Istilah "skena" kini tengah mencuat di kalangan anak muda. Lebih dari sekadar kata populer, "skena" mempunyai kisah-kisah menarik di balik budaya, musik, hingga dunia busana.
Apa itu "skena"?
Istilah "skena" diserap dari kata scene yang berasal dari bahasa Inggris yang merujuk pada suatu perkumpulan kolektif di tempat tertentu. Setidaknya itu menurut tafsiran Iqbaal Ramadhan, yang mengawali karier di dunia hiburan sebagai anggota grup band Coboy Junior yang belakangan dikenal menjadi figur "skena".
Baca selengkapnyaApa itu "skena"?
Istilah "skena" diserap dari kata scene yang berasal dari bahasa Inggris yang merujuk pada suatu perkumpulan kolektif di tempat tertentu. Setidaknya itu menurut tafsiran Iqbaal Ramadhan, yang mengawali karier di dunia hiburan sebagai anggota grup band Coboy Junior yang belakangan dikenal menjadi figur "skena".
“Kolektif ini nongkrong di suatu tempat dan punya taste yang sama akhirnya mereka ngulik suatu yang sama. Menurut saya begitu awalnya. Mereka yang gak pengen "skena" 'ini', orang-orang tersebut akhirnya membentuk "skena" baru. Mungkin kolektifnya lebih kecil tapi that's how "skena" made in the first place (seperti itulah bagaimana "skena" dibuat pertama kali),” kata Iqbaal Ramadhan kepada ANTARA pada Jumat (29/09).
Pemeran Dilan dalam film “Dilan” itu juga menambahkan ada dua terminologi yang populer mengenai asal-usul kata "skena". Pertama, tentu saja serapan dari kata scene. Lalu ada juga yang menyebutkan bahwa "skena" adalah akronim dari sua, cengkerama, kelana.
Senada dengan itu, menurut ahli bahasa dari Universitas Pendidikan Indonesia Dr. Afi Fadlillah, M.Hum, "skena" dalam ilmu linguistik berasal dari proses akronim (singkatan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar, seperti ponsel yaitu kepanjangan dari telepon seluler) yaitu sua, cengkerama dan kelana.
“Kata "skena" ini merupakan pemupukan akronim dari huruf awal S pada kata sua, huruf K pada suku kata ‘ke’ dalam kata cengkerama, huruf E pada suku kata ‘ke’ yang mengalami perubahan bunyi ‘eu’ menjadi ‘e’ dan Na merupakan suku kata ketiga pada kata kelana,” kata dia menerangkan.
Dr. Afi menambahkan jika "skena" dari kata scene juga akrab ia dengar. Menurutnya, versi tersebut muncul dari anak-anak muda kelompok "skena" itu sendiri.
Melalui penjelasan Dr. Afi, dapat dipahami bahwa "skena" memiliki beberapa asal-usul. Jika melihat dari sudut pandang Iqbaal, ia lebih sering menggunakan asal-usul "skena" yang berasal dari scene ketimbang akronim.
Jika ditilik lebih dalam, Iqbaal menuturkan bahwa "skena" bukan saja soal selera musik. "skena" bisa berupa kesukaan satu kelompok terhadap mobil tertentu bahkan minat satu kelompok terhadap gaya busana tertentu.
“"skena" bisa jadi mobil JDM (Japanese Domestic Market), European, mobil modif. Fashion juga seperti itu. Gak selalu tentang musik intinya.” tuturnya.
"skena" tidak melulu soal musik yang underground (musik yang punya alunan cukup keras) atau musik yang diproduksi oleh grup musik indie atau independen (grup musik yang memproduksi musiknya sendiri tanpa melalui label).
Iqbaal Ramadhan, mantan bassis dari Svmmerdose mengatakan pernah mengklaim grup musiknya sebagai musisi indie, namun kini menurut dia predikat indie selayaknya disematkan oleh penikmat musik bukan sang artis.
“Saya melabeli band saya indie karena berdasarkan kami memproses musik kami yang tidak melalui label musik besar dan kami mengerjakannya suka-suka hati kami. Ditambah, musik kami juga gak radio friendly,” ujar Iqbaal.
“Yang saya sadari, indie harusnya given (diberikan) oleh society (masyarakat),” tambahnya.
Merangkum dari terminologi dan kaitannya, Iqbal menerangkan bahwa "skena" adalah perkumpulan. Dimulai melalui tongkrongan atau kegiatan kolektif bersama, yang memiliki kesukaan atau referensi yang sama.
“Bisa musik, jenis mobil tertentu, genre Fashion (busana) maupun film. Yang penting ada kesamaan,” kata Iqbaal.
Tentang komentar warganet yang menganggap Iqbaal Ramadhan sebagai salah satu figur panutan "skena", ia membalas dengan santai. Karena menurutnya itu adalah pemberian masyarakat.
“Saya gak bisa komplain karena itu given bukan stated. Saya masih muda dan saya pun ikut beberapa perkumpulan. It does not mean anything, itu cuma berarti saya punya kesukaan yang sama di bidang-bidangnya masing-masing,” jelas Iqbaal.
Gaya hidup anak muda "skena" zaman sekarang
Selain tentang selera musik, "skena" juga berkaitan erat dengan pilihan fesyen tertentu, yang kebanyakan bergeser kepada item fesyen sebelum era sekarang.
Baca selengkapnyaGaya hidup anak muda "skena" zaman sekarang
Selain tentang selera musik, "skena" juga berkaitan erat dengan pilihan fesyen tertentu, yang kebanyakan bergeser kepada item fesyen sebelum era sekarang.
Beberapa pelaku bahkan memilih berbusana bekas hasil thrifting (membeli barang bekas). Dalam hal ini, anak muda "skena" punya berbagai karakteristik khusus yang jadi target membeli barang bekas, seperti yang dipopulerkan oleh influencer TikTok sekaligus komedian, Sastra Silalahi, yaitu kaos oversize (ukuran besar), cargo pants (celana kargo) hingga sepatu merek New Balance warna abu-abu.
Biasanya, remaja "skena" mendapatkan busana tersebut hasil membeli barang bekas di lokasi-lokasi tertentu. Seperti anak muda "skena" lainnya, Iqbaal juga masih gemar membeli barang bekas di setiap wilayah yang ia datangi seperti di Jepang atau Amerika. Ia juga mencoba untuk mempelajari kultur berbelanja pakaian bekas di kota maupun negara yang ia kunjungi.
Sastra bahkan memberikan rekomendasi untuk berbelanja pakaian bekas khususnya di Jakarta. Yang paling favorit dari busana Iqbaal saat belanja barang bekas adalah kaos, jeans dan outer (atasan selain kaos seperti jaket).
“Pasar Baru, Pasar Senen dan Pasar Santa. Online juga bisa, walaupun udah mulai mahal. Saya juga into banget sama kaos, jeans ataupun outer 60-an, 70-an sampai 80-an,” katanya.
Thrifting kian populer salah satunya juga karena anak muda "skena" mulai menyadari dampak pilihan-pilihan konsumsi mereka terhadap lingkungan hidup. Beberapa meyakini thrifting bisa menjadi antitesis dari fast fashion (fesyen cepat) yang sedang dikampanyekan para pelaku industri fesyen besar.
Thrifting bisa dianggap sebagai dukungan kepada slow fashion (fesyen lambat). Fesyen lambat mementingkan kualitas bahan produksi agar dapat awet dan tidak menjadi limbah busana nantinya, tidak seperti fast fashion, yang mementingkan kecepatan produksi dan kuantitasnya sehingga berpengaruh buruk bagi lingkungan.
Menurut Iqbaal, masuk akal jika anak muda "skena" akhirnya memilih untuk menggunakan fesyen lambat karena mereka memiliki kesamaan pola pikir untuk menolak limbah busana yang sudah menumpuk saat ini.
“Mereka juga menolak mengglorifikasi brand-brand fast fashion yang diproduksi di negara dunia ketiga dengan upah dibawah rata-rata dengan kondisi tidak manusiawi,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika anak muda "skena" berpakaian dengan cara tertentu hingga akhirnya dikenali dengan mudah oleh publik itu adalah hal yang baik.
“Bagus aja, karena mendukung brand lokal dan barang bekas. Yang mana yang saja juga lakukan. Di lemari saya, semua barang-barang bekas. Gak ada yang baru,” kata Iqbaal.
Kemudian ia juga menuturkan bahwa pendekatan fesyen lambat merupakan pendekatan yang bagus, namun ia menekankan untuk anak muda agar dapat memiliki alasan yang kuat dalam melakukan fesyen lambat. Bagi Iqbaal, terdapat dua alasan besar mengapa ia mengikuti fesyen lambat.
“Pertama, saya gak suka pakai baju yang sama kayak orang-orang lain, contohnya di premiere. Dan biasanya juga barang-barang tersebut dari brand-brand yang dipinjemin aja. Kedua, saya punya dosa environment, contoh saya punya hobi mobil klasik yang secara uji emisi tidak sebaik mobil sekarang atau mobil listrik. Saya mencoba menebus dosa saya di satu hal dengan hal yang lain, dalam hal ini slow fashion,” jelasnya.
Baginya melalui fesyen lambat, ia berhasil mengekspresikan dirinya sebagai seorang Iqbaal.
“Yang terpenting dari busana ini kan, lo bisa ekspresiin diri lo. Saya pun sampai hari ini masih pake barang-barang yang murah. Entah design, warna atau historic value bisa melambangkan diri saya sebagai seorang Iqbaal apapun bentuk dan harganya,” ungkapnya.
Selain gaya hidup fesyen lambat, anak muda "skena" juga tidak lepas dari tempat berkumpul. Seperti yang telah dijelaskan Iqbaal sebelumnya, "skena" hadir melalui satu tempat karena kesukaan yang sama. Saat ini, tempat tersebut biasanya dikenal dengan kafe "skena" yang punya karakteristik.
Jika membuka akun TikTok Sastra Silalahi, kafe "skena" punya beberapa karakteristik seperti terdapat kerikil-kerikil, tumbuhan hias Monstera sampai kaca besar untuk foto bersama kumpulan remaja "skena".
Ketika ditanya mengenai kafe "skena", Iqbaal menyampaikan bahwa ia tidak begitu tahu-menahu mengenai lokasi kafe "skena", karena kesibukan yang dijalani. Namun ia memberi saran bagi anak muda "skena" yang mencari tempat atau kafe "skena" untuk berkumpul.
“Dimanapun tempat yang mau menerima lo apa adanya dan gak mempertanyakan, menertawakan taste lu secara individu. Karena semua bisa dipelajari, gak bisa judge seseorang karena punya taste yang dianggap lebih inferior,” kata dia.
Terakhir, Iqbaal juga memberi saran untuk dapat mengerti orisinalitas suatu tren atau kultur.
“Kulik akarnya, kulik akarnya. Otherwise (kalau tidak), kita selalu dijajah, selalu ikut tren tanpa tahu punya jati diri. Gak cuma tentang output (hasil akhir) tapi tahu sejarahnya kenapa kita bisa jadi kita di hari ini. Supaya juga term (istilah) yang kita kenal gak jadi misleading (menyesatkan) dan oversaturated (terlalu jenuh),” kata Iqbaal.
Mode dan masa: Lingkaran siklus fesyen
Fesyen selalu menjadi cerminan dari berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi. Khususnya di kalangan anak muda, fesyen telah menjadi cara untuk mengekspresikan identitas dan kepribadian mereka.
Baca selengkapnyaMode dan masa: Lingkaran siklus fesyen
Fesyen selalu menjadi cerminan dari berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi. Khususnya di kalangan anak muda, fesyen telah menjadi cara untuk mengekspresikan identitas dan kepribadian mereka.
Salah satu fenomena menarik dalam dunia fesyen adalah munculnya subkultur yang unik, salah satunya adalah "skena". Subkultur ini memiliki pengaruh besar dalam membentuk tren dan gaya anak muda.
"skena" terkenal dengan estetika yang eksentrik, dan sering kali provokatif. "skena" seringkali diidentifikasikan dengan genre musik tertentu, seperti goth, punk, atau metal, tetapi juga mencakup elemen lain, seperti seni rambut yang tidak konvensional, tato, dan pemakaian pakaian dengan desain yang mengutamakan keunikan.
Penting untuk diingat bahwa "skena" bukan hanya tentang penampilan fisik; itu adalah identitas budaya yang mendalam. Orang-orang yang terlibat dalam subkultur ini sering merasa terhubung satu sama lain melalui rasa solidaritas, selera seni yang sama, dan pandangan hidup yang berbeda dari mayoritas masyarakat.
Fesyen "skena" di Indonesia salah satunya mengusung kembali gaya retro era 80-an hingga akhir 90-an.
Kemudian akan timbul suatu pertanyaan, “bagaimana bisa busana terus tumbuh dan mati berulang kali?”
Agus Mauluddin selaku Direktur Eksekutif Cendekia Institute and Consulting (CIC) yang bergerak di bidang penelitian dan konsultasi sosial kepada ANTARA pada Selasa (26/09), menjelaskan bahwa tren berulang-ulang dalam masyarakat bukan hal yang asing. Hal ini disebabkan karena konteks munculnya budaya "skena" berasal dari respon anak muda tersebut terhadap lingkup sosial politik.
Selain itu, anak muda yang tidak punya sumber yang cukup mengenai musik dan lain-lain, tetapi karena bantuan dari lingkungan terdekat yang dimiliki, ia mampu membuat gerakan keluar dari grupnya dan menjadi tren bahkan konsumsi publik.
Melalui kacamata sosiologi, "skena" juga tidak lepas dari konsumsi simbol yang dapat dilihat rekam jejaknya dari abad 20-an sampai saat ini.
Arti konsumsi simbol dalam sosiologi dapat diartikan dengan suatu produk bisa memiliki dampak yang besar pada bagaimana produk tersebut diterima dan digunakan. Contohnya, ketika seseorang memutuskan untuk membeli pakaian, pertimbangan mereka mungkin tidak hanya terfokus pada aspek-aspek fisik seperti warna, bahan, atau desainnya saja. Tetapi juga terkait dengan makna simbolis yang tersemat dalam kombinasi khusus dari ciri-ciri tersebut, baik oleh pembeli itu sendiri maupun oleh orang lain yang melihatnya.
“Konsumsi simbol ini juga ada layer-layernya, kelas-kelas tertentu dengan branding tertentu misalkan, jadi ada konsumsi simbol masing-masing. Sebagai budaya alternatif ada layer yang memang diperuntukkan untuk anak-anak "skena",” jelasnya.
Berbicara tentang "skena" maka berkaitan dengan pakaian yang pernah populer sebelumnya, seperti cargo pants yang kegunaannya ditujukan sebagai battle dress uniform (BDU) oleh tentara Inggris pada tahun 1938.
Kepopuleran "skena" tidak lepas dari peran sosial media, internet of things (IoT) dan artificial intelligence berpengaruh kepada tren Fashion saat ini. Seperti TikTok yang mampu menyebarluaskan sehingga tren "skena" yang diramaikan.
“Era dewasa ini era digital segala sesuatunya dengan internet of things bahkan big data dan algoritma. Algoritma yang kita ketik, nanti di media sosial bisa bermunculan model-model Fashion yang sesuai,” ujarnya.
Selanjutnya, Agus menganggap bahwa tren yang berulang-ulang, seperti yang terjadi dalam "skena", adalah hasil dari respons anak muda terhadap fungsi alternatif yang tersedia dalam situasi mereka saat itu.
Agus menuturkan bahwa budaya "skena" sebagai fenomena yang tidak dapat dihindari keberadaannya. Bahkan, dalam beberapa tahun ke depan akan terdapat budaya-budaya yang lahir membawa identitas masa lalu meski mengalami modifikasi.
"LEMHANAS memprediksikan bahwa artificial intelligence (AI) akan berpengaruh pada anak muda dalam memilih passion-nya. Termasuk dalam budaya "skena" akan terdapat perkembangan kedepannya. Tentu ada perubahan baru tetapi tidak menghilangkan budaya atau konteks lamanya. Seperti dalam penjelasan Merton, budaya "skena" dalam konteks fungsi alternatif, akan selalu ada," tegasnya tentang berputarnya teori siklus dalam busana dan masyarakat.
BEDAH OUTFIT "skena" ALA
Aktor dan penggiat busana, Iqbaal Ramadhan, membagikan kisahnya yang disebut dengan anak muda "skena" dan dekat dengan gaya hidup busana lambat serta memiliki karakteristik unik, Australia, Jumat (29/9).
Busana "skena" akrab dengan beberapa karakteristik, seperti yang dipopulerkan oleh influencer TikTok, Sastra Silalahi. Berikut karakteristik busana "skena" saat ini:
Baju
Kaos oversize (longgar) atau kaos band (grup musik)
Luaran
Vest (rompi)
Bawahan
Cargo pants (celana kargo)
Aksesoris
Cincin, gelang atau kalung
Alas kaki
Sepatu merek New Balance atau sepatu Doctor Martin (Docmart)
Dekade demi dekade: Jejak mode 70an menuju era "skena"
Tahun 1940, di antara suara desing peluru latihan perang para pasukan di Inggris, mereka menggunakan seragam, salah satunya adalah cargo pants (celana kargo) yang saat ini populer di antara remaja "skena".
Baca selengkapnyaDekade demi dekade: Jejak mode 70an menuju era "skena"
Tahun 1940, di antara suara desing peluru latihan perang para pasukan di Inggris, mereka menggunakan seragam, salah satunya adalah cargo pants (celana kargo) yang saat ini populer di antara remaja "skena".
Pada saat itu, celana kargo digunakan oleh tentara Inggris sebagai Battle Dress Uniform (BDU), yang memiliki satu kantong di sisi paha dan satu kantong tambahan di pinggul.
Kini, item fesyen tersebut populer kembali di sosial media. Salah satu influencer TikTok bernama Sastra Silalahi, yang mempopulerkan celana kargo di kalangan remaja "skena".
Sastra Silalahi menyampaikan, "skena" erat dengan kaos oversize (ukuran besar), cargo pants (celana kargo) dan sepatu merek New Balance warna abu-abu.
Fenomena populernya kembali busana-busana tersebut di era masa kini juga dijelaskan oleh pemerhati mode lulusan La Salle College Singapura, Ichwan Thoha.
“Kayaknya kalau "skena" itu acuannya pada tahun 90-an itu ya,” ucapnya kepada ANTARA pada Rabu (4/10).
Ichwan melanjutkan bahwa "skena" dalam pandangannya adalah gaya individual yang dimiliki oleh anak muda "skena" yang akhirnya dibarukan melalui terminologi baru yaitu "skena".
“Ada yang disebut dengan individual style atau personal style (gaya personal) kali ya di tahun 1990. Kemudian sekarang mungkin anak-anak sekarang itu membarukan terminologi individual style dan juga personal style dengan "skena",” jelasnya.
Ia menerangkan jika "skena" tidak hanya interpretasi anak muda dari busana tahun 90-an, tetapi juga mewakili grup atau kesukaan tertentu seperti musik genre hip-hop, R&B (rhythm & blues) dan musik punk.
Menurutnya, "skena" juga dapat menggambarkan perkumpulan dari satu lokasi tertentu seperti "skena" Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan lain-lain.
Busana "skena" yang sudah eksis sebelumnya, kembali muncul ke permukaan oleh anak muda "skena". Munculnya busana lampau pada anak muda "skena" juga diperhatikan oleh Ichwan.
Dalam pengamatannya, sejarah berpengaruh besar dalam cara berpakaian masyarakat contohnya dari peristiwa Perang Dingin.
“Di mana saat itu Amerika dan juga Uni Soviet itu perang dingin, mbak, seperti itu Perang dingin ya” ucap Ichwan.
Peristiwa Perang Dingin pada tahun 50-an mendorong suatu perubahan dalam busana masyarakat. Ketika Amerika dan Uni Soviet berperang dalam ilmu pengetahuan, secara khusus dalam mencapai luar angkasa, mereka banyak mempengaruhi masyarakat untuk berbusana dengan tema luar angkasa atau biasa disebut dengan Space Age (Era Luar Angkasa).
Lalu, setelah Perang Dingin, peperangan masih berlanjut di Vietnam tentang konflik ideologi komunis yang dipilih oleh Vietnam Utara dan liberalis yang diinginkan oleh Vietnam Selatan.
Negara adidaya Amerika Serikat bergerak campur tangan membantu Vietnam Selatan dengan mengirimkan pasukan mereka. Namun peperangan ini sendiri sebenarnya ditolak oleh warga Amerika Serikat khususnya anak muda saat itu.
“Atau juga ya Hippie, Hippie itu ya komunitas anak-anak muda yang ingin mengembalikan suasana perdamaian kembali ke alam, terus juga lebih mencintai natural fiber (serat natural) dan juga gaya hidup rileks, seperti itu dan yang lain-lain,” jelasnya.
Komunitas Hippie pada saat itu juga gemar menggunakan dengan rumbai-rumbai, aksesoris kepala bando dan tidak ada batasan antara berbusana pria dan wanita.
“Akhirnya juga terimplementasikan dengan tren "skena" sekarang,” terang Ichwan.
Menurut Ichwan, perubahan yang mencolok dalam perkembangan busana dari tahun ke tahun ialah sikap ekspresif yang ditunjukkan oleh anak muda saat ini yang berani untuk berpakaian tanpa melihat gender tertentu.
“Nah sekarang makin ekspresif anak-anak jaman sekarang ya, yang ada yang mereka menyebutnya tidak lagi androgyny dan unisex, tapi non-binar ya,” katanya.
Pengaruh media sosial juga tak dapat dipungkiri lagi dalam perkembangan busana sampai "skena" saat ini. Ichwan menuturkan tayangan dalam serial Netflix bertajuk “POSE” juga berpengaruh dalam mengembalikan minat pada busana tahun 80-an.
Kejenuhan juga menjadi alasan mengapa busana akhirnya berpadu antar periode. Mereka terinspirasi dari kejenuhan yang terjadi sehingga memulai memadupadankan busana periode tertentu dengan periode lainnya.
“Misalnya periode 50-an, 60-an, dan yang lain-lain itu di-twist atau diinterpretasikan dengan bentukan yang segar, seperti bentukan yang terbaru, yang segar saya bilang, tidak terbaru. Tapi saya tidak bilang inovatif, saya hanya bilang segar,” katanya.
Contohnya dapat dilihat dari Louis Vuitton ketika memilih Pharrel Williams sebagai creative director dan mempertunjukan kreasi segar Louis Vuitton dalam setelan bermotif loreng namun dikombinasikan dengan efek pixel (kotak-kotak).
Pada era serba cepat saat ini, segala sesuatu dilakukan dengan cepat juga namun tanpa mempertimbangkan kepedulian terhadap lingkungan. Kemudian timbulah dua pendekatan akan produksi, yaitu yang peduli terhadap lingkungan disebut dengan fesyen lambat, serta yang lebih mementingkan kecepatan produksi busana yaitu fesyen cepat.
Berkaitan dengan pergerakan fesyen lambat, Ichwan baru saja mendapat pengetahuan mengenai busana berkelanjutan pada tahun 2014 ketika mendapat pekerjaan Indonesian Fashion Chamber sebagai salah satu pembicara. Ia menuturkan jika thrifting (membeli barang bekas) adalah cara yang baik untuk mengurangi sampah.
Dari pandangan Ichwan, “Saya sangat meng-appreciate karena terus terang saya sangat suka thrifting, saya selalu mengunjungi toko-toko thrifting entah domestik atau lokal. Thrifting itu juga adalah cara generasi saat ini dan saya, untuk mengurangi sampah juga menghargai karya-karya atau desain-desain yang kuno,” jelas Ichwan.
Ichwan memberikan pesan kepada anak muda "skena" untuk menghindari pemborosan dan pembelian busana cepat produksi.
"Jika Anda memiliki kemampuan, sebaiknya beli barang yang berkualitas dan tahan lama. Barang-barang mahal biasanya lebih awet daripada fast fashion yang sering rusak dan menyebabkan peningkatan limbah. Jika Anda sudah memiliki terlalu banyak pakaian, pertimbangkan untuk mendonasikan beberapa," katanya.
Ia juga menyarankan agar mereka bergerak menuju sustainable Fashion secara perlahan, tidak selalu harus melakukan tindakan besar.
"Mulailah dengan langkah-langkah kecil dan sederhana, seperti yang saya sebutkan tadi," tambahnya.
Sebagai penutup, ia juga berpesan untuk memilih busana berdasarkan kenyamanan diri sendiri jadi tidak perlu dipaksakan jika tidak cocok dipakai.
“Be yourself aja, dan juga berpakaian sesuai dengan karakter, dan juga kenyamanan, seperti itu, ujung-ujungnya,”.
Mengupas bahasa gaul dari generasi ke generasi
Selain kata “kamseupay” yang merupakan akronim dari kampungan sekali udik payah, kata-kata populer lain juga pernah menggema di media sosial, televisi, maupun dalam penggunaan bahasa pertemanan terdekat. Misalnya “anjay” (plesetan dari kata “anjir”), hingga “"skena"” yang saat ini sedang berseliweran di media sosial TikTok.
Baca selengkapnyaMengupas bahasa gaul dari generasi ke generasi
“Apa, sih? Kamseupay banget!”
Pernahkah Anda mendengar ucapan tersebut?
Kata ini pasti akrab terutama bagi generasi muda yang mulai bermain dengan Friend Request di Facebook ketika mereka masih anak muda, sekitar satu dekade setelah tahun 2000.
Selain kata “kamseupay” yang merupakan akronim dari kampungan sekali udik payah, kata-kata populer lain juga pernah menggema di media sosial, televisi, maupun dalam penggunaan bahasa pertemanan terdekat. Misalnya “anjay” (plesetan dari kata “anjir”), hingga “"skena"” yang saat ini sedang berseliweran di media sosial TikTok.
Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah bagaimana "skena" dapat muncul sebagai bahasa gaul yang baru?
“Menurut Yule (1985), ada beberapa proses morfologis dalam pembentukan kata untuk menciptakan kata-kata baru dalam bahasa, yaitu coinage, borrowing, compounding, blending, clipping, back-formation, convertion, acronym, derivation, inflection, multiple process, dan reduplication. Kata "skena" termasuk ke dalam proses pembentukan akronim atau singkatan dari sua, cengkerama dan kelana,” kata Pengajar Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia Afi Fadlillah kepada ANTARA, Selasa (26/9) tentang proses pembentukan kata "skena" dalam ilmu bahasa.
Afi juga akrab mendengar kata "skena" dikaitkan dengan kata scene yang berasal dari bahasa Inggris bermakna adegan atau peristiwa di suatu tempat.
“Ya kata scene ini juga sering saya dengar. Kalau ini mungkin hadir menurut anak-anak "skena" itu sendiri ya. Dari kelompok "skena" itu,” jelas dia.
Lantas, bila "skena" dapat populer dari akronim yang berada di lingkungan anak muda, lalu hal apa yang melahirkan munculnya bahasa gaul?
Afi berpendapat bahwa faktor terbesar lain yang turut memiliki andil untuk melahirkan sebuah istilah dalam bahasa gaul adalah internet (baca: media sosial).
“Seperti Twitter, YouTube, Snapchat, TikTok, Instagram, WhatsApp dan lain-lain. Nah, media sosial ini sebagai alat yang paling berperan penting dalam terbentuknya bahasa gaul di masyarakat kita,” kata Afi.
Selain “"skena"”, contoh penggunaan bahasa gaul yang juga populer saat ini adalah pembalikan kata misalnya “kane” yaitu kebalikan dari “enak”, atau “sabi” yang merupakan kebalikan dari kata “bisa”.
Menurut Afi, proses semacam itu dapat mempermudah anak muda untuk melafalkan sebuah kata dan mengkomunikasikan pesan dengan kelompoknya sendiri.
“Lagipula bahasa gaul ini kan memang digunakan sebenarnya untuk sarana komunikasi di antara anak muda sekelompoknya,” ucap Afi.
Ungkapan “"skena"” bisa jadi akan terdengar asing bagi sebagian orang khususnya mereka yang lahir pada masa era ‘70-an, ‘80-an dan ‘90-an karena generasi pada rentang masa tersebut memiliki bahasa gaul sendiri yang dikenal dengan bahasa prokem.
Bahasa prokem, Afi melanjutkan, adalah penggunaan huruf “ok” dalam bahasa yang sudah gaul agar pengguna istilah dapat berinteraksi secara rahasia dengan kelompoknya sendiri, khususnya oleh para preman pada saat itu.
“Nah, itu awalnya digunakan oleh para preman untuk berkomunikasi di antara mereka secara rahasia, seperti kata ‘bokis’. Jadi, ya itu suatu kreativitas mereka gitu, kan. Karena mereka ingin punya identitas gitu ya, ingin berbeda dengan yang lain. Ya akhirnya dengan kreativitasnya muncul gitu,” ungkap Afi.
Kalau dipercepat sepuluh tahun setelahnya tepatnya pada tahun 80-an, bahasa gaul justru dipengaruhi oleh film-film yang beredar seperti Catatan Si Boy. Di film tersebut, kata ganti ketiga “dia” diubah menjadi “doski”.
Pada era ‘80-an, bahasa gaul mendapatkan banyak pengaruh dari film-film yang beredar dan populer di masyarakat kala itu seperti “Catatan Si Boy”. Di dalam film tersebut, kata ganti ketiga “dia” diubah menjadi “doski”.
“Nah, itu dulu bahasa gaulnya yang kerennya itu ya seperti ‘doski’ kan untuk ‘dia’,” jelas Afi.
Pengaruh terbesar untuk bahasa gaul era ‘70-an tidak jauh berbeda selang dua dekade kemudian atau era ‘90-an yaitu masih berasal dari bahasa prokem. Bahkan istilah yang sangat populer pada era tersebut seperti “bokap” untuk bapak atau “nyokap” untuk ibu, masih lazim terdengar hingga saat ini.
Selanjutnya pada era 2000-an, kata Afi, penggunaan bahasa gaul lebih banyak dipengaruhi oleh kalangan waria yang turut dipopulerkan oleh almarhum Olga Syahputra. Kala itu mendiang Olga dikenal sebagai pembawa acara “Dahsyat” di televisi. Selain itu, era ‘2000-an juga dikenal dengan bahasa gaul “alay”.
“Muncul bahasa alay? tahun 2000-an ya awalnya. Jadi dari kaum waria. Ya, gaulnya itu disebutnya bahasa alay dimaksudkan untuk para ABG yang dianggap berlebihan atau norak dalam menyikapi sesuatu,” tambah Afi.
Beberapa contoh bahasa gaul “alay” di antaranya “serius” menjadi “cius”, “sayang” menjadi “cayang”, atau “selalu” menjadi “celalu”.
“Sampai ke sini itu meluas ya, banyak digandrungi oleh anak muda sehingga mereka membentuk bahasa-bahasa kota, bahasa baru dengan pola-pola yang lain seperti ‘baper’, ‘mager’, ‘gabut’ gitu kan,” papar Afi.
Pola penggunaan bahasa gaul, lanjut Afi, terus berubah bergantung pada zaman baik menggunakan akronim, sisipan, dan bentuk lainnya.
Afi menambahkan bahwa bahasa bersifat dinamis dan bergerak sesuai pengaruh dari kelompok, termasuk dari media yang sedang berkembang pada masa itu. Perubahan dan perkembangan tersebut terus bergerak secara fonologis (studi tentang bunyi bahasa), morfologis (studi tentang morfem dan kata), sintaksis (studi tentang tata bahasa dalam pembentukan kalimat), dan leksikon (kosakata).
Tidak sedikit bahasa gaul yang digunakan pada saat ini mengadopsi bahasa asing dan digunakan secara luas. Atau meminjam istilah anak zaman sekarang: Bahasa Jaksel (Jakarta Selatan).
Salah satu pengguna akun TikTok (Podcast Kesel Aje) yang mempopulerkan kamus Bahasa Jakarta Selatan, Oza Rangkuti menjelaskan kepada ANTARA, Senin (25/09), bahwa salah satu bahasa gaul yang paling unik salah satunya adalah sleep over date.
“Maksudnya kalau bilang check-in ya check-in, kenapa harus diubah-ubah gitu?” ucap Oza.
Dari pengamatan Oza, Bahasa Jaksel dapat terbentuk karena ia memperhatikan gaya hidup dari anak muda saat ini yang sedang populer.
“Sebenernya waktu membuat konten tersebut bukan liat dari mereka tinggal di mana, Jaksel misalkan. Tapi gua liat dari lifestyle-nya (gaya hidup) aja,” jelasnya.
Mencermati fenomena tersebut, Afi menjelaskan bahwa penggunaan bahasa asing yang diadopsi dan kemudian digunakan secara meluas adalah hal yang wajar. Terlebih hal tersebut berkaitan dengan kreativitas serta kedinamisan bahasa di masyarakat, khususnya anak muda.
“Jadi selama itu masih wajar, ya gak apa-apa kalau menurut saya. Kalau itu masih diterima dan wajar, ya gak masalah. Itu kan kreativitas gitu kan, dari hakikat bahasa itu sendiri kan kayak tadi, dinamis gitu kan, terus unik gitu,” ujarnya.
Afi menambahkan jika penggunaan bahasa asing yang diadopsi dalam masyarakat memang dibutuhkan agar dapat menciptakan masyarakat yang homogen karena bahasa yang digunakan hanya itu-itu saja.
Dalam era digitalisasi, internet menjadi satu faktor penting dalam meluasnya bahasa gaul dan menghadirkan berbagai platform seperti media sosial (TikTok, YouTube dan sejenisnya) yang nantinya akan digunakan anak muda bersosialisasi sampai bahasa gaul meluas dengan sendirinya.
Namun, menurut pandangan Afi, terdapat juga faktor-faktor lain yang berpengaruh seperti tayangan film dalam drama korea atau serial anime (kartun asal Jepang).
Misalnya hadirnya kata “oppa” yang berarti panggilan kepada laki-laki yang lebih tua dari perempuan, menjadi populer di media sosial akibat banyaknya penonton drama Korea. Ada juga sebutan lain yang turut populer seperti “sensei” dari bahasa Jepang yang berarti panggilan kepada orang yang lebih tua dan memiliki gelar.
“Kalau dari film ya mungkin K-Pop kan itu ‘saranghaeyo’ (ungkapan kata cinta dalam bahasa Korea). K-Pop itu. Dari anak muda sampai ibu-ibu semuanya pakai. Dari Jepang juga kan, itu seringnya ‘sensei’ (panggilan kepada orang yang lebih tua dan punya gelar), ‘arigatou’ (ungkapan terima kasih dalam bahasa Jepang) gitu kan,” jelas Afi.
Selaku pengajar bahasa Indonesia, Afi menyarankan agar anak-anak muda tidak lupa dengan bahasa ibu. Ia mengatakan, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat dilakukan bukan hanya di ranah formal saja, namun juga ranah informal.
Tergerusnya bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia di tengah-tengah gempuran budaya serta bahasa asing memang menjadi fenomena yang perlu diperhatikan.
“Misalnya dalam dunia formal ya cobalah menggunakan bahasa Indonesia yang baik, yang baku lah boleh ya. Karena menggunakan bahasa yang baik dan benar akan berpengaruh gitu ya terhadap dia berbicara. Ketika dia membuat surat resmi gitu ya, terlihat profesional dan masih banyak lagi,” terang dia.
Afi memberikan beberapa cara untuk anak muda dapat melestarikan bahasa Indonesia. Pertama adalah memperbanyak kosakata melalui jurnal ilmiah, artikel koran, atau blogspot di internet yang memiliki banyak bahasa gaul maupun kosakata formal baru lainnya. Kemudian, yang terakhir dan tidak kalah penting adalah diskusi dengan teman, kolega atau kerabat dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Dengan menguasai bahasa Indonesia, menurut Afi masyarakat dapat memberi pelajaran dan teladan bagi orang asing yang datang dan ingin mempelajari bahasa Indonesia.
“Jadi yang harus dikuasai pertama itu adalah ya bahasanya, bahasa masyarakat, bahasanya. Iya, jadi dengan menguasai, kayak di Indonesia juga kan, banyak kan orang-orang asing tuh yang datang ke Indonesia, mereka mempelajari bahasanya dulu,” saran Afi kepada anak muda "skena" tentang melestarikan bahasa Indonesia.
Slow fashion vs fast fashion
Industri fesyen telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Pada satu sisi, kita memiliki "Fast Fashion," yang mengejar tren dengan cepat, seringkali menghasilkan pakaian murah yang cepat usang. Di sisi lain, ada gerakan "Slow Fashion," yang menekankan kualitas, keberlanjutan, dan etika produksi.
Baca selengkapnyaSlow fashion vs fast fashion
Industri fesyen telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Pada satu sisi, kita memiliki "Fast Fashion," yang mengejar tren dengan cepat, seringkali menghasilkan pakaian murah yang cepat usang. Di sisi lain, ada gerakan "Slow Fashion," yang menekankan kualitas, keberlanjutan, dan etika produksi.
Dina Midiani, seorang perancang busana ketika diwawancarai oleh ANTARA pada Minggu (1/10) menuturkan bahwa "skena" tidak hanya mempengaruhi tren fesyen, tetapi juga turut memperkuat fenomena slow fashion atau fesyen lambat melalui kegiatan thrifting, yaitu berbelanja barang bekas.
Perancang busana yang tergabung dalam Indonesia Fashion Chamber (IFC) itu menyampaikan bahwa fesyen "skena" adalah salah satu wujud ekspresi dari anak muda yang penuh semangat dan ceria. Mereka tidak hanya melihat pakaian sebagai sesuatu yang dikenakan, melainkan juga sebagai cara untuk mengungkapkan siapa mereka dan apa yang mereka nikmati dalam hidup.
Dalam era dimana segala sesuatu terasa serba cepat dan instan, fesyen "skena" menjadi refleksi gaya hidup generasi muda yang ingin mengejar ketertinggalan dengan dinamika perkembangan zaman.
“Kalau menurut saya sih ya, kayaknya kan akhir-akhir ini kan semua ngomong sustainable (berkelanjutan) gitu kan. Jadi dunia mode pun, termasuk yang mulai menggaungkan itu salah satunya adalah dengan memperpanjang usia barang, akhirnya nyambung-nyambungnya ke thrifting ya,” kata Dina.
Dina menjelaskan bahwa fenomena berbelanja barang bekas yang sebenarnya telah ada sejak lama, semakin mendapatkan perhatian dan popularitas belakangan ini berkat dukungan dari "skena" fesyen. Hal ini dapat mengurangi dampak negatif dari perilaku konsumtif terhadap lingkungan dari industri fesyen.
Dengan berbelanja barang bekas, anak muda "skena" secara tidak langsung mendukung praktik ini. Mereka menunjukkan bahwa gaya tidak harus selalu berhubungan dengan barang-barang baru, dan bahwa memilih barang bekas adalah langkah yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Di sisi lain, fenomena fast fashion atau fesyen cepat menghadirkan konsep yang bertolak belakang dengan prinsip fesyen berkelanjutan.
“Jadi konsep fast fashion itu, sebenarnya memang otomatis berlawanan banget dengan konsep sustainable kan. Dengan fast fashion, industri kan makin cepat, makin berlomba-lomba membuat sesuatu, menawarkan sesuatu, jadi orang juga didorong untuk belanja sebanyak-banyaknya, sesering mungkin,” tutur Dina.
Dina menyatakan bahwa dalam fesyen cepat, segalanya berjalan dengan cepat, dan produk-produk fesyen berganti secara terus-menerus dengan harga yang bersaing. Konsumen dapat dengan mudah berbelanja dengan biaya yang rendah, tanpa merasa terlalu kecewa jika barang yang mereka beli tidak sering digunakan, mengingat harganya yang murah.
Hal ini menyebabkan akumulasi barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan dan seringkali hanya digunakan beberapa kali. Konsumen terkadang terjebak dalam siklus membeli tanpa perencanaan yang baik.
Ia menambahkan bahwa konsekuensi dari perilaku konsumtif ini adalah peningkatan jumlah limbah. Banyak barang yang dibeli dalam fesyen cepat akhirnya menjadi limbah yang dapat berdampak negatif pada lingkungan.
Perancang busana yang memiliki nama lengkap Tee Dina Midiani adalah salah satu individu yang tanpa disadari telah menjadi pelopor dalam praktik sustainable fesyen sejak lama.
“Dari dulu, saya selalu banyak memakai limbah, sebenarnya,” ungkap Dina.
Ia telah mengusung konsep zero waste tau bebas sampah dalam menciptakan produk fesyen dengan menggunakan bahan-bahan limbah, seperti kain perca. Tindakan ini bukan hanya mencerminkan kebijakan pribadi, tetapi juga merupakan bentuk tanggung jawab sosial yang sangat bernilai.
Dengan tangannya, bahan-bahan yang mungkin akan terbuang menjadi produk fesyen yang unik dan bermanfaat. Ia telah menciptakan berbagai macam barang, termasuk syal, baju, dan ornamen di pakaian, yang semuanya berasal dari bahan-bahan yang umumnya dianggap sebagai sampah.
Dina juga mengungkapkan pandangan kritisnya terhadap industri fesyen cepat yang menurutnya dapat merusak lingkungan secara serius.
“Menurut saya, pandemi itu sebenarnya rem,” ungkap Dina. Ia melihat pandemi COVID-19 sebagai salah satu bentuk "rem" yang signifikan bagi industri yang terlalu fokus pada keuntungan tanpa memperhatikan dampak lingkungan.
Meskipun pandemi COVID-19 telah membawa banyak kesulitan, Dina mengatakan bahwa ia melihatnya sebagai peluang untuk perubahan positif. Ia berpendapat bahwa industri fesyen harus merenungkan kembali praktik-praktiknya, memprioritaskan keberlanjutan, dan lebih memperhatikan dampak lingkungan. Hal ini juga dapat menciptakan ruang bagi perkembangan model bisnis fesyen yang lebih berkelanjutan.
Dina menggarisbawahi pentingnya perubahan pola pikir secara global dalam cara masyarakat mengkonsumsi barang dan produk. Di dunia yang serba cepat dan kompetitif, seringkali masyarakat terjebak dalam pola pikir yang mengejar keuntungan ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan. Dina menegaskan bahwa saatnya untuk lebih menghargai produk yang memiliki makna dan manfaat positif.
Dina pun menjelaskan bahwa Greta Thunberg adalah contoh yang kuat dari bagaimana satu individu dapat memicu gerakan lingkungan yang signifikan. Namun, penting untuk diingat bahwa satu individu tidak bisa melakukan semuanya sendirian, dan perubahan yang signifikan memerlukan kerja sama dan dukungan dari banyak orang.
Dina juga menekankan bahwa anak muda perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang apa yang mereka tawarkan dan konsep apa yang mereka bawa dalam upaya mereka untuk menciptakan dampak sosial dan lingkungan yang signifikan. Dina menegaskan bahwa lebih dari sekadar menciptakan kehebohan dan kesenangan, anak muda harus memiliki pemikiran yang jelas dan pesan yang kuat untuk disampaikan kepada dunia.
“Kenapa mereka begitu, mereka lagi menawarkan apa, konsep apa yang mereka bawa, mereka punya statement apa, jadi ini yang harus ditularkan, statement-statement mereka, pandangan-pandangan mereka,” ungkap Dina.
Anak muda harus dapat mengartikulasikan pemikiran mereka dengan jelas dan meyakinkan, sehingga pesan-pesan mereka dapat mencapai banyak orang dengan dampak yang besar. Salah satu aspek kunci dalam upaya anak muda adalah mengubah konsep pikir orang-orang secara global. Mereka memiliki potensi untuk mempengaruhi pandangan dan tindakan manusia di seluruh dunia dengan pemikiran mereka yang inovatif dan inspiratif.
Dalam pesannya kepada generasi muda, Dina menekankan pentingnya menjadi diri sendiri, terutama dalam berekspresi melalui fesyen. Ia mengingatkan bahwa setiap individu memiliki ciri khas dan keunikan mereka sendiri, dan hal ini harus diwujudkan dalam gaya berpakaian mereka.
“Setiap orang kan pengen unik, pengen ada sesuatu yang berbeda, nah carilah pembeda kamu itu keunikan kamu dengan memanfaatkan unsur lokal kita, itu bisa jadi tambah keren,” pesan Dina.
Dina mendorong anak muda untuk mencari pembeda dalam keunikan mereka sendiri, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan memanfaatkan unsur-unsur lokal. Dengan mengekspresikan unsur lokal dalam fesyen, mereka dapat menambahkan elemen keunikan pada gaya mereka.
Ia juga menyoroti bahwa tidak semua yang mereka kenakan harus 100 persen lokal tetapi fleksibilitas dalam menggabungkan unsur-unsur lokal dengan elemen-elemen lain dalam fesyen masih memungkinkan. Dengan demikian, anak muda dapat menjaga keunikan mereka sambil tetap kreatif dan beragam dalam penampilan mereka.
Pendekatan ini juga memiliki dampak positif pada ekonomi lokal. Dengan mengadopsi unsur-unsur lokal dalam fesyen, anak muda dapat membantu mendukung perajin dan pelaku industri lokal. Ini menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara ekspresi individual dan pertumbuhan ekonomi lokal.
“Dengan demikian kita menjadi bagian yang membantu ekonomi perajin juga, otomatis kan,” tutup Dina.
Mengatasi krisis mode kontribusi slow fashion untuk bumi kita
Dalam beberapa dekade terakhir, industri mode telah dipengaruhi oleh fenomena fast fashion atau yang lebih dikenal sebagai fesyen cepat. Fenomena ini telah mendorong konsumen untuk merasa perlu berbelanja terus-menerus agar tidak ketinggalan zaman.
Baca selengkapnyaMengatasi krisis mode kontribusi slow fashion untuk bumi kita
Dalam beberapa dekade terakhir, industri mode telah dipengaruhi oleh fenomena fast fashion atau yang lebih dikenal sebagai fesyen cepat. Fenomena ini telah mendorong konsumen untuk merasa perlu berbelanja terus-menerus agar tidak ketinggalan zaman.
Hal itu dikonfirmasi oleh Dino Augusto, Pendidik dan Konsultan Branding Gaya Hidup, pada saat diwawancarai oleh ANTARA, Selasa (03/10).
“Kalau dulu, industri fesyen itu spring, summer, fall, winter, atau empat season dalam satu tahun. Tetapi hadir fesyen yang mau diburu-buru, sehingga 52 kali keluar dalam satu tahun, dan itu kita sebut dengan fast fashion,” ungkap Dino.
Dino menjelaskan bahwa konsumerisme pada dasarnya terjadi karena kurangnya pemahaman konsumen yang dipengaruhi oleh informasi dan narasi fesyen yang memberikan kesan bahwa orang dengan status tertentu harus selalu memiliki penampilan yang baru.
Ia juga memaparkan bahwa selama hampir sepuluh tahun terakhir, ia telah aktif memberikan pendidikan di berbagai kampus fesyen dengan tujuan mengatasi akar masalah dari konsumerisme, yakni kesadaran konsumen untuk tidak berperilaku konsumtif.
Saat ditanya mengenai kesadaran fesyen berkelanjutan di kalangan anak muda Indonesia, Dino menjawab bahwa informasinya sudah ada.
“Kalau menurut saya, ini secara data ya, para students yang seusia Gen Z itu, pengetahuannya dan informasinya sudah ada. Tetapi pendalamannya yang mungkin masih banyak, ataupun masih banyak bisa digali lagi,” ungkap Dino.
Dino menjelaskan bahwa fenomena fesyen cepat semakin diperkuat oleh kemudahan akses berbelanja secara daring. Melalui berbagai platform e-commerce yang tersedia, pengguna dapat dengan mudah berbelanja kapan saja dan di mana saja.
“Bangun tidur, sholat subuh, jam lima pagi udah live semua, ya kan? Live gitu langsung. Nah, pemencetan check out itu menjadi sangat mudah, sehingga membuat orang jadi kesannya beli itu tidak masalah, beli itu tidak perlu dipikirkan seminggu, dua minggu, tiga minggu. Beli itu mikirnya ya lima menit, suka beli,” kata Dino.
Selain itu, Dino juga menjelaskan konsep thrifting yang beragam. Thrifting pada dasarnya adalah praktik berbagi dan bertukar barang. Misalnya, seseorang memiliki barang yang tidak lagi mereka butuhkan dan ingin menukarnya dengan barang milik orang lain yang mereka sukai. Hal ini dapat mencakup barang bekas, art sheet, vintage (model lama), atau barang-barang yang diberikan sebagai donasi.
Dino mencatat bahwa masalah ini diperparah oleh fakta bahwa barang-barang bekas ini sering kali masuk ke dalam jalur ilegal dan tidak membayar pajak impor yang seharusnya besar. Pajak impor besar diperlukan untuk menjaga agar usaha kecil dan menengah (UMKM) tetap berjalan. Namun hal ini juga mengakibatkan harga barang-barang impor, termasuk barang bekas, menjadi tidak semurah yang seharusnya. Terlebih lagi, barang-barang non-produksi Indonesia yang diimpor ilegal sebenarnya adalah tindakan ilegal tingkat tiga menurut Departemen Perdagangan.
“Nah, dari situ kita bisa membedakan bahwa thrifting baju bekas itu adalah thrifting illegal,” ungkap Dino.
Namun Dino menekankan bahwa thrifting yang benar adalah yang berlangsung secara legal di dalam negeri dan membayar pajak pertambahan nilai (PPN) seperti bisnis biasa.
“Tetapi kalau memang sudah lewat jalur kementerian perdagangan, aman-aman aja,” tutur Dino.
Dino menyampaikan juga bahwa ini adalah langkah terbaik menuju fesyen berkelanjutan. Membeli barang bekas dan pertukaran barang di dalam negeri memungkinkan konsumen untuk mendapatkan pakaian dengan cara yang bertanggung jawab tanpa menambah jumlah barang yang ada. Hal ini mendukung konsep "slowing down" yang penting untuk menjaga dampak lingkungan dari industri fesyen.
Menurut Dino, salah satu faktor yang dapat mengurangi permintaan terhadap fesyen cepat adalah pergeseran konsumen menuju aktivitas membeli barang bekas. Ia menjelaskan bahwa generasi muda terutama generasi Z (Gen Z) atau generasi yang lahir pada antara tahun 1997 sampai dengan 2012, memiliki karakter dan kepribadian yang lebih suka berbeda dan tidak ingin mengikuti tren yang sama seperti yang terjadi dalam fesyen cepat.
“Sekarang generasi Z sangat-sangat subkultur ya, ada subkultur tampilannya seperti naik gunung, yang pakai sepatu-sepatu gunung, kemudian subkultur yang RnB, hip-hop, melorot-melorot, terus pakai tank top Calvin Klein,” ungkap Dino.
Generasi ini terbagi ke dalam berbagai subkultur yang berbeda, seperti anak muda "skena" dan mereka lebih suka mengekspresikan identitas mereka melalui gaya pribadi yang unik dan tidak konvensional. Hal ini dapat mengurangi permintaan terhadap produk-produk fesyen cepat yang seringkali menghasilkan penampilan yang seragam dan tidak terlalu individualistik.
Namun, menurut Dino ada tiga tantangan besar dalam memberikan edukasi fesyen lambat. Pertama, infrastruktur produksi lokal yang masih mahal, sehingga harga barang lokal tidak selalu bersaing dengan produk fesyen cepat. Kedua, kurangnya platform informasi yang menyampaikan informasi secara lengkap dan menyeluruh tentang praktik fesyen lambat.
Ketiga, kesadaran terhadap pentingnya fesyen lambat seringkali muncul setelah kebutuhan ekonomi dasar terpenuhi, sehingga edukasi sulit diterapkan pada individu yang masih berada dalam tahap survival (bertahan hidup) secara ekonomi. Tantangan ini juga terkait dengan perbedaan dalam tingkat pendapatan dan kebutuhan di berbagai lapisan masyarakat.
Untuk masalah regulasi pemerintah pun, Dino mengungkapkan bahwa belum banyaknya regulasi yang mengatur tentang fesyen cepat.
“White paper-nya belum banyak, atau regulasi yang keluar itu belum banyak. Regulasi antara kementerian industri dan regulasi antara kementerian perdagangan pun masih tabrak-tabrakan,” ungkap Dino.
Penggunaan teknologi dan media sosial juga dapat menjadi solusi efektif untuk memberikan edukasi tentang fesyen lambat kepada masyarakat. Platform-platform ini dapat mencapai audiens yang lebih luas dan terhubung dengan generasi yang lebih muda yang aktif menggunakan media sosial. Dengan membuat konten edukatif yang menarik dan mudah dimengerti, praktik fesyen lambat dan pentingnya berbelanja yang bertanggung jawab dapat disampaikan dengan lebih efektif melalui teknologi ini.
Dalam wawancara, Dino berpesan kepada masyarakat yang ingin berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan untuk memilih mode yang lebih berkelanjutan, diawali dengan kesadaran dalam pemilihan dan pembelanjaan.
“Kalau untuk Fashion yang pertama, kalau mau kontribusi adalah pikirkan apakah pakaian itu dipakai bisa 300 kali? Kalau komitmen dipakai 300 kali itu sekitar tiga sampai lima tahun bisa terpakai, bisa sudah dijalankan, itu adalah tonggak awal di mana seseorang bisa mulai mengubah dunia,” ujar Dino.
Ia juga berpesan untuk meningkatkan apresiasi terhadap kualitas dan performa kain yang digunakan dalam pakaian. Ini melibatkan kesadaran akan pentingnya memilih pakaian yang tahan lama dan nyaman, serta dapat menjalani tugasnya dengan baik selama jangka waktu yang lama.
“Yang ketiga adalah harus nyaman dan sesuai dengan siluet diri. Nyaman dengan siluet diri artinya kita sudah mengerti tentang diri kita sendiri. Oh saya ini paling bagus tuh seperti ini,” kata Dino.
Galeri Foto
Alunan "skena"
Pada tahun 2000-an, The Brandals muncul bersamaan dengan The Upstairs, White Shoes & The Couples Company dan lainnya. Kini, musik-musik The Brandals menjadi salah satu yang dianggap sebagai musik "skena".
Baca selengkapnyaAlunan "skena"
“Kafir”, salah satu judul lagu dalam album The Brandals bertajuk “Era Agressor” yang rilis 18 Desember 2021 disebut Eka Annash sang vokalis sebagai “surat cinta” untuk pemerintah.
Musik yang diproduksi Eka dan kawan-kawan dalam The Brandals, berisikan pesan-pesan yang kuat terhadap kebebasan, anak muda hingga protes kepada pemerintah, salah satunya “Kafir”.
Pada tahun 2000-an, The Brandals muncul bersamaan dengan The Upstairs, White Shoes & The Couples Company dan lainnya. Kini, musik-musik The Brandals menjadi salah satu yang dianggap sebagai musik "skena".
“Kalau dibilang sebagai salah satu dari generasi yang jadi penggerak pola distribusi dan operasional secara independen, mungkin iya,” ucap Eka ketika menjawab siapa yang menjadi pionir musik "skena" kepada ANTARA pada Selasa (26/09).
Eka menjelaskan The Brandals lahir pada tahun 2002 di Bar Blues di Menteng, tepatnya di Jalan Mesi Doa, Jakarta.
“Di situ "skena"-nya Bar Blues, mungkin di situlah mulainya,” tambah Eka.
Jadi, menurut Eka, "skena" bisa dipahami sebagai tongkrongan atau komunitas yang merujuk kepada orang-orangnya. Seperti yang terjadi di Bar Blues, komunitas telah lebih dahulu lahir baru musik yang mengikuti komunitasnya.
Eksklusivitas dalam musik "skena" menjadi salah satu hal yang diperhatikan oleh anak muda "skena". Mereka menganggap musik akan semakin "skena", jika musik tersebut tidak banyak didengar oleh kebanyakan orang.
Tentang hal itu, Eka menerangkan bahwa musik adalah pilihan masing-masing individu. Namun yang menjadi masalah adalah ketika anak muda mendengarkan musik hanya karena nimbrung teman.
“Cuma karena teman mendengarkan A, terus jadi ikutan denger A. Lalu, ketika teman gasuka dengan B, ikut membuat hate comment tentang band itu. Nah, itu yang jadi masalah,” ujar Eka.
Meski demikian Eka lebih nyaman jika para penikmat musik "skena" menyebut grup musik "skena" sebagai grup musik indie. Nyatanya grup musik yang dirujuk lebih banyak musik-musik yang memulai secara indie atau independen.
Kelahiran generasi baru dalam musik, khususnya musik indie telah terjadi. Menurut Eka, hal itu diperlukan untuk terjadi.
“Band-band seperti .feast itu, adalah bukti apa yang dilakukan The Brandals, The Upstairs atau band-band yang lahir 20 tahun lalu, itu akhirnya hasilnya ya sekarang,” ucap Eka.
Era saat ini sudah berbalik. Di mana musisi independen harus bergerak untuk masuk radio, diputar di televisi dan diliput majalah telah berakhir. Eka merasa bahwa ia beruntung telah hidup di dua era dimana musisi independen baru dimulai dan ketika perubahannya terjadi. Ia bercerita, awalnya pergerakan musik independen dimulai di tahun 90-an.
“Sekarang setelah melalui perjuangan kita bertahun-tahun, sudah berbalik keadaannya,” jelas Eka.
“Dulu dimana waktu itu genre extreme metal, trash rock, grindcore dan sebagainya mulai bermunculan seperti di Apotek Retna dan lainnya,” tambah Eka.
Pada saat itu, pergerakan masih sporadis dan bentuknya masih primitif. Grup musik yang hadir juga masih membawakan lagu orang lain dari grup musik barat dan sebagainya.
“Gue bikin band namanya Waiting Room. Sifatnya masih band tribute. Di tahun 97’ kita mulai, kita jadi salah satu band yang pertama merilis album,” kata Eka.
"skena" bagi Eka adalah ciri dari sebuah generasi sehingga tak ada yang perlu dikritisi.
Namun ia mengingatkan jika anak muda "skena" sudah merugikan orang, tidak sopan sama orang lain bahkan merugikan masyarakat, hal itu patut dilarang.
Perilaku anak muda dalam "skena" seringkali terkait erat dengan sikap reaktif dan emosional, terutama dalam konteks musik. Musik memiliki pengaruh kuat pada emosi dan persepsi, yang dapat mempengaruhi sikap anak muda terhadap berbagai situasi.
Musik "skena" juga berperan sebagai wadah ekspresi, yang bisa mempengaruhi cara anak muda merespon konflik dan tekanan emosional.
Dalam usaha untuk memahami perilaku anak muda "skena", Iswan Saputro selaku psikolog klinis, pertama-tama menerangkan mengenai alasan seseorang dalam memilih kelompok yang berbeda atau eksklusif. Terdapat dua alasan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang memilih kelompok yang berbeda dari kebanyakan orang.
Alasan pertama adalah anak muda sedang dalam masa pencarian jati diri. Alasan yang kedua adalah anak muda sudah menemukan jati diri yang sesuai namun dia mencoba mencari jati dirinya melalui kelompok-kelompok lain.
“Jadi, ada yang memulainya dari kebingungan. Ada juga melakukan discovery melalui kelompok-kelompok lain kemudian menemukan jati diri yang sejati karena mendapat pengakuan dalam kelompok lain,” kata Iswan.
Melalui penjelasan Iswan, dapat disimpulkan bahwa proses pencarian jati diri tidak bisa disamakan kepada setiap orang karena ada individu yang baru memulai dan ada juga yang memulainya dalam perjalanan.
Anak muda juga erat dikaitkan dengan kehidupan yang menantang. Mereka menolak untuk memiliki kehidupan yang biasa-biasa saja. Menurut pengamatan Iswan, kehidupan tersebut akan memberikan nilai-nilai baru dalam proses mencari jati diri bagi kehidupan si anak muda.
Kemudian alasan mereka memilih kehidupan yang menantang yaitu karena mereka menilai kehidupan tersebut akan memberikan nilai-nilai baru dalam proses mencari jati diri mereka.
Pengaruh dari lingkungan juga berdampak besar bagi anak muda tersebut dalam menentukan kelompok yang akan menjadi pilihannya.
“Perlu ada feedback (umpan balik) dari lingkungan terkait. Seperti pengakuan dari lingkungan akan menaikkan self-esteem (harga diri) dari individu,” kata Iswan.
Selain itu, kehidupan yang menantang cenderung berkaitan dengan popularitas yang didapatkan. Popularitas hasil dari kehidupan yang menantang tersebut biasanya tidak sesuai dengan norma-norma sosial.
“Mereka tetap berani untuk menjalankan kehidupan yang menantang tersebut karena mendapat psychological safety (keamanan psikologis) dari kelompok terkait,” kata Iswan.
Sikap anak muda berani untuk memilih kehidupan yang menantang didukung oleh rasa aman yang dihadirkan oleh kelompoknya.
Selanjutnya Iswan menerangkan mengenai perilaku anak muda yang memiliki kecenderungan untuk berani speak up atau berbicara mengenai keresahan mereka di media sosial seperti yang terjadi pada tokoh anak muda yang sempat populer dengan nama julukan Bayem Sore, dalam podcast di akun YouTube bernama Seadanya.
Iswan menjelaskan jika sikap berani berbicara tersebut terjadi akibat umpan balik yang diberikan kelompok terkait dari anak muda. Pengakuan, dukungan hingga afirmasi akan membuat mereka memiliki ‘bahan bakar’ untuk berbicara mengenai keresahan mereka di media sosial.
“Yang menjadi bola panas itu kan karena di media sosial ada kebebasan berpendapat. Disitulah setiap orang bebas berkomentar,” Iswan menuturkan.
Masalah muncul ketika keresahan tersebut diunggah ke media sosial dan warganet mulai berkomentar. Tidak sedikit yang berkomentar negatif berupa sindiran dan sarkasme kepada Bayem Sore dalam video yang diunggah.
Jika berselancar di internet, terdapat beberapa opini yang menyatakan jika busana "skena" yang digunakan anak muda "skena" berkaitan dengan masalah mental yang dimilikinya.
Namun, hal tersebut dibantah oleh Iswan, dengan menyatakan bahwa tidak ada hubungannya penggunaan busana dengan masalah mental seseorang. Hal tersebut lebih tepat berhubungan dengan masalah psikologis saja.
Saat ini, busana yang dipakai anak muda "skena" juga erat dengan masalah-masalah mental tertentu. Iswan menjelaskan bahwa tidak ada hubungannya penggunaan busana dengan penyakit mental. Hal itu lebih tepat berhubungan dengan masalah psikologis.
“Mungkin hal itu berkaitan dengan masalah psikologis saja yaitu kemampuan untuk merawat diri. Contohnya, tidak mandi, kuku panjang dan lain-lain,” terang Iswan.
Tanggapan Iswan terkait anak muda "skena" gemar dikaitkan dengan penyakit mental berhubungan dengan hal aksi dan reaksi. Aksi yang diberi anak muda "skena" bersikap reaktif dan intimidatif sehingga menimbulkan reaksi yang kurang baik dari publik. Contohnya dalam masalah kontrol emosi yang ditunjukkan.
“Jika mereka bisa mengekspresikannya dengan benar, mereka juga dapat memiliki anggapan yang baik dari publik,” jelas Iswan.
Iswan menambahkan, pengaruh internet juga besar dalam meluaskan aksi dari anak muda "skena" serta reaksi dari warganet.
“Merasa eksklusif itu wajar. Berkumpul itu konteksnya netral. Apa yang dilakukan perkumpulan itu baru menentukan ke buruk atau baik,” ucap Iswan dalam menanggapi kelompok anak muda saat ini.
Iswan merekomendasikan bahwa pihak-pihak terdekat dengan anak muda perlu melakukan supervisi yang tetap diperlukan bagi mereka. Terlebih jika perilaku anak muda telah melanggar norma, maka orang terdekat juga perlu untuk melakukan umpan balik berupa tindakan menegur atau lainnya agar dapat menjaga nilai dari anak muda tersebut serta lingkungan terkait.
Tidak lupa, Iswan juga mengingatkan anak muda untuk dapat meningkatkan empati, terutama dalam mengekspresikan sesuatu agar tidak mendapat reaksi yang buruk juga dari publik.
“Untuk anak muda saat ini, mungkin empati ya. Empati harus ditingkatkan,” ujarnya..
Terakhir, dalam mengelola emosi memang membutuhkan waktu. Tetapi Iswan menyarankan untuk mendapatkan bantuan profesional jika sudah tidak mampu lagi dalam mengendalikan emosi.
“Kalau sudah sulit dalam mengendalikan emosi, just ask for help. Cari bantuan profesional, tidak ada salahnya,” saran Iswan Saputro selaku Psikolog Klinis terhadap anak muda "skena" yang mengalami kesulitan dalam mengatur emosi.
Kafe dan "skena"
Tak hanya busana, keseharian anak muda "skena" pun terpancar dalam wujud kafe-kafe dengan karakteristik yang unik. Kafe-kafe ini memadukan konsep industrial, hiasan tanaman kaktus atau monstera, serta lantai berkerikil. Seperti itulah beberapa ciri khas kafe "skena" yang sering disampaikan oleh Sastra Silalahi pada konten TikTok-nya.
Baca selengkapnyaKafe dan "skena"
Tak hanya busana, keseharian anak muda "skena" pun terpancar dalam wujud kafe-kafe dengan karakteristik yang unik. Kafe-kafe ini memadukan konsep industrial, hiasan tanaman kaktus atau monstera, serta lantai berkerikil. Seperti itulah beberapa ciri khas kafe "skena" yang sering disampaikan oleh Sastra Silalahi pada konten TikTok-nya.
Kafe yang dikenal dengan ciri-ciri tersebut adalah Suasana Kopi, salah satu kafe yang berlokasi di Jakarta Selatan.
Dari depan, bangunan kafe ini sudah terlihat menghadirkan suasana bangunan industrial yang kuat, dengan dinding seakan masih dalam tahap pembangunan dan dominasi warna abu-abu lengkap dengan anak-anak muda "skena" berkumpul seakan tengah berbincang santai.
Di saat barista dengan sopan menyuguhkan minuman, tato di lengan kanannya menarik pandangan. Sebuah ciri khas kafe "skena" yang pernah diungkapkan juga oleh Sastra, yakni barista yang memiliki tato kecil.
Sembari mencari tempat duduk, banyak ruang di kafe itu dikelilingi oleh tanaman termasuk kaktus yang tersebar di berbagai sudut kafe. Meskipun tanaman monstera yang juga menjadi ciri khas "skena" tidak ada, suasana kafe tetap terasa sangat autentik.
Mengingat bangunan kafe ini mengusung desain industrial, kursi-kursi di dalamnya pun sebagian besar terbuat dari semen namun tetap dipoles dengan halus.
Di bagian belakang area kafe, ditemukan juga area outdoor yang dikelilingi oleh pepohonan rindang, kehadiran kaktus serta batu kerikil tanda khas "skena" juga terlihat.
Setelah selesai melihat-lihat dan berkeliling, ternyata interior kafe ini tidak hanya memikat karena elemen-elemen "skena". Terdapat kaca besar di langit-langit yang diterangi oleh lampu kuning di bagian dalam kafe, menciptakan atmosfer yang menarik. Mungkin, hal itu juga salah satu interior yang memikat orang-orang untuk datang ke sini.
Sebagai penutup, berikut ini adalah potret dari kafe Suasana Kopi di malam hari, menciptakan gambaran yang indah untuk pengalaman mengunjungi kafe dengan ciri khas "skena" ini. Bagaimana menurut Anda, sudah cukup ‘"skena"’ kah kafe ini?
"skena" membuktikan bahwa fesyen bukan hanya sekadar gaya seperti yang tengah diperbincangkan oleh anak muda di media sosial.
Namun sejatinya "skena" adalah pertemuan beragam individu dengan minat yang sama pada berbagai genre musik, dunia otomotif, dan gaya mode. "skena" didefinisikan oleh ekspresi pribadi, menciptakan komunitas yang unik dalam setiap kelompok.
Credit
PENGARAH
Akhmad Munir, Gusti Nur Cahya Aryani, Teguh Priyanto
PRODUSER EKSEKUTIF
Sapto HP
PRODUSER
Ida Nurcahyani
CO PRODUSER
Farika Nur Khotimah
PENULIS
Farika Nur Khotimah, Jeremy Putra Budi Salenusa
EDITOR TEKS
Ida Nurcahyani
INFOGRAFIK
Noropujadi
ILUSTRATOR
Nurul
FOTOGRAFER
Dhemas Reviyanto, Muhammad Adimaja, Hafidz Mubarak A, Rivan Awal Lingga, Fikri Yusuf, Fanny Octavianus, Arif Firmansyah, Yudi, Herjoko Bald, Farika Nur Khotimah
FOTO
ANTARA FOTO, Shutterstock
VIDEO
Rina Anggreini, Pradana Putra Tampi, Farika Nur Khotimah, Anggah
DATA DAN RISET
Pusat Data dan Riset Antara
WEB DEVELOPER
Y. Rinaldi