiatan ekonomi di tengah pagebluk.
Di sinilah komitmen “kesehatan yang utama, ekonomi mengikuti” dari pemerintahan Presiden Joko Widodo diuji. Kekhawatiran masyarakat menengah-atas harus dikurangi dengan peningkatan kapasitas uji COVID-19, progress positif pengembangan vaksin COVID-19, perencanaan vaksinasi COVID-19 yang matang dan penegakkan protokol kesehatan di kegiatan ekonomi masyarakat seperti aktivitas perbelanjaan dan pariwisata. Mereka termasuk juga Nahrowi dan Narsih menanti hasil dari upaya progresif untuk lepas dari resesi.
Oleh Indra Arief Pribadi
Editor: Budi Suyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2020
Suasana deretan gedung bertingkat di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.
Strategi percepatan penyerapan untuk kuartal III 2020 menjadi kunci agar kita bisa mengurangi kontraksi ekonomi.
Jakarta (ANTARA) - Sinyal pertanda ekonomi Indonesia masuk ke zona resesi semakin kencang. Dalam hitungan hari atau kurang dari sepekan menuju akhir September 2020 (kuartal III), pemerintah akan mengumumkan pertumbuhan ekonomi.
Jika pertumbuhan kembali negatif atau terkontraksi, maka Indonesia resmi menyusul sejumlah negara yang telah lebih dulu masuk jurang resesi. Pasalnya, pada kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat negatif 5,32 persen secara tahunan.
Pertumbuhan ekonomi tidak negatif di tengah pandemi COVID-19 sangat sulit dibendung. Dampak dari pandemi ini juga telah "menginfeksi " ekonomi ratusan negara di dunia.
Arah bahwa ekonomi Indonesia masuk resesi, dilontarkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Pemerintah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 berada di kisaran minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen. Angka tersebut lebih dalam jika dibandingkan dengan proyeksi awalnya, yakni sebesar minus 2,1 persen hingga 0 persen.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 diperkirakan minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen, revisi dari sebelumnya 1,1 persen hingga positif 0,2 persen.
Pertumbuhan ekonomi akan masuk resesi, juga disebutkan oleh sejumlah ekonom.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan terkontraksi 2-4 persen.
Resesi tidak terelakkan karena dalam situasi pandemi ini sangat sulit untuk mendorong konsumsi dan investasi kembali ke arah normal.
Saat ini yang penting bagaimana menanggulangi pandemi, menangani kesehatan masyarakat, ekonomi, dan dunia usaha, bisa bergerak meski terbatas.
Momok resesi, juga diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad dengan prediksi pertumbuhan ekonomi minus 1,3-1,7 persen.
Daya beli masyarakat harus ditingkatkan demikian juga konsumsi rumah tangga, dengan mempercepat penyaluran bantuan sosial (bansos) tunai ke masyarakat yang ujungnya bisa memberi kontribusi kepada perekonomian.
Sembilan bulan sejak kasus Corona pertama merebak di Wuhan, China pada akhir Desember 2019, atau tujuh bulan sejak WHO menyatakan peristiwa ini sebagai pandemi global pada Maret 2020, akibat yang ditimbulkannya semakin meluas. Lebih dari 200 negara terinfeksi Virus Corona baru (COVID-19).
Di tengah pandemi COVID-19 yang belum diketahui akan berakhir ini, jumlah negara yang masuk ke jurang resesi ekonomi 2020 terus bertambah.
Berdasarkan data Forbes yang dikutip pada Selasa (28/9/2020) berjudul What Is a Recession? Pada 1974 ekonom Julius Shiskin mendefinisikan resesi ekonomi ketika penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) terjadi dalam dua kuartal berturut-turut.
Sementara para ahli menyatakan resesi artinya ketika terjadi penurunan signifikan aktivitas ekonomi yang mengakibatkan PDB negatif, melonjaknya tingkat pengangguran, penurunan produksi, penurunan penjualan ritel, dan kontraksi di pendapatan manufaktur untuk periode waktu yang panjang.
Disebutkan, terdapat enam penyebab resesi. Pertama, guncangan ekonomi yang tiba-tiba. Wabah COVID-19 yang memukul sektor ekonomi di seluruh dunia, adalah contoh yang lebih baru dari goncangan ekonomi yang tiba-tiba.
Kedua, utang yang berlebihan. Ketika individu atau dunia usaha terlalu banyak utang, di mana biaya utang meningkat yang ujungnya bisa memicu gagal bayar sehingga bisa menyebabkan kebangkrutan ekonomi.
Ketiga, gelembung aset. Terjadi investasi berlebihan di pasar saham atau atau di sektor properti yang ketika gelembung itu meletus maka bisa menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.
Ke empat, inflasi terlalu tinggi. Inflasi adalah tren harga yang stabil dan naik seiring waktu. Inflasi bukanlah hal yang buruk. Tetapi, inflasi yang berlebihan adalah fenomena yang berbahaya. Bank sentral mengendalikan inflasi dengan menaikkan suku bunga, dan suku bunga yang lebih tinggi menekan kegiatan ekonomi.
Kelima, terlalu banyak deflasi. Meskipun inflasi yang tak terkendali dapat menyebabkan resesi, deflasi bisa menjadi lebih buruk. Deflasi yang terlalu besar dari waktu ke waktu bisa menyebabkan tingkat upah menurun yang selanjutnya menekan harga-harga barang dan jasa.
Keenam, perubahan teknologi. Penemuan baru meningkatkan produktivitas dan membantu perekonomian dalam jangka panjang. Tetapi ,mungkin ada periode jangka pendek penyesuaian terhadap terobosan teknologi.
Ilustrasi: Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, yang menjadi indikator geliat ekonomi, terutama ekspor-impor Indonesia (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)
Tanda-tanda ekonomi memasuki zona resesi sebenarnya sudah terlihat sejak kuartal I 2020 dengan pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya,. Kemudian di saat dampak pandemi COVID-19 terkontraksi pada kuartal II dan proyeksi negatif pada kuartal III 2020.
Bagi Indonesia, dampak resesi ekonomi seperti tidak stabilnya kurs dolar akan langsung menyebabkan rupiah menjadi melemah dan akan memukul pada sektor ekspor impor Indonesia.
Dengan ketidakstabilan dolar AS mengakibatkan suku bunga juga akan meningkat, dampaknya terjadi inflasi akan tinggi.
Selain itu, minat investor langsung menurun dan diikuti pelaku pasar saham banyak keluar pasar modal.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan resesi ekonomi juga dapat diartikan sebagai tekanan dalam ekonomi baik pada sektor keuangan maupun sektor riil.
Dampaknya menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berlanjut dan semakin merata di hampir semua sektor usaha. Mulai dari perdagangan, transportasi, properti, hingga ke sektor industri akan melakukan efisiensi pekerja untuk tekan biaya operasional.
Hingga akhir tahun 2020, Bhima memperkirakan setidaknya akan ada 15 juta pekerja yang terkena imbas sehingga harus di-PHK oleh perusahaannya. Termasuk di antaranya startup yang namanya belakangan sedang melambung, juga akan berguguran.
Daya beli masyarakat yang menurun juga menyebabkan bertambahnya jumlah orang miskin. Sedangkan dampak sosialnya, angka kriminalitas juga meningkat.
Pemerintah Indonesia sejak awal pandemi telah kerja keras untuk mengatasi dampaknya terhadap kesehatan dan agar perekonomian nasional tidak tumbuh negatif.
Pemerintah pun meluncurkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencakup bidang kesehatan, pemberian bansos, membantu UMKM, mendukung korporasi dan sektoral maupun perekonomian daerah.
Untuk penanganan COVID-19 dan stimulus mendukung Program PEN, Pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp695,2 triliun. Rinciannya, Rp87,55 triliun untuk anggaran kesehatan, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun, menggerakkan sektor UMKM sebesar Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, dan dukungan sektoral kementerian/lembaga dan Pemda sebesar Rp106,11 triliun.
Menkeu Sri Mulyani mengatakan, tiga strategi agar Indonesia terhindari dari resesi yakni akselerasi eksekusi Program PEN, memperkuat konsumsi pemerintah, dan konsumsi masyarakat.
“Strategi percepatan penyerapan untuk kuartal III 2020 menjadi kunci agar kita bisa mengurangi kontraksi ekonomi atau bahkan diharapkan bisa menghindari dari technical ressesion yaitu dua kuartal negatif berturut-turut," kata Sri Mulyani.
Meski sejumlah kalangan ada yang memprediksi resesi akibat pandemi COVID-19 tidak separah dibanding resesi yang berujung krisis pada tahun 1998 dan 2008 di mana ketika itu krisis dipengaruhi anjloknya industri keuangan regional yang mempengaruhi ekonomi dalam negeri.
Saat ini fundamental ekonomi masih cukup kuat yang ditopang dengan kondisi perbankan yang kuat dan konsumsi masyarakat masih tetap tinggi.
Untuk itu, dalam kondisi seperti ini masyarakat sebaiknya tidak perlu panik, bagi yang berpenghasilan pas-pasan tidak boros dan diupayakan menabung untuk berjaga-jaga.
Yang terpenting adalah pemerintah telah meyakinkan masyarakat melalui berbagai jurus dan kebijakan dengan tetap mengedepankan keseimbangan penanganan kesehatan dan perekonomian.
Oleh Royke Sinaga
Editor: Risbiani Fardaniah
COPYRIGHT © ANTARA 2020
ILUSTRASI:freepik