Ismail Marzuki memilih untuk mengabadikan ingatannya akan Tanah Air dalam sebuah lagu. Indonesia Pusaka menjadi bukti nyata betapa sang komponis legendaris ini hanya ingin mengingat kemasyhuran Ibu Pertiwi hingga akhir hayatnya.
Kecintaan Marzuki pada kampung halaman dan Ibu Pertiwi bukanlah tanpa alasan. Ia menyadari betul bahwa Tanah Air Indonesia memiliki alam yang begitu indah dan kaya, yang tidak ditemukan Marzuki pada negeri lain. Karena keindahan dan kekayaannya itu pula, Marzuki mengerti mengapa negerinya dijajah sedemikian lama dan kejam oleh bangsa asing.
Dalam alam yang membentang indah dari Sabang hingga Merauke, Marzuki melihat kontras yang besar sekaligus tragis menyayat hatinya. Di satu sisi alamnya indah, namun tidak dapat dinikmati oleh rakyatnya yang justru menderita akibat penindasan dan penjajahan bangsa lain. Situasi ini yang menggerakan Marzuki untuk menggubah Rayuan Pulau Kelapa di tahun 1914
Lantas ketika pemuda Indonesia bangkit melawan penjajahan, Marzuki tidak ingin pula ketinggalan untuk ikut berjuang. Dengan segenap daya kreasi dan kecakapan musiknya, ia memberikan dukungan dan semangat juang bagi para pejuang Republik Indonesia.
Menyadari betul dirinya bukan berasal dari kalangan militer, Marzuki memilih berjuang sesuai dengan kapasitasnya sebagai seniman musik, yakni menciptakan lagu bertema perjuangan dan mengabdikan diri untuk RRI yang dibentuk tidak lama setelah Indonesia merdeka.
Lewat alunan lagu-lagu keroncong yang dinyanyikan bersama dengan grup orkesnya, Marzuki menyampaikan kritik terhadap kekejaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan Jepang. Bukan hanya itu, ia juga dikenal sebagai seniman musik yang anti berkompromi pada pemerintahan kolonial, sehingga penampilannya tidak jarang mendapat ancaman bahkan cekalan.
Selang beberapa waktu setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya mendekati penghujung tahun 1945, Marzuki kembali menggubah sebuah lagu yang diberinya judul Gugur Bunga. Dari judulnya jelas terbaca, lagu ini ditujukan untuk menghormati teman-teman seperjuangan yang gugur demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Karena itu, nuansa kesedihan menjadi karakter khas lagu ini. Baik lirik maupun iramanya terasa penuh kepiluan yang menyayat hati sebab Marzuki memang ingin menunjukkan betapa perang dan penjajahan telah mengorbankan banyak hal, termasuk putra-putri terbaik Ibu Pertiwi lewat gubahan lagu tersebut.
Adapun Indonesia Pusaka diciptakan Marzuki pada tahun 1949. Meski nuansa, lirik, dan iramanya terasa berbeda, pesan yang ingin disampaikan sang komponis lewat Indonesia Pusaka tidak jauh berbeda dari lagu Gugur Bunga.
Pasalnya, Agresi Militer Belanda serta sederet perjanjian internasional untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia menjadi latar belakang Marzuki ketika menggubah Indonesia Pusaka. Karenanya Ninok Leksono dalam bukunya yang berjudul Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman (2014) menuturkan, baris demi baris lagu tersebut tidak hanya sekedar melukiskan kekaguman sang komponis pada kemasyhuran Ibu Pertiwi.
Lebih dari pada itu, Marzuki menggubah Indonesia Pusaka untuk menjaga kesadaran rakyat Indonesia agar tetap bersatu dalam menjaga kekayaan dan kedaulatan Republik Indonesia melampaui hari proklamasi kemerdekaan. Ia ingin agar tragisnya perang dan penjajahan tidak kembali lagi merusak Tanah Air, apalagi sampai menyengsarakan rakyatnya.
Tampaknya niat Marzuki tersebut tersampaikan dengan baik. Tidak hanya Indonesia Pusaka, seluruh lagu-lagu nasional ciptaannya tidak pernah gagal dalam menumbuhkan rasa nasionalisme serta solidaritas Bangsa Indonesia dari masa ke masa.
Jalan hidup Ismail Marzuki nyatanya tidak relatif mulus meski berasal dari keluarga berada dan dikenal sebagai komponis legendaris. Dalam masa hidupnya yang juga terbilang singkat, Marzuki tidak selalu menikmati buah dari kepiawaiannya bermusik.
Kegemaran dan bakat Marzuki pada dunia musik menurun langsung dari ayahnya yang bernama Marzuki Saeran. Ayah Marzuki bukan hanya mahir memainkan alat musik , namun juga memiliki gramofon serta mengoleksi banyak piringan hitam sehingga telinga Marzuki kecil telah begitu akrab dengan berbagai jenis irama musik.
Beranjak dewasa, kegemaran Marzuki pada musik kian menjadi-jadi. Kamarnya pun semakin hari semakin penuh dengan beragam alat musik. Kegiatan sekolahnya bahkan sempat terganggu karena Marzuki lebih tertarik dengan musik ketimbang pelajaran sekolah. Beruntung, ia masih dapat menyelesaikan pendidikan MULO.
Setamat MULO, ayah Marzuki mencarikan pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan dunia musik sebab ayahnya menilai seniman musik tidak menjanjikan kemapanan dan hanya menjadi cemoohan di masyarakat kala itu. Marzuki pun mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai kasir di perusahaan minyak Amerika Serikat, yakni Socony Service Station.
Marzuki tentu saja tidak bertahan lama dengan pekerjaan tersebut sebab tidak menarik minatnya. Di samping itu, ia juga merasa tidak cocok dengan direkturnya yang seorang Belanda. Maka, Marzuki pun keluar dari kemapanan ayahnya untuk mencari pekerjaannya sendiri.
Bak ikan bertemu dengan air, Marzuki akhirnya berlabuh pada sebuah perusahaan yang menjual alat musik. Sebagai tenaga sales and marketing, tugasnya ialah menjual sebanyak mungkin piringan hitam. Hati Marzuki jelas senang bukan main melakoni pekerjaan baru tersebut. Selain sesuai dengan minat dan bakatnya, pekerjaan tersebut juga membuatnya berkeliling antar kota.
Buah dari pekerjaan tersebut mempertemukan Marzuki dengan Hugo Dumas, pemimpin Orkes Lief Java. Pada tahun 1936 tepatnya ketika Marzuki berusia 17 tahun, ia pun bergabung dengan grup orkes tersebut. Bersama grup ini, Marzuki tidak hanya tampil sebagai pemusik, namun juga penulis syair, komponis sekaligus penyanyi sehingga bakatnya kian terasah seiring makin tenarnya grup orkes tersebut.
Dalam perjalanannya, Marzuki juga terjun ke dalam bidang radio, khususnya radio ketimuran karena Orkes Lief Java menerima kontrak tetap untuk tampil secara langsung di Radio VORO (Vereeniging voor Oostersche Radio Omroep) pada setiap Sabtu malam.
Meski telah dikenal luas sebagai seorang seniman musik, Marzuki tetap hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, bahkan lebih sering berkekurangan. Musababnya ialah Marzuki selalu menolak setiap tawaran naik panggung di acara perhelatan perkawinan. Dalam hemat pandangan Marzuki, hanya dengan bersikap demikian, ia mampu membedakan derajat kualitas pertunjukkan musiknya dibandingkan seniman musik seangkatannya.
Pada satu masa yang lain, terjun ke dalam dunia penyiaran ternyata membuat Marzuki juga berkenalan dengan dunia bermain peran, utamanya sitkom. Ia ditawari peran sebagai Paman Lengser, salah satu tokoh dalam cerita topeng Betawi dan harus beradu lawakan dengan tokoh Botol Kosong yang diperankan oleh teman orkestranya Memet.
Tidak disangka Marzuki, lawakannya bersama Memet mendapat sambutan yang sangat positif karena berhasil mengundang tawa para pendengar VORO. Berkat perannya tersebut, Marzuki juga dikenal sebagai seorang pelawak meski ia sebenarnya adalah seorang pribadi yang pendiam.
Menjelang akhir hidupnya, Marzuki dan Eulis sang istri hanya hidup dengan mengandalkan tunjangan dari RRI semata yang kala itu jumlahnya sebesar Rp. 700 setiap bulan. Pasalnya, penyakit paru-paru Marzuki kian kronis memasuki pertengahan tahun 1956 sehingga tidak memungkinkan baginya untuk aktif bermain di atas panggung.
Pada 25 Mei 1958, sang komponis legendaris pun menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan sang istri.
Sumber: Leksono, N. (2014). Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Ibu Sud menyadari betul bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk bergerak di bidang politik, namun sangat ingin terlibat dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya. Ia lantas menyumbangkan bakat dan keahlian di bidang seni dan sosial untuk gerakan kebangsaan hingga akhir hidupnya.
Nama lengkapnya ialah Saridjah Niung, anak bungsu perempuan dari keluarga pengusaha berdarah Bugis. Selang beberapa waktu, ayah Saridja beralih profesi dari pengusaha menjadi pengawal pribadi yang begitu dipercaya oleh JF. Kramer, seorang jaksa tinggi Batavia.
Dalam perjalanannya, hati JF. Kramer terketuk untuk ikut mengasuh anak bungsu keluarga Niung tersebut. Ia pun mengangkat Saridjah menjadi anak angkat agar kelak sang komponis perempuan tersebut mendapat pendidikan di sekolah Belanda yang kualitasnya lebih baik ketimbang sekolah pribumi.
Dari asuhan JF. Kramer, Saridjah mengenal dunia musik sekaligus mendapat kesempatan untuk berlatih dengan beberapa alat musik. Ayah angkat Saridjah tersebut memang mempunyai keahlian di bidang seni musik dan melukis. Di samping itu, JF. Kramer juga menyadari bakat dan perkembangan jiwa Saridjah yang begitu peka terhadap lingkungan sekitarnya sehingga membutuhkan media untuk menyalurkannya.
JF. Kramer pun membelikan Saridjah kecil sebuah biola untuk melatih dan menumbuhkan kegemarannya bermain musik. Tidak disangka, Saridjah cepat mengerti teori-teori dasar biola yang diajarkan oleh JF. Kramer. Pada umur lima tahun, permainan biola sang komponis perempuan pertama ini telah cukup baik.
Ibu Sud menciptakan lagu nasional pertamanya untuk murid-murid pribumi. Pada waktu itu memang belum ada lagu anak-anak berbahasa Indonesia yang menceritakan tentang keindahan Ibu Pertiwi sekaligus pula menumbuhkan rasa cinta terhadap negeri sendiri.
Oleh karena itu, ia menggubah lagu-lagu nasional bernada pendek dan bersyair ringkas pada kisaran tahun 1927. Terlambat, judul lagu-lagu itu sudah tidak diingatnya dan belum juga ada niatannya kala itu untuk mengumpulkan dalam sebuah buku nyanyian.
Tidak sedikit pula lagu Ibu Sud yang dibuatnya bersama Keimin Bunka Shidosho atau Pusat Kebudayaan semasa penjajahan Jepang masih popular hingga hari ini. Semisal, ada lagu Hai Becak, Burung Kutilang, dan Menanam Jagung yang sesungguhnya diperuntukan untuk propaganda Jepang, namun sengaja digubah dengan syair yang umum agar dapat menjadi lagu anak-anak pribumi kala itu.
Awal mula keikutsertaan Ibu Sud pada pergerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia ditandai dengan pertunjukkan konsernya dalam Kongres Jong Java di Kota Solo pada Akhir Desember 1926. Sejak saat itu, ia dikenal aktif membakar semangat rakyat, utamanya kaum pemuda dan pelajar lewat gubahan lagu-lagu, syair serta konsernya.
Lantas pada tahun 1942, Ibu Sud menggubah lagu Tanah Airku yang menjadi suara hati sekaligus bentuk perjuangannya dalam membangkitkan rasa cinta tanah air di hati rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Sejak itu, Tanah Airku selalu dinyanyikan dalam setiap kongres-kongres pemuda.
Begitu berakhir kekuasaan Jepang di Indonesia, perjuangan rakyat Indonesia nyatanya tidak lantas berhenti. Ada sekutu yang ingin kembali menguasai Tanah Air sehingga revolusi fisik dan perang secara terang-terangan kembali meletus selepas tahun 1945. Ketika itu, Ibu Sud hanya menyediakan rumahnya untuk markas para seniman yang ikut memanggul senjata.
Dari mereka yang berjuang, sang komponis mendengar berita bahwa adanya usaha mempertahankan RRI Jakarta. Yusuf Ronodipuro yang menjadi pemimpin RRI kala itu tidak mau berkompromi untuk menurunkan Bendera Merah Putih yang berkibar di atas gedung RRI. Militer Belanda yang gagal memaksa pimpinan RRI tersebut akhirnya harus menurunkan sendiri dan menggantinya dengan bendera merah putih biru.
Berita inilah yang menjadi inspirasi Ibu Sud untuk menggubah lagu Berkibarlah Benderaku.
Selain mahir dalam memainkan sederet alat musik dan menciptakan berbagai jenis lagu, bakat Ibu Sud nyatanya tidak hanya berhenti di dunia musik saja. Ia juga melakoni banyak kegiatan semasa hidupnya.
Jauh sebelum aktif sebagai seniman musik maupun komponis, Ibu Sud telah lebih dulu aktif sebagai guru yang mengajar berbagai macam pelajaran di HIS, sekolah Belanda khusus untuk bumiputera. Ia mendapatkan gelar keguruannya dari Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers (KIO), sekolah keguruan khusus perempuan di Bandung dalam usia yang masih terbilang muda, yakni 17 tahun.
Pada tahun 1924, Ibu Sud yang baru berusia 19 tahun akhirnya mendapatkan sekolah ajarnya yang pertama. Masa itu, ia ditugaskan untuk mengajar hampir semua pelajaran, termasuk budi pekerti dan agama di HIS Jaga Monyet (kini dikenal sebagai Jalan RM Suryopranoto Jakarta). Adapun murid-murid pertamanya ialah anak laki-laki pribumi bangsawan yang duduk di kelas 5 dengan rata-rata umur 23 tahun.
Suatu ketika, salah seorang muridnya bersikap kurang ajar kepadanya sehingga Ibu Sud harus melayangkan tamparan kepada murid laki-laki tersebut. Sekolah tempatnya mengajar mendukung tindakannya tersebut dan memberikan hukuman berat kepada murid yang ternyata anak raja Bone dari Sulawesi Selatan.
Namun begitu, pemerintah terpaksa memindahkan Ibu Sud ke sekolah khusus perempuan untuk menghindari kejadian serupa. Ia pun mengakhiri profesinya sebagai guru sekolah pemerintah sebab sekolah HIS Kartini di Jakarta ialah suatu sekolah swasta atau partikelir.
Sejak pindah mengajar di HIS Kartini inilah nama Ibu Sud mulai dikenal sebagai guru musik sekaligus komponis lagu. Jam terbang kelas menyanyinya kian bertambah banyak seiring kegelisahannya yang kian menjadi-jadi melihat anak-anak muridnya hanya menyanyikan lagu-lagu Belanda dari hari ke hari.
Karena itu, Ibu Sud bersama dengan kawan-kawan gurunya berusaha membuka kelas pendidikan nasional secara diam-diam seusai jam pelajaran. Ia juga mulai menggubah lagu-lagu nasional untuk anak-anak dalam jumlah yang terbatas. Beberapa lagu gubahannya tersebut dinyanyikan pula pada saat perayaan sekolah hingga akhirnya tersebar hingga ke lingkungan tetangga kiri dan kanannya.
Dalam perjalanannya, Ibu Sud kemudian pula menjadi juri bintang radio pada rentang tahun 1950-1969. Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari radio yang jatuh pada bulan September. Terpilihnya Ibu Sud menjadi juri di acara tersebut dikarenakan keikutsertaannya dalam siaran Taman Kanak-kanak RRI sejak tahun 1945.
Tidak ingin berpuas diri, Ibu Sud juga melatih bakat dan keahliannya dalam bidang pertunjukkan. Ia menjadi sutrada operet anak-anak untuk memperingati Hari Kartini sekaligus memeriahkan Konferensi Asia Afrika di Bandung waktu itu. Pementasan yang seluruh lagunya dibawakan dalam irama gending Jawa tersebut berlangsung pada 21 April 1955 di Gedung Kesenian Pasar Baru.
