Pemprov DKI berencana menjalankan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) untuk memperbaiki citra Jakarta sebagai kota ke-29 paling macet di dunia. Menarik untuk disimak apa dan bagaimana ERP itu, berikut informasi seputar ERP.
ERP merupakan sebuah kebijakan pembatasan kendaraan di ruas jalan tertentu dengan menggunakan gerbang elektronik yang akan mengenakan biaya bagi setiap kendaraan yang masuk akan diidentifikasi oleh kamera pemindai dan akan menetukan jenis serta tarif nya. Teknologi menjadi penunjang utama pada kebijakan ini karena sistem ini bisa berjalan dengan baik, membutuhkan teknologi yang mumpuni seperti In-vihicle Unit yaitu alat yang harus ada di tiap kendaraan yang akan melintasi jalan berbayar agar dapat diidentifikasi oleh kamera pemindai untuk proses pembayaran secara elektronik.
Berbeda dengan gerbang TOL biasa yang hanya berlaku untuk mobil, teknologi dalam ERP mampu diterapkan kepada kendaraan roda dua sehingga dapat mengontrol penuh kendaraan yang akan melintasi ruas jalan tertentu.
Dalam sejarah penggunaanya, pertama kali digunakan Pemerintah Singapura pada tahun 1985 untuk mengatasi kemacetan di berbagai kota seperti East Coast Parkway (ECP), Central Expressway (CTE), Pan-island Express (PIE) sebagai sebuah solusi di kota tersebut yang memiliki tingkat kemacetan yang tinggi dan juga menggantikan sistem sebelumnya yaitu Road Pricing Scheme yang telah diterapkan pada tahun 1975.
Hingga saat ini, pemerintah Singapura menjadi sebuah rujukan bagi negara yang ingin menerapkan kebijakan tersebut, dan rencana pengembangan ERP generasi selanjutnya juga tengah dikembangkan oleh mereka yang akan menerapkan biaya hanya berdasarkan jarak tempuh bukan lagi berapa banyak gerbang yang dilewati.
Banyak kota di dunia telah coba menerapkan sistem ini seperti di London dan beberapa kota di Britania Raya. Namun penolakan oleh pengguna jalan juga sering menjadi kendala dalam penerapannya. Tak beda dengan Jakarta yang telah lama mencoba dari sekitar tahun 2009 untuk mengusung sistem tersebut. Sampai saat ini belum juga terlaksana dengan baik, babak baru penggunaan ERP ini hampir rampung ketika pemerintah provinsi memulai lagi pembahasan terkait peraturan yang akan menjadi dasar hukumnya pada awal tahun ini.
Dengan kemacetan yang terus melonjak di tiap tahunnya mengikuti jumlah kepemilikan kendaraan pribadi yang tak terbendung di Jakarta, membuat hal ini krusial untuk diwujudkan dan sarana fasilitas transportasi publik yang aman serta nyaman harus berdampingan dengan sistem ERP yang akan digunakan sehingga tujuan pembatasan kendaraan dapat berdampak pada meningkatnya mobilitas menggunakan transportasi publik.
Sudah lebih dari satu dekade lalu perencanaan ERP di ibukota akan diterapkan namun hingga saat ini masih juga tertunda, lalu apa yang menjadi penyebabnya? Berikut linimasa wacana pemberlakuan ERP di ibukota.
Kemacetan sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi kota Jakarta. Padatnya penduduk dan rasio kepemilikan kendaraan yang tinggi membuat hal itu sulit dipecahkan bagi siapapun yang memimpin DKI Jakarta.
Melalui keputusan No. 4104/2003 tertanggal 23 Desember, Sutiyoso menerapkan kebijakan three-in-one untuk mengurai kemacetan yang mewajibkan kendaraan mobil pribadi yang melintasi ruas jalan tertentu harus berisikan minimal tiga penumpang agar bertujuan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi saat jam sibuk namun hal itu mendapat sorotan pada tahun 2016 saat Basuki Tjahaya Purnama menjabat dan menjalankan beberapa proyek infrastruktur di ruas jalan lokasi penerapan three in one. Menurutnya kebijakan itu tidak berdampak signifikan mengurai kemacetan bahkan ia menyoroti terkait joki untuk mengakali aturan tersebut yang tak jarang mengeksploitasi anak-anak untuk beroperasi.
Sejak saat itu kebijakan three in one digantikan oleh pembatasan kendaraan berdasarkan plat ganjil dan genap di beberapa titik jalan di Jakarta dan sempat menyinggung tentang pemberlakuan ERP yang menurutnya lebih modern.
Sebelum itu berdasarkan hasil riset ANTARA tentang pemberitaan ERP, sudah ada wacana pembahasannya sejak tahun 2008 yang saat itu diwacanakan oleh Gubernur Fauzi Wibowo. Ia mengatakan, butuh kajian serta uji coba terhadap peralatan penunjang sistem ERP hingga minimal dua tahun sampai pada tahun 2010 ERP bisa diterapkan. Berselang empat tahun dari wacana tersebut pada September 2014, telah dilakukan ujicoba penerapan ERP di ruas jalan Sudirman dengan hasil memuaskan menurut Kepala Dinas Perhubungan M Akbar. Namun ia sempat menjelaskan terkait penerapan lebih lanjut saat itu masih terkendala teknis birokrasi pengadaan alat sehingga memakan waktu hingga 2015 agar dapat beroperasi sepenuhnya.
Berlanjut pada 2018 seiring dengan keinginan Pemprov untuk segera menerapakan ERP dan melanjutkan proses lelang pengadaan alat kedua perusahaan peserta lelang memutuskan mengundurkan diri dari lelang tersebut dikarenakan tidak adanya kepastian kapan ERP akan diberlakukan di DKI Jakarta.
Berkaca pada kejadian tersebut, pada awal tahun 2023 Pemprov DKI memulai pembahasan peraturan daerah terkait ERP agar dapat menjadi landasan hukum serta kepastian berlakunya sistem berjalan elektronik yang sudah diwacanakan sejak lama. Namun pembahasan tersebut diwarnai penolakan oleh fraksi di DPRD hingga sebagian warga merasa dirugikan, bahkan mmereka mengadakan beberapa kali demonstrasi di gedung DPRD.
Dengan adanya penolakan tersebut diharapkan pembahasan aturan kebijakan untuk mengatasi kemacetan dengan ERP mampu mengakomodasi suara mereka yang terdampak sehingga menjadi sebuah kebijakan yang berkeadilan dari dampak sosial yang ditimbulkan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki rencana untuk menerapkan sistem jalan berbayar atau sering Electronic Road Pricing (ERP) di beberapa ruas jalan. Rencana penerapan ERP di Jakarta, sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru.
Setidaknya, wacana ini sudah terdengar sejak era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada tahun 2006. ERP dipilih sebagai salah satu upaya untuk mengurai kemacetan di Jakarta sebagai pengganti aturan three in one yang dinilai kurang efektif. Namun rencana pelaksanaan ERP perlahan menghilang, sehingga kebijakan ganjil genap akhirnya dipilih sebagai transisi menuju penerapan kebijakan ERP tersebut.
Seiring pergantian kepemimpinan di DKI Jakarta mulai dari Gubernur Fauzi Bowo, Joko Widodo (Jokowi), hingga Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kebijakan ini tak kunjung terealisasikan. Berbagai pertimbangan mulai dari studi dan regulasi yang belum tuntas hingga lelang kontraktor menjadi alasan kebijakan ini belum terlaksana.
Pada tahun 2015, Basuki Tjahaja Purnama yang kala itu menjabat Gubernur DKI Jakarta mengatakan bahwa ERP bisa diterapkan mulai tahun 2016 karena masih terkendala beberapa permasalahan teknis. Namun seiring berjalannya waktu rencana penerapan ERP tak kunjung menemukan titik terang, sehingga rencana penerapan ERP kembali menghilang.
Terbaru, pada tahun 2022, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali mengumumkan rencana terkait penerapan kebijakan ERP. Kali ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana untuk menerapkan ERP pada 25 ruas jalan Ibukota. Nantinya setiap pengguna kendaraan pribadi diharuskan untuk membayar sekitar Rp5.000 hingga Rp19.000 setiap melintas.
Selain itu, pada Pasal 9 ayat 1 Rancangan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik, ERP di Jakarta rencananya akan berlaku setiap hari mulai pukul 05.00 hingga 22.00 WIB. Meski demikian, ada tujuh kendaraan yang akan dibebaskan dari tarif ERP ini.
Kendaraan-kendaraan tersebut diantaranya adalah sepeda listrik, kendaraan bermotor berpelat kuning, kendaraan dinas operasional milik instansi pemerintah dan TNI/Polri, kendaraan korps diplomatik negara asing, ambulans, mobil jenazah, serta yang terakhir adalah kendaraan pemadam kebakaran.
Namun berkaitan dengan penerapan kebijakan ERP, Pemprov DKI Jakarta menyatakan bahwa penerapan ERP masih membutuhkan waktu yang lama. Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengungkapkan bahwa masih terdapat tujuh tahapan yang harus dilalui agar kebijakan ini dapat dilaksanakan. Selain itu, pembatasan kendaraan bermotor melalaui kebijakan ERP yang bertujuan untuk mengurai kemacetan di Jakarta itu juga masih dalam tahap kajian.
Rencana penerapan Electronic Road Pricing (ERP) oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini menjadi topik hangat yang sedang diperbincangkan oleh masyarakat.
Beberapa masyarakat merasa rencana penerapan ERP merupakan langkah yang tepat untuk dapat mengurai tingkat kemacetan yang terjadi di berbagai ruas jalan Ibukota. Namun tidak sedikit dari masyarakat yang kontra dengan rencana penerapan ERP.
Penolakan masyarakat sebagian besar disebabkan karena menganggap fasilitas transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau sebagai kompensasi pemberlakuan ERP belum banyak tersedia. Selain itu, masyarakat dari elemen pengemudi ojek online juga keberatan jika moda transportasi tersebut juga terkena dampak penerapan tarif ERP. Pengemudi ojek online menghawatirkan penerapan ERP nantinya, berdampak pada pemasukan sehari-hari.
Menanggapi perdebatan yang sedang terjadi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyatakan bahwa penerapan ERP masih membutuhkan waktu yang lama. Hingga saat ini, aturan penerapan ERP untuk mengurai kemacetan di DKI Jakarta masih dalam tahap kajian. Sehingga, pemprov DKI Jakarta masih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan berbagai saran terkait rencana penerapan ERP ini.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan DKI Jakarta juga menyampaikan bahwa pihaknya masih mengkaji penerapan ERP tersebut, khususnya terkait dengan kesiapan fasilitas memastikan peningkatan kapasitas angkutan umum.
Dinas Perhubungan DKI Jakarta juga akan memastikan adanya peningkatan kapasitas angkutan umum di wilayah Ibukota maupun di daerah penyangga baik dari sisi daya tampung maupun ketepatan waktu untuk dapat mendukung rencanana penerapan ERP.
Angkutan umum yang akan ditingkatkan diantaranya adalah TransJakarta, LRT, dan MRT. Dinas Perhubungan DKI Jakarta memproyeksikan kapasitas TransJakarta akan ditingkatkan pada tahun 2024 hingga dapat menampung penumpang sebanyak 1,5 juta dengan armada mencapai 6.960 unit melalui penambahan koridor. Kemudian, kapasitas MRT Jakarta juga akan ditingkatkan agar dapat menampung hingga 260 ribu penumpang per hari yang akan didukung dengan penyelesaian MRT Fase 2A.
Lalu, LRT Jakarta yang saat ini memiliki daya tampung 18 ribu penumpang per hari akan diintegrasikan dengan TransJakarta sehingga ditargetkan kapasitas akan naik menjadi 145 ribu penumpang setiap hari.
Tidak hanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Pusat juga berencapa untuk mengoperasikan angkutan umum LRT Jabodebek pada bulan Juli 2023. LRT Jabodebek nantinya akan beroperasi dengan kapasitas penumpang mencapai 730 ribu oramg setiap harinya dan melewati 18 stasiun di Jabodetabek.
Dengan adanya peningkatan kapasitas angkutan umum serta penerapan ERP di beberapa ruas jalan, diharapkan masyarakat dapat beralih untuk menggunakan transportasi umum.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki rencana untuk menerapkan kebijakan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) sebagai salah satu upaya dalam mengurangi kemacetan di beberapa ruas jalan ibukota.
Rencana penerapan ERP tersebut saat ini masih dalam proses perngkajian. Meski demikian, masyarakat telah memberikan beragam komentar terkait rencana penerapan ERP tersebut.
Kelompok masyarakat yang setuju terhadap rencana penerapan ERP beranggapan bahwa kebijakan ini dapat lebih efektif mengurangi kemacetan dibandingkan kebijakan ganjil-genap yang sudah diterapkan sebelumnya.
Bahkan, pemerintah melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyebutkan bahwa kebijakan ganjil-genap merupakan kebijakan yang bersifat sementara sehingga nantinya akan digantikan dengan kebijakan ERP ini.
Di sisi lain, beberapa kalangan merasa berkeberatan dengan kebijakan tersebut dikarenakan kondisi infrastruktur pendukung yang belum memadai, terutama mengenai ketersediaan transportasi umum. Hal ini membuat beberapa masyarakat lebih memilih untuk menggunakan jalan alternatif lain yang tidak diberlakukan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi seperti ganjil-genap dibanding menggunakan transportasi umum
Selain itu, beberapa elemen masyarakat yang bekerja sebagai pengemudi ojek online juga tidak menyetujui rencana penerapan ERP tersebut. Melansir dari media Tempo, bahkan sejumlah pengemudi ojek online sempat menggelar demonstrasi di depan kantor Balai Kota DKI Jakarta dengan tuntutan untuk menolak rencana pemberlakuan kebijakan jalan berbayar atau ERP.
Munculnya pro dan kontra terkait rencana penerapan ERP di Jakarta, membuat sejumlah ahli memberikan pendapat.
Salah satu pendapat datang dari dosen kajian politik tata ruang dan transportasi Universitas Airlangga (UNAIR) Dr. Siti Aminah, Dra., M.A.
Melansir situs resmi UNAIR, Siti Aminah mengatakan bahwa saat ini kota-kota besar di dunia memang tengah berlomba-lomba untuk mengimplementasikan ERP guna mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs), seperti yang juga sedang dilakukan di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa jika pemerintah ingin memberlakukan sistem ERP, maka pemerintah harus belajar dari kota-kota besar di dunia yang dapat menerapkan kebijakan ERP dimana kota-kota metropolitan tersebut memerlukan waktu yang lama untuk mempersiapkan diri agar dapat menerapkan kebijakan ERP dengan baik.
Sementara itu, seperti dikuitp dari media, Deddy Herlambang, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi. Menurut Deddy, ERP lebih efektif dalam mengatasi kemacetan di Jakarta daripada penerapan aturan ganjil genap. Ia menambahkan kebijakan ganjil genap untuk mengatasi kemacetan di Jakarta hanya dapat menyelesaikan persoalan dalam jangka pendek, sehingga ERP merupakan cara yang efektif untuk mengurai kemacetan di ruas jalan Ibukota.
Perdebatan mengenai wacana kebijakan jalan berbayar di Jakarta kurang lengkap bila tidak melihat penerapannya di negara Singapura sebagai pembanding. Negeri Singa tersebut merupakan pelopor pemberlakuan kebijakan ERP sejak 1998.
Pada awalnya, sistem jalan berbayar di Singapura dikenal dengan nama Area Licensing Scheme (ALS) atau Skema Perizinan Area yang resmi berlaku sejak tahun 1975. Skema ini secara garis besar memberlakukan pengenaan biaya atas pengunaan jalan-jalan di suatu kawasan pada waktu tertentu dengan tarif biaya yang flat (cordon fees) dan sistem yang masih manual.
Penerapan skema ini tentunya dimaksudkan untuk mengontrol tingkat kepadatan lalu lintas, utamanya di kawasan pusat bisnis ketika jam sibuk. Oleh karena itu, pengendara kendaraan pribadi, termasuk para diplomat asing wajib memperlihatkan lisensi khusus ketika memasuki jalan-jalan di area Central Business District (CBD) mulai pukul 7:30 hingga 9:30 pagi waktu setempat.
Sementara itu, para pengendara kendaraan roda dua dilarang melintas di area ini pada saat jam-jam tersebut. Pemerintah Singapura telah menyiapkan area parkir bagi kendaraan roda dua maupun roda empat yang ingin melanjutkan perjalanan ke area CBD dengan kendaraan umum.
Lisensi khusus ini dapat dibeli dengan tarif sebesar S$3 untuk satu hari dan S$60 selama satu bulan. Adapun para pengendara kendaraan umum, seperti bis, kendaraan komersial, taksi, ambulans, pemadam kebakaran, aparat polisi hingga militer tidak memerlukan lisensi khusus untuk memasuki area CBD pada jam tersebut karena dibebaskan dari pemberlakuan ALS.
Beberapa bulan berlalu, pemberlakuan ALS ternyata terbukti efektif mengurai kemacetan yang sebelumnya menjadi masalah menahun di area CBD. Melansir data dari laman Dewan Perpustakaan Nasional Singapura, jumlah kendaraan yang memasuki area tersebut berkurang drastis dari 42.790 di bulan Maret 1975, menjadi hanya 11.363 di bulan September dan Oktober 1975.
Pemerintah Singapura kian menyempurnakan kebijakan jalan berbayar, baik dari sistem maupun penerapannya. Di tahun 1989 misalnya, jam pemberlakuan ALS di area CBD bertambah hingga saat jam sibuk sore hari (evening peak hours).
Kemudian di tahun 1994, pemerintah Singapura memberlakukan ALS selama delapan jam penuh ketika hari kerja. Sementara itu, tarif harian lisensi khusus tersebut juga turut mengalami perubahan selama beberapa kali, yakni menjadi sebesar S$4 di tahun 1976 dan S$5 pada tahun 1980.
Pada tahun 1998 yang menjadi tahun terakhir pemberlakuan ALS, area CBD yang memberlakukan skema ini juga telah bertambah menjadi 720 ha dari 670 ha di tahun 1975. Memasuki bulan September 1998, kebijakan jalan berbayar di Singapura berganti menggunakan sistem Electronic Road Pricing (ERP).
Merangkum dari laman Development Asia, perbedaan paling mencolok dari sistem ERP dibandingkan ALS ialah pengenaan biaya secara otomatis dengan tarif yang tidak tetap. Para pemilik kendaraan, baik mobil maupun motor terlebih dahulu wajib menginstal In-vehicle Unit (IU) seharga S$ 155 pada setiap kendaraan yang dimiliki.
IU ini terhubung dengan kamera-kamera perekam yang ada di titik awal kawasan ERP dan terhubung pula dengan kartu kredit, debit, maupun dompet elektronik pengendara. Saldo atau tagihan otomatis terhitung berdasarkan jumlah penumpang, titik awal, waktu masuk maupun keluar, hingga kepadatan di kawasan ERP karena menggabungkan tarif cordon fees dan congestion pricing.
Karena itu, besaran biaya ERP setiap pemilik kendaraan bervariasi setiap kali melaju di kawasan ERP. Ketika volume kendaraan padat hingga membuat kecepatan pengendara melambat saat melewati kawasan ERP, maka tarif yang dikenakan akan lebih mahal dibandingkan situasi sebaliknya. Pengendara yang melaju dengan kecepatan lebih cepat daripada kecepatan optimal saat berada di kawasan ERP akan membayar tarif ERP lebih murah.
Kebijakan jalan berbayar telah lebih dulu berlaku di beberapa negara Eropa, jauh sebelum ramai diperbincangkan di Jakarta beberapa waktu belakangan. Adapun tujuannya tentu untuk mengurai kepadatan lalu lintas di beberapa kota sembari mengurangi tingkat polusi udara dalam negeri.
Pada Februari 2003, Inggris akhirnya resmi memberlakukan kebijakan jalan berbayar dengan sistem ERP usai para pejabat London melakukan kunjungan ke Singapura sebagai negara pelopor kebijakan tersebut. Pemerintah Inggris melakukan uji coba kebijakan ini pertama kali di Durham City pada September 2002, dengan membangun gardu bayar yang dikenal dengan istilah The Durham Congestion Charge.
Pada uji coba tersebut, para pengendara kendaraan yang melaju di Jalan Saddler pada pukul 10:00 pagi hingga 4:00 sore waktu setempat harus membayar tarif tetap sebesar £2 untuk satu hari, dan berlaku dari hari Senin sampai Sabtu. Jalan ini merupakan jalan umum utama yang menghubungkan Durham Cathedral dan Durham Castle dan kerap kali mengalami kemacetan pada jam tertentu
Melansir dari laman resmi Pemerintah Kota Durham, kebijakan The Durham Congestion Charge nyatanya efektif menurunkan volume kendaraan hingga 85% hanya dalam hitungan seminggu sejak kebijakan tersebut diberlakukan. Berbekal keberhasilan pada uji coba yang pertama, Pemerintah Inggris pun mengenalkan kebijakan The London Congestion Charging Scheme (LCCS) pada tanggal 17 Februari 2003.
Area pemberlakuan kebijakan jalan berbayar ini meliputi seluruh jalan yang masuk dalam bagian Lingkar Dalam London (London Inner Ring Road), termasuk Kota London dan West End yang merupakan dua kota penting. Kebijakan The London Congestion Charging Scheme tersebut berlaku mulai dari pukul 7:00 pagi hingga 6:00 sore waktu setempat, dari hari Senin sampai Jumat.
Sementara pada hari Sabtu dan Minggu, kebijakan jalan berbayar berlaku mulai pukul 12:00 siang hingga 6:00 sore waktu setempat. Adapun besaran tarifnya bervariasi berdasarkan pilihan mekanisme pembayaran, jenis kendaraan, hingga jumlah penumpang, dengan tarif standar sebesar £15 untuk satu hari.
Serupa namun tak sama, Pemerintah Jerman juga memberlakukan kebijakan jalan berbayar sejak bulan Januari 2005. Kebijakan ini secara khusus diperuntukan bagi kendaraan truk atau lazim disebut kebijakan LKW-Maut.
Seluruh truk dengan berat sama dengan dan atau lebih dari dua belas ton wajib membayar sejumlah biaya ketika hendak melewati KM 12.000 Jalan Raya Jerman (German Autobahn). Truk dalam kategori ini wajib menginstal On-Board Units (OBU) yang nantinya akan mengkalkukasi besaran tagihan LKW-Maut pengendara truk.
Besaran tarif yang harus dibayarkan ini bersifat variatif, dengan memperhitungkan jarak tempuh, jumlah as atau roda, volume muatan yang tengah dibawa, hingga kelas emisi truk. Umumnya, para pengendara truk berukuran ini harus membayar kisaran € 0.15 per kilometer.
Mengutip data dari laman resmi Kementerian Federal Transportasi dan Infrastruktur Digital Jerman, kebijakan ini berhasil menurunkan kadar karbon dioksida dan polutan lainnya di Jerman karena adanya peralihan sebesar 6% pengiriman barang melalui moda transportasi kereta api. Karena manfaat tersebut, Pemerintah Jerman memberlakukan kebijakan jalan berbayar untuk mobil pada bulan Juni 2015.
Salah satu negara yang berhasil menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) adalah Swedia. Penerapan ERP di Swedia terletak di Kota Stockholm. Seperti negara maju lainnya yang menerapkan ERP, tujuannya tidak lain yakni mengurangi kemacetan pada jam sibuk, waktu perjalanan, polusi udara, dan untuk mendapatkan dana pembangunan infrastruktur publik.
Setelah melibatkan banyak ahli hukum dan diskusi publik yang panjang, pemerintah Swedia mengeluarkan kebijakan untuk memutuskan ERP sebagai pajak yang dikenakan pada kendaraan yang memasuki Stockholm. Kebijakan ini dinamai Stockholm Congestion Tax (SCT).
Di Swedia, ERP berlaku efektif mulai 1 Agustus 2007 dan telah di uji coba terlebih dahulu pada tahun 2006 selama tujuh bulan. Daerah yang menerapakan ERP berada di kawasan pusat bisnis dan berlaku pada Senin-Jumat di jam 6.30 – 18.30.
Kendaraan yang dikenakan ERP adalah semua jenis kendaraan kecuali motor. Kendaraan tersebut diantaranya adalah kendaraan diplomatik, kendaraan ramah lingkungan, militer, taksi, dan kendaraan diatas 14 ton. Setiap kendaraan melintas, tarif yang dikenakan ialah 5-20 SEK baik masuk maupun keluar dengan maksimum pembayaran 60 SEK/hari. Tarif akan disesuaikan berdasarkan waktu dan hari.
Negara yang terletak di Eropa Utara ini menerapkan ERP dengan menyediakan gerbang eletronik pendeteksi kendaraan lewat atau gantry di 18 lokasi. Metode pembayaran yang digunakan adalah postpaid, dimana pembayaran diberi waktu selama 14 hari setelah transaksi, jika melebihi waktu yang ditentukan akan dikenakan tambahan 70 SEK. Apabila 30 hari belum juga membayar akan dikenakan tambahan denda 500 SEK, maksimum 2.000 SEK/bulan.
Sebelumnya pada tahun 2013, saat menemui Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, Duta Besar Swedia Ewa Polano menerangkan, pemerintahannya melihat ada kesempatan untuk menawarkan teknologi dan sistem ERP terbaik di seluruh dunia, serta bus ramah lingkungan kepada Pemprov DKI Jakarta. Ia berharap tawaran tersebut bisa secepatnya diterapkan di Kota Jakarta.
“Kalian sudah menyaksikan teknologi Swedia untuk ERP dan bus yang sudah banyak diterapkan di kota-kota seluruh dunia. Dan kami ingin melengkapi Jakarta dengan teknologi yang terbaik. Sehingga Jakarta bisa menjadi nomor satu di dunia,” katanya usai bertemu dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta, di Balai Kota DKI.
Otoritas pengelolaan jalan raya Swedia juga menyebut, penerapan ERP di Swedia berhasil menurunkan tingkat kemacetan. Selama jam sibuk, perjalanan melewati wilayah tersebut menjadi lebih cepat. Jika biasanya perjalanan ditempuh 30 menit, dengan adanya ERP bisa menjadi 10 menit. Alhasil, kemacetan berkurang lebih dari 20- 25 persen, waktu perjalanan berkurang 10-30 persen dan polusi berkurang 10-15 persen.