Mencapai Indonesia merdeka tidak lepas dari peran pemuda, tak heran bila kaum muda juga mendapat kesempatan berperan dalam kabinet di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Hatta. Meski dalam kondisi yang terbatas, namun semangatnya tak kalah dengan senior mereka yang telah lebih dahulu malang melintang dalam upaya mendorong kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
Soekarno sendiri menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia di usianya yang ke-44 tahun. Masih muda dan penuh dengan kobaran semangat serta idealisme. Tak heran beberapa anggota kabinet pertamanya pada 1945 bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta, masih berusia muda.
Di kabinet Presidentiil, kabinet pertama setelah proklamasi kemerdekaan, dari 21 menterinya, salah satu tokoh yang cukup muda dan masuk ke dalam jajaran menterinya adalah Suprijadi yang ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat yang kala itu bila dihitung dari tanggal kelahirannya 13 April 1923 maka ia masih berumur 22 tahun, meski ia tidak pernah hadir untuk menerima penunjukkannya tersebut.
Selain Supriyadi, tokoh mudah yang masuk ke dalam kabinet dengan usia yang masih relatif muda adalah KH Abdul Wahid Hasyim yang ditunjuk sebagai Menteri Agama pertama. Wahid Hasyim menjadi menteri di usia 31 tahun pada 1945.
Di kabinet selanjutnya, kabinet Sjahrir, tokoh muda lainnya yang dipercaya masuk menjadi menteri adalah Wikana. Wikana dikenal dengan perannya saat peristiwa Rengasdengklok. Saat ditunjuk menjadi menteri pertama yang mengurus pemuda, ia baru berusia 31 tahun.
Tokoh muda lainnya yang dipercaya sebagai menteri adalah SK Trimurti. Dalam kabinet Amir Syarifuddin Juli 1947 hingga November 1947, perempuan berusia 35 tahun itu ditunjuk sebagai Menteri Perburuhan.
Selama masa kepemimpinan Soekarno 1945-1967 cukup banyak kabinet yang silih berganti membantu Presiden menjalankan pemerintahan. Sistem politik saat itu memungkinkan perubahan kabinet dengan cepat. Namun demikian kaum muda dan tokoh-tokoh senior perjuangan kemerdekaan dari berbagai golongan dan etnis bahu membahu untuk menjaga Republik Indonesia yang baru saja merdeka itu.
Sepanjang kepemimpinan Presiden Soeharto, tujuh kabinet telah mendampinginya dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa. Hal itu belum termasuk dua kabinet saat mantan Panglima Kostrad itu didapuk sebagai penjabat Presiden sepanjang tahun 1966-1967.
Dalam biografinya, Soeharto menilai semua menteri yang ada di dalam kabinetnya sama. Ia menekankan agar para menteri bekerja berdasarkan tugas dan fungsinya. Tidak ada anak emas dalam kabinetnya, tidak ada menteri yang tidak disenangi.
Ada yang khas dalam ucapan para menteri yang pernah tergabung dalam kabinet pembangunan I sampai dengan VII yaitu kalimat, "menurut petunjuk bapak presiden".
Dalam biografinya, Soeharto sempat menyinggung hal ini. Terkait hal ini, karena menekankan pada kemampuan memenuhi tugas, ada hal yang wajar bahawa menteri kemudian melaporkan masalah-masalah di bidangnya masing-masing, mereka meminta petunjuk pada saya atau mencocokkan apakah rencana ini sudah benar atau belum.
Ketika kemudian menyampaikan kepada publik, maka secara otomatis, para menteri akan mengatakan bahwa itu adalah petunjuk dari presiden.
"Memang begitu kejadian yang sebenarnya. Artinya kalau mereka datang kepada saya, mereka memerlukan petunjuk saya, bagaimana pendapat saya tentang ini dan tentang itu........saya memberikan petunjuk", kata Soeharto di kemudian hari.
Setelah diambil sumpahnya sebagai Presiden RI ke-3 pada 21 Mei 1998, Habibie harus menghadapi sebuah sistem pemerintahan yang berlangsung hampir 32 tahun dengan posisi Presiden sebagai sentral kekuasaan. Berbeda dengan pendahulunya, Soeharto yang memiliki cukup waktu untuk menyusun kabinet, Habibie tak memiliki kemewahan itu.
Dalam bukunya, Habibie mengingat bahwa banyak kalangan yang meragukan kemampuannya dalam membentuk kabinet dan meramalkan hanya mampu bertahan dalam pemerintahan tak lebih dari 100 jam atau kurang lebih lima hari saja sejak pelantikannya.
Sepanjang 21 Mei hingga 22 Mei 1998, merupakan hari-hari yang panjang, ketika tokoh nasional dari berbagai kalangan berdatangan dan berkonsultasi dengan Presiden Habibie. Masih dalam bukunya, nama-nama untuk calon menteri, calon panglima angkatan bersenjata dan posisi lainnya, silih berganti dikirimkan kepadanya. Meski demikian ia tetap berpegang pada sejumlah prinsip untuk memilih pembantunya di Kabinet, utamanya jangan sampai ada kesalahan yang mengakibatkan porak-porandanya tatanan kehidupan di dalam negeri.
Sejarah mencatat, Presiden BJ Habibie mampu membentuk dan kemudian melantik Kabinet Reformasi Pembangunan pada 23 Mei 1998 atau dua hari setelah peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Dengan jumlah anggota kabinet 37 orang, Presiden Habibie memisahkan jabatan Gubernur Bank Indonesia dan Jaksa Agung berada di luar kabinet.
Untuk pertama kalinya dalam 53 tahun, Presiden Republik Indonesia melakukan rapat konsultasi dengan pimpinan DPR/MPR di Gedung MPR/DPR RI. Bagi Habibie keputusan itu kemudian bermakna proses desakralisasi presiden dan institusi presiden telah dimulai.
Presiden Habibie juga memerintahkan kepada Jaksa Agung Soedjono C Atmanegara untuk membebaskan tahanan politik.
"Seorang pemimpin di mana saja ia berada, harus berperilaku seperti mata air yang mengalirkan air bersih dan bergizi, sehingga semua kehidupan di sekitarnya dapat mekar dan berkembang," kata Habibie di kemudian hari
Kurun waktu 1998 hingga 2002 politik Indonesia bisa dikatakan berada dalam fase perubahan yang cukup mendasar. Dari kurun waktu itu juga terjadi tiga kali pergantian kepemimpinan nasional. Pada 1998 dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie, pada 2000 pergantian kepemimpinan dari Presiden BJ Habibie ke Presiden Abdurrahman Wahid dan pada 2002 dari Presiden Abdurrahman Wahid ke Presiden Megawati Soekarnoputri.
Meski tidak sampai menyelesaikan secara penuh masa pemerintahannya, Gus Dur, demikian Abdurrahman Wahid biasa disapa mengambil kebijakan yang cukup drastis di kabinetnya. Pada tahun pertama pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.
Untuk pembubaran Departemen Penerangan, Gus Dur memiliki alasan bahwa penerangan adalah urusan masyarakat. Dengan pembubaran itu akan mendorong kebebasan pers karena untuk mendirikan sebuah perusahaan media tidak lagi memerlukan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Meski menghadapi pro dan kontra, kebijakan itu terus dilanjutkan. Salah satu hasil yang dirasakan hingga saat ini adalah tidak adanya breidel terhadap media massa di Indonesia dan peningkatan peran lembaga non pemerintah seperti Dewan Pers dalam pengembangan pers nasional.
Hal lain yang dikenang dari kabinet dan pemerintahan Gus Dur adalah perubahan nama Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua. Pada 30 Desember 1999 saat mengunjungi provinsi itu, Presiden Abdurrahman Wahid melakukan dialog dengan berbagai kalangan masyarakat di Gedung Pertemuan Gubernuran di Jayapura.
Dalam pertemuan itu selain mendengarkan langsung berbagai pendapat dari kalangan masyarakat, Gus Dur juga memberikan respons mengenai penggantian nama provinsi tersebut.
"Gitu aja kok repot," demikian ungkapan yang biasa dilontarkan Gus Dur dan kemudian akan dikenang oleh masyarakat sebagai presiden dengan kabinet yang mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat.
Dalam kabinet gotong royong yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, ada nama-nama yang kelak kemudian hari akan menjadi tokoh dan berpengaruh terhadap perjalanan bangsa. Menko Polhukam di era Megawati dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang kelak akan menggantikannya menjadi Presiden Republik Indonesia.
Menko Kesra dijabat oleh Jusuf Kalla yang kelak menjadi wakil presiden di era SBY dan Jokowi, sementara Menteri Keuangan dijabat oleh Boediono yang kelak akan menjadi wakil presiden di era SBY. Di kemudian hari, Boediono dalam acara peringatan hari ulang tahun Megawati pada awal 2019, mengenang sosok Mega yang mempercayai program dan langkah-langkah menterinya.
Boediono mengatakan intervensi kebijakan dari Presiden hampir tidak ada. Justru ketika ada suatu kebijakan darinya yang memang berdasarkan perhitungan yang tepat, Megawati akan memberikan dukungan. Itu menunjukkan bagaimana Mega memberikan kepercayaan kepada para menterinya. Namun demikian kebijakan kabinet tetap berjalan sebagai sebuah kesatuan yang utuh.
Sementara Megawati mengenang salah satu menterinya, Bambang Kesowo, sebagai sosok yang unik. Sebagaimana dikutip oleh media, Mega saat perayaan ulang tahunnya di awal 2019 mengenang sosok mensesneg di era pemerintahannya itu orang yang dekat karena sudah berkomunikasi sejak masih menjadi wapres era Presiden Gus Dur.
Jika Megawati memanggil Bambang dengan sebutan Mas, maka itu adalah terkait urusan non kenegaraan, namun bisa memanggil dengan sebutan ses berarti itu urusan republik (kenegaraan-red).
Sejarah akan mencatat masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Komisi Pemberantasan Korupsi, kemudian Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudusial terbentuk untuk melengkapi proses politik menuju demokratisasi dan mewujudkan cita-cita reformasi.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, salah satu momentum yang diingat adalah proses reshuffle kabinet dan menggunakan pola uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh SBY, demikian mantan Kepala Sosial Politik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tersebut biasa disapa.
Dari catatan media, SBY melakukan lima kali reshuffle sepanjang masa pemerintahannya sejak 2004 hingga 2014. Pergantian menteri dalam kabinet pertama kali dilakukan pada 2005 kemudian dilakukan kembali pada 2007 untuk periode kabinet Indonesia Bersatu I. Kemudian pada 2010, pada 2011 dan terakhir pada 2013 untuk kabinet Indonesia Bersatu II.
Dalam melakukan reshuffle, SBY kerap melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon menteri yang akan masuk ke dalam jajaran kabinet. Uji kepatutan dan kelayakan ini belum pernah dilakukan oleh Presiden sebelum SBY. Uji kepatutan dan kelayakan ini dilakukan dengan memanggil calon menteri ke kediaman pribadi di Cikeas. Kemudian diumumkan oleh SBY posisi apa yang akan ditempati oleh tokoh yang baru saja menjalani uji kepatutan dan kelayakan.
Sri Mulyani termasuk menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I yang mengalami rotasi jabatan setelah reshuffle pertama pada 5 Desember 2005. Semula menjabat sebagai Kepala Bappenas, Sri Mulyani kemudian menjadi menteri keuangan menggantikan Jusuf Anwar. Namun pada 20 Mei 2010, reshuffle yang ketiga, posisi Sri Mulyani digantikan oleh Agus Martowardojo.
Hal lain yang perlu dicatat dalam masa pemerintahan SBY adalah menyiapkan proses transisi kepemimpinan nasional setelah Joko Widodo terpilih sebagai Presiden ke-7 pada pemilu 2014. Tradisi politik yang dikembangkan SBY ada membuka komunikasi dengan presiden terpilih dan menyiapkan upacara khusus semodel serah terima kepemimpinan yaitu disaat yang bersamaan Presiden baru masuk ke Istana Merdeka dan Presiden sebelumnya meninggalkan Istana Merdeka dalam suasana yang hangat dan khidmat.
Beberapa hari sebelum pelantikan Presiden yang baru, SBY juga meminta agar para menteri menyiapkan serah terima dan juga menyiapkan rumah dinas dan mobil dinas agar segera bisa digunakan oleh menteri yang baru.
Terpilih sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia dalam pemilihan presiden 2014, Joko Widodo yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dikenal sebagai sosok yang egaliter, spontan dan rendah hati.
Desakralisasi institusi kepresidenan yang pernah dilakukan oleh BJ Habibie, diejawantahkan oleh Jokowi, demikian mantan Walikota Solo itu akrab disapa, dengan membuka sekat kedekatan antara Presiden dan rakyatnya.
Usai dilantik untuk periode jabatan yang pertama pada 20 Oktober 2014, Jokowi dan Jusuf Kalla mengikuti pawai budaya dengan menggunakan kereta kuda terbuka melintasi jalan Bundaran Hotel Indonesia hingga Istana Merdeka.
Selain itu, Jokowi juga meminta kepada Paspamres untuk membuka ruang yang lebih dekat antara Presiden dengan masyarakat, terutama saat kunjungan ke daerah. Tak heran hampir di setiap kesempatan bertemu dengan masyarakat, Jokowi tak segan untuk menerima permintaan swafoto.
Itu pula yang dikembangkan ketika menyusun kabinet kerja dan mengumumkannya kepada publik di halaman tengah Istana Kepresidenan RI di Jakarta. Para menteri yang dipanggil mengenakan kemeja putih dengan bawahan hitam.
Meski mengembangkan pendekatan egaliter dan komunikasi yang cair, namun Presiden Jokowi tetap menginginkan langkah para menteri seiring dan sejalan dengan visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam sebuah kesempatan usai dilantik sebagai Presiden RI periode 2019-2024, Jokowi menyampaikan bahwa tidak ada visi dan misi menteri, yang ada adalah visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden yang dijalankan bersama sebagai satu kesatuan langkah kabinet yang solid dan fokus pada kerja dan capaian hasil yang dirasakan oleh rakyat.