Salah satu kesenian tradisional yang menjadi identitas warga Malang adalah Wayang Topeng Malangan. Kesenian ini telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional sejak tahun 2014.

Sejarah Wayang Topeng Malangan

Sejarah Wayang Topeng Malangan

Wayang Topeng Malangan menjadi identitas khas Malang dalam kebudayaan. Berlatar belakang cerita di abad ke-16 pada masa kerajaan Kediri. Lambat laun, budaya khas tersebut terus berkembang dengan ragam cerita yang menarik.

Baca selengkapnya

Sejarah Wayang Topeng Malangan

Sejarah Wayang Topeng Malangan

Wayang Topeng Malangan menjadi identitas khas Malang dalam kebudayaan. Berlatar belakang cerita di abad ke-16 pada masa kerajaan Kediri. Lambat laun, budaya khas tersebut terus berkembang dengan ragam cerita yang menarik.

Awalnya, Wayang Topeng Malangan hanya ditujukan untuk kegiatan keagamaan serta kegiatan sakral. Namun, seiring perkembangan zaman, kesenian ini menjadi sebuah pentas untuk hiburan masyarakat dan akhirnya menjadi daya tarik pariwisata khas yang dimiliki kota Malang.

Setiap pementasan Wayang Topeng Malangan, terdiri dari dalang sebagai pengatur alur cerita seperti pada wayang lainnya, pemain yang bertugas menyajikan lakon atau adegan yang disampaikan oleh sang dalang, dan musik tradisional untuk mengiringi tiap adegan pementasan.

Keunikan yang terdapat pada Wayang Topeng Malangan adalah adegan yang diperankan oleh tiap karakter menggunakan tarian sebagai media untuk menggambarkan alur cerita yang dituturkan oleh dalang, sehingga musik tradisional sebagai pengiring tak terpisahkan dalam tiap pementasan kesenian ini.

Cerita yang sering disajikan dalam pentas biasanya bersumber dari kisah Panji yang berlatar belakang masa kerajaan Kediri di abad 16 dan 17, yaitu mengisahkan tentang Raden Panji yang mencari kekasihnya Dewi Sekartaji sebagai tokoh utama untuk menjalin kembali kisah cintanya yang terhalang. “Lakon gedog” merupakan sebutan khas warga Kedungmonggo tentang cerita tersebut.

Menurut sejarahnya, kedua tokoh utama tersebut didampingi oleh sahabat-sahabatnya yang seringkali mewarnai perjalanan mereka dalam upaya menjalin kembali kisah cintanya.

Selain itu, cerita utama terbagi menjadi dua jejer atau adegan cerita utama yaitu jejer jawa dan jejer sabrang. Hal yang membedakan keduanya adalah latar tempat adegan utama diceritakan. Jejer jawa adalah latar yang bertempat di kerajaan-kerajaan yang ada di pulau Jawa, sedangkan jejer sabrang merupakan latar yang bertempat di luar pulau Jawa.

Dalam perkembangannya lakon-lakon tersebut menjadi lebih beragam, tercatat sudah ada 17 carangan atau cerita percabangan yang berasal dari penggalan cerita utama perjalanan cinta Raden Panji dan kekasihnya Dewi Sekartaji. Keragaman lakon tersebut menjadi daya tarik utama dalam menyaksikan pementasan Wayang Topeng Malangan.

Tutup

Inspirasi kisah “Panji” dalam Wayang Topeng Malangan

Terdapat suatu keunikan dalam Wayang Topeng Malangan, yaitu alur cerita yang terinspirasi oleh kisah Raden Panji dan kekasihnya Dewi Sekartaji.

Baca selengkapnya

Inspirasi kisah “Panji” dalam Wayang Topeng Malangan

Inspirasi kisah “Panji” dalam Wayang Topeng Malangan

Terdapat suatu keunikan dalam Wayang Topeng Malangan, yaitu alur cerita yang terinspirasi oleh kisah Raden Panji dan kekasihnya Dewi Sekartaji.

Kisah tentang kedua tokoh utama dihadapkan pada alur mengupayakan jalinan cinta mereka menjadi favorit perkumpulan Wayang Topeng Malangan dalam tiap pementasan dari dulu hingga saat ini.

Terhitung kisah tersebut telah banyak menghasilkan banyak penggalan cerita yang beragam untuk disajikan. Kisah yang telah ada sejak zaman kejayaan Singasari dan Kediri ini merupakan produk kebudayaan masa lampau yang terus bertahan dan berkembang saat ini.

Pengembaraan Raden Panji dalam mencari cinta sejatinya, seringkali disisipkan tentang kebijaksanaan, ketangkasan, serta keluhuran sang tokoh utama dalam menjalani pengembaraan menuju cinta sejatinya. Gambaran seperti itu yang dipertahankan hingga banyak membuat penggalan peristiwa untuk disajikan dalam kesenian ini.

Tak hanya itu, kisah tentang kejayaan raja-raja Jawa juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pementasan Wayang Topeng Malangan, sama dengan kesenian lain yang berasal dari masa kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.

Berkaitan dengan kisah tersebut, cerita penaklukan kerajaaan di luar pulau Jawa menjadi babak baru berkembangnya cerita keperkasaan raja-raja Jawa pada masa itu dan membuatnya menjadi penggalan populer lainnya. Sebagai media untuk mengekspresikan budaya atau nilai yang dianut oleh kelompok pemiliknya, hal itu menjadi sebuah pilihan yang menarik karena dapat menggambarkan nilai atau narasi seperti apa yang berkembang dalam masyarakat tersebut.

Nampaknya kepopuleran cerita Panji dalam kesenian ini, tak lepas dari nilai-nilai yang berkembang dan yang disepakati bersama untuk tetap dirawat melalui sebuah lakon kesenian yang melekat erat di suatu masyarakat tertentu. Hal itu menjadi hal yang lumrah bagi kesenian ini yang tumbuh di tengah masyarakat yang memiliki nilai-nilai yang sesuai dalam cerita Panji serta penggalan cerita lainnya.

Akhirnya, kepopuleran cerita Panji merupakan hasil dari apa yang berkembang dan bertahan dalam kesenian ini yang dapat dilihat dari apa yang ingin disampaikan baik melalui cerita utama Raden Panji dan sang kekasih serta penggalan cerita lainnya.

Tutup
Seribu wajah Wayang Topeng Malangan

Seribu wajah Wayang Topeng Malangan

Selain dari bentuk topeng yang beragam di setiap karakternya, menarik untuk disimak apa saja keragaman yang ada dalam Wayang Topeng Malangan ini, yuk simak uraiannya berikut ini.

Baca selengkapnya

Seribu wajah Wayang Topeng Malangan

Seribu wajah Wayang Topeng Malangan

Selain dari bentuk topeng yang beragam di setiap karakternya, menarik untuk disimak apa saja keragaman yang ada dalam Wayang Topeng Malangan ini, yuk simak uraiannya berikut ini.

Topeng mungkin menjadi hal pertama yang terlihat begitu mencolok dari kesenian ini. Oleh sebab itu keragaman menjadi suatu hal yang telah ada sebagai sebuah suguhan yang menarik untuk pementasan.

Selain sebagai pembeda untuk setiap karakter baik dari bentuk wajah yang ditampilkan juga ada warna hijau yang biasanya digunakan oleh Panji serta merah untuk Klana Pati yang merupakan tokoh antagonis. Selanjutnya terdapat juga hiasan berupa flora dan fauna yang menegaskan sifat antar tokoh.

Bagi pemeran protagonis umumnya menggunakan hiasan berupa flora, sementara fauna untuk menggambarkan pemeran antagonis. Namun ada satu hiasan fauna yang menggambarkan karakter protagonis, yaitu hiasan burung merak pada topeng.

Untuk menggambarkan tokoh yang gagah ataupun kasar, kesenian mempunyai hiasan berbentuk mahkota atau sering disebut Jamang yang tata cara pemakaiannya dilakukan setelah para penari mengenakan topeng.

Selanjutnya busana menjadi hiasan yang menarik dalam kesenian ini. Selain dipenuhi pernak-pernik, ada juga busana khas dari Topeng Malangan yaitu sembong atau juga ada yang menyebutnya rapek. Pola yang khas pada busana ini adalah potongan berbentuk persegi dan lingkaran pada ujungnya yang dikenakan oleh tiap wayang. Lalu ada juga pedhangan, yaitu hiasan yang terbuat dari beludru bersulam manik-manik untuk melengkapi sembong bagian belakang atau bagian kanan-kiri untuk para penari.

Selain pada topeng, hiasan berbentuk flora dan fauna juga terdapat pada busana yang dikenakan oleh para wayang. Hal itu untuk menegaskan karakter yang diperankan oleh para pemain. Seperti yang sudah disebutkan di atas, hal tersebut juga berlaku pada hiasan dalam busana yang dikenakan oleh para pemain.

Demikianlah beberapa ragam hias yang terdapat pada kesenian Wayang Topeng Malangan. Masih ada beberapa hal lain yang hanya dapat dinikmati secara langsung agar mendapat detail dan pengalaman yang mengesankan dari ragam hias maupun suguhan menarik lainnya.

Tutup

Wayang Topeng Malangan

Gemerlap kostum dan pernik di panggung

Karakter yang diperankan oleh tokoh Wayang Topeng Malangan selain dapat dilihat dari ragam topeng yang digunakan juga tercermin dari tata busananya.

Baca selengkapnya

Gemerlap kostum dan pernik di panggung

Gemerlap kostum dan pernik di panggung

Karakter yang diperankan oleh tokoh Wayang Topeng Malangan selain dapat dilihat dari ragam topeng yang digunakan juga tercermin dari tata busananya. Struktur tata busana yang dipakai dapat digunakan untuk mengenali tokoh jahat atau tokoh baik. Karakter setiap tokoh dicitrakan melalui bentuk, warna, dan ragam hias busana yang berbeda-beda.

Dalam Wayang Topeng Malangan terdapat karakter yang bersumber dari konsep etika orang Jawa untuk memaknai predikat seseorang, yaitu halus dan kasar. Karakter tersebut diwakili oleh tokoh Panji yang mewakili karakter halus, dan tokoh Klana yang mewakili karakter kasar. Contoh karakter halus pada tokoh protagonis meliputi Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana. Sedangkan karakter kasar pada tokoh antagonis yaitu Prabu Klana Sewandana.

Tata busana pada tokoh Panji Asmarabangun meliputi, warna topeng hijau atau prada emas, kostum hijau, sampur putih atau kuning. Warna hijau pada wajahnya melambangkan sifat baik hati, prada emas melambangkan sifat dari sinar keagungan, pembela kebenaran, memiliki semangat yang berkobar dan tidak pantang menyerah.

Tata busana pada tokoh Dewi Candrakirana meliputi, warna topeng putih, kemben (penutup dada) warna hitam, dan kain panjang berwarna terang. Wajahnya yang berwarna putih menunjukkan bahwa Dewi Candrakirana adalah seorang yang suci, lembut, dan baik hati.

Tokoh pendukung pihak protagonis yaitu Gunungsari. Busana yang kenakan oleh Gunungsari diantaranya adalah topeng berwarna putih, kostum hitam, jamang gelung, sampur putih, dan mengenakan gongseng (genta kecil yang dipasang pada pergelangan kaki kanan). Sosoknya dicitrakan memiliki pembawaan feminin dan penuh dengan keindahan. Hal ini tercermin dari gerakannya yang mengisyaratkan bahwa gerakan burung merak dan wanita adalah lambang keindahan.

Tokoh antagonis Klana memakai busana topeng berwarna merah, kostum merah, mahkota, sampur hijau atau kuning, dan mengenakan gonseng. Karakteristik tokoh antagonis ini lebih ditegaskan melalui busananya yang serba merah dengan variasi warna lain seperti kuning atau merah muda. Wajahnya yang berwarna merah melambangkan bahwa ia adalah seorang yang pemarah dan pemberani.

Keragaman karakter yang selaras dengan tata busananya membuat Wayang Topeng Malangan ini memiliki ciri khas tersendiri dan membuatnya berbeda dari wayang topeng daerah lain.

Tutup
Menikmati alur lakon Wayang Topeng Malangan

Menikmati alur lakon Wayang Topeng Malangan

Sebelum dapat menyaksikan suguhan lakon dalam wayang topeng Malangan, kita diajak untuk menikmati suguhan-suguhan pembuka yang menarik dalam kesenian ini.

Baca selengkapnya

Menikmati alur lakon Wayang Topeng Malangan

Menikmati alur lakon Wayang Topeng Malangan

Sebelum menyaksikan suguhan lakon dalam Wayang Topeng Malangan, kita diajak untuk menikmati suguhan-suguhan pembuka yang menarik dalam kesenian ini. Wah, kira-kira bagaimana ya prosesnya?

Secara garis besar, urutan pementasan Wayang Topeng Malangan dimulai dengan musik pembuka, yaitu gending giro yang diawali dengan tabuhan gending eleng-eleng dan diakhiri dengan gending sapujagad. Kemudian dilanjutkan dengan tarian pembuka, yakni tari Beskalan Lanang. Selanjutnya disajikan adegan Jejer Jawa (Kediri), Perang Gagal (selingan tari Bapang), adegan Gunungsari-Patrajaya, adegan Jejer Sabrang (Klana Sewandana), dan adegan Perang Brubuh serta Bubaran sebagai penutup lakon.

Dalam penyajiannya, pagelaran Wayang Topeng Malangan memiliki unsur pendukung dan urutan pertunjukan. Dalang merupakan unsur utama dalam pertunjukan yang bertugas sebagai pengisi dialog melalui tembang atau narasi untuk menyampaikan cerita.

Para aktor yang memerankan tokoh dalam cerita disebut dengan anak wayang. Anak wayang dapat memerankan lebih dari satu tokoh, umunya anak wayang terdiri dari 15-20 orang yang mahir menari topeng.

Anak wayang memakai topeng dengan berbagai bentuk yang disesuaikan dengan karakter tokoh serta memakai kostum tari yang terdiri dari Jamang (penutup kepala), kalung kace, kelat bahu, sembong, sampur, keris, gongseng, dan celana panji.

Pertunjukan Wayang Topeng Malangan pada umumnya menyajikan lakon-lakon kisah romantik yang disebut Lakon Panji. Selain itu terdapat pula Lakon Purwa yang menyajikan lakon-lakon Mahabharata dan Ramayana. Pagelaran Wayang Topeng Malangan di Padepokan Asmorobangun dilaksanakan setiap malam Senin Legi bersamaan dengan pencucian topeng dan pemberian sesaji untuk menghormati para leluhur.

Iringan musik berperan penting dalam menciptakan dramatisasi lakon dalam pertunjukan Wayang Topeng Malangan. Perangkat pengiring yang digunakan dalam pertunjukan berupa gamelan berlaras pelog. Setiap tarian diiringi oleh gending yang disesuaikan dengan karakter tokoh dan suasana adegan yang sedang dibawakan.

Gerakan tari pada Wayang Topeng Malangan disesuaikan dengan karakteristik tokoh-tokohnya. Gerakan tari yang ada hanya dibedakan antara gerak tari putra (maskulin) yang yang bersifat gagah dan gerak yang bersifat halus, sehingga tidak ada yang disebut dengan gerak tari putri (feminin).

Tari putra ditunjukkan dengan tari patih dan tari Klana Sewandana yang bersifat gagah dengan ciri gerak yang tegas dan memiliki junjungan kaki. Perbedaannya, pada tari patih terdapat gerak berjalan yang disebut Labas (Lombo dan Kerep) sedangkan pada tari Klana Sewandana gerak berjalannya Labas Kerep.

Tari maskulin ini bersifat halus ditunjukkan dengan tari Gunungsari yang memiliki volume gerak sempit, irama pelan, tidak memiliki junjungan kaki, dan hanya memiliki gerak berjalan yang disebut labas kerak atau ngelap.

Tutup

Di balik kisah Raden Panji dan Dewi Sekartaji

Karakter yang diperankan oleh tokoh Wayang Topeng Malangan selain dapat dilihat dari ragam topeng yang digunakan juga tercermin dari tata busananya.

Baca selengkapnya

Di balik kisah Raden Panji dan Dewi Sekartaji

Di balik kisah Raden Panji dan Dewi Sekartaji

Kehadiran sebuah kesenian tidaklah datang begitu saja, ada nilai-nilai yang berusaha untuk disampaikan dan diharapkan menjadi warisan bagi generasi mendatang. Bagaimana dengan Wayang Topeng Malangan? apa sajakah nilai-nilai yang dibawa? berikut ulasan singkatnya.

Sebagai kesenian yang tumbuh dan berkembang di daerah Malang Jawa Timur, Wayang Topeng Malangan menjadi wadah bagi nilai-nilai yang ingin disampaikan atau diwariskan oleh masyarakat setempat melalui sebuah pertunjukan. Kesenian yang sebelumnya hanya menjadi kegiatan terbatas untuk ritual keagamaan kini menjadi sebuah pentas yang dapat dilakukan oleh masyarakat umum karena kebutuhan untuk melestarikan budaya itu sendiri serta juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Simbol-simbol yang melekat pada tiap pemeran dalam kesenian ini seolah ingin menyampaikan bahwa laku hidup kita memberikan warna atau pandangan yang melekat bagi orang lain yang menyaksikan tingkah laku tersebut. Seperti warna-warna yang menghiasi Topeng para tokoh dalam pementasan. Hal itu berkaitan dengan karakter yang diperankan oleh pengguna topeng tersebut.

Digambarkan bahwa Raden Panji memakai warna hijau yang berkonotasi dengan ketenangan, kegigihan serta keseimbangan. Hal itu berbanding terbalik dengan pemeran antagonis yang menggunakan warna merah pada topengnya dikarenakan sifatnya yang kasar juga penuh amarah.

Seperti nilai yang terkandung dalam alur cerita utama kesenian ini, yaitu Raden Panji yang berupaya menemukan jalan kembali menuju kekasihnya Dewi Sekartaji menunjukkan sebuah upaya kegigihan yang umumnya dimiliki oleh orang Jawa dalam mencapai sebuah tujuan. Selain itu nilai keluhuran serta kebijaksanaan yang digambarkan oleh beberapa tokoh protagonis dalam kesenian ini juga seolah ingin menunjukkan laku hidup sebagai manusia kepada penonton agar menghindari sifat-sifat buruk yang akan membawa kita celaka seperti yang dialami oleh tokoh-tokoh antagonis dalam tiap pementasan.

Namun ada juga hal yang perlu dikritisi dalam kesenian ini dalam menggambarkan sifat pemerannya, yaitu penggambaran tokoh-tokoh dalam babak jejer sabrang yang menceritakan penaklukan kerajaan-kerajaan di luar pulau Jawa yang dianggap sebagai pihak yang antagonis atau kurang berluhur budi sudah sangat tidak masuk akal pada era ini. Dikarenakan hal itu mengandung semangat kolonialisme yang mengganggap rendah kebudayaan lain dan mencoba untuk menaklukan serta menggantinya dengan kebudayaan yang kita anggap paling luhur. Tentu saja hal itu sangat keliru dikarenakan pandangan seperti itu adalah hasil dari bias yang bersumber dari kesombongan juga hasrat penaklukan bagi kubu yang berbeda pandangan.

Dari apa yang telah diuraikan diatas, kiranya kita mendapatkan sebuah penjelasan tentang makna-makna yang terkandung dalam kesenian ini, yang diharapkan mampu membawa kita menuju pemahaman yang lebih luas dari Wayang Topeng Malangan, tidak sekedar sebagai hiburan semata.

Tutup
Jalan panjang merawat Topeng Malangan

Jalan panjang merawat Topeng Malangan

Mbah Serun, merintis perkumpulan wayang Topeng Malangan kurang lebih selama 25 tahun di dusun tersebut. Perkembangan seni Topeng Malangan itu, juga merasakan pasang surut termasuk dalam upaya mempertahankan anggota yang mayoritas merupakan para petani.

Baca selengkapnya

Jalan panjang merawat Topeng Malangan

Oleh: Vicki Febrianto
Jalan panjang merawat Topeng Malangan

Perjalanan panjang tari Topeng Malangan di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur, sudah dirintis kurang lebih sejak 1890, oleh sosok Mbah Serun, khususnya di Dusun Kedungmonggo, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji.

Mbah Serun, merintis perkumpulan wayang Topeng Malangan kurang lebih selama 25 tahun di dusun tersebut. Perkembangan seni Topeng Malangan itu, juga merasakan pasang surut termasuk dalam upaya mempertahankan anggota yang mayoritas merupakan para petani.

Secara turun temurun, Mbah Serun mewariskan tari Topeng Malangan ke generasi yang ada di bawahnya. Mbah Serun yang merupakan generasi pertama, mewariskan kesenian itu kepada Mbah Kiman, yang kemudian kembali diturunkan kepada Mbah Karimoen.

Dari perjalanan Mbah Karimoen, kesenian yang mengakar di Dusun Kedungmonggo tersebut diwarisi oleh Taslan Harsono yang memiliki tiga anak yakni Suroso, Ribut Hariati dan Tri Handoyo yang merupakan generasi kelima penerus tari Topeng Malangan.

Saat ini, anak-anak dari Suroso, Ribut Hariati dan Tri Handoyo memiliki tanggung jawab besar untuk tetap melestarikan seni Topeng Malangan di tengah era digital, termasuk hantaman pandemi penyakit akibat penyebaran virus Corona.

Saat ini, generasi keenam penerus Topeng Malangan merupakan keturunan dari Suroso, yakni Dimas Bagus, Dimas Bagas, Ajeng Galuh dan Shri Candra. Penerus dari Ribut Hariati adalah Bayu Pratama dan Sekar Puspita.

Sementara Tri Handoyo, meneruskan kesenian itu kepada sang anak yakni Winny Padma dan Dita. Tanggung jawab untuk melestarikan kesenian Topeng Malangan bukan merupakan pekerjaan yang mudah.

Kisah perjalanan tari Topeng Malangan, pada masa lalu pernah mencapai titik puncak kejayaan yang diawali undangan pentas untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-30 Republik Indonesia pada 17 Agustus 1975.

Bermula dari pementasan tersebut, rupanya daya tarik kesenian Topeng Malangan terdengar hingga ke Istana Negara. Saat itu, Karimoen yang merupakan generasi ketiga Topeng Malangan mendapatkan undangan untuk tampil di Jakarta, di hadapan Presiden Soeharto.

Usai pementasan itu, ada sejumlah peristiwa yang mewarnai lika-liku perjalanan seni Topeng Malangan. Mulai dari sejumlah anggota yang tidak aktif berlatih, hingga adanya pencurian perlengkapan dan puluhan topeng yang dimiliki perkumpulan taru di Dusun Kedungmonggo.

Cerita-cerita perjuangan masa lalu untuk melestarikan kesenian Topeng Malangan tersebut menemui sejumlah jalan berliku yang pada akhirnya mampu dilewati. Keberadaan Topeng Malangan terus berkembang hingga menemui tantangan baru.

Penyebaran virus Corona yang bermula di Wuhan, China pada akhir 2019, menyebabkan guncangan yang cukup besar di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Dampak pandemi COVID-19, menyebabkan pemerintah menetapkan sejumlah kebijakan untuk mengendalikan penyebaran virus Corona.

Salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk meredam laju penyebaran virus Corona tersebut, adalah dengan menghentikan atau tidak memperbolehkan seluruh kegiatan dengan kerumunan massa, yang merupakan salah satu urat nadi pertunjukan kesenian di Indonesia.

Generasi keenam penerus seni Topeng Malangan, Dimas Bagus Atmananto, mengatakan bahwa pandemi penyakit akibat penyebaran COVID-19, memberikan dampak sangat besar terhadap kelestarian kesenian tari Topeng Malangan.

Pada tahun-tahun sebelumnya dimana para pelaku seni Topeng Malangan bisa menggantungkan hidup mereka dari adanya pertunjukan, secara tiba-tiba harus kehilangan salah satu sumber pendapatan untuk menyambung hidup mereka.

"Saat pandemi, bisa dibilang itu titik terendah dan terburuk. Dampak sangat dirasakan oleh pelaku seni, termasuk Topeng Malangan," kata Bagus.

Pandemi COVID-19, lanjutnya, sungguh memberikan dampak luar biasa kepada para pegiat seni khususnya Topeng Malangan. Selain tidak bisa melakukan pertunjukan, penjualan topeng-topeng juga mengalami penurunan drastis.

Bagus bersama Ayahnya, Suroso, harus memikirkan nasib para sesepuh perkumpulan Topeng Malangan yang ada di dusun tersebut. Para sesepuh itu, banyak menggantungkan hidup mereka dari pertunjukan dan penjualan topeng yang kemudian secara tiba-tiba direnggut oleh COVID-19.

"Akhirnya kami patungan menyisihkan gaji, untuk para sesepuh. Keberadaan Topeng Malangan ini banyak diharapkan oleh para sesepuh, selain sebagai hiburan, juga sumber pendapatan," katanya.

Ia dan ayahnya berusaha untuk tetap menjaga semangat para pelaku seni Topeng Malangan yang ada di Dusun Kedungmonggo tersebut, dengan terus menjalin tali persaudaraan yang sudah terjalin selama puluhan tahun tersebut.

Namun, hantaman pandemi COVID-19 yang dirasakan selama satu tahun itu, sempat membuat penerus seni Topeng Malangan itu hampir menyerah. Namun, pada akhirnya dengan sisa semangat yang ada, Bagus dan ayahnya mulai keluar dari bayang-bayang virus Corona.

"Kami juga berusaha agar bagaimana kesenian ini bisa dipertahankan dengan adanya bantuan kecil dari pemerintah setempat. Karena kalau hanya dari kami saja, itu tidak mampu," katanya.

Pada masa pandemi COVID-19, hampir seluruh kegiatan masyarakat dilakukan secara daring atau memanfaatkan teknologi digital. Hal itu, pada akhirnya juga mendorong pelaku seni Topeng Malangan untuk memanfaatkan jejaring secara daring untuk memasarkan topeng buatan warga.

"Sampai pada satu titik, kami akan menyerah. Bagaimana kelanjutan kesenian ini, akhirnya kami mulai berjualan topeng secara online melalui Facebook dan jejaring," katanya.

Penjualan topeng yang memiliki 76 karakter melalui skema daring dan memanfaatkan jejaring tersebut, rupanya menjadi satu titik keyakinan untuk mempertahankan keberlangsungan kesenian Topeng Malangan tersebut.

Meskipun tidak banyak, namun hasil penjualan topeng-topeng tersebut, mampu menyambung kebutuhan hidup para pelaku seni yang ada. Pelaku seni yang kebanyakan para orang tua tersebut, tidak secara langsung berjualan menggunakan skema daring itu.

"Mereka biasanya meminta kami untuk membeli topeng yang dibuatnya. Kemudian kami jual secara online atau menggunakan jejaring itu. Langkah itu menjadi penopang sementara, dan akhirnya kami bisa bertahan," katanya.

Pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini sudah mulai terkendali. Hal ini, juga menjadi harapan bagi para pelaku seni seperti Topeng Malangan untuk kembali bisa menggelar pentas dan menghidupkan kembali kesenian yang sempat terdampak.

Harapan para pelaku seni itu, sesungguhnya tidak muluk-muluk. Keinginan sederhana untuk tetap melestarikan kesenian Topeng Malangan dengan saling merangkul satu sama lain, bisa terus berjalan sambil menghadapi tantangan baru ke depan.

Salah satu tantangan yang cukup besar ke depan adalah, bagaimana memperkenalkan kesenian yang sudah dirintis sejak 1890 tersebut, bisa diterima oleh generasi muda. Para pelaku seni yang ada, harus mampu mengikuti perkembangan zaman, namun harus tetap menjaga diri agar tidak terbawa arus di dalam era digital tersebut.

"Untuk merangkul anak-anak muda, jika dibilang sulit, ya sulit. Dibilang tidak, ya tidak. Jadi kita harus bisa mengikuti ranah mereka. Tapi jangan sampai kita terbius kenyamanan di situ," katanya.

Ia meyakini, salah satu kunci untuk tetap mempertahankan kesenian Topeng Malangan tersebut adalah paling tidak dengan memperkenalkan kesenian itu kepada anak-anak muda. Tidak perlu berkecimpung terlalu dalam, namun perkenalan yang memberikan arti cukup dalam.

Harapan yang tidak muluk-muluk itu, juga tetap mengingat dan mengedepankan nilai-nilai perjuangan untuk mempertahankan Topeng Malangan yang telah dilakukan para sesepuh terdahulu. Pondasi kokoh generasi penerus, harus diperkuat untuk masa depan.

"Yang terpenting itu lestari. Kita hanya meneruskan, kenapa tidak bisa mempertahankan. Sementara para sesepuh yang memperjuangkan mati-matian," katanya.

Tutup

Upaya mengungkit kunjungan wisata ke Kampung Topeng Malangan

Upaya mengungkit kunjungan wisata ke Kampung Topeng Malangan

Galeri Foto

"Seni Wayang Topeng Malangan bukan sekadar seni tradisi belaka, namun kesenian ini sarat dengan nilai-nilai luhur yang merupakan aset bangsa yang perlu dilestarikan. Dari pembuatan topeng hingga pementasan wayang, tidak ada satu pun hal yang tidak memiliki arti atau nilai. Menarik, bukan? Yuk turut terlibat dalam menjaga budaya bangsa!"

Credit

PENGARAH
Akhmad Munir, Gusti Nur Cahya Aryani, Saptono, Teguh Priyanto

PRODUSER EKSEKUTIF
Sapto HP

PRODUSER
Panca Hari P

CO PRODUSER
Farika Nur Khotimah

PENULIS
Farika Nur Khotimah, Vicki Febrianto

EDITOR TEKS
Risbey, Hana Kinarina Kaban

FOTOGRAFER
Ari Bowo Sucipto, Eric Ireng

KURATOR FOTO
Prasetyo Utomo

INFOGRAFIK
Iqbal, Perdinan, Dyah, Wasril

EDITOR INFOGRAFIK
Heppy

DATA DAN RISET
Pusat data dan Informasi ANTARA, Padepokan Asmorobangun (Malang)

WEB DEVELOPER
Y. Rinaldi