Setelahnya, Ibu Sud aktif bermain peran dalam kelompok teater para pelajar yang bertujuan untuk menghimpun dana dari masyarakat. Dana ini nantinya digunakan untuk pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Tidak disangkanya, ia justru jadi primadona dalam setiap pementasan. Tokoh yang diperankannya selalu paling menonjol dalam cerita dan didukung pula dengan kemampuan bermain perannya yang bagus.
Di waktu yang lain, Ibu Sud juga menekuni usaha membatik selepas kepergian suaminya yang meninggal akibat kecelakaan pesawat BOAC pada bulan September 1945 di Singapura. Pengetahuan dan keterampilan membatik diperolehnya dari Go Tik Swan yang lebih dikenal dengan nama KRT. Hardjonagoro. Tidak tanggung-tanggung, Ibu Sud bahkan merintis dan mewujudkan motif batik rancangan Presiden Sukarno yang dinamakan motif terang bulan.
Sumber: Sumardi, S. (1985). Sarijah Bintang Sudibyo (Ibu Sud): Karya Dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Perjuangan Cornel Simanjuntak demi kemerdekaan Indonesia tidak hanya terlihat dari sumbangsih lagu-lagu nasional ciptaannya. Sang Komponis nyatanya juga ikut angkat senjata hingga ke medan perang.
Situasi penjajahan Jepang yang lebih kejam menindas Bangsa Indonesia menjadi latar belakang yang menggerakkan Cornel ketika menggubah lagu Maju Tak Gentar.
Pasalnya, pengawasan yang dilakukan oleh aparat Jepang jauh lebih ketat, sehingga ancaman, cekalan hingga hukuman berat yang diberlakukan tidaklah main-main. Kondisi tersebut semakin menyulitkan gerak perjuangan Bangsa Indonesia karena semakin sedikit orang-orang yang berani untuk berjuang.
Oleh sebab itu, Cornel menggubah Maju Tak Gentar, lagu yang bertempo cepat untuk membakar semangat juang rakyat Indonesia.
Adapun ajakan semangat berjuang yang dituangkan Cornel dalam lirik lagu tersebut tidak secara gamblang ditujukan untuk Bangsa Indonesia. Di samping itu, sang komponis memang bekerja untuk Jepang melalui Keimin Bunka Shidosho atau Pusat Kebudayaan, sehingga Jepang mengira lagu tersebut bagian dari propaganda yang dibuat oleh Cornel.
Alhasil, Maju Tak Gentar pun lolos sensor dan layak siar di radio, baik milik Jepang maupun RRI.
Karena jiwa patriotiknya begitu besar, Cornel juga bergabung dengan rombongan khusus untuk menyiarkan langsung perihal kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Dengan mengendarai mobil pick-up tua, rombongan khusus ini berkeliling kampung-kampung di Jakarta mengabarkan berita baik tersebut sambil tidak lupa melambai-lambaikan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan, seperti Sorak-sorak Bergembira, Maju Tak Gentar, dan yang lain.
Beberapa waktu berselang setelah proklamasi kemerdekaan, Cornel memutuskan untuk ikut bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang kala itu bermarkas di Menteng 31. Alasannya tentu saja ia tidak dapat berpangku tangan melihat bangsa asing berusaha untuk merampas kembali kemerdekaan negerinya.
Adalah NICA atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda yang terdiri dari tentara Gurkha, Inggris, dan Belanda yang kembali datang ke Indonesia pada tanggal 29 September 1945. Kedatangan tentara NICA yang membonceng tentara Sekutu tersebut memang berniat untuk menegakkan kembali kekuasaan kolonial Belanda seusai Jepang menyerah tanpa syarat.
Mengetahui tentara Sekutu yang semula hanya ingin melucuti persenjataan tentara Jepang diboncengi oleh NICA, rakyat Indonesia pun kembali bersiap untuk melakukan perlawanan dengan berbagai cara, tidak terkecuali Cornel.
Sejarah mencatat, sang komponis ini bahkan pernah menodongkan langsung moncong senjatanya kepada tentara Gurkha dan Inggris ketika pecah pertempuran di Tangsi Penggorengan Jakarta. Tidak tinggal diam, NICA pun memindahkan tangsi tersebut ke Hotel Thaitung di Senen.
Lewat bukunya Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi (2019), Rosihan Anwar wartawan yang hidup di masa itu menggambarkan bahwa Cornel dan para pemuda Senen lagi-lagi menyerbu hotel serdadu NICA tersebut. Medan pertempuran kala itu berpusat di simpang empat Kramat depan bioskop Grand.
Nahas, paha Cornel tertembak dalam pertempuran itu sehingga ia harus diamankan dari garis depan dan dilarikan ke CBZ (sekarang dikenal sebagai Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Baru beberapa hari dirawat di sana, Cornel harus segera diungsikan ke Karawang sebab tersiar kabar Belanda akan melakukan penggeledahan di CBZ dan hendak menangkap para korban dalam pertempuran tersebut.
Tidak lama kemudian, Cornel dipindahkan ke Yogyakarta sebab kondisi tubuhnya makin lemah akibat TBC yang menggerogoti paru-parunya. Berat badan Cornel terus menurun dan batuknya kian akut dari hari ke hari sehingga dirasa lebih baik membawanya ke Sanatorium Pakem.
Ajal pun memanggil sang komponis. Cornel menghembuskan nafas terakhirnya pada 15 September 1946 di Yogyakarta ketika Bangsa Indonesia tengah berada di puncak perjuangan mempertahankan kemerdekaan Ibu Pertiwi.
Bakat dan kecintaan Cornel Simanjuntak pada seni musik tidak selalu membawa nasib baik kepadanya. Alih-alih menjadikannya kaya, ia malah sempat dituduh sebagai antek-antek Jepang akibat kegiatan bermusiknya.
Tuduhan itu bukan tanpa alasan. Memasuki pertengahan tahun 1943, radio Jepang kerap kali memutar lagu-lagu propaganda yang isinya mengajak rakyat untuk menanam pohon jarak di halaman rumah guna kebutuhan minyak pelumas pesawat terbang Dai Nippon.
Adapun lagu-lagu tersebut terdengar begitu pas dan memikat, baik lirik maupun melodinya di telinga para pendengar. Susunannya lancar-mulus, padat-ringkas dengan pembawaan yang amat segar sebagai sebuah lagu propaganda untuk memenangkan perang semata.
Secara musikal, lagu-lagu itu memang betul-betul memikat, ditambah konsepsinya yang cocok sekali untuk tujuan propaganda, yakni popular, mudah dinyanyikan, serta cukup dinamis tanpa kekakuan. Seniman-seniman lain yakin bahwa lagu-lagu yang saban sore terdengar di radio itu tidak diciptakan oleh orang biasa, pastilah orang yang mengerti betul dengan seni musik.
Beberapa hari kemudian, tersiarlah kabar bahwa lagu-lagu tersebut diciptakan oleh Cornel Simanjuntak yang bekerja sebagai guru di Magelang.
Teman-temannya sangat kaget mengetahui kabar tersebut dan tidak menyangka bahwa Cornel menyediakan diri untuk diperalat oleh penjajah Jepang yang kejam itu. Mereka bertanya-tanya apakah Cornel tidak sadar bahwa ia telah dijadikan alat untuk menyebarkan rasa benci dan permusuhan terhadap negara-negara sekutu yang berimbas pada semakin tertindasnya bangsa Indonesia.
Beberapa lagu propaganda Jepang ciptaan Cornel, yaitu Bikin Kapal, Menanam Kapas, Bekerja dan Menabung. Semua lagu-lagu tersebut memang benar adanya diciptakan oleh Cornel untuk kepentingan pemerintah Jepang. Oleh karena itu, bait-bait liriknya secara terang-terangan mendorong bangsa Indonesia agar membantu Dai Nippon mempertahankan kekuasaannya, utamanya di Indonesia.
Sejak tersiar kabar Cornel yang menciptakan lagu tersebut, teman-teman dekat maupun jauhnya menilai ia adalah seniman musik yang menjual diri untuk kepentingan penguasa. Belakangan diketahui, Cornel memang telah beralih profesi ke kantor Keimin Bunka Shidosho atau Pusat Kebudayaan pada bagian musik yang didirikan Jepang untuk kepentingan propaganda.
Suatu ketika teman-teman Cornel tengah mendengarkan lagi siaran radio. Kali ini, bagian siaran musiknya justru memperdengarkan paduan suara yang tidak hanya disajikan dengan baik, namun juga menyanyikan lagu-lagu Indonesia.
Penampilan paduan suara tersebut jelas membuat kaget banyak pendengar. Pasalnya, paduan suara tersebut bukan hanya dilatih dengan amat baik, namun juga diberikan kesempatan menyanyikan lagu-lagu yang bukan bersifat propaganda, bahkan lagu-lagu Indonesia. Salah satunya ialah berjudul Kupinta Lagi.
Sebagaimana diketahui, Jepang hampir tidak pernah mengudarakan pertunjukkan musik yang tidak membawa mudarat bagi kekuasaannya, apalagi bila pertunjukkan musik tersebut malah membangkitkan semangat dan rasa cinta terhadap Tanah Air.
Namun hari itu, penampilan paduan suara ini betul-betul membangkitkan semangat. Meskipun liriknya tidak begitu jelas menyampaikan, melodi dan gubahannya terasa betul-betul mengungkapkan semangat penuh harapan terhadap hari depan yang cerah bagi Bangsa Indonesia. Di akhir pertunjukkan musik tersebut, penyiar mengumumkan bahwa pencipta dan komponis lagu-lagu yang baru saja mengudara itu ialah Cornel Simanjuntak.
Semenjak itu pahamlah teman-teman seniman Cornel bahwa ia membuat lagu-lagu propaganda Jepang agar tetap memiliki kesempatan mencipta dan mengudarakan lagu-lagu sesuai keinginan hatinya sendiri, utamanya yang ditujukan Cornel untuk menyemangati perjuangan Bangsa Indonesia. Bukan hanya itu, kesediaan Cornel menggubah lagu-lagu propaganda Jepang juga telah membuka saluran untuk menyiarkan hasil-hasil karyanya kepada masyarakat luas melalui radio.
Sumber: Anwar, R. (1977). Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wage Rudolf Supratman tentu tidak menyangka lagunya dijadikan lagu kebangsaan Indonesia di kemudian hari. Jalan panjang Indonesia Raya bermula dari kegelisahan Supratman tatkala melihat perjuangan teman-temannya merebut kemerdekaan.
Supratman memang sudah sejak lama ingin menyumbangkan sesuatu bagi perjuangan bangsanya. Kegelisahannya kian menjadi-jadi usai membaca sebuah tulisan dalam majalah Timboel yang terbit di Solo.
Tulisan yang berjudul “Manakah Komponis Indonesia yang Bisa Menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia yang dapat membangkitkan Semangat?” dalam majalah tersebut seolah-olah memang ditujukan kepada dirinya.
Buku Wage Rudolf Supratman, Sang Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (2016) karya Momon Abdul Rahman bahkan menceritakan kalau Supratman sampai susah tidur dan badannya terasa seperti demam karena kegelisahannya sendiri.
Maka pada suatu malam, ia memutuskan untuk mengambil secarik kertas dan mulai menuliskan not-not yang ada di kepalanya. Setelah selesai, Supratman mengambil biolanya untuk memainkan lagu yang baru diciptakannya itu. Ternyata masih terasa kurang pas. Ia coba lagi sembari mencoret dan mengganti beberapa nada hingga beberapa kali.
Setelah terdengar mantap ditelinganya, Supratman mulai menulis syair untuk lagu itu. Proses penulisan syair ini tidak memakan waktu lama sebab telah banyak kata-kata perjuangan yang dipikirkannya sejak kali pertama ia menuliskan not lagu tersebut. Bagian terakhir, ia beri judul lagu tersebut Indonesia Raya.
Rasa lega menyeruak dari batinnya ketika lagu itu selesai seluruhnya. Supratman lekas menghubungi Jo Kim Tjan agar lagu perjuangan tersebut dapat diabadikan ke dalam piringan hitam. Tidak menunggu waktu lama, Kim Tjan kemudian membeli alat-alat rekaman seadanya.
Pada hari yang telah ditentukan keduanya, Supratman memainkan kembali biolanya sembari ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sementara itu, Kim Tjan bertindak sebagai operator rekaman.
Rekaman hari itu dilakukan sebanyak dua kali sebab Supratman memainkan Indonesia Raya dalam dua irama, mars dan keroncong. Master rekamannya dibuat dari lilin yang dibekukan dalam suhu rendah, sedang tahap akhirnya diselesaikan di Jerman dan di Inggris. Setelah jadi, piringan hitam lagu tersebut beredar dengan harga sebesar 0,20 gulden.
Indonesia Raya pun memulai perjuangannya ketika Panitia Kongres Pemuda Kedua menghimbau seluruh pihak untuk memberikan sumbangsih guna persiapan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Mengetahui himbauan tersebut, Supratman langsung mengirimkan surat kepada Panitia Kongres Pemuda Kedua, yang berisi keinginannya untuk menyumbangkan lagu sekaligus menyanyikannya di depan peserta kongres.
Tidak disangka Supratman, panitia menyetujui keinginannya. Lebih dari itu, Supratman malah diminta untuk melatih paduan suara yang terdiri dari anggota Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) agar dapat dinyanyikan bersama-sama.
Pada hari penutupan kongres tepatnya pada 28 Oktober 1928 pukul 23.00 WIB, Supratman tampil ke depan. Setelah memberi hormat kepada panitia dan hadirin, ia menggesek senar biolanya dengan penuh penghayatan, tanpa diikuti syair lagu apalagi iringan paduan suara.
Rencana awal panitia kongres terpaksa dibatalkan untuk menghindari represi agen-agen pemerintah Hindia Belanda yang memantau jalannya kongres pemuda kedua.
Namun begitu, Indonesia Raya nyatanya mendapat sambutan yang luar biasa. Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan kongres usai Supratman memainkan melodi biola lagu kebangsaan tersebut. Saat itu juga, panitia dan semua peserta kongres sepakat untuk menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.
Pada Mei 1929, Indonesia Raya untuk pertama kalinya dibawakan dengan iringan band lengkap saat Kongres PNI yang kedua. Karena sering dinyanyikan pada acara-acara kongres, Belanda merasa terusik dengan liriknya, hingga melarang untuk menyanyikan lagu tersebut pada tahun 1930.
Protes atas pelarangan menyanyikan lagu Indonesia Raya pun berdatangan dari berbagai pihak. Dewan Rakyat (Volksraad) akhirnya turun tangan dan menghapuskan pelarangan tersebut. Indonesia Raya boleh dinyanyikan di dalam ruangan dengan menghilangkan bagian “merdeka, merdeka”.
Sedikit yang tahu bahwa Indonesia Raya hanyalah satu dari sejumlah karya dan sumbangsih Wage Rudolf Supratman untuk gerakan kemerdekaan Indonesia. Di balik biolanya, orang-orang terdekat mengenal Supratman sebagai pribadi yang aktif, ulet dan pantang menyerah.
Kemampuannya memainkan biola bukanlah sebuah bakat bawaan dari lahir. Supratman baru mengenal instrument musik ketika tengah menempuh pendidikan keguruan di Makassar. Van Eldick, kakak ipar Supratman menjadi orang pertama sekaligus gurunya dalam bernyanyi dan bermain alat musik gitar serta biola.
Saat menginjak usia 17 tahun, pendidikan keguruan Supratman telah selesai sehingga ia diminta menjadi guru bantu di Sekolah Angka Dua di Makassar. Pada usia yang sama, Supratman bersama dengan Van Eldick kakak iparnya mendirikan grup band beraliran Jazz yang mereka beri nama “Black and White”.
Tidak beberapa lama, Supratman memutuskan untuk pindah haluan dengan bekerja pada beberapa kantor firma hukum. Dari sinilah, ia mengenal gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia sebab kantornya berlangganan berbagai macam koran.
Merasa kurang puas hanya dengan membaca harian dan mingguan, Supratman lantas mulai mendengarkan ceramah ala Sneevliet (pelopor PKI) dan mendatangi sederet rapat kaum pergerakan.
Karena tidak ingin menyulitkan kakaknya, Supratman memutuskan untuk meninggalkan Makassar dan kembali ke Jawa. Di tahun 1925, ia bersama dengan Parada Harahap mendirikan Kantor Berita Alpena yang beraliran pers pribumi.
Sayang, Alpena mengalami kesulitan pembiayaan operasional di tengah jalan hingga harus berumur pendek.
Supratman kemudian melanjutkan karir jurnalistiknya dengan menjadi wartawan di Surat Kabar Sin Po sembari pula menjadi pencari iklan. Uang gajinya sebagai wartawan dan komisi mencari iklan menjadi modal awalnya untuk mendirikan usaha penerbitan yang diberi nama “WR Soepratman Publicist” dan toko buku “Java”.
Malang, Supratman tidak berumur panjang karena komplikasi yang tidak kunjung sembuh bahkan kian parah meski telah diobati. Pada 17 Agustus 1938, ia menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia yang terbilang muda, yakni 35 tahun.
Meski begitu, karya-karya Supratman berumur panjang hingga hari ini. Sejarah mencatat ada banyak karyanya dalam bentuk lagu, laporan jurnalistik, hingga karya sastra. Hal ini karena Supratman adalah sosok yang peka terhadap lingkungannya. Apa yang terjadi di sekitarnya menjadi perenungan sekaligus penggerak dalam membuat sebuah karya.
Supratman secara khusus membuatkan lagu berjudul RA Kartini untuk mengungkapkan kekagumannya pada perjuangan para tokoh pergerakan wanita. Beberapa lagu-lagu ciptaan Supratman yang lain berjudul Di Timur Matahari, Bendera Kita, Pandu Indonesia dan Bangunlah Hai Kawan.
Adapun salah satu roman tulisan Supratman berjudul Perawan Desa yang menceritakan ketidakadilan dan penderitaan yang utamanya dialami wanita di desa akibat pemberlakuan politik pintu terbuka oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Kepiawaian dan pemikiran kritisnya dalam menulis juga terlihat dalam laporan-laporan Supratman di surat kabar. Sebagai seorang wartawan, ia selalu menulis dengan teliti, detail dan menempatkan subjek pemberitaannya dengan proporsional.
Karena sumbangsihnya, Presiden Soekarno setuju untuk membangun makam dan tugu Supratman di Surabaya ketika melakukan kunjungan ke makam teman seperjuangannya tersebut.
Bukan hanya itu, Presiden Soekarno juga menganugerahi Supratman tanda jasa berupa bintang Mahaputra Utama Kelas III pada 19 Januari 1961. Penyematannya dilakukan oleh Menteri Pertama Ir. H. Djuanda Kartamidjaja atas nama Presiden Soekarno kepada Ny. Salamah, istri Supratman yang mewakili almarhum.
Sumber: Rahman, M. A., Suswadi, S., Rachmawati, R., & Aminah, A. (2016). Wage Rudolf Supratman: Sang Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Sumpah Pemuda.
Meski namanya tidak sementereng komponis seangkatannya, kiprah Husein Mutahar nyatanya besar dalam pergerakan kemerdekaan sekaligus sejarah musik Indonesia, khususnya lagu nasional.
Kecintaan Mutahar terhadap dunia musik dan aktivitas menggubah lagu mulai berkembang sejak ia menjadi pegawai di Rikuyu Sokyoku (kini disebut Dinas Kereta Api) Jawa tengah usai menamatkan pendidikan menengah atasnya dari AMS Yogyakarta, tepatnya pada tahun 1943. Bersama rekan-rekan sejawatnya, Mutahar mendirikan Korps Musik Kereta Api.
Setelah tahun tersebut, sepanjang hidupnya, Mutahar mencurahkan sebagian besar energi dan waktunya untuk bermusik. Lagu-lagu perjuangan yang diciptakannya memberikan tekanan pada aspek sosial serta bercerita tentang jati diri dan kesatuan bangsa.
Lewat lagu-lagu ciptaannya tersebut, Mutahar merefleksikan kembali fase-fase sulit dalam perjuangan Bangsa Indonesia, khususnya pada tahap peperangan fisik yang di dalamnya banyak menelan korban.
Karena itu, lagu pertama yang digubah sang komponis ialah Himne Syukur. Di tengah perang yang tidak berhenti bergolak, keyakinan Mutahar kuat bahwa Indonesia pasti akan merdeka. Ia lantas mendahului rasa sukacita sekaligus syukur bangsanya dengan menggubah Himne Syukur pada tanggal 7 September 1944 di Semarang.
Suasana khidmat menjadi nuansa khas lagu tersebut sebab Mutahar memang ingin menunjukkan sekaligus mengabadikan laku keprihatinan dan simpati akan nasib dan penderitaan bangsanya yang pernah terjajah sekian lama oleh bangsa lain.
Adapun lagu Hari Merdeka yang hingga kini lazim diperdengarkan pada setiap perayaan HUT Kemerdekaan Bangsa Indonesia diciptakan Mutahar pada tanggal 17 Agustus 1945 di Yogyakarta. Pada perayaan HUT Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang kedua, Presiden Soekarno kemudian meresmikan Hari Merdeka menjadi mars yang wajib dinyanyikan dan diputar setiap tanggal 17 Agustus.
Dalam hemat pandangan Presiden Soekarno, tempo lagu tersebut yang berirama cepat sangat tepat untuk menggambarkan dan mengingatkan ungkapan syukur atas kemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia setiap tahunnya.
Lagu nasional terakhir yang diciptakan Mutahar ialah Dirgahayu Indonesiaku yang menjadi lagu resmi untuk ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia.
Selain lagu-lagu nasional, Mutahar juga menciptakan lagu-lagu anak, antara lain Gembira, Tepuk Tangan Silang-silang, Mari Tepuk, Himne Pramuka, dan sederet lagu anak-anak lainnya.
Mutahar bukan tanpa alasan menciptakan lagu Himne Pramuka. Ia telah aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler kepanduan sejak menempuh pendidikan MULO atau setara dengan sekolah menengah pertama.
Pada saat Mutahar menempuh pendidikannya di AMS, ia bahkan mendirikan gerakan kepanduan sendiri yang diberi nama Pandu Arjun. Memasuki tahun 1938, sang komponis telah mengikuti serangkaian kursus kepanduan, baik di dalam maupun luar negeri.
Oleh sebab itu, Mutahar dilibatkan secara aktif dalam Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia yang kemudian menyelenggarakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia pada tanggal 27-29 Desember 1945. Kongres ini berhasil membentuk Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi kepanduan kala itu, dengan Mutahar sebagai anggota Kwartir Besar Pandu Rakyat Indonesia selama periode 1945-1961.
Dalam perjalanannya, Mutahar juga berperan aktif dalam usaha pendirian Gerakan Pramuka yang akhirnya berdiri pada tanggal 14 Agustus 196. Sebelumnya, gerakan ini berusaha dibelokkan oleh Partai Komunis Indonesia menjadi gerakan Pionir Muda berhaluan komunis. Setelah berdirinya Gerakan Pramuka, Mutahar menjabat sebagai anggota Kwartir Nasional hingga beberapa kali periode.
Selama hidupnya, Husein Mutahar sang komponis sekaligus bapak Pramuka ini setidaknya telah menggubah sebanyak 116 lagu. Namun, dari jumlah tersebut kemungkinan masih ada lagu-lagu karya Mutahar yang lain yang belum sempat ditemukan.
Selain dikenal sebagai komponis maupun bapak kepanduan, Mutahar juga merupakan penggagas Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau dikenal dengan nama Paskibraka. Tata cara dan formasi pengibaran Bendera Merah Putih hari ini menjadi peninggalan lain dari sang komponis.
Semua bermula dari panggilan Presiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta kepada Mohammad Nazir agar mendampingi kedua orang nomor satu tersebut meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Alasan utamanya tidak lain karena Belanda kembali datang ke Tanah Air pada bulan Januari 1946.
Adapun Mutahar yang kala itu berpangkat kapten adalah sekretaris panglima Angkatan Laut yang dijabat oleh Laksamana Muda Mohammad Nazir sehingga ia pun ikut mengawal ke Yogyakarta, bahkan kemudian diangkat menjadi salah satu ajudan Presiden Soekarno.
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang kedua, Presiden Soekarno memanggil Mutahar dan menugaskannya untuk mempersiapkan upacara kenegaraan yang akan dilaksanakan pada 17 Agustus 1946 di halaman Gedung Agung, Yogyakarta.
Saat itu, Mutahar berpikir bahwa untuk menumbuhkan persatuan bangsa, pengibaran Bendera Pusaka sebaiknya dilakukan oleh para pemuda-pemudi Indonesia. Karena itu, ia pun menunjuk lima orang muda yang terdiri dari tiga putri dan dua putra untuk melaksanakan pengibaran Bendera Merah Putih. Lima orang pengibar tersebut menyimbolkan Pancasila.
Bukan hanya itu. Mutahar juga akhirnya merumuskan tata cara pengibaran Bendera Pusaka yang terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama ialah Pasukan 17 yang bertugas sebagai pengiring, Pasukan 8 yang bertugas sebagai pembawa bendera, dan pasukan 45 yang bertugas sebagai pengawal. Nama-nama formasi tersebut menyimbolkan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia dan masih terus digunakan sampai hari ini.
Kemudian pada tanggal 19 Desember 1948 ketika terjadinya Agresi Militer II, sederet tokoh-tokoh penting Bangsa Indonesia ditawan oleh Belanda, termasuk presiden dan wakil presiden. Sebelum Gedung Agung Yogyakarta benar-benar terkepung, Presiden Soekarno memanggil Mutahar untuk membahas beberapa hal penting, termasuk pengamanan Sang Saka Merah Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati.
Presiden Soekarno pun menitipkan bendera tersebut ke tangan Mutahar dan berpesan agar ia menjaga Sang Saka Merah Putih dengan nyawanya.
Mutahar mengemban betul tanggung jawab besar tersebut. Demi menjalankan amanahnya pada Presiden Soekarno dan memastikan keamanan Bendera Merah Putih, Mutahar bersiasat dengan memisahkannya menjadi dua bagian. Dengan dibantu oleh seorang bernama Pernadinata, ia pun membuka jahitan bendera tersebut.
Setelah itu, bendera ini menjadi tampak seakan-akan dua kain yang terpisah: kain merah dan putih. Lantas, Mutahar menyelipkan kain merah dan putih itu di dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya ditumpukkannya di atas kedua kain tersebut.
Mutahar berusaha sebaik mungkin agar kain yang tidak ternilai itu tidak jatuh ke tangan Belanda. Dalam hemat pandangan Mutahar, Bendera Pusaka adalah sebuah simbol negara yang harus diselamatkan dan dipertahankan.
Setelah semua tokoh-tokoh penting tersebut dibebaskan dan ketegangan mereda, Mutahar tidak berhenti mencari informasi dan cara untuk segera menyerahkan Sang Saka Merah Putih kepada Presiden Soekarno. Akhirnya pada Juni 1949, ia menerima surat perintah dari Kepala Negara yang berpesan untuk menitipkan bendera yang telah dijahit kembali tersebut kepada Soedjono untuk dibawa ke Bangka.
Maka pada 17 Agustus 1949, Bendera Pusaka Merah Putih akhirnya kembali berkibar di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Sumber: Wahyuning, T., et.al. (2019). Inventarisasi Sumber Arsip, Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya. Jakarta: Direktorat Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan