Indonesia pernah mencapai swasembada beras di era 1980-an, saat populasi mencapai angka 147 juta penduduk. Namun ketika jumlah penduduk bertambah hingga 47 juta orang dalam kurun waktu 10 tahun, pilihannya hanya meningkatkan produksi.
Data Asian Development Bank (ADB) 1996 menunjukkan tingkat pertumbuhan produksi beras tahunan rata-rata di Jawa menurun dari 5,7 persen per tahun pada 1980 menjadi 1,1 persen per tahun pada 1996, sementara di luar Jawa tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata tumbuh dari 3,5 persen menjadi 4,1 persen pada periode yang sama.
Pertumbuhan asimetris ini mencerminkan naiknya kenaikan hasil padi dan hilangnya lahan irigasi di Jawa, sementara daerah rawa beririgasi dan reklamasi meningkat di pulau-pulau luar Jawa.
Namun, menurut ADB, kapasitas produksi beras yang tinggi di luar Jawa umumnya lambat. Proyek drainase rawa membutuhkan biaya lingkungan dan finansial yang tinggi untuk transmigrasi, pembukaan lahan, pengendalian air, dan infrastruktur permukiman untuk mencapai potensi produktivitas antara 50 persen dan 60 persen lebih sedikit daripada skema irigasi Jawa.
Meski demikian Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare (ha) di era Orde Baru yang bertujuan menyediakan lahan pertanian baru di atas lahan gambut di Kalimantan Tengah tetap berjalan. Harapannya mampu mengembalikan posisi Indonesia untuk swasembada beras sekaligus membuka kesempatan hidup yang lebih baik bagi para transmigran lokal maupun dari Jawa, Madura dan Bali.
Berbekal Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995, pengerjaan proyek bernilai ratusan miliar rupiah itu mengintervensi kubah gambut dengan membuat Saluran Primer Induk (SPI) yang menghubungkan sungai-sungai Sebangau - Kahayan-Kapuas-Barito. Niatnya, SPI menjadi pengendali kunci keseluruhan tata air, yang secara gravitasi mampu mengalirkan air-air sungai ke cetak-cetak sawah dan mendorong air gambut yang asam keluar dari Saluran Kuarter (SK).
Tidak ternyana, asumsi tata saluran air yang direncanakan tanpa didasari data AMDAL yang seharusnya memperhitungkan tanah, topografi, hidrologi, hidrolika itu tidak bekerja sesuai yang diharapkan. Sebaliknya, saluran-saluran air atau kanal yang dibuat untuk memasukkan air sungai justru menjadi saluran pengatusan di saat musim kering, membuat gambut menjadi semakin kering dan rentan terbakar.
Selain itu, adanya dasar galian saluran yang lebih rendah daripada batas atas lapisan deposit pirit (FeS2) yang menyebabkan pirit teroksidasi menghasilkan mineral jarosit dan H2SO4. Zat-zat tersebut mampu meningkatkan kadar Fe dalam tanah dan air sehingga bersifat racun bagi tumbuhan dan hewan.
Asap mengepul ketika si Jago Merah mengganas melahap semak-semak di kawasan hutan jati di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Rabu (30/10/2002). ANTARA FOTO/Dedi Kusnadi.
Menurut laporan Bank Dunia pada 1998 yang dilakukan Principal Water Resources Engineer, Rural Development and Natural Resources Sector Unit, East Asia and Pacific Region Theodore Herman, kekurangan dalam proyek itu terutama berkaitan dengan kegagalan perencanaan dan desain seperti kurangnya perhatian desain terhadap tanah, karakteristik topografi dan hidrologi, dan penyejajaran kanal primer yang dipilih sebelum penilaian lingkungan.
Kanal-kanal, kata Herman, dibuat melintasi area gambut dalam, mengakibatkan overdrainage yang parah dan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, bermanifestasi dalam pengeringan berlebihan kubah gambut, subsidensi, penggundulan hutan, dan kebakaran serta pengeringan sumber air tradisional seperti sumur untuk penduduk asli.
Pembukaan lahan untuk kepentingan transmigrasi pada Pelita VI diperkirakan menghasilkan limbah kayu sebanyak 207 juta meter kubik (m3) dari 502.975 ha areal yang dibuka, sedangkan pengembangan sawah sejuta hektare di areal gambut di Kalimantan Tengah diperkirakan menghasilkan 13 m3 limbah kayu.
Itu merupakan tantangan bagi dunia usaha, bagaimana memanfaatkan sisa kayu itu menjadi barang bernilai ekonomis, kata Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja. Karena jika tidak limbah-limbah kayu tersebut dapat berubah menjadi bahan bakar yang dapat memicu kebakaran hutan dan lahan ketika kering.
Ia mengatakan, pada 1996 musim kering diperkirakan pendek, tetapi pada 1997 musim kering diperkirakan panjang. Karena itu awal, seluruh daya upaya harus disiapkan untuk menangkal ancaman tersebut, agar kejadian tahun-tahun sebelumnya tidak terulang.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), LSM yang bergerak di sektor lingkungan hidup menyebutkan akibat kebakaran telah menimbulkan penderitaan saluran pernafasan terhadap 29.733 orang. Jumlah itu diperoleh berdasarkan hasil investigasi di rumah sakit dan Puskesmas, dan diduga kuat jumlah pastinya jauh lebih banyak karena banyak penduduk yang tidak melakukan pengobatan di rumah sakit atau di Puskesmas.
Data luas kebakaran hutan dan lahan yang dipublikasikan Walhi jauh lebih besar dibanding data resmi Departemen Kehutanan yang hanya 185.000 ha lebih. Sedangkan hasil investigasi LSM lingkungan itu di lapangan menyebutkan luas areal kebakaran hutan di Indonesia sejak April sampai September 1997 mencapai 1.714.000 ha.
Luas areal itu terdiri dari 578.000 ha hutan produksi, 45.000 ha kawasan hutan konservasi serta 798.000 ha perkebunan. Selain itu, termasuk yang terbakar adalah 260.000 ha di areal PLG Sejuta Hektare, 30.000 ha pada pembukaan lahan trasmigrasi dan 3.000 ha di lahan perladangan.
Dengan tingkat kerentanan dan sensitivitas tinggi dalam pengelolaannya, maka pengalaman proyek PLG Sejuta Hektare dapat menjadi pertimbangan dalam penggunaan hutan dan lahan gambut di masa depan.
Presiden Soeharto menerima Deputy Menlu AS, Strobe Talbott di Bina Graha, Jakarta, Jum'at (7/11/1997). Talbott berada di Jakarta untuk membicarakan masalah krisis moneter di Indonesia, sekaligus meninjau bantuan pesawat pembom air AS yang beroperasi melakukan pemadaman kebakaran hutan di beberapa daerah di Indonesia. ANTARA FOTO/Audy MA.
Sejarah mencatat selain 2015 dan 2019, Indonesia pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masif yang menghanguskan jutaan hektare (ha) lahan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Kombinasi dari pengerusakan hutan, pembukaan lahan dengan api dan El Nino pada 1997-1998 membuat sekitar 9,75 juta ha terdampak kebakaran dan kerugian diperkirakan mencapai 4,861 miliar dolar AS atau setara Rp7,11 triliun, menurut studi yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB).
Kebakaran masif itu tidak hanya berdampak bagi kesehatan masyarakat dengan timbulnya berbagai penyakit pernapasan di masyarakat, tapi juga sosial ekonomi karena larangan beraktivitas di luar rumah akibat kabut asap pekat.
Tidak hanya di Indonesia kabut itu juga "menyeberang" ke negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam, atau yang dikenal dengan istilah transboundary haze pollution atau pencemaran asap lintas bantas.
Sebegitu besar dampak dari kebakaran itu Presiden Soeharto pun meminta maaf kepada negara-negara tetangga. "Kepada masyarakat negara-negara tetangga yang terganggu karena kebakaran hutan di wilayah kami itu, Indonesia meminta maaf yang sebesar-besarnya," kata Soeharto di Istana Negara, menurut pemberitaan ANTARA (16/9/1997).
Permintaan maaf itu dia ucapkan ketika membuka pertemuan para menteri lingkungan hidup tingkat regional ASEAN.
Soeharto kala itu menyatakan, Indonesia telah berusaha sekuat tenaga mencegah dan menanggulangi karhutla tapi luas lahan dan hutan membuat upaya-upaya tersebut mengalami hambatan dan tidak mudah diatasi.
Karhutla Indonesia saat itu sudah bukan lagi menjadi isu dalam negeri, berbagai negara pun memberikan bantuan untuk memadamkan api yang membara. Negara jiran seperti Malaysia dan Singapura bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk mengatasi karhutla di Sumatera dan Kalimantan, antara lain dengan penyediaan teknologi informasi dan peralatan hujan buatan.
Ketiga negara itu sepakat untuk membuat hujan buatan tidak hanya di negara masing-masing, tapi juga ke titik api di wilayah negara lain. Dana untuk operasi tersebut juga disediakan oleh masing-masing negara.
Tidak hanya negara jiran, Amerika Serikat, Australia, Jepang dan Korea Selatan juga menawarkan bantuan untuk membantu terkait karhutla pada saat itu.
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution atau Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas-Batas pun lahir tak lama setelah itu pada 2002, meski Indonesia baru meratifikasinya pada 2014.
Sejumlah pengendara kendaraan melintas jalan yang diselimuti kabut tebal di ruas jalan di Pekanbaru. ANTARA/FOTO/PKB-004/pf-03/es/97.
Karhutla bukanlah "barang baru" bagi Indonesia kala itu dengan beberapa tahun sebelumnya juga telah tejadi kebakaran meski belum berada di tingkat semasif 1997-1998.
Penyebabnya sendiri sudah teridentifikasi. Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, berdasarkan pemberitan Antara (30/4/1996), konservasi lahan dalam skala besar untuk hutan tanaman industri (HTI), perkebunan dan transmigrasi juga menjadi biang kerok karhutla karena kebiasaan membakar untuk membuka lahan. selain karena faktor cuaca seperti El Nino.
Penyebab sudah terindentifikasi, peringatan dini sudah diberikan oleh Presiden Soeharto pada 1995 dan pada 1996, tapi kebakaran masih terjadi pada 1997, bahkan dengan luas yang lebih masif. Sarwono geram dengan respons bangsa terhadap yang telah dinyatakan sebagai Bencana Alam Nasional pada 25 September 1997 itu.
"Sikap kita aneh menghadapi polusi asap ini. Sikap bangsa kita yang paling gawat adalah 'dont't care'. Pengusaha juga tidak peduli, saking tidak pedulinya perusahaan itu ada yang membakar kebun orang lain," kata Sarwono kala itu dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI, menurut pemberitaan ANTARA (15/11/1997).
Kritik Sarwono itu tampaknya tidak menjadi pelajaran bagi bangsa, karena karhutla besar kembali berulang pada 2015 dan 2019 ketika api menghanguskan 2,6 juta ha dan 1,6 juta ha lahan di Tanah Air, menurut data SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Seperti 1997-1998, kedua kebakaran itu mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Bank Dunia dalam laporannya menyebutkan karhutla pada 2015 berpengaruh kepada 28 juta jiwa dan memberikan dampak kepada ekonomi sebesar Rp221 triliun.
Badan Restorasi Gambut (BRG) pun lahir pada 2016 sebagai salah satu bentuk respons untuk memperbaiki ekosistem gambut yang mengalami kerusakan dan mencegah karhutlan di lahan gambut.
Namun, seperti 1997-1998 saat El Nino terjadi, Indonesia kembali mengalami karhutla yang besar pada 2019 setelah berhasil menekan skala luasan kebakaran dari 2016-2018. Total 1.649.258 ha terbakar dengan Bank Dunia memperkirakan total kerugian mencapai 5,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp75 triliun.
Sampai dengan Juni 2020, data SiPongi mencatat 38.772 ha sudah terbakar.
Pemerintah saat ini menyatakan sudah mengantisipasi karhutla saat puncak musim kemarau, yang diperkirakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terjadi antara Juli sampai Oktober 2020.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkoplhukam) Mahfud MD memastikan bahwa pemerintah tidak melupakan berbagai upaya pencegahan karhutla meski Indonesia dalam waktu bersamaan juga tengah menghadapi COVID-19.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya juga menegaskan bahwa berbagai unsur pemerintah sudah melakukan berbagai cara pencegahan karhutla, salah satunya dengan melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) dalam bentuk hujan buatan. Sejauh ini cara itu sudah dilakukan di Riau, Sumatera Selatan dan Jambi dengan menyusul Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, sembari melihat perkembangandi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Semua langkah itu dilakukan demi memadamkan api sejak dini, untuk tidak mengulang kembali kisah-kisah lampau ketika api membakar jutaan lahan, berdampak kepada masyarakat Indonesia dan juga negara lain.
"Karena memang api kalau masih kecil kalau bisa kita selesaikan, akan lebih efektif dan efisien dari pada sudah membesar baru kita pontang-panting," kata Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Negara, Selasa (23/6).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Gubernur Riau Annas Maamun tiba di Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Riau, Sabtu (15/3/2014). ANTARA FOTO/Rony Muharrman.
Siklon Leepi pada Selasa, 18 Juni 2013, sedang berada di atas perairan Filipina dan bergerak ke arah timur laut Samudera Pasifik, menjauh dari Indonesia. Bak vacum cleaner dengan kekuatan hisap super kuat, siklon yang berkecepatan 85 kilometer per jam itu pun tidak hanya menarik massa uap air tetapi juga seluruh asap kebakaran hutan dan lahan yang sedang membumbung di atas Sumatera.
Jejak asap kebakaran hutan dan lahan di Sumatera itu terlihat dari angkasa. Citra satelit yang dihasilkan Jeff Schmaltz di NASA Earth Observatory pada 19 Juni 2013, memperlihatkan asap putih yang ada di atas Provinsi Riau dan seolah bergerak dengan paksa ke arah timur laut melewati Malaysia, Kepulauan Riau, Singapura menuju perairan Natuna dan terus mengarah ke Samudera Pasifik.
Pada Kamis, 20 Juni 2013, dari ketinggian lebih dari 25.000 kaki dalam penerbangan dari Bandar Udara Internasional Polonia di Medan yang sekarang menjadi Pangkalan Udara Soewondo menuju Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru, ANTARA dapat melihat asap pekat keluar dari lahan-lahan yang begitu luas berdekatan dengan kanal-kanal yang rapat di atas Riau. Angin membawa asap pekat tersebut ke arah timur laut.
Jika dari angkasa pemandangan asap pekat kebakaran lahan tampak seperti tembok raksasa putih yang menjulang dan memanjang, maka di Pekanbaru asap tipis kasat mata baunya pun tercium jelas. Semakin ke arah timur dan timur laut seperti di Pelalawan, Siak hingga Bengkalis, asap putih berubah kuning pekat dan baunya pun semakin menyengat.
Kebun kelapa sawit, semak belukar dan kebun-kebun lainnya porak poranda oleh api, tanah gambut pun terasa panas dipijak. Asap segera menebal dan api menyala ketika angin mulai berhembus.
Masyarakat setempat tidak mampu mengelak dari asap, karena di sana lah rumah mereka. Aktivitas telah berminggu-minggu dilakukan di tengah kabut asap tebal yang "mencekik" saluran pernapasan, terkadang justru terlihat tanpa pelindung sedikitpun untuk kesehatan mereka.
Pernyataan keras Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono terhadap Singapura dan pengumuman yang Menteri Lingkungan Hidup Balthazar Kambuaya keluarkan di Pekanbaru, Riau, pada 22 Juni, terkait delapan perusahaan kelapa sawit asal Malaysia yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran lahan dan hutan di sana dan menyebabkan kabut asap berbuntut panjang.
Hanya berselang dua hari, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) usai rapat terbatas mengenai kabut asap di Kantor Presiden, Senin malam (24/6), menyampaikan permohonan maafnya kepada Pemerintah Singapura dan Malaysia yang terkena kabut asap kebakaran hutan dan lahan di Sumatera.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengecek perbekalan personel saat Apel Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Bencana Asap di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (25/6/2013). ANTARA FOTO/Dhoni Setiawan.
Indonesia akhirnya meratifikasi Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution/AATHP) pada 16 September 2014 setelah lebih dari satu dekade mengalami pergumulan politik domestik. Kesepakatan yang dilatarbelakangi kebakaran hutan dan lahan hebat di 1997 tersebut sudah ditandatangani oleh 10 negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur pada 10 Juni 2002, dan berlaku sejak 2007 setelah enam negara meratifikasinya.
Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya pada saat ratifikasi dilaksanakan mengatakan pengesahan AATHP merupakan langkah tepat bagi Indonesia untuk menunjukkan keseriusan dalam penanggulangan asap lintas batas akibat kebakaran hutan dan lahan. Dengan meratifikasi, memberi peluang besar bagi Indonesia memanfaatkan sumber daya manusia dan peralatan yang ada di negara anggota dan non-anggota ASEAN untuk melakukan pemantauan, penilaian dan tanggap darurat kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas.
Sedangkan dari segi ekonomi, kesempatan Indonesia memperoleh Clean Development Mechanism (CDM) semakin besar apabila tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan. CDM menjadi salah satu sumber pendanaan luar negeri yang dapat diarahkan untuk mendukung program rehabilitasi dan konservasi hutan sesuai dengan mekanisme Protokol Kyoto.
Persoalan kabut asap lintas batas di kawasan Asia Tenggara memang tidak pernah selesai sejak kebakaran besar di 1997. Jauh sebelum AATHP diratifikasi, pada awal masa pemerintahannya di 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat melakukan pembicaraan melalui telepon dengan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi mengenai kabut asap kebakaran hutan dan lahan di Sumatera yang mengganggu aktivitas penerbangan di Kuala Lumpur.
Malaysia juga menyadari bencana asap saat itu ternyata tidak hanya berasal dari titik api di Indonesia saja tetapi juga berasal dari kebakaran lahan di Semenanjung Malaysia, Sabah dan Serawak. Karena itu, kedua negara melakukan kerja sama hujan buatan dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang melibatkan TNI Angkatan Udara, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) dan PT Dirgantara Indonesia.
Masih di 2005, Thailand pun ikut membantu mengatasi kabut asap di Sumatera dengan mengirimkan pesawat bom air (water bombing) untuk memadamkan api di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Arara Abadi di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau, setelah dua helikopter yang digunakan melakukan pemadaman tidak mampu mengatasi kobaran api yang sudah sepekan menyala, kata Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Riau Khairul.
AATHP sudah diratifikasi. Pada akhirnya sudut pandang menjadi penentu, melihatnya bisa sebagai peluang berkolaborasi menyelesaikan persoalan kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap di dalam negeri lalu lintas batas, atau sebaliknya hanya menjadi "tekanan" bagi bangsa di setiap kemarau tiba.
Tiga warga Tengger mempercepat langkah kakinya saat melintas dekat lokasi kebakaran hutan di Gunung Batok yang masuk di kawasan Gunung Bromo,Probolinggo Jatim, Minggu (22/9/2002). ANTARA FOTO/Bimo Seno.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2005 yang menyebabkan kabut asap di wilayah Sumatera dan Kalimantan hingga melintasi batas negara membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan agar penanganannya dilakukan lebih serius. Kala itu, pemerintah daerah diminta untuk lebih sigap dalam menanggulangi penyebab bencana kabut asap sambil melakukan evaluasi secara menyeluruh.
Dari aspek hukum, Presiden SBY meminta siapapun yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang disengaja, baik itu pengusaha maupun masyarakat di daerah untuk ditindak tegas. Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar kala itu mengatakan tengah menyelidiki 10 perusahaan yang diduga membuka lahan dengan cara membakar sehingga menimbulkan asap tebal.
Kementerian Lingkungan Hidup menurunkan penyidiknya ke Riau, mereke juga bekerja sama dengan Polda dan PPNS Kehutanan mengumpulkan bahan keterangan sebagai bukti pembakar hutan dan lahan. Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Masnellyarti Hilman mengatakan sulit untuk mencari fakta di lapangan karena diduga perusahaan pembakar lahan "menggunakan" masyarakat.
Pada saat yang sama, guna memadamkan kebakaran hutan dan lahan yang sedang terjadi Menteri Lingkungan Hidup mengatakan mengupayakan segala cara termasuk mencoba membuat hujan buatan, selain juga melakukan bom air. Pada puncak musim kemarau 2005 di bulan Agustus, Kementerian Lingkungan Hidup mencatat 1.542 titik panas di 11 provinsi dan terbanyak mencapai 736 berada di Riau, 302 di Kalimatan Barat, 261 di Sumatera Utara, sedangkan di delapan provinsi lain jumlahnya kurang dari 100.
Upaya pemadaman api dengan Teknik Modifikasi Cuaca atau hujan buatan dan bom air juga dilakukan di tahun berikutnya di 2006. Presiden SBY memerintahkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie selaku Ketua Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan dengan cepat.
Sementara Menteri Kehutanan MS Kaban dalam apel siaga nasional kebakaran hutan dan lahan 2006 mengatakan sesuai instruksi Presiden bencana kabut asap harus ditekan. Apel yang bertujuan menggalang kerja sama semua pihak, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta perwujudan kesiap-siagaan semua pihak.
Kementerian Kehutanan menyiapkan personel Manggala Agni dengan keterampilan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan untuk diturunkan di 29 daerah operasi di sembilan provinsi rawan bencana kabut asap. Harapannya pengendalian api di seluruh provinsi yang diprediksi rawan terjadinya kebakaran hutan dan lahan bisa cepat dilakukan, mereka pun diberbekal peralatan seperti pompa jinjing, skop, dan mobil logistik petugas Manggala Agni.
Bahkan 81 gajah liar sumatera dari Pusat Pelatihan Gajah Padang Sugihan Jalur 21, Kabupaten Musi Banyuasin pun ikut dalam apel siaga kebakaran hutan dan lahan tersebut. Gajah-gajah binaan itu telah dilatih untuk menghadapi api dan membawakan perlengkapan untuk pengendalian api.
"Kebakaran lahan dan hutan harus kita hentikan demi kehormatan dan nama baik Indonesia," kata Presiden SBY menginstruksikan kepada para gubernur, wali kota serta bupati, pengusaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan ketika itu.
Bara api masih terlihat di tengah hutan Taman Nasional Kutai, sekitar 110 km dari Samarinda, Kaltim, Kamis (13/9/2001). Kebakaran hutan akibat kemarau panjang sejak Juni, hingga minggu lalu masih menyisakan 42 titik panas (hot spot) di seluruh hutan Kaltim, termasuk kawasan hutan konservasi Taman Nasional Kutai yang luasnya sekitar 198.629 hektar. ANTARA FOTO/Hermanus Prihatna.
Pada masa awal Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menargetkan penurunan kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hingga 20 persen per tahun. Sejumlah daerah rawan munculnya titik panas seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Riau dan Jambi mendapat perhatian khusus.
Persoalan tumpang tindih lahan sebagai salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan yang berulang di Indonesia juga terbahas saat itu. Zulkifli mengatakan otonomi daerah berperan memunculkan banyaknya areal hutan yang di dalamnya dibangun jalan dan kantor sehingga harus segera diatasi dengan Undang-Undang Tata Ruang.
Pada 2010, Kementerian Kehutanan menambah anggaran untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan dari Rp160 miliar menjadi Rp180 miliar yang digunakan untuk menambah personil Manggala Agni. Penambahan anggaran untuk Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis (SMART) tersebut disetujui Presiden SBY.
Harapannya dengan penambahan personil bisa merealisasikan penurunan jumlah titik panas mulai 2010. Kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun yang salah satunya disebabkan budaya membuka lahan dengan membakar, menurut Menteri Kehutanan, diantisipasi dengan melakukan pembinaan, pembimbingan dan melibatkan masyarakat agar perubahan perilaku dengan mengupayakan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) ada dalam masyarakat.
Namun di 2013 dan 2014 kebakaran hutan dan lahan justru kembali meluas, dan kembali melintas batas. Pemerintahan SBY memutuskan membentuk tim audit gabungan dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, BP REDD+, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk mencari tahu tingkat kepatuhan pencegahan karhutla di sejumlah daerah.
Ketua tim audit gabungan yang merupakan ahli kebakaran hutan dan lahan dari Institut Pertanian Bogor Prof Bambang Hero Saharjo sempat mengumumkan hasil audit di Provinsi Riau yang pada periode Januari hingga Maret 2014 memiliki 93,6 persen atau 12.541 titik panas Indonesia. Hasilnya, dari enam kabupaten/kota hanya Kabupaten Bengkalis satu-satunya dinilai patuh dalam aksi pencegahan dan penanggulangan karhutla.
Kabupaten Siak dinilai cukup patuh, sedangkan Kabupaten Indragiri Hilir, Dumai, Rokan Hilir dan Kepulauan Meranti dinilai kurang patuh. Sementera 17 perusahaan di mana 12 bergerak di sektor kehutanan dan lima di sektor perkebunan yang ikut diaudit diketahui tidak satupun yang meraih predikat patuh dalam upaya mencegah dan menanggulangi karhutla di sekitar konsesinya.
Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto saat itu mengatakan ingin agar implementasi audit kepatuhan pencegahan dan pengendalian karhutla di provinsi lain di Indonesia dapat dilanjutkan, namun pemerintahan segera berganti.
Presiden Joko Widodo meninjau lokasi kebakaran lahan di Kelurahan Guntung Payung, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalsel, Rabu (23/9/2015). ANTARA FOTO/Setpres/Cahyo.
Pada November 2014 di awal masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo menjawab petisi kelompok masyarakat dan pegiat lingkungan dengan melakukan blusukan asap.
Sungai Tohor di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, menjadi saksi bermulanya ikhtiar pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kebakaran hutan dan lahan yang berulang, khususnya di lahan-lahan gambut yang semakin kerap menyebabkan kabut asap yang mengganggu kesehatan masyarakat.
"Perusahaan-perusahaan yang mengkonversi gambut menjadi tanaman-tanaman monokultur tadi sudah saya sampaikan ke Menteri Kehutanan agar ditinjau kembali. Kalau memang itu justru merusak ekosistem, mengganggu ekosistem, juga menyebabkan kayak tadi misalnya di lapangan disampaikan bahwa sagu terkena penggerek gara-gara tanaman-tanaman monokultur seperti itu," tegas Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pembelajaran dari Abdul Manan, tokoh masyarakat Desa Sungai Tohor mengenai manfaat sekat kanal dari pelepah pohon sagu yang mampu membendung air di kanal-kanal yang ada sehingga mampu membuat lahan gambut di sana tetap basah dan terhindar dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi awal era manajemen air gambut dimulai.
"Inilah yang sering kita keliru memandang gambut hanya sebagai sebuah area yang tidak berguna," kata Presiden kala itu.
Presiden Jokowi hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim PBB atau Conference of Parties (COP) 21 di Prancis pada November 2015, dan menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional di 2030.
Selain itu dalam bidang tata kelola hutan dan sektor lahan, dihadapan para kepala negera dan pemerintahan, ia menyatakan komitmen menerapkan kebijakan satu peta dan menetapkan moratorium serta mereview izin pemanfaatan lahan gambut, pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari. Tidak lama berselang, Presiden menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG) yang bertugas merestorasi lebih dari dua juta hektare (ha) hutan dan lahan gambut yang terbakar di 2015.
Apa yang menjadi komitmen Kepala Negara untuk menata, menyelamatkan, melindungi hutan dan lahan gambut di tujuh provinsi prioritas (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua) kerja BRG untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di kawasan tersebut sejalan dengan Paris Agreement, mengingat gambut yang terbakar menghasilkan emisi jauh lebih besar dibanding tanah mineral.
Setelah dua tahun berproses, Presiden Jokowi menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit pada 19 September, dan itu berlaku selama tiga tahun. Pelaksanaan aturan tersebut berbarengan dengan Peraturan Presiden (PP) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Lalu Presiden juga mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada 5 Agustus. Sehingga dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut menjadi kesempatan untuk membenahi bidang tata kelola hutan dan sektor lahan, termasuk di areal gambut, yang diharapkan juga mampu memperkecil risiko kebakaran hutan dan lahan.
Seekor ular ditemukan mati di area perkebunan nanas milik warga yang terbakar akibat kebakaran lahan gambut yang meluas di Pekanbaru, Riau, Senin (7/10/2019). ANTARA FOTO/Rony Muharrman
BRG menerapkan pendekatan pembasahan, revegetasi, revitalisasi sumber mata pencaharian (rewetting, revegetation, revitalization livelihood/3R) dalam melaksanakan restorasi gambut di area bekas terbakar di 2015 seluas 2,67 juta ha. Pembuatan sekat kanal dan sumur bor menjadi bagian pembasahan lahan gambut agar tinggi muka air di lahan tersebut terjaga sehingga tidak kering dan mudah terbakar.
Dengan demikian badan non-kementerian yang ada di bawah Presiden langsung ini harus mengkoordinasikan dan memfasilitasi serta memastikan sekitar 1 juta ha ada di kawasan masyarakat dan lindunng, dan sekitar 1,6 juta ha yang ada di kawasan konsesi terestorasi dengan baik. Sehingga, tujuan Presiden untuk menyehatkan kembali gambut yang rusak karena terbakar berulang kali dan tidak kembali menjadi bara yang mudah terbakar dan menghasilkan asap benar-benar tercapai.
Persoalannya dalam pelaksanaan supervisi dan fasilitasi restorasi di kawasan lindung dan budi daya yang tidak berizin ada di BRG, namun wilayah konsesi atau yang berizin restorasi menjadi tanggung jawab pemegang izin dan diawasi oleh pemberi izin, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, atau pemerintah daerah.
Sehingga tidak mudah untuk mengetahui berapa sebenarnya lahan gambut yang telah direstorasi dari total target 2,67 juta ha tersebut.
Kepala BRG Nazir Foead mengakui memang masih ada kekurangan pelaksanaan restorasi gambut selama ini. Badan yang akan berakhir masa tugasnya pada 2020 itu belum sepenuhnya dikatakan tuntas melakukan restorasi, mengingat proses menyehatkan gambut sesungguhnya membutuhkan waktu yang panjang.
BRG baru saja menyelesaikan verifikasi untuk 15.525 infrastruktur pembasahan gambut (IPG) berupa sumur bor dan sekat kanal yang dibangun selama periode 2017-2019. Saat ini masih ada sekitar 6.000 IPG lagi yang sedang diverifikasi.
Deputi Perencanaan dan Kerja Sama BRG Budi Wardhana mengatakan selama periode tersebut BRG memfasilitasi pembangunan 6.357 sekat kanal dan 13.818 sumur bor dengan Anggran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Karena sebagian pembangunan infrastruktur pembasahan gambut tersebut dilaksanakan oleh kelompok masyarakat, bantuan pihak ketiga, dan para mitra, maka perlu dilakukan verifikasi untuk memastikan apakah spesifikasi sekat kanal maupun sumur bor sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan dan dalam kondisi berfungsi dengan baik.
Hal demikian untuk memastikan tingkat muka air di lahan gambut di lokasi yang telah diintervensi pembasahan tetap terjaga kelembapannya sehingga tidak mudah terbakar. Manajemen air menjadi bentuk pencegahan yang diupayakan mengatasi kebakaran hutan dan lahan.
Helikopter MI-8 milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan pemadaman kebakaran lahan dari udara ''water boombing'' di Ogan Ilir (OI), Sumatra Selatan, Kamis (17/8/2017). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Kebakaran hutan dan lahan bukan barang baru di Indonesia. Kondisi iklim dan musim sangat berpengaruh terhadap bencana yang menimbulkan asap yang mengganggu kesehatan masyarakat.
Pada musim kering 1997-1998, kebakaran hebat terjadi di Indonesia, tidak hanya terjadi di hutan dan lahan di area bergambut seperti di Sumatera dan Kalimantan tetapi juga di provinsi-provinsi lain di Tanah Air termasuk di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Timur. Hutan dan lahan yang meranggas, kering tanpa air, mudah sekali tersulut api.
Kondisi itu berulang pada 2013 dan 2015 saat El Nino menyapa wilayah kepulauan Indonesia, kebakaran hebat terjadi di hampir semua pulau besar di Indonesia bahkan menimbulkan persoalan asap lintas batas.
Karenanya, Presiden Joko Widodo "wanti-wanti" agar pencegahan selalu diutamakan, terlebih lagi di lahan gambut yang mudah terbakar dan sulit dipadamkan. Karenanya tidak perlu menunggu besar, dirinya meminta api sekecil apapun yang muncul harus sudah dipadamkan.
Untuk urusan pemadaman api kebakaran hutan dan lahan, dapat dikatakan tidak banyak transformasi besar dalam kurun waktu 23 tahun terakhir. Bom air dengan helikoper dan pesawat amfibi yang dikeluhkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo berbiaya sangat besar namun tidak efektif memadamkan kebakaran besar di lahan gambut masih lazim digunakan.
Karenanya Doni menegaskan langkah pencegahan menjadi pilihan paling tepat untuk menyelesaikan perosalan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Teknologi lain yang juga lazim digunakan adalah Teknoloni Modifikasi Cuaca (TMC) yang dilaksanakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan menaburkan garam atau NaCl untuk mempercepat turunnya hujan di suatu wilayah yang dianggap kering sehingga rawan terjadi kebakaran.
Namun jika di tahun-tahun sebelumnya TMC dimaksudkan untuk mempercepat turunnya hujan sehingga api padam, kini hujan buatan digunakan untuk pencegahan terjadinya kebakaran. Gambut-gambut yang sudah rusak di Sumatera dan Kalimantan yang mudah sekali tersulut api dihujani terlebih dulu sebelum memasuki puncak musim kering.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah meminta persetujuan Komisi IV DPR untuk menambah anggaran di 2020 dan 2021 untuk antisipasi kebakaran hutan dan lahan. Rencananya operasi TMC akan dilanjutkan ke Kalimantan setelah bulan-bulan sebelumnya dilakukan di Riau dan Sumatera Selatan.
Pertanyaannya, berapa lama air hujan yang turun hasil TMC akan bertahan membasahi lahan gambut rusak yang belum sempat diintervensi dengan sekat kanal?
Karena pada Rabu (1/7), Pemerintah Provinsi Riau sudah kembali meminta bantuan operasi hujan buatan pada pemerintah pusat untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di sana. "Kita melakukan usulan TMC mumpung awan-awan potensil masih ada," kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau Edwar Sanger.
Dan jika melihat data Tinggi Muka Air (TMA) dari Sipalaga milik BRG terlihat kondisi di tiga provinsi sudah kurang dari minus 0,40 meter di Riau dan Kalimantan Barat, yang artinya kondisi gambut kering dan rawan terbakar.
Helikopter MI-8MTV-1 milik BNPB melakukan pemadaman kebakaran hutan dan lahan dari udara (water boombing) saat terjadi kebakaran hutan dan lahan di Desa Sungai Rambutan, Indralaya Utara, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Kamis (14/9/2017). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi.
Pada rapat terbatas untuk Antisipasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (26/6), Presiden meminta pencegahan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi untuk mengawasi titik-titik rawan terbakar.
"Mengenai manajeman lapangan sekali lagi manajemen lapangan harus terkonsolidasi, terkoordinasi dengan baik. Area-area yang rawan 'hot spot' dan 'up date' informasi sangat penting sekali. Manfaatkan teknologi untuk meningkatkan monitoring," kata Presiden Joko Widodo kepada para menterinya.
Maka teknologi yang mampu mengawasi titik-titik rawan terbakar yang disebutkan Presiden tersebut tentu bisa diartikan dengan citra satelit dan sensor hingga CCTV di lahan gambut.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengembangkan sistem portal aplikasi SiPongi yakni sistem pemantauan karhutla yang dapat diakses melaui situr http://sipongi.menlhk.go.ig/. Satelit TERRA dan AQUA mengunakan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) memberikan gambaran lokasi yang terdapat titik panas.
Selain itu situs juga terhubung dengan satelit Suomi National Polar-Orbiting Partnership (NPP) yang mampu memonitor titik api kebakaran hutan dan lahan hingga memonitor gas rumah kaca. Sedangkan satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dapat diakses melalui ASEAN Specialised Meteorological Center (ASMC).
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga memiliki aplikasi yang dapat diunduh di ponsel pintar dan penggunanya dapat mengetahui koordinat-koordinat titik panas di wilayah Indonesia secara near-real time. Satelit-satelit yang digunakannya mulai dari AQUA MODIS, Terra, SNPP, dan NOAA20.
Sedangkan BNPB memiliki portal InaRISK di http://inarisk.bnpb.go.id/ yang mampu menggambarkan cakupan wilayah ancaman bencana, populasi terdampak, potensi kerugian fisik, potensi kerugian ekonomi hingga potensi kerusakan lingkungan. Dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga memiliki portal http://web.meteo.bmkg.go.id/id/ untuk memantau informasi terkini terkait jarak pandang hingga animasi secara berkelanjutan.
Sementara Badan Restorasi Gambut (BRG) memiliki perangkat interaktif Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut (PRIMS) yang menyediakan data-data terbaru restorasi di provinsi-provinsi prioritas restorasi gambut. Platform itu juga memungkinkan pemerintah pusat dan daerah, tim restorasi lahan gambut subnasional, aktor pelaksana restorasi, dan sektor swasta untuk mengakses informasi tentang perencanaan dan implementasi restorasi, memantau area restorasi, memantau titik panas di lahan gambut, mengidentifikasi pembukaan lahan direstorasi dan melaporkan kegiatan restorasi gambut.
Sedangkan untuk sensor pemantau TMA di lahan gambut, BRG memilik sistem pemantauan air lahan gambut atau SIPALAGA yang dapat mengawasi TMA, kelembapan hingga curah hujan di lokasi-lokasi rawan pada provinsi prioritas. Data dari sensor tersebut dapat dipantau per jam dan memberikan alarm kesiapsiagaan bagi pelaksana lapangan.
Sementara itu, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK juga mengembankan portal sistem TMA gambut atau SiMATAG-0,4m. Hasil pengolahan database dari sistem tersebut dapat diakses melalui situs http://pkgppkl.menlhk.go.id.
Teknologi-teknologi tersebut mampu mendeteksi lokasi-lokasi di lahan gambut yang rawan terbakar karena tinggi muka air sudah kurang dari 0,40 meter. Jika milik BRG ada di kawasan lindung dan budi daya masyarakat, maka milik KLHK ada di wilayah konsesi.
Jika dua teknologi sensor tersebut disatukan tentu pengawasan secara near-real time dapat dilakukan di satu lanskap ekosistem gambut, atau di Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) secara lengkap. Sayangnya teknologi-teknologi tersebut ditempatkan secara terpisah.
Foto aerial pascakebakaran hutan di kawasan Kereng Bangkirai, Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan tengah. ANTARA FOTO/Bayu Pratama
Ketika asap melingkupi beberapa daerah di Kalimantan Tengah akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2019, ada satu hal yang diingat oleh Raya Sadianor, udara yang dihirup di Desa Karuing tempat tinggalnya masih segar seperti biasa.
"Tahun kemarin itu kan Kalimantan Tengah bisa dibilang darurat kabut asap. Tapi kalau di daerah saya tidak ada kebakaran karena masyarakatnya sudah hormat dengan alam," kata Raya, seorang pengurus Kelompok Masyarakat (Pokmas) Simpul Wisata Desa Karuingdi Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
Warga Desa Karuingyang kehidupannya begitu dekat dengan Taman Nasional Sebangau memang menggantungkan hidup dari hutan, salah satunya dengan cara menebang pohon. Namun pemerintah secara tegas meminta mereka menghentikan aktivitas perambahan, karenanya mereka harus memutar otak untuk mendapatkan mata pencaharian baru.
Lahirlah Kelompok Masyarakat Simpul Wisata di 2010, setelah Desa Karuingdidorong untuk mampu ikut mengelola hutan dengan cara tidak menebang. Dengan keunikan alamnya, Karuingyang berlokasi di lahan gambut mampu menjadi destinasi ekowisata.
Menurut Raya, tidak mudah menyosialisasi rencana pembuatan ekowisata itu pada masyarakat. Tapi sudut pandang mereka perlahan berubah ketika desa yang hanya bisa diakses dengan menelusuri sungai itu merasakan manfaat dari pengelolaan wisata yang ramah terhadap alam.
Ia mengatakan kini hampir 70 persen fasilitas wisata yang berada di desa itu dikelola sendiri oleh warga. "Masyarakat sekarang menjadi garda terdepan jika terjadi kebakaran hutan karena mereka sudah merasakan manfaat lain dengan cara menjaga alam".
Cerita sukses Karuing mengelola ekowisata lalu ditularkan ke desa-desa lainnya di sekitar taman nasional. Menurut Raya, hasilnya tidak mengecewakan karena tiga desa di sekitarnya kini lebih semangat ikut mengembangkan ekowisata, dan justru saling bekerja sama ketika rombongan wisata dalam jumlah besar datang berkunjung ke sana.
Kebanyakan yang bergerak dalam mengembangkan ekowisata di sana adalah anak-anak muda desa seperti Raya. Menurut dia, dengan banyaknya anak muda bergerak, generasi yang lebih senior kemudian mulai tertarik dan merasakan manfaatnya secara langsung.
Pengembangan tersebut juga dapat terjadi karena pendampingan sejak awal dari otoritas Taman Nasional Sebangauserta lembaga non-pemerintah seperti WWF-Indonesia. Badan Restorasi Gambut (BRG) juga memberikan dukungan dengan memberi bantuan membangun guest house dan memberikan berbagai pelatihan sebagai bentuk revitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat yang menjadi program restorasi gambut.
Raya berharap dukungan terus berdatangan dari pemerintah maupun pihak-pihak lain, apalagi ketika pariwisata terpukul di saat pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia.
"Ke depan adanya wisata akan tercipta lapangan kerja baru untuk masyarakat agar mereka bisa lebih produktif di desanya, bisa mempertahankan dan mengangkat kearifan lokal tanpa harus bersentuhan langsung dengan hutan yang sifatnya merusak," ujar Raya.
Helikopter milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengambil air saat "water bombing" kebakaran hutan di kawasan Kereng Bangkirai, Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan tengah. ANTARA FOTO/Bayu Pratama
Revitalisasi mata pencaharian masyarakat juga terjadi di Desa Tanjung Sangalang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Warga desa membentuk Pokmas Sangalang Hapakatyang mempunyai misi memberdayakan masyarakat di desa gambut tersebut sambil mencegah pembukaan lahan dengan cara membakar.
Tidak dengan mengembangkan ekowisata memang, tapi membina warganya untuk menjadi petani jamur tiram. Pokmasyang awalnya hanya merupakan kelompok simpan pinjam kemudian mulai mengembangkan bisnis jamur tersebut.
Atiek yang menjadi salah seorang pengurus Pokmas Sangalang Hapakat mengaku awalnya dirinya dan rekan-rekan desanya tidak sengaja menonton televisi yang menayangkan program budi daya jamur tiram. Mereka lalu tertarik membudidayakan jamur tersebut karena bisa dipanen setiap hari.
Mereka lantas mencari petani jamur tiram untuk belajar dan membeli media tanam jamur atau baglog. Percobaan awal berbuah manis, jamur tersebut bisa dipanen setiap hari setelah dibudidayakan selama 40 hari.
Sepakat untuk mengembangkan usaha tersebut, mereka kemudian mengajukan proposal pelatihan pembuatan baglogpada 2012 dan pembibitan jamur pada 2013 ke Kecamatan KahayanTengah. Baru di 2018, BRG memberikan bantuan dalam bentuk pembangunan laboratorium beserta alat-alat pembibitan sebagai bagian program Desa Peduli Gambut.
Atiekmerasa bantuan itu sangat bermakna, karena sebelumnya tanpa alat yang memadai mereka kesulitan membuat baglogdan pembibitan. Jika awalnya mereka hanya mampu menghasilkan 200 baglog, sekarang menjadi 600 atau bahkan 1000 baglog dalam satu hari.
Kesuksesan Pokmas Sangalang Hapakatitu menjadi contoh warga desa lain. Kini sudah ada 19 rumah yang bertani jamur tiram dengan enam di antaranya juga sudah menjadi industri rumah mandiri.
Para petani jamur itu, kata Atiek, sudah ada yang mampu melakukan promosi dan menjual jamur maupun baglog, meski mereka masih membeli bibit kepada kelompok Pokmas Sangalang Hapakat. Bahkan warga desa juga sudah memproduksi hasil olahan dari jamur berupa keripik, sate, risoles dan nugget yang biasanya dibuat berdasarkan pesanan.
Akhirnya bukan hanya revitalisasi ekonomi yang terjadi. Kesuksesan budi daya jamur tiram di sana berdampak besar terhadap kondisi lingkungan desa, karena tidak ada lagi warga desa yang membakar lahan sejak komoditas jamur tiram mulai dibudidayakan.
"Adanya jamur tiram di desa kami berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat desa, karena kami di sini tanpa membuka lahan, tanpa membakar, kami kerja di rumah," kata dia yang berharap pemerintah daerah juga memberi dukungan untuk kemajuan usaha mereka.
Pokmas yang digawangi Atiekitu juga kini telah melakukan sosialisasi di beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah dan hasilnya banyak desa tertarik ikut merasakan revitalisasi ekonomi lewat jamur tiram seperti yang dirasakan di Tanjung Sangalang. Dirinya berharap kesuksesan itu akan terus berlanjut dan desanya tidak hanya dikenal akan hasil tangkapan ikan tapi juga menjadi lumbung jamur tiram.
Beberapa penduduk berjalan dekat kebakaran besar yang berkobar di semak belukar lahan setempat, di Banjar, sekitar 18 km selatan Banjarmasin, Kalsel, Rabu (21/8/2002). ANTARA FOTO/Afp/Subek.
Lahan gambut dengan tingkat keasaman yang tinggi dan PH rendah kini tidak lagi menjadi kendala bagi M Yasin (42), Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Permata Elok di Desa Pasakpiang, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat dalam mempromosikan pengelolaan lahan tanpa bakar.
Bahkan, setelah memperoleh pendampingan dari Badan Restorasi Gambut (BRG), ia dapat menekan biaya produksi berkali lipat jika dibandingkan dengan teknik konvensional dalam pengelolaan lahan gambut.
Teknik konvensional yang dimaksud adalah dengan cara memberi kapur pertanian atau dolomit agar PH di lahan gambut tersebut sesuai kebutuhan tanaman. Sebelum diberi dolomit, biasanya lahan dibakar terlebih dahulu. Belum lagi kebutuhan 4 hingga 10 ton kompos per hektare untuk merestorasi daya simpan air dan sifat butiran tanah.
"Satu karung dolomit ukuran 50 kilogram bisa Rp60 ribu, kalau satu hektare, bisa dua ton kebutuhannya," ujar M Yasin saat ditemui di Desa Pasakpiang, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Kota Pontianak, Kamis.
Namun jika menggunakan teknologi pengelolaan lahan tanpa bakar, ia hanya mengeluarkan biaya tak sampai Rp100 ribu untuk setidaknya dua hektare lahan.
"Jadi, banyak kelebihan dibanding kekurangannya," kata dia.
M Yasin belum lama beralih ke pengelolaan lahan tanpa bakar. Tepatnya sekitar 2018 saat ia diminta untuk mengikuti pelatihan yang digelar BRG di Kota Pontianak. Ia diajari cara membuat pupuk organik yang diberi nama F1 Embio.
Formula F1 Embio ini ditemukan oleh Joko Wiryanto, alumni Universitas Pasundan, Bandung Jawa Barat, yang sejak 1988 telah mengutak atik bahan untuk menghasilkan mikrob yang dapat menguraikan bahan organik di lahan gambut serta menyederhanakan "gula tanah" sehingga mudah terserap tanaman.
Bahan bakunya mudah ditemui di Pasakpiang yang tekstur tanahnya sebagian besar berupa lahan gambut itu. Menurut Yasin, dari sekian banyak komposisi bahan baku, yang harus dibeli hanya gula pasir atau tepung sagu.
Asap mengepul dari kebakaran lahan gambut di Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, Selasa (21/2/2017). ANTARA FOTO/FB Anggoro.
Bahan untuk membuat F1 Embio yakni buah nanas atau pepaya matang satu buah (parut), bekatul satu kilogram atau Vitamin B kompleks 10 butir, kepala udang kering satu kilogram (haluskan) atau terasi 10 bungkus.
Kemudian, tepung sagu atau tapioka 200 gram, kotoran ayam belum terkena matahari satu gumpal, gula pasir satu kilogram, air bersih lima liter.
Cara membuatnya, lima liter air didihkan, di wadah terpisah larutkan sagu/tapioka dalam seliter air dingin dan aduk rata. Lalu, parutan nanas, kepala udang, bekatul, dan gula dimasukkan lalu aduk.
Setelah merata, masukkan air sagu lalu aduk rata hingga mendidih kemudian apinya dimatikan. Ketika campuran tersebut sudah dingin, kotoran ayam dimasukkan, lalu wadah ditutup dan diamkan serta buat lubang kecil di tutup wadah untuk mengeluarkan gas. Setelah 18 jam, embio siap digunakan.
Untuk penggunaannya, tambahkan seliter embio dan 500 gram gula pasir ke dalam 50 liter air. Larutan sebanyak itu cukup untuk satu hektare lahan. Larutan tersebut disemprotkan setelah olah tanah untuk menggemburkan tanah atau pascapanen untuk mempercepat dekomposisi sisa akar tanaman sebelumnya.
M Yasin menuturkan, ia telah beberapa kali menerapkan penggunaan F1 Embio di lahannya. Namun hasilnya berbeda. Di lahan yang pernah ditanami dan sebelumnya menggunakan pupuk kimia, hasilnya tidak terlalu bagus.
Kini ia mencoba di lahan yang baru dibuka. Lokasinya sekitar satu kilometer dari jalan desa, menelusuri jalan tanah dengan gambut yang tebal. Ia baru membuka lahan tersebut pada akhir 2019. Luasnya sekitar setengah hektare.
Ia mengakui, tanpa membakar saat membuka lahan, ada pekerjaan tambahan yang cukup berat. Yakni menyisihkan pepohonan yang terpaksa harus ditebang serta membuang tunggul-tunggul sisa pohon. Setelah lahan lapang, lalu disemprot menggunakan racun rumput yang mudah dibeli di toko bahan pertanian. Ia membiarkan selama satu bulan supaya tanaman-tanaman kecil yang telah disemprot tadi, lapuk dan hancur.
Sambil menunggu lahan siap, ia mulai menyemai bibit jahe. Yasin memilih jahe karena hasilnya lumayan banyak namun lahan yang diperlukan tidak terlalu luas. Setelah satu bulan, dibuat bedengan yang ukurannya disesuaikan dengan luas lahan. Di lahan itu, ia membuat 8 bedengan dengan ukuran masing-masing lebar tiga meter, panjang 45 meter.
Kemudian, ia menyemprot bedengan dengan F1 Embio. Untuk areal seluas itu, ia butuh sekitar satu tangki ukuran 15 liter. Waktu yang paling tepat untuk menyemprot adalah sore hari supaya larutan tidak menguap terkena panas matahari.
Bibit jahe dipindah setelah dua minggu disemai. Sekitar usia satu bulan, biasanya jahe telah tumbuh tunas dan perlu disemprot kembali setiap 15 hari hingga panen. Usia panen biasanya tujuh bulan sampai 10 bulan, tergantung kebutuhan pembeli.
Ia hanya perlu mengeluarkan biaya tambahan jika tanaman terserang hama. Belum lama ini, ia panen jahe di areal tersebut sebanyak 500 kilogram. Dengan modal di kisaran Rp2 juta, ia mendapat penghasilan kotor hampir Rp10 juta.
Ia berencana untuk memperluas areal tanam dengan melibatkan anggota gapoktan sehingga setiap bulan dapat panen jahe.
"Pokoknya, sekarang tidak lagi bakar lahan," ujar M Yasin yakin.
Ketua Kelompok Tani Gambut Harapan Piang, Mansyur, mengaku dulu juga sering menggunakan cara bakar saat membuka lahan. Namun sejak mengenal program pengelolaan lahan tanpa bakar, ia memilih cara tersebut.
Ada beberapa pertimbangan lain sehingga ia tidak lagi membakar. Seperti kekhawatiran kalau membakar lahan bisa merembet ke tanaman lain milik tetangganya.
Dalam beberapa kasus, ia menceritakan ada tetangganya yang harus mengganti rugi hingga jutaan rupiah. Uang itu untuk membayar tanaman yang ludes terbakar.
"Ada yang harus membayar Rp5 juta sampai Rp6 juta, karena tanaman tetangganya ikut terbakar, jadi harus ganti rugi," ujar Mansyur.
Ketua RT 04/RW 01 Dusun Sungai Piang, Desa Pasakpiang, Riham Husaini juga menceritakan hal serupa. Tetangganya ada yang membakar lahan di belakang rumah, arealnya tidak luas. Namun api menyebar hingga menghanguskan lahan di sekitarnya. Mau tidak mau, tetangganya itu harus mengganti rugi.
"Sering kejadian seperti ini," kata Riham Husaini.
M Yasin mengakui ada beberapa keuntungan lain dengan pengelolaan lahan tanpa membakar. Selain tidak melanggar aturan, juga petani menjadi lebih sehat karena tidak menghirup asap hasil kebakaran. "Kalau sekarang, kalau tidak hujan, langsung ditelpon sama Bhabinkamtibmas, supaya waspada agar tidak ada kebakaran lahan," kata M Yasin.
Yasin pun kini berhasil mengajak anggota Gapoktan Permata Elok yang menanam padi agar tidak lagi menggunakan cara bakar untuk membersihkan lahan setelah panen. Luasnya sekitar 30 hektare. "Cara yang murah, sehat, dan tidak langgar aturan, dengan tidak membakar lahan," kata dia.
Api Membakar hutan dan lahan di kawasan Mentangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan tengah. ANTARA FOTO/Bayu Pratama
Gulungan selang berdiameter dua inci dengan berat puluhan kilogram bergelayut di pundak Subandi. Pria menginjak paruh abad itu tergopoh-gopoh mengejar kepala api yang membara di lahan gambut, awal Juni 2020 lalu.
Beruntung, api belum begitu besar saat dia dan belasan masyarakat lainnya tiba di lokasi, Desa Karya Indah, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau. Jika tidak tertangani dengan cepat, dengan liar api akan membakar tanah organik bak busa yang mulai mengering itu.
Dampaknya, jerebu atau asap kemungkinan menyeberang ke Kota Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau. Secara geografis, wilayah itu hanya selemparan batu, sangat dekat dan berbatasan langsung dengan kota berpenduduk satu juta jiwa tersebut.
Subandi, bapak tiga anak berusia 45 tahun itu merupakan warga Tapung, Kampar. Sejak 2017, dia membentuk kelompok masyarakat peduli api (MPA).
Alasannya sederhana. Pria yang kesehariannya bertani palawija itu ingin kampungnya terbebas dari julukan "eksportir" asap ke ibu kota provinsi.
Kebakaran hebat yang melanda kampungnya hingga menghanguskan puluhan hektare lahan gambut pada 2015 silam masih membekas jelas dalam pikirannya. Ia juga masih mengingat bagaimana ketiga buah hatinya terbatuk-batuk hingga harus bernafas tersengal-sengal karena asap pekat yang membelenggu desanya.
"2015 itu parah sekali. Saya kasihan dengan anak-anak. Bukan hanya anak saya, anak seluruh kampung kami," katanya.
Pada tahun itu, Riau memang babak belur dihajar kebakaran hutan dan lahan. Tak hanya di Kampar, namun juga pesisir Riau.
Banyak sekolah tutup, Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru lumpuh, rumah sakit penuh. Tak kurang dari sebulan asap pekat melanda, dan kondisi itu menghiasi halaman depan media nasional dan menjadi gunjingan negera tetangga.
Di tahun itulah cikal bakal MPA Karya Indah, Kecamatan Tapung berdiri. Saat itu, Subandi dan masyarakat di kampung itu dengan sukarela membantu ratusan prajurit TNI, Polri, BPBD, Manggala Agni memadamkan titik-titik api mulai dari membantu mengangkat selang, membuat parit sumber air hingga memotong api dengan cangkul dan parang.
Subandi dan masyarakat rela meninggalkan keluarga, mengorbankan dapur agar kebakaran segera dipadamkan. Tak jarang saat itu mereka lebih memilih menginap beratapkan langit dibanding hangatnya rumah.
Kondisi itu masih terus terjadi hingga 2016. Meski tak sebesar di tahun 2015, mereka masih kerap harus membantu Satgas menanggulangi kebakaran hutan dan lahan dengan peralatan seadanya.
Hingga akhirnya di tahun 2017, pemerintah setempat mengukuhkan mereka sebagai kelompok MPA Karya Indah. Kehadiran mereka diharapkan tak hanya sekedar melakukan penanggulangan, namun juga pencegahan.
Sejumlah pekerja mengangkat selang seusai memadamkan kebakaran lahan di Desa Pulo Geronggang, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Jumat (11/9/2015). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Subandi yang kini menjadi Ketua MPA Karya Indah dan cukup berhasil menekan karhutla di kampungnya, meski belum sepenuhnya bebas dari bencana tahunan itu.
Ia mengakui hingga pertengahan tahun ini di wilayahnya masih ada yang terbakar, meski luasannya tidak separah tahun sebelumnya. Keberadaan MPA jelas menjadi kunci terdepan pencegahan sekaligus penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di sana, kecepatan mereka juga menentukan pengendalian api mengingat mereka garda terdepan di masyarakat.
Dia mengatakan kebakaran biasanya terjadi di lahan kosong yang pemiliknya tidak tinggal di kampung, dan itu jamak terjadi di Riau. Para tuan tanah berkantong tebal biasa membeli lahan dan meninggalkannya.
Selain itu, ia juga mengakui jika ada segelintir masyarakat yang masih saja melakukan praktik perun atau membakar sampah sisa pembersihan lahan. Saat musim kering seperti saat ini, perun berarti "undangan makan malam lezat" untuk bencana kebakaran hutan dan lahan datang.
"Untuk kondisi seperti saat ini kami semakin meningkatkan kegiatan patroli dan sosialisasi bersama teman-teman Satgas," ujar dia.
Kisah Subandi tentu tak seindah cerita Cinderella, karena banyak lika-liku yang harus dilalui termasuk cibiran dari warga lainnya hingga ditinggalkan para relawan yang menjadi bumbu perjuangannya. Namun, dia tak pernah berhenti, karena baginya berhenti adalah ketika nafas tak lagi memenuhi rongga paru-paru.
Dari awalnya menggunakan cangkul, parang, pelepah pisang dan ember sampai kini Subandi dan rekan-rekan MPA Karya Indah sudah menggunakan berbagai mesin, sepeda motor dan peralatan penunjang lainnya untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan yang diperoleh dari pemerintah.
Subandi masih bermimpi agar MPA Karya Indah yang dibangun bersama 15 anggota lainnya ke depan tidak hanya berkutat dengan urusan kebakaran hutan dan lahan saja. Mereka berharap juga dapat mandiri dari dari segi ekonomi.
Karenanya mereka berniat menggarap lahan kosong milik sesama anggota MPA untuk ditanami nanas, buah yang saat ini tengah naik daun di desa-desa gambut di Kampar maupun di Riau. Menurut Subandi, apa yang mereka upayakan, memadamkan api maupun memajukan ekonomi dengan bercocok tanam nanas untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, sama-sama menjaga wajah Indonesia lebih tampan di saat musim kering tiba.
"Saya ingin MPA kami mandiri secara ekonomi. Sebagian besar relawan kami hanyalah pekerja kasar yang ingin berbuat sesuatu untuk kampung. Ekonomi pas-pasan, dan kalau ada Karhutla itu sangat sulit," ujar Subandi.
Wakil Komandan Satgas Karhutla Riau Edwar Sanger mengakui jika keberadaan MPA di wilayah itu cukup membantu pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Pencegahan, kata dia, adalah kunci dalam melawan bencana tersebut, dan MPG turut menjadi garda terdepan yang mampu mengabarkan dengan cepat keberadaan titik api sebelum akhirnya meluas.
Beberapa penduduk berjalan dekat kebakaran besar yang berkobar di semak belukar lahan setempat, di Banjar, sekitar 18 km selatan Banjarmasin, Kalsel, Rabu (21/8/2002). ANTARA FOTO/Afp/Subek.
Sosoknya sangat sederhana. Pria separuh baya bernama Kholil itu setiap tahun hampir selalu terlibat dalam upaya pemadaman kebakaran hutan di lereng Gunung Lawu yang ada di perbatasan Provinsi Jawa Timur dengan Jawa Tengah.
Musim kemarau menjadi masa yang sangat rawan bagi hutan di lereng Gunung Lawu dari ancaman kebakaran. Cuaca yang panas dan kering, membuat lahan ribuan hektare di sana mudah terbakar.
“Material pinus dan cemara yang mengendap serta menumpuk selama bertahun-tahun dan kering bisa sangat mudah terbakar jika ada percikan api," ujar Kholil di Magetan, Minggu.
Bersama timnya, pria yang menjabat sebagai Kepala Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Sarangan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Lawu dan Sekitarnya (KPH Lawu Ds) tersebut bertanggung jawab menjaga lahan hutan seluas 1.800 hektare yang ada di lereng Gunung Lawu bagian selatan.
“Dari luas lahan 1.800 hektare tersebut, sebanyak 1.400 hektare di antaranya berupa hutan lindung dengan jenis tanaman rimba campur dan 400 hektare lainnya berupa hutan produksi dengan jenis tanaman pinus," kata pria asal Nganjuk, Jawa Timur itu.
Bergabung di institusi Perum Perhutani sejak tahun 1991, Kholil memiliki dedikasi yang tinggi mempertahankan hutan di Gunung Lawu tetap asri, lestari, dan terhindar dari kebakaran.
Pada setiap upaya pemadaman ia bersama tim dan relawan bukan hanya dihadapkan dengan panasnya api tetapi juga ancaman lain yang tak mereka duga. Salah sedikit saja, nyawa menjadi taruhannya.
“Dikejar api dan terjebak api sering terjadi dalam setiap upaya pemadaman. Yang terpenting jangan panik, harus tahu arah angin, dan hafal medan," kata dia.
Selain itu, ia dan tim juga dihadapkan dengan kendala kondisi lahan terbakar yang curam, berada di tebing, dan minim akses jalan. Butuh stamina yang kuat dan tekad untuk mencapai titik api dan memadamkannya sebelum mmbesar.
“Kondisi tersebut sangat menyulitkan petugas dalam upaya memadamkan api. Sisi lain, kami juga kesulitan air, karena sulitnya medan untuk membawa air dalam jumlah banyak," ungkapnya.
Terkadang, pihaknya juga kesulitan melakukan pemadaman langsung ke titik api karena api dengan cepat membesar akibat tiupan angin yang kencang dan kondisi semak yang kering.
“Kalau siang, api dan angin bersatu, sehingga dengan cepat membesar. Kita antisipasinya memadamkan saat malam. Itupun kalau angin tidak terlalu kencang," katanya.
Untuk itu, pihaknya bersama tim, anggota TNI, Polri, dan relawan membuat ilaran agar api tidak melewati batas ilaran tersebut dan diharapkan dapat padam dengan sendirinya.
Tidak hanya membuat ilaran, timnya juga bersiaga di lokasi untuk mengawasi gerak api agar tidak melewati ilaran. Dengan batang pohon, petugas memadamkan api yang merambat melewati ilaran.
“Kekompakan tim sangat dibutuhkan. Koordinasi tim, baik saat tindakan pemadaman maupun patroli juga diutamakan. Capai pasti, namun keinginan untuk menjaga ekosistem Lawu lebih kuat," kata Kholil.
Petugas gabungan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pekanbaru, Kodim 0301 Pekanbaru dan Masyarakat Peduli Api (MPA) berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut di Pekanbaru, Riau, Sabtu (7/9/2019). ANTARA FOTO/Rony Muharrman.
Setiap memasuki musim kemarau KPH Lawu Ds mewaspadai timbulnya kebakaran hutan yang rawan terjadi di lereng Gunung Lawu. Untuk itu, pihaknya telah melakukan upaya, baik secara eksternal maupun internal guna mencegah terjadinya kebakaran hutan di wilayah lereng gunung tersebut.
“Kami telah mengirimkan surat imbauan dan sosialisasi kepada kepala desa dan para pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di wilayah BKPH Lawu Selatan untuk diteruskan ke anggotanya dan warga di tepian hutan," ujar Kholil.
Dengan surat tersebut, pihaknya meminta anggota LMDH ataupun warga yang beraktivitas di dalam kawasan hutan untuk tidak melakukan pembakaran atau membuat perapian sekecil apapun yang dapat menyebabkan kebakaran hutan.
Pihaknya juga mengimbau anggota LMDH untuk membentuk satuan tugas pemadam kebakaran mandiri sehingga sewatu-waktu jika terjadi kebakaran hutan bisa segera digerakkan dan cepat teratasi.
“Selain itu, juga meningkatkan patroli di wilayah pangkuan masing-masing dalam rangka mendeteksi dini dan upaya pencegahan kebakaran hutan," kata mantan personel polisi hutan tersebut.
KPH Lawu Ds juga memasang sejumlah baliho di dekat pos pendakian Cemorosewu yang berisikan larangan bagi para pendaki untuk membuat perapian atau api unggun yang dapat memicu kebakaran hutan.
Kholil menambahkan timnya juga membuat ilaran dan sekatan di petak perbatasan Provinsi Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Sehingga, jika diketahui ada titik api, dapat segera dipadamkan agar tidak merambat ke daerah atau petak hutan lainnya.
Memasuki musim kemarau tahun 2020, pihaknya berharap agar kebakaran hutan di wilayah Gunung Lawu dan KPH Lawu Ds lainnya pada tahun ini dapat dicegah.
Data setempat mencatat, kebakaran hutan di lereng Gunung Lawu terjadi setiap tahun selama lima tahun terakhir. Namun beruntung tidak sampai meluas hingga ratusan hektare.
“Jika kebakaran hutan sedang membesar. Kami memutuskan untuk menutup jalur pendakian. Hal itu guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan demi keselamatan ara pendaki," kata Kholil.
Penyebab kebakaran di hutan Gunung Lawu, menurut dia, ada faktor alam maupun kelalaian manusia.
Kebakaran hutan di Gunung Lawu terbesar terjadi pada 2015, di mana bencana di musim kemarau tersebut menewaskan sebanyak delapan pendaki yang terjebak api saat melakukan pendakian.
Petugas Dinas Kehutanan bersama Masyarakat Peduli Api (MPA) berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut di Desa Sungai Batang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (3/9/2019). ANTARA FOTO/Bayu Pratama
Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) merupakan salah satu daerah tujuan wisata unggulan yang ada di wilayah Jawa Timur. Pesona Gunung Bromo bagi para pelancong sudah tidak lagi diragukan.
Saat kemarau tiba, pengunjung akan merasakan terik mentari yang terasa menyengat kulit, meski sekali waktu hilang diterpa udara sejuk khas dataran tinggi di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Datangnya musim kemarau, menyimpan potensi ancaman kebakaran kawasan padang rumput dan hutan yang ada di wilayah sekitar Gunung Bromo. Namun biasanya pemicu kebakaran di area tersebut bukan disebabkan cuaca panas yang mampu memunculkan titik api.
Kepala Resort Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Laut Pasir Bromo Subur Hari Handoyo mengatakan berdasarkan pengalamannya selama puluhan tahun menjaga kawasan Laut Pasir Bromo, kebakaran muncul dikarenakan adanya praktik pembakaran lahan.
“Vegetasi di kawasan Laut Pasir Bromo seluas 5.250 hektare, pada saat musim kemarau tergolong mudah terbakar. Namun, kebakaran muncul dari adanya praktik pembakaran lahan," kata Subur, yang sudah bertugas di wilayah Laut Pasir Bromo sejak 1986.
Dengan kondisi yang ideal, kebakaran yang disulut oleh satu atau sekelompok orang tak bertanggunjawab tersebut, bisa berubah menjadi kebakaran besar dan menghanguskan area kurang lebih seluas 60 hektare, seperti yang terjadi pada 2018.
Tumbuh-tumbuhan yang kering saat kemarau, ditambah hembusan angin yang cukup kencang, menyebabkan api cepat menyebar dan bahkan bisa mencapai wilayah perbukitan yang ada di sekitar Laut Pasir Bromo.
Pria kelahiran Probolinggo, 27 Mei 1964 itu mengingat, pada 2007 dirinya menangkap dua orang yang dengan sengaja membakar lahan di area Laut Pasir Bromo. Mereka mengaku membakar lahan agar rumput yang tumbuh di kemudian hari lebih baik daripada yang ada saat itu.
Menurut dia, masyarakat Tengger yang sehari-hari mencari rumput untuk pakan ternak paham jika kualitas rumput yang tumbuh pascaterbakar akan menjadi lebih baik dan disukai ternaknya.
“Sesungguhnya itu yang mereka harapkan, bukan semata-mata membakar, tapi mengharapkan semaian rumput yang bagus," terang pria yang hobi mengoleksi miniatur mobil off road tersebut.
Dengan keseharian Subur yang dijalani secara sederhana, permasalahan kebakaran hutan dan lahan di kawasan Laut Pasir Bromo itu juga perlu diantisipasi dengan upaya dan langkah yang sederhana pula.
Subur memahami, komunikasi antara pengelola kawasan taman nasional dengan masyarakat sekitarnya sangat penting. Dialog dengan mereka untuk memberikan pemahaman bahwa membakar lahan di kawasan konservasi tersebut melanggar hukum juga membahayakan bagi semua mahluk yang ada di sana.
Biasanya, menjelang memasuki musim kemarau, petugas akan mengumpulkan warga, dan tanpa bosan akan terus mengingatkan pentingnya menjaga kawasan taman nasional tersebut dan agar tidak ada yang melakukan pembakaran lahan.
Dua orang petugas BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Sumsel berusaha memadamkan api yang membakar lahan memakai alat seadanya di Jakabaring, Palembang, Sumsel. Selasa (11/8/2015). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Subur menambahkan, hasil dialog antara pengelola kawasan dengan masyarakat sekitar juga telah berhasil membentuk komunitas Masyarakat Peduli Api (MPA) dan Masyarakat Mitra Polhut (MMP), yang bertujuan untuk menghentikan kebakaran akibat pembakaran lahan.
“Peran masyarakat sangat penting, jika kita tidak ada masyarakat, kita tidak bisa apa-apa. Kita harus kerja sama dengan masyarakat setempat, berdampingan dengan kami," kata Subur.
Selama ini, kebakaran selalu terjadi di tempat yang sama dengan kejadian sebelumnya. Biasanya lokasi-lokasi tersebut bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor, setidaknya hanya butuh waktu 30 menit hingga 1,5 jam saja jika memang api menyebar hingga ke perbukitan.
Jika kebakaran lahan terjadi di kawasan Laut Pasir Bromo, petugas dan masyarakat bahu-membahu untuk memadamkan api tersebut. Asap, dan teriknya matahari dan dampak kebakaran lahan menjadi tantangan tersendiri dalam upaya memadamkan api, ujar Subur.
Bahkan, personel yang dikerahkan untuk memadamkan api tersebut harus membekali diri dengan oksigen portabel. Asap pekat yang muncul dari kebakaran bisa membahayakan keselamatan jiwa tim pemadam kebakaran.
Risiko yang dihadapi Subur bersama rekan-rekannya pada saat memadamkan api di wilayah Laut Pasir Bromo bukan terbilang rendah. Asap yang muncul dari sisa pembakaran pada saat terhirup bisa langsung berdampak serius bagi para petugas.
Meskipun demikian, Subur bersama seluruh pemangku kepentingan yang lain tidak pernah mundur dari tanggung jawab yang diembannya selama bertahun-tahun. Bahkan dirinya mengaku pernah menjadi saksi kebakaran besar di kawasan Laut Pasir Bromo pada 1997 silam.
“Kalau kita bicara risiko, semua hal ada risikonya. Tapi, ini tugas kami selaku rimbawan," ujar Subur.
Ia bersyukur selama bertugas memadamkan api belum pernah ada kejadian yang berakibat fatal terhadap dirinya maupun personel lain. Sebaliknya, ada cerita-cerita lucu yang diingat, dan menjadi penyemangat persaudaraan pada saat tim pemadam menghadapi si jago merah.
Sembari tertawa kecil, Subur mengatakan bahwa dirinya pernah meminum air yang seharusnya dipergunakan untuk memadamkan api, lantaran lupa tidak membawa bekal air minum. Ia mengaku tidak pernah mengalami masalah kesehatan akibat meminum air tersebut.
“Saat melakukan pemadaman api, rasa haus sungguh luar biasa. Terkadang, karena terburu-buru, kami lupa membawa air minum. Air untuk memadamkan api itu yang kami minum," ujar ayah dari dua orang anak itu, diselingi tawa kecil.
Meskipun kebakaran yang terjadi di kawasan Laut Pasir Bromo selalu bisa teratasi, Subur sangat mengharapkan tidak ada lagi kejadian kebakaran yang disebabkan adanya unsur kesengajaan. Bukan hanya manusia yang dirugikan, namun flora dan fauna yang ada juga terancam mati.
Tanggung jawab untuk menjaga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru bukan hanya terletak di pundak Subur, bersama jajarannya, dan pemangku kepentingan lainnya. Akan tetapi, seluruh masyarakat Indonesia harus bisa menjaga kawasan yang menjadi daya tarik dunia itu.
“Kebakaran akan merugikan semua, bukan hanya manusia, tapi flora, fauna, dan keberagaman yang ada di Bromo. Ini " kata Subur.
Warga berupaya memadamkan kebakaran lahan gambut di desa Pulau Semambu, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Selasa (6/8/2019). ANTARA FOTO/Ahmad Rizki Prabu.
Kawasan Taman Hutan Raya Raden Soerjo atau yang biasa dikenal sebagai Tahura Raden Soerjo merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang terletak pada gugusan pegunungan Arjuno, Welirang dan Anjasmoro di Jawa Timur.
Wilayah konservasi tersebut, secara administratif berada di enam wilayah, yakni Kabupaten Malang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Kediri, dan Kota Batu.
Kawasan Tahura Raden Soerjo, ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Dunia oleh The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada 2015. Sehingga, ekosistem yang ada di kawasan tersebut, sudah seharusnya dijaga dan dipelihara.
Dengan luas kawasan mencapai 27.876 hektare, hutan konservasi itu merupakan salah satu ekosistem penting yang ada di Provinsi Jawa Timur. Seperti hutan-hutan lain yang ada di Indonesia, kawasan Tahura Raden Soerjo, juga tidak luput dari ancaman kebakaran hutan.
Masih teringat betul di benak Ahmad Wahyudi, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura Raden Soerjo, kebakaran besar yang melanda gugusan pegunungan Arjuno, Welirang, dan Anjasmoro pada 2019 silam secara bersamaan.
Belum lama bertugas memimpin UPT Tahura Raden Soerjo pada awal 2019, Wahyudi mendapatkan pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan selama hidupnya. Kebakaran hebat terjadi di cagar biosfer dunia itu, dengan kurun waktu selama tiga bulan.
Rentetan kejadian kebakaran di kawasan Tahura Raden Soerjo, terjadi sejak akhir Juli hingga Oktober 2019, dan merusak kurang lebih 3.633,13 hektare area hutan. Rentetan kebakaran itu, merupakan yang terparah dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Berdasarkan data UPT Tahura Raden Soerjo, pada 2014, kebakaran hebat juga melanda kawasan tersebut dan menghanguskan 3.360,5 hektare area hutan konservasi itu. Sementara mulai 2015-2018, secara keseluruhan area yang terbakar mencapai 1.927 hektare.
Meskipun Wahyudi merupakan pucuk pimpinan UPT Tahura Raden Soerjo, pada saat terjadi kebakaran yang cukup besar, ia tidak segan untuk terjun langsung dan membantu proses pemadaman api. Itu dilakukan untuk memberikan semangat kepada rekan-rekannya.
Berbekal peralatan sederhana, tim pemadam api mulai menapakkan kaki untuk mencapai titik kebakaran. Untuk memadamkan api di kawasan Tahura Raden Soerjo, bukan hal yang mudah. Tim pemadam, harus berjalan kaki antara 5-6 jam untuk menuju titik api.
Dengan kondisi yang cukup lelah setelah melakukan pendakian panjang, pada saat mencapai titik api, tim disambut dengan situasi yang membahayakan sekaligus mencengangkan. Kobaran api melalap ekosistem Tahura Raden Soerjo tanpa ampun, ada di depan mata.
“Ketika kami naik, melihat api begitu tinggi, dan terjadi di semua tempat, kami sudah tidak berdaya. Kami rasanya ingin menangis, itu bertaruh nyawa, dan tidak akan terlupakan,” kata Wahyudi.
Pada saat melakukan upaya pemadaman api, tim gabungan dari Tahura Raden Soerjo, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), TNI, Polri, dan para relawan harus membawa beban minimal 30 kilogram untuk perbekalan selama tiga hari.
Warga berupaya memadamkan kebakaran lahan gambut di desa Pulau Semambu, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Selasa (6/8/2019). ANTARA FOTO/Ahmad Rizki Prabu.
Beban minimal seberat 30 kilogram tersebut, harus terus dibawa pada saat melakukan operasi pemadaman api. Karena, perbekalan tidak bisa ditinggalkan seperti pada saat melakukan pendakian pada umumnya.
Wahyudi bercerita, perbekalan yang dibawa oleh tim pemadam kebakaran di kawasan Tahura Raden Soerjo itu, antara lain air minum, makanan awetan atau ransum, yang diperoleh dari bantuan BPBD setempat.
“Kemudian kita tambah dengan mi instan, roti, dan minuman. Itu hanya berat, bukan sedih,” ujar ayah dari tiga orang anak itu, sembari tertawa.
Dalam upaya melakukan pemadaman api di Tahura Raden Soerjo, pria yang lahir di Padang Panjang, 9 Mei 1967 itu menyiapkan kurang lebih 96 personel yang dibagi menjadi beberapa tim. Personel itu, akan diperkuat dengan bantuan dari instansi terkait lainnya.
Wahyudi mengakui, jika hanya mengandalkan tim yang ada di internal Tahura Raden Soerjo untuk memadamkan kebakaran besar, tidak akan mampu. Tim akan diterjunkan secara bertahap untuk memadamkan api.
“Jika sudah sampai empat lapis tim yang dikirim, kekuatan kami sudah habis. Yang pertama berangkat belum recovery untuk kembali naik,” ujar Wahyudi.
Sebagian orang akan beranggapan bahwa kebakaran yang terjadi di kawasan hutan khususnya pada saat kemarau panjang, disebabkan panas tinggi yang memunculkan titik api, dan kemudian menjadi kebakaran besar. Namun, apa yang terjadi di Tahura Raden Soerjo, bukan seperti itu.
“Faktor panas terik kemudian terbakar, saya tidak yakin, walaupun teori itu ada. Untuk di Tahura, saya tidak terlalu yakin. Karena kami sempat uji coba membakar sendiri itu tidak menyala,” kata lulusan Institut Pertanian Bogor itu.
Menurut Wahyudi, kebakaran berulang yang terjadi tiap tahun, diakibatkan ulah dari segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Perburuan satwa ilegal di kawasan hutan, merupakan permasalahan serius yang menjadi salah satu pemicu kebakaran hebat pada 2019.
Kebakaran kawasan hutan konservasi tersebut, ditengarai disengaja oleh pelaku perburuan satwa, untuk mengelabui petugas. Pada Oktober 2019, petugas menemukan bukti berupa bangkai rusa yang sudah dikuliti, dan sisa-sisa pembakaran yang disengaja.
Ada beberapa alasan mengapa para pemburu tersebut dengan sengaja membakar hutan. Pertama, pelaku sengaja membakar area hutan untuk mengelabui petugas, guna menutupi kegiatan perburuan ilegal mereka.
Kemudian, pembakaran dilakukan untuk peremajaan pakan hewan liar yang ada di kawasan Tahura Raden Soerjo. Dengan area yang baru saja terbakar, hewan-hewan akan mencari tanaman muda di area terbuka.
“Pembakaran juga dilakukan untuk mencemooh petugas. Mereka marah kepada petugas karena dicegah untuk masuk hutan dengan membawa senapan angin. Saya juga pernah menemukan selongsong peluru di atas,” kata Wahyudi.
Dalam upaya mengurangi risiko kebakaran, Tahura Raden Soerjo terus melakukan upaya sosialisasi pentingnya menjaga kawasan hutan kepada masyarakat sekitar. Selain itu, juga mengintensifkan komunikasi dengan masyarakat yang memiliki keterkaitan tinggi dengan kawasan hutan.
Masyarakat sekitar kawasan konservasi, diajak untuk bersama-sama menjaga Tahura Raden Soerjo. Mereka bersama tim akan melakukan patroli pengawasan untuk mengidentifikasi apakah ada kegiatan perburuan satwa ilegal, atau kegiatan lain yang merugikan ekosistem.
Peranan masyarakat sangat penting dalam upaya mencegah kebakaran hutan yang terjadi dari tahun ke tahun. Upaya pemulihan ekosistem yang sudah dilakukan selama puluhan tahun, akan hancur dalam sekejap mata akibat kebakaran hutan.
Keberadaan gunung dan kawasan konservasi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia. Untuk membenahi suatu kawasan konservasi, tidak akan selesai dengan seremonial penanaman pohon semata.
Namun, bagaimana menjaga keseluruhan ekosistem yang ada mulai dari cacing yang ada dalam tanah, hingga beragam jenis flora maupun fauna yang hidup di kawasan tersebut.
Keseluruhan ekosistem tersebut akan menciptakan keseimbangan alam, yang berguna bagi kepentingan umat manusia.
“Yang harus kita wariskan itu adalah mata air, yang bersumber dari gunung, bukan air mata,” kata penggemar bacaan bernuansa politik itu.