Rombongan anak sekolah naik kereta
Ketinggalan kereta satu anak menangis
Kalau dengar tentang Jakarta
Ceritanya nggak pernah habis-habis

Tujuh Pasar pertama, nadi perekonomian Batavia hingga Jabodetabek

Kota Jakarta memainkan peranan penting bagi Indonesia terutama dalam bidang perekonomian. Ada tujuh pasar yang turut memberikan pengaruh tersebut.

Baca selengkapnya

Tujuh Pasar pertama, nadi perekonomian Batavia hingga Jabodetabek

Tujuh Pasar pertama, nadi perekonomian Batavia hingga Jabodetabek

Kota Jakarta memainkan peranan penting bagi Indonesia terutama dalam bidang perekonomian. Ada tujuh pasar yang turut memberikan pengaruh tersebut.

Ibarat tubuh, Jakarta bisa disebut sebagai jantungnya ekonomi Indonesia, di mana hampir seluruh perusahaan baik dalam atau luar negeri memiliki pusat operasional di Jakarta.

Selain itu, tingkat konsumsi di Jakarta merupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia yang dibuktikan dengan ada lebih dari 150 pasar. Hal ini membuat posisinya sangat strategis dalam perekonomian Indonesia, bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut bahwa Jakarta memiliki kontribusi sebanyak 17 persen pada perekonomian nasional.

Pentingnya Jakarta, tidak terjadi saat ini saja, namun sudah dimulai jauh sebelum kota ini bernama Jakarta, mengingat kawasan ini sejak era kerajaan di tatar Sunda sampai masa kedatangan para pendatang Eropa, merupakan bandar yang ramai oleh aktivitas perekonomian.

Akademisi Susan Blackburn dalam bukunya Jakarta: A History yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Jakarta Sejarah 400 Tahun, menulis bahwa awal mula Jakarta sebagai kota pelabuhan dapat ditelusuri hingga abad ke-12 atau lebih lama, di mana di kawasan ini berdiri kota bernama Sunda Kalapa yang merupakan pelabuhan kerajaan Padjajaran yang bercorak Hindu-Budha.

Setelah Melaka di Pantai Barat Malaya ditaklukan Portugis pada 1511, nilai Sunda Kalapa naik karena meningkatnya kedatangan pedagang Muslim yang memboikot Melaka.

Namun, pada 1527 pelabuhan ini jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Banten di bawah komando Fatahillah dan mengganti nama pelabuhan ini menjadi Jayakarta (kemenangan dan kejayaan) dengan status bawahan Kesultanan Banten.

Meski tidak sebesar Sunda Kalapa, Kota Jayakarta memainkan peranan penting sebagai kota perbekalan, tempat di mana kapal-kapal berlabuh untuk mendapatkan air bersih, kayu untuk perbaikan, dan arak yang diproduksi orang China yang menetap di sana.

Kota ini dipimpin seorang yang bergelar Pangeran Jayakarta dengan otonomi yang besar yang akhirnya menjadi salah satu penyebab jatuhnya kota ini ke tangan Belanda.

Dengan reputasinya dan posisinya yang dekat dengan Selat Malaka dan Selat Sunda, Belanda melalui kongsi dagangnya VOC, mengincar kota ini untuk dijadikan markas besar untuk membangun dan memperbaiki kapal, pangkalan beristirahat dan mengisi perbekalan, tempat menyimpan komoditas, serta pusat administrasi dan militer.

Akhirnya setelah pertikaian dan persaingan rumit antara Jawa (Mataram), Banten, Inggris (EIC), Belanda (VOC) dan Pangeran Jayakarta, pada 30 Mei 1619 Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen membumihanguskan Jayakarta yang berada di sisi Barat sungai Ciliwung dan mendirikan Batavia untuk selanjutnya menjadi pusat kekuasaan VOC di nusantara.

Setelah kedatangan Jepang dan kemerdekaan Indonesia didapatkan, Batavia pun turut berganti nama menjadi Jakarta.

Meski berbagai penguasa silih berganti mengisi perjalanannya, perdagangan di kota Jakarta tidak pernah sepi, bahkan semakin meningkat dan berkembang, dari awalnya hanya terdapat pelabuhan sebagai lokasi bersandar kapal sekaligus transaksi jual beli, hingga berkembang lebih luas ke daerah pedalaman dengan berdirinya berbagai pasar sebagai lokasi perputaran ekonomi bahkan sampai ratusan yang tersebar di seluruh wilayahnya.

Jika dari sejarahnya, tempat perdagangan di Jakarta diduga telah ada sejak wilayah ini dikenal sebagai Kota Sunda Kalapa, meski lokasinya bersamaan dengan pelabuhan sebagai jantung kehidupan kota ini, ataupun dekat dengan pusat pemerintahan.

Ketika itu, sistem jual beli juga tidak seperti yang dikenal saat ini yakni menggunakan sistem campuran dengan menggunakan alat tukar berupa uang, namun mayoritas dengan menggunakan sistem bertukar barang atau barter.

"Kemungkinan itulah yang dilakukan awalnya secara umum, semisal orang dari China membawa hasil produksi kain sutra ditukar dengan hasil bumi seperti lada ataupun lainnya. Meskipun begitu ada juga penggunaan uang kepeng utamanya yang dari China, kemudian ada juga yang dari Eropa seperti Real Portugis, jadi beragam," kata Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora Universitas Buddhi Dharma, Lilie Suratminto.

Penggunaan uang yang sama sebagai satu-satunya alat tukar yang sah sendiri berdasarkan catatan kolonial, dimulai sejak pasar dengan model seperti yang kita kenal saat ini dibangun oleh VOC di zaman pendudukannya.

Namun saat itu VOC tidak mengizinkan pembukaan pasar setiap hari namun hanya bisa satu hari dibuka satu pasar. Selain persoalan keamanan akibat kerumunan pasar, menurut Lilie, hal ini berkaitan dengan sistem penarikan pajak oleh VOC yang diadaptasi dari kerajaan-kerajaan Jawa yang menggunakan "hari pasaran" sebagai harinya untuk menarik pajak.

"Ini berkaitan dengan pajak, kan di Jawa itu kerajaan menarik pajak dari masyarakat adalah ketika hari pasar dan itu di seluruh daerah, nah ini diadaptasi, walau seiring perkembangannya akhirnya dibuka setiap hari, awalnya pasar itu dalam seminggu hanya sekali misal pasar Senen ya Senin, dan seterusnya," kata salah satu tokoh di Komunitas Toponimi Indonesia (Kotisia) itu.

Tapi, kata Lilie, umumnya hanya ada lima hari yang dijadikan waktu dibukanya pasar yakni Pasar Senin, Pasar Rabu, Pasar Kamis, Pasar Jumat dan Pasar Minggu, karena kepercayaan masyarakat Selasa dan Sabtu tidak diperkenankan melakukan aktivitas perdagangan.

"Namun ya hari Selasa dan Sabtu tetap ada karena pasar kan sumber pajak utama. Dan perdagangan hanya diizinkan dilakukan di pasar," ucapnya.

Adapun pasar pertama yang didirikan zaman VOC dengan penggunaan sistem jual beli dengan uang, adalah Pasar Senen yang oleh orang Belanda disebut Vinckpasser, dibangun 1735 oleh Justinus Vinck sebagai perancang sekaligus pemilik tanah perkebunan Weltervreden di mana sisi Tenggaranya atau di sisi Selatan Jl Gunung Sahari menjadi lokasi pasar itu hingga saat ini walau telah berubah bentuk.

Nama Pasar Senen sendiri diduga kuat karena pasar ini hanya dibuka pada setiap Senin, namun pendapat lainnya juga menyebutkan bahwa hal itu karena lokasinya berdampingan dengan lahan milik Meester Cornelis van Senen yang menguasai tanah antara Jatinegara saat ini sampai ke daerah Senen.

Berdasarkan keterangan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, dalam perkembangannya pasar bisa buka pada hari Jumat (1751) dan akhirnya bisa buka setiap hari (1766). Saat tahun 1766, uang sewa ditarik empat ribu ringgit tiap toko dan naik jadi 10 ribu ringgit pada 1800.

Seiring berjalannya waktu, Kawasan Pasar Senen terus berkembang dengan di sisi Utara didirikan terminal bus dan di sisi Timur didirikan Stasiun, bangunan pasar sendiri kini memiliki enam blok dengan bangunan permanen terkecuali blok 1-2 yang masih dalam tahap pembangunan baru. Komoditas yang dijual di sini juga semakin beragam dari awalnya memperdagangkan sayuran, menjadi kebutuhan sehari-hari, bahkan saat ini juga dijual pakaian, tas, hingga onderdil kendaraan.

Pasar awal yang dibangun selanjutnya oleh VOC, adalah Pasar Sabtu yang kini bernama Pasar Tanah Abang. Pasar ini dibangun 1735, hampir berbarengan dengan Pasar Senen dengan diarsiteki oleh Yustinus Vinck yang juga pemilik lahan lokasi pasar tersebut berada.

Pasar ini diberi izin oleh Gubernur Jenderal Abraham Patramini sebagai lokasi perdagangan tekstil serta barang kelontong dan hanya boleh buka setiap hari Sabtu. Seiring waktu, pasar ini berkembang dan mampu menyaingi Pasar Senen yang sudah lebih dulu maju dan hari buka pun berubah menjadi setiap hari.

Kini, Pasar Tanah Abang sudah semakin berkembang dan memiliki tiga sektor yakni Tanah Abang Metro, Tanah Abang AURI dan Tanah Abang Lama yang terdiri atas beberapa blok di antaranya Blok A, B serta F, dan dikenal sebagai pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Selain dua pasar itu, menurut informasi dari berbagai sumber, Justinus Vinck juga mendirikan sebuah pasar di sebelah Timur Batavia di wilayah yang dikenal dengan nama Koja dan beraktivitas hanya pada hari Selasa.

Namun, menurut Ensiklopedia Jakarta, karena kepercayaan masyarakat hari Selasa dianggap kurang baik untuk berdagang, demi mengatasi mitos tentang hari yang tidak baik, nama pasar Selasa diganti menggunakan nama lokasi pasar tersebut menjadi Pasar Koja yang dikenal sebagai pasar yang menjual emas dengan kualitas bagus selain barang lainnya.

Namun, jejak lokasi dan tahun pembuatan pasar yang awalnya buka pada hari Selasa itu tidak diketahui lagi, bahkan oleh para pedagang yang saat ini berjualan di pasar yang bernama Pasar Koja Baru.

Para pedagang di Pasar Koja Baru, umumnya memiliki cerita bahwa pasar itu merupakan pindahan dari daerah Tanjung Priok (Sampur/Zanvoort) dan tidak mengetahui bahwa di Koja ada pasar yang merupakan Pasar Selasa.

"Menurut para tetua, pasar ini dulunya di Sampur daerah Tanjung Priok yang sekarang menjadi pelabuhan, pindahnya ke sini. Pasar Koja Baru namanya tetap sama. Sebelum Pasar Koja Baru, Pasar Koja namanya. Dari pertama memang Pasar Koja, lalu Pasar Koja Baru. Enggak pernah diganti, (pakai nama hari) enggak ada. Mau ke mana-mana, Pasar Koja Baru ya di sini alamatnya," kata Ngatini, pedagang baso yang sudah berjualan di lokasi sejak 1998.

Suparni, pedagang soto dan gado-gado di lokasi juga mengungkapkan hal yang sama bahwa lokasi pasar tradisional di Koja Baru awalnya berada di Gang XI Sampur, namun dia tidak mengetahui ada Pasar Koja yang dulu disebut Pasar Selasa.

"Kalau Pasar Senen, Pasar Rebo, Pasar Minggu pernah dengar kalau Pasar Selasa emang ada?," tanya dia.

Pasar selanjutnya yang dibuka di bawah hukum VOC, adalah Pasar Kamis yang lebih dikenal dengan Meester Passer yang kini dikenal sebagai Pasar Jatinegara. Berdasarkan catatan kolonial, pasar ini berdiri di atas lahan milik Meester Cornelis van Senen yang dikembangkan dari pasar di depan Benteng Meester Cornelis sekitar tahun 1770-an.

SZ Hadisujipto dalam buku Sekitar Dua Ratus Tahun Sejarah Jakarta 1750-1945, menulis bahwa lahan yang awalnya menjadi titik mundur Pangeran Jayakarta dan pengikutnya itu setelah jatuhnya Jayakarta, dibeli oleh Meester Corneles van Senen yang merupakan guru agama Kristen kaya raya dari pulau Lontor, Banda. Akhirnya nama tuan tanah tersebut tersemat pada daerah Senen dan Mester di Jatinegara.

Pasar Mester sendiri menjadi pusat perdagangan wilayah Mester yang menjadi kota satelit Batavia waktu itu dengan produk yang datang dari wilayah sekitarnya seperti Bekasi dan Bogor. Kini, pasar yang awalnya hanya di depan gerbang benteng, berkembang sedemikian rupa hingga wilayahnya sebesar satu blok di sisi Selatan Jalan Matraman yang menjual berbagai kebutuhan dari pangan, pakaian, perhiasan, hingga perkakas.

Adapun pasar lainnya yang didirikan sezaman VOC menurut catatan yang dihimpun, merupakan pasar sekunder yang berada pada tiga jalur perniagaan di Selatan Batavia, yakni Pasar Rebo di jalur timur (Oosternweg), Pasar Jumat di jalur barat (Westernweg), dan Pasar Minggu di jalur tengah (Middenweg) untuk mendukung keberadaan tiga pasar utama yang paling dekat dengan Batavia yakni Pasar Jatinegara, Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang.

Pasar Rabu berdasarkan catatan dalam buku Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie yang terbit tahun 1869, didirikan pada 1762 oleh pemilik tanah pertanian partikelir Tandjong Oost yang merupakan pasar swasta. Pasar ini dibuka setiap hari Rabu yang kelak disebut Pasar Rebo.

Namun demikian tidak diketahui dengan jelas siapa pemilik lahan Tandjoeng Oost karena kepemilikannya cenderung bersifat jangka pendek akibat pemilik meninggal atau kembali ke Eropa, namun lahan ini dikabarkan diakuisisi oleh Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk (1775-1777).

Seiring perkembangan zaman, Pasar Rabu yang diduga lokasinya berada di daerah bernama Pasar Rebo berada, akhirnya buka setiap hari dengan menjual berbagai macam kebutuhan pangan termasuk sayur dan buah.

Namun secara resmi pasar di sana dipindahkan ke Jalar Raya Bogor menjadi Pasar Induk Kramatjati setelah Indonesia merdeka. Perpindahan pasar ini sendiri ke lokasi Pasar Induk Kramatjati, dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin yang menilai lokasi sebelumnya kurang cocok sebagai aktivitas jual beli.

Saat ini, pasar tersebut semakin berkembang dan menjadi salah satu pasar terbesar di Jakarta dengan barang jual beli utamanya adalah bahan pangan berupa sayur mayur dan buah-buahan.

Pasar Minggu (Tandjoeng West Passer) didirikan seiring dengan perkembangan lahan tersebut menjadi peternakan dan pertanian oleh tuan tanah partikelir. Tidak diketahui pasti kapan pasar ini didirikan dan siapa pendirinya, namun diduga sekitar tahun 1770-an ketika lahan itu mulai berkembang dan hanya dibuka pada hari Minggu yang siring waktu dibuka setiap hari.

Sebelum tahun 1920, lokasi Pasar Minggu (Tanjung Oost Passer) berada di Kampung Lio, pinggir Kali Ciliwung dengan komoditas beras, kebutuhan sehari-hari, sampai pakaian. Lokasi Pasar Minggu pada 1920 dipindahkan ke dekat jalan, yaitu dekat rel kereta api dan berseberangan dengan terminal bus.

Kemudian pada 1930, pemerintah Belanda membangun pasar dengan lantai ubin bertiang besi dan beratap seng. Lokasinya, di terminal bus dan tempat PD Pasar Jaya sekarang ini dengan berbagai komoditas yang dijual.

Pasar pendukung lainnya adalah Pasar Jumat yang awalnya berdiri di lahan partikelir Simplicitas (Pondok Labu) sekitar tahun 1700-an akhir di mana menurut surat kabar Belanda Leydse Courant pada 19 Agustus 1782 menyebutkan bahwa lahan ini bersama lahan lainnya di Weltervreden dan di Tjimanggis dimiliki janda dari Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra, Adriana Johanna Bake.

Namun, lima tahun kemudian Adriana meninggal dunia menyusul putranya Petrus Albertus van der Parra jr yang meninggal lebih dulu, sehingga kepemilikan beralih ke pihak lainnya. Seiring waktu, pasar yang menjual cengkeh, kulit manis hingga kopi ini kinerjanya cenderung menurun.

Akhirnya posisi pasar yang letaknya di jalur awal atara Bogor-Tanah Abang melalui Cinere, bergeser ke wilayah Lebak Bulus seiring dengan pekembangan jalur ekonomi di sisi lahan Simplicitas melalui Pondok Cabe dan Cirendeu, menjadikan pasar ini berada di titik pertemuan dua jalan arteri dari selatan.

Seiring perkembangan waktu, pasar itu menjadi ramai oleh aktivitas perdagangan dengan berbagai komoditas seperti sayuran, buah-buahan, bahan pangan, bahkan buku hingga minyak wangi ditambah dengan keberadaan terminal bus di sana.

Namun pada tahun 2010 pasar di Jalan Lebak Bulus Raya tersebut diratakan karena akan dibangun proyek MRT mulai 2012. Pasar yang dulunya ramai sejak subuh hingga ke bibir jalan oleh pedagang sayur, pemandangan dan suara tawar-menawar dari bangunan-bangunan pasar yang berdiri kini hanya tinggal kenangan dari pedagang kaki lima yang masih berjualan di sana, berganti laju kendaraan dan suara klakson bersahutan.

"Kalau inget masa lalu ya kita inget enaknya dagang. Sekarang ya mau gimana lagi," kata Riandi penjual gorengan di lokasi yang dulunya dikenal Pasar Jumat.

Pasar memainkan peranan penting dalam perekonomian Jakarta sejak era VOC, kolonial, hingga saat ini bahkan bisa disebut urat nadi perekonomian yang mengiringi sepanjang sejarah kota terbesar ini.

Di era VOC sendiri, pasar-pasar mulai lebih banyak dibangun mengikuti model pasar dengan nama hari tersebut, dan seiring waktu karena kebutuhan yang meningkat dan membanjirnya komoditas perdagangan, pasar dengan nama hari yang telah berdiri lebih dulu akhirnya buka setiap hari.

"Karena kebutuhan masyarakat meningkat dan membanjirnya komoditas dari berbagai tempat terutama akhir masa VOC ketika komoditas milik pribadi pejabat VOC ditebengkan ke kapal VOC ya akhirnya pasar setiap hari, karena butuh segera tersalurkan kan," kata Lilie.

Perilaku para pejabat VOC yang mencari keuntungan pribadi itu, akhirnya menjadi salah satu penyebab kebangkrutan perusahaan multinasional itu yang kemudian aset dan pengelolaannya diambil oleh Kerajaan Belanda setelah dibubarkan pada 31 Desember 1799.

Meski dikelola oleh kerajaan, namun kebijakan hari pasar tidak pernah diberlakukan lagi, bahkan saat memerintah langsung koloni di Hindia, pihak kerajaan memberi izin pada lebih banyak pasar yang lebih modern untuk berdiri seperti Passer Baroe dan Passer Glodok di mana pasar-pasar pada era ini menjadi inspirasi lahirnya supermarket dan juga mal di Jakarta.

Meski mal dan supermarket menjamur, pasar tidak pernah sepi dan tetap menjadi urat nadi perekonomian di Jakarta bahkan lebih besar lagi.

Sekretaris Umum Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas) Ngadiran menceritakan pasar-pasar di Jakarta memiliki peran penting dalam perekonomian daerah bahkan nasional.

Di mana menurut perkiraannya dari 153 pasar yang dikelola Perumda Pasar Jaya, ditambah sekitar 40 lokasi binaan untuk UMKM di bawah Dinas PPKUKM DKI, terdapat perputaran uang minimal sekitar Rp1,63 triliun per hari.

Hal ini dari rata-rata pedagang di pasar tradisional, lokasi binaan, sampai pedagang kaki lima di luar pasar berjumlah sekitar 816 ribu, dengan omset rata-rata Rp2 juta.

Dari nilai perputaran uang sebanyak itu, sekitar 30 persennya disumbangkan oleh 13 unit pasar besar, termasuk pasar legendaris seperti Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Jatinegara, Pasar Minggu, Pasar Senen, dan Pasar Tanah Abang.

"Karena juga orang Bogor belanja ke sini, orang Depok belanja ke sini, orang Bekasi bahkan kota yang jauh juga tidak jarang belanja ke Jakarta. Sehingga bisa disebut pasar di Jakarta merupakan Urat Nadinya Perekonomian di Jabodetabek," tutur dia.

Semakin berkembangnya zaman, pusat-pusat perbelanjaan semakin banyak di Jakarta, nasib pasar yang menyandang nama hari pun ada yang yang akhirnya harus hilang oleh pembangunan kota yang terus bergerak, ada juga yang berganti rupa, namun ada juga pasar yang eksis sejak berdiri bahkan semakin besar dan maju.

Namun yang jelas, pasar dengan nama hari ini sebagai tempat pusat perekonomian dan bersosialisasi masyarakat dari masa ke masa, akan terus tercatat dalam sejarah yang turut membantu perkembangan Jakarta hingga menjadi kota Metropolitan seperti sekarang.***

Tutup

Pasar Minggu, asal usul pasar buah di Hari Minggu

Disebut Pasar Minggu juga bukan tanpa alasan. Pada awal abad ke-19, Batavia menciptakan sistem hari sehingga aktivitas pedagang ditentukan sesuai hari dan lokasinya.

Baca selengkapnya

Pasar Minggu, asal usul pasar buah di Hari Minggu

Pasar Minggu, asal usul pasar buah di Hari Minggu

"Pepaya, mangga, pisang, jambu. Dibeli dari Pasar Minggu. Di sana banyak pengjualnya, di kota banyak pembelinya," adalah penggalan lirik lagu ciptaan Adi Karso yang pernah populer sekitar tahun '60an.

Potongan syair lagu anak-anak itu kiranya menjadi gambaran tepat bagaimana aktivitas pedagang di Pasar Minggu pada tempo dulu yang dikenal menjual buah-buahan.

Disebut Pasar Minggu juga bukan tanpa alasan. Pada awal abad ke-19, Batavia menciptakan sistem hari sehingga aktivitas pedagang ditentukan sesuai hari dan lokasinya.

"Menetapkan pasar hari Minggu di tempat yang selanjutnya menjadi Pasar Minggu, di samping hari-hari pasar lainnya seperti hari Senin, menjadi Pasar Senin (Senen), hari Rabu menjadi Pasar Rebo dan seterusnya," ungkap Asep Suryana dalam bukunya, Pasar Minggu, Tempo Doeloe: Dinamika Sosial Ekonomi Petani Buah 1921-1966.

Pasar Minggu, dalam buku 212 Asal-usul Djakarta Tempo Doeloe karya Zaenuddin, HM disebutkan sebuah kawasan atau perkampungan tua di Jakarta Selatan.

Tempat ini menjadi salah satu ikon penting dalam sejarah kota Jakarta karena selain terdapat pasar, juga terminal bus dalam kota maupun antarkota.

Bahkan, sistem kereta api Batavia-Buitenzorg yang menghubungkan Jakarta-Bogor telah beroperasi pada tahun 1983. Dengan begitu, komoditas pertanian dari wilayah pinggiran atau penyangga Batavia termasuk Pasar Minggu dapat diangkut ke pusat kota.

"Semula, bangunan pasar di Pasar Minggu terbuat dari bambu beratapkan bahan atep, yakni dari daun kelapa ataupun dari bahan alang-alang," tulis Zaenuddin HM dalam bukunya.

Selain buah-buahan sebagai komoditas pertanian utama yang dijual, terdapat juga pedagang yang menjual kebutuhan sehari-hari.

Bahkan, kegiatan judi seperti dadu koprok dan pangkalan ronggeng yang dikenal dengan sebutan Doger juga bisa ditemukan di Pasar Minggu. Kegiatan pasar berlangsung dari pukul 07.00 dan berakhir pukul 10.00 pagi.

Pasar Minggu resmi menjadi sentra buah-buahan ketika Pemerintah Hindia Belanda mendirikan laboratorium penelitian tanaman pangan dan buah-buahan dengan sistem modern pada tahun 1921.

Kegiatan kantor ini melakukan penelitian dan rekayasa bibit unggul berbagai jenis tanaman buah untuk kemudian disebarluaskan ke para petani.

Dengan cara itu, Pasar Minggu berkembang menjadi sentra penghasil pertanian, seperti buah-buahan, sayuran, dan susu.

Bersamaan dengan itu, lokasi Pasar Minggu dipindah ke dekat jalan dekat rel kereta api, beseberangan dengan terminal bus.

Meskipun aktivitas pedagang masih terkonsentrasi pada hari Minggu saja dan lokasi belum permanen, pedagang keturunan Tionghoa yang menjual beras setiap hari sudah bermunculan.

Pada 1930, Pemerintah Hindia Belanda membangun pasar dengan lantai ubin bertiang besi dan beratap seng.

Lokasinya berada di terminal bus dan lokasi yang saat ini menjadi PD Pasar Jaya. Kegiatannya pun tidak hanya berlangsung hari Minggu saja, namun memang paling ramai pada hari Minggu.

Memasuki tahun 1960-an, pertanian buah telah menjadi sumber mata pencaharian yang digeluti oleh hampir seluruh penduduk asli Pasar Minggu.

Penghasilan petani buah pun lebih besar daripada bila mereka bertani sawah dengan luas lahan yang sama Namun seiring bertumbuhnya sektor industri, serta Pasar Minggu yang dirancang hanya sebagai wilayah perdusunan alih-alih pertanian, lahan produktif untuk menghasilkan buah-buahan semakin terbatas.

Tahun 1966 misalnya, Gubernur Ali Sadikin juga memindahkan kebun binatang dari pusat kota (Cikini) ke Ragunan. Areal untuk kebun binatang itu jauh lebih luas daripada kebun binatang Cikini. Setelah kebun buah tadi dijadikan kebun binatang, habis pula fungsi "landbouw" (lahan pertanian) ini sebagai penghasil dan pemasok bagi pasar buah yang tumbuh sejak awal abad ke-20.

Begitu pula dengan kebun buah (landbouw) Jatipadang yang juga milik pemerintah, juga dialihfungsikan pada pertengahan tahun 1970-an menjadi perumahan bagi pegawai di Departemen Pertanian.

Dengan beralihfungsinya kebun Jatipadang, produksi buah-buahan di Pasar Minggu pun tidak lagi mandiri, dan lebih mengandalkan kebun serta pekarangan penduduk setempat yang tidak seberapa.

Seiring waktu, pedagang buah dari daerah sekitar juga berdatangan, seperti Depok, Citayam, Bojonggede, Bogor hingga Sukabumi, untuk menjualnya di Pasar Minggu.

Pasar Minggu kini dengan luas 18 ribu meter persegi ditempati oleh 1.700 pedagang di kios dan 1.400 pedagang non kios atau lapak bongkar pasang.

Tak cuma buah, sayur dan bahan pangan, pasar ini juga menyediakan kebutuhan hidup mulai dari sembako, pakaian, perlengkapan rumah tangga, hingga barang elektronik dapat ditemukan di sini.

Pemandangan berbeda jika mengunjungi Pasar Minggu di malam hingga dini hari. Ratusan pedagang tumpah ruah hingga ke area Terminal Pasar Minggu.

Bahri (62), salah satu pedagang pisang di Pasar Minggu mengaku bahwa kios turunan dari ayahnya itu memang dahulu hanya buka di hari Minggu.

"Dulu memang katanya buka hari Minggu saja, hari-hari lain kita jual di pasar lain. Bahkan dulu pedagang yang beli di sini, dijual lagi di depan terminal sampai kereta ekonomi," kata dia.

Pada 12 April 2021 lalu, nampaknya menjadi peristiwa kelam yang menimpa pasar berusia 102 tahun itu. Pada Senin, 12 April 2021 malam, pasar induk di Pasar Minggu terbakar hebat.

Meski sudah mengerahkan 30 unit mobil pemadam untuk menangani kebakaran, Sudin Gulkarmat Jakarta Selatan membutuhkan waktu cukup lama untuk mendinginkan lokasi terbakar yang berada di Blok C Pasar Inpres Pasar Minggu.

Dengan kondisi yang tidak layak lagi, PD Pasar Jaya pun memutuskan untuk tidak lagi menggunakan gedung eks kebakaran sebagai aktivitas pedagang.

Sebanyak 391 kios yang terbakar di Blok C Pasar Minggu pun sudah dipindahkan ke Lantai 1 Blok B. Saat ini, aktivitas jual-beli masih dikatakan normal.

Tutup

Pasar Pagi Mangga Dua, dari "bedol pasar" hingga pasar grosir terbesar

"Bedol pasar" mungkin menjadi istilah yang tepat untuk mengawali sejarah berdirinya Pasar Pagi Mangga Dua.

Baca selengkapnya

Pasar Pagi Mangga Dua, dari "bedol pasar" hingga pasar grosir terbesar

Pasar Pagi Mangga Dua, dari "bedol pasar" hingga pasar grosir terbesar

"Bedol pasar" mungkin menjadi istilah yang tepat untuk mengawali sejarah berdirinya Pasar Pagi Mangga Dua.

Sebelum akhirnya pasar tersebut menetap di lokasi terkini, yakni Jalan Mangga Dua Raya dan berubah nama menjadi Pasar Pagi Mangga Dua, sebagian warga Ibu Kota mungkin masih mengingatnya sebagai Pasar Pagi lama.

Pasar Pagi dikenal sebagai pasar yang berada di jalan dengan nama yang sama di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Sebelum tahun 1989, Pasar Pagi telah puluhan tahun dikenal sebagai pasar yang masuk dalam percaturan dagang tingkat nasional dan internasional, serta mendukung Jakarta sebagai kota niaga.

Dengan pelanggan dari berbagai negara, seperti Afrika, Eropa dan Asia, pasar pagi menarik pengunjung, bahkan dari berbagai daerah dengan kelengkapan barang yang dijual mulai dari ikan kering, busana impor, kelontong, hingga tekstil.

Namun, semakin berkembangnya kota Jakarta dan meningkatnya populasi penduduk, kondisi Pasar Pagi menjadi semakin semrawut dan menjadi titik kemacetan.

Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta juga tengah membangun "fly over" di Pasar Pagi, sehingga kegiatan niaga di wilayah tersebut harus dialihkan.

Pemprov DKI Jakarta pun harus memindahkan empat pasar yang terdampak pembangunan, yakni Pasar Kongsi Besar, Los Mini Atom, Petak Baru dan Jelakeng.

"Sudah puluhan tahun para pedagang di situ, namun karena kumuh, jenuh dan macet, apalagi ada pembangunan 'flyover', harus dipindahkan empat pasar itu, diangkut semua ke sini, makanya kita sebutnya jebol pasar," kata Direktur Pusat Grosir Pasar Pagi Mangga Dua Harry Fernandez.

Sebelum dipindahkan ke lokasi tetap, para pedagang ditempatkan terlebih dahulu di pasar penampungan yang lokasinya tidak jauh dari Pasar Pagi Mangga Dua kini.

Setelah dua tahun pembangunan sejak Agustus 1987, Pasar Pagi Mangga Dua akhirnya diresmikan pada 18 September 1989 oleh Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto.

Meski saat itu kondisi pasar grosir ini masih non-AC, nyatanya popularitas Pasar Pagi wajah baru sudah dikenal oleh para konsumen terdahulu.

Para pedagang yang awalnya enggan untuk pindah dari Pasar Pagi Lama akhirnya mulai betah dan merasa lebih nyaman dengan kondisi Pasar Pagi Mangga Dua yang meninggalkan kesan kumuh.

"Awalnya memang menolak untuk pindah. Tapi lama-lama (pembeli) ramai, terutama waktu tahun '90 awal lah jaya sekali," kata Ibu Lie, salah satu pedagang handuk di Pasar Pagi Mangga Dua.

Sejalan dengan perkembangan zaman, Pasar Pagi Mangga Dua memasuki generasi kedua, sehingga pasar grosir itu dipasang pendingin udara pada tahun 2005 agar pengunjung lebih merasa nyaman saat berbelanja. Seiring dengan berkembangnya jumlah pedagang yang kini mencapai lebih dari 2.000 kios, Pasar Pagi Mangga Dua dikenal sebagai salah satu pasar grosir terbesar se-Asia Tenggara.

"Pembeli dari daerah bahkan luar negeri, semua kalau belanja ke Pasar Pagi Mangga Dua, karena kualitas barangnya menengah ke atas tetapi harganya murah, karena harga grosir," kata Manajer Marketing dan Promosi Pasar Pagi Mangga Dua Hardjono Gunawan.

Bahkan, semboyan yang diusung dari pasar ini adalah "Anda pasti lebih untung".

Selain mendominasi barang fesyen sebesar 90 persen, pedagang Pasar Pagi Mangga Dua juga bervariasi, mulai dari alat tulis kantor, pusat aksesoris garment, pusat bunga artifisial, pusat kacamata, sentra batik dan puluhan jasa ekspedisi.

Bahkan, Pasar Pagi Mangga Dua juga sudah membuka lima jenis layanan administrasi publik, yakni Gerai Samsat, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI Jakarta, Gerai Dukcapil, Unit Layanan Paspor dari Imigrasi Jakarta Utara dan Layanan Hukum dan HAM.

Terkini, Pasar Pagi Mangga Dua juga menggandeng sentra UMKM binaan Jakpreneur melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta.

Untuk kuliner, Pasar Pagi Mangga Dua juga berupaya membuat betah pengunjung dengan mendirikan pusat Jajanan Jadoel yang dikurasi sendiri oleh manajemen.

"Sudah lebih dari 20 pedagang kaki lima yang kita cari sendiri di berbagai wilayah, kemudian kita ajak untuk berdagang di sini. Nanti akan dibangun lagi sehingga bisa memuat sekitar 50 pedagang," tambah Hardjono.

Tutup

Pasar barang antik Jalan Surabaya

Beragam jenis barang-barang tempo dulu seperti lampu, piringan hitam, koin tua, porselen, gramophone, hingga guci antik dapat ditemukan di lokasi ini.

Baca selengkapnya

Pasar barang antik Jalan Surabaya

Pasar barang antik Jalan Surabaya

Menyusuri trotoar di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat, seperti memasuki lorong waktu ke masa lalu. Deretan kios barang-barang antik berjajar rapih seakan menggoda mata untuk melirik.

Beragam jenis barang-barang tempo dulu seperti lampu, piringan hitam, koin tua, porselen, gramophone, hingga guci antik dapat ditemukan di lokasi ini.

Lokasi Pasar Barang Antik Jalan Surabaya juga terjangkau bagi masyarakat yang ingin berkunjung. Sebab tak jauh dari Jalan Surabaya terdapat Stasiun Cikini yang melayani penumpang KRL Jabodetabek.

Menelisik keberadaan Pasar Antik di Jalan Surabaya rupanya sudah ada sejak tahun 1970an. Berawal dari sejumlah pedagang yang tidak kebagian kios di Pasar Rumput.

Hingga akhirnya pada tahun 1974, Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin memindahkan para pedagang ke tempatnya sekarang di Jalan Surabaya.

Salah satu saksi sejarah perkembangan Pasar Barang Antik di Jalan Surabaya adalah Omo. Pria paruh baya itu mengaku sudah berjualan di lokasi tersebut sejak tahun 1970an.

Di kios kecilnya saat ini Omo menjual aneka lampu hias antik dengan harga bervariasi mulai dari ratusan ribu hingga paling mahal mencapai Rp5 juta.

Omo mengatakan kondisi di Jalan Surabaya saat ini jauh berbeda jika dibandingkan dahulu. Menurut dia pembeli barang antik yang datang ke Jalan Surabaya sudah tidak seramai saat masa-masa pertama kali ia berdagang.

Banyak faktor yang menyebabkan sepinya pembeli di Pasar Barang Antik tersebut. Semakin berkembangnya toko daring hingga keberadaan pasar barang antik di berbagai daerah menjadi beberapa faktor penyebabnya.

"Kalau sekarang berhubung di mana-mana sudah ada pasar barang antik seperti di Ciputat. Jadi saingan sudah ramai," kata Omo.

Omo mengatakan bahwa kebanyakan pedagang barang antik yang berjualan di wilayah Jabodetabek merupakan pindahan dari Jalan Surabaya.

Tak hanya itu, penyebab lain sepinya pembeli di Jalan Surabaya dalam dua tahun terakhir karena pandemi COVID-19. Omo mengatakan dirinya mengalami penurunan omzet penjualan hingga 75 persen dibandingkan sebelum pandemi.

Jika sebelum pandemi ia dapat menjual hingga empat barang antik setiap bulan. Namun kali ini hanya mampu menjual satu barang antik setiap bulannya.

Omo juga mengatakan bahwa sepinya pembeli itu membuatnya terpaksa menutup toko barang antiknya lebih cepat dibandingkan sebelumnya.

"Dagang buka dari jam 9 pagi. Kalau dulu dari jam 7 pagi juga sudah buka. Tutup jam 4 sore karena sudah sepi," tutur Omo.

Namun seiring dengan menurunnya kasus COVID-19 dibandingkan dua tahun lalu, Omo pun memiliki harapan akan pulihnya roda ekonomi para pedagang di Jalan Surabaya.

Selain pasar barang antik di Jalan Surabaya, DKI Jakarta memiliki berbagai nama pasar yang unik, salah satunya adalah Pasar Rumput yang berlokasi di Jalan Sultan Agung, Kelurahan Pasar Manggis, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.

Meski namanya Pasar Rumput namun kenyataannya pasar tersebut tidak menjual rumput. Namun penamaan Pasar Rumput tak lepas dari sejarah masa lalu di tempat tersebut.

Pada masa kolonial pasar itu dijadikan tempat berdagang rumput untuk pakan kuda yang menjadi transportasi utama penduduk Batavia.

Namun, seiring berjalannya waktu pedagang rumput di Pasar Rumput mulai hilang satu persatu seiring dengan kemajuan teknologi transportasi.

Pada masa kini lokasi Pasar Rumput terbilang strategis dan dapat dijangkau menggunakan transportasi umum karena dekat dengan halte TransJakarta Manggarai dan juga Stasiun Manggarai.

Di Pasar Rumput saat ini dapat ditemukan banyak pedagang barang bekas seperti sepatu, sepeda, koper, kursi roda, sepatu hingga WC rekondisi.

Salah satu buruan wajib pengunjung yang datang ke Pasar Rumput adalah WC rekondisi yang masih layak pakai. Deretan WC duduk dan jongkok rekondisi tertata rapih di trotoar Pasar Rumput.

Pedagang WC rekondisi yang telah berjualan sejak lama di Pasar Rumput, Ade mengatakan, dirinya menjual kloset duduk dan jongkok hingga wastafel rekondisi di kiosnya.

Ade yang sudah berjualan di Pasar Rumput sejak tahun 2000 itu mengatakan mendapatkan pasokan WC bekas dari penyuplai yang telah menjadi langganan.

"Kita dapat dari apartemen, bongkaran gedung atau kantor juga ada," kata Ade saat ditemui di lapaknya.

Ade mengatakan harga WC rekondisi itu ia jual kisaran harga Rp450 ribu hingga Rp4 juta tergantung pada model dan merek.

Dia menambahkan untuk memoles WC bekas menjadi kembali seperti baru dibutuhkan beberapa peralatan seperti cairan asam klorida atau HCL hingga amplas untuk memoles bagian yang kusam.

Lamanya waktu pemolesan WC bekas agar seperti baru tergantung dari kondisinya. Paling cepat, menurut Ade, tak sampai satu jam.

Lain halnya apabila ada bagian WC bekas yang rusak atau pecah. Biasanya Ade masih dapat memperbaiki dengan cara dieratkan kembali menggunakan lem asalkan kerusakannya tidak parah.

Ade mengatakan kondisi pandemi COVID-19 beberapa tahun belakangan ini menurunkan omzet penjualan WC rekondisinya. Dari yang awalnya dapat menjual sampai 50 setiap bulan hingga saat ini hanya sanggup menjual 10 WC rekondisi sebulan.

"Jujur aja saya sempat nunggak bayar kredit di bank sampai lima bulan gara-gara sepi order," ujar Ade.

Dia mengatakan adanya kemajuan teknologi dengan kemunculan toko daring sedikit membantu penjualan WC rekondisinya saat kondisi sulit seperti pandemi COVID-19.

Melalui toko daring, Ade mampu menjual WC rekondisi ke berbagai daerah di luar Jakarta. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak.

"Kalau sebelum pandemi itu pembeli dari daerah langsung datang ke sini," tutur Ade.

Tutup

CERITA PASAR BERNAMA HARI

Pasar dengan menggunakan nama-nama hari di Jakarta awalnya didasari dari hari pasar tersebut beraktivitas pada zaman Hindia Belanda. Kini sebagian dari pasar tersebut berganti nama, bahkan ada pula yang berhenti beroperasi.

Sosok menjulang di Jakarta

Patung

Selamat Datang

Patung

Pembebasan Irian Barat

Patung

Dirgantara

Patung

Pak Tani

Patung

Pemuda

Relief

Sarinah

Patung Selamat Datang

Patung Selamat Datang

Semua orang yang pernah melalui area Hotel Indonesia pasti pernah melihat sebuah patung besar yang berdiri tegak di tengah area tersebut. Terletak di tengah bundaran Hotel Indonesia, Patung Selamat Datang atau dikenal dengan Monumen Selamat Datang, merupakan sebuah ikon yang sangat lekat dengan ibukota Negara, yakni Jakarta. Monumen ini berupa patung dua orang manusia yang menggenggam bunga dan melambaikan tangan sebagai simbol selamat datang. Patung tersebut menghadap ke utara yang seolah-olah menyambut orang-orang yang datang dari arah Monas.

Dikutip dari buku Sejarah Singkat Monumen dan Patung Di Kota Jakarta, koleksi Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, tahun 1992, monumen ini mulai dibangun pada tahun 1961, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1961, oleh arsitek Henk Ngantung dan pemahat Edhi Sunarso. Patung ini didirikan atas perintah Presiden Soekarno dalam rangka menyambut tamu-tamu kenegaraan dalam ajang Asian Games IV yang akan diadakan pada tahun 1962. Karena hal tersebut, monumen ini didirikan sebagai simbol penyambutan.

Ide pembuatan Patung Selamat Datang dilontarkan oleh Presiden Soekarno dan rancangan awalnya dikerjakan oleh Henk Ngantung yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Pelaksana pengerjaan patung tersebut adalah tim pematung Keluarga Arca pimpinan Edhi Sunarso di Karangwuni, dan dibantu oleh Trubus Soedarsono. Pembuatan patung ini membutuhkan waktu sekitar satu tahun hingga akhirnya Monumen Selamat Datang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1962.

Pembangunan Monumen Selamat Datang di tengah Bundaran Hotel Indonesia dikatakan berada di lokasi jantung Ibukota. Hal ini bukan tanpa alasan, karena lokasi ini mempertemukan Jalan Jenderal Sudirman dengan Jalan M.H. Thamrin yang merupakan pusat kegiatan masyarakat ibukota hingga hari ini. Saat ini berbagai perkantoran berdiri di sepanjang jalan ini, dan Monumen Selamat Datang berdiri tegak di tengah kedua jalan tersebut.

Pada tahun 2002, area Patung Selamat Datang direstorasi dengan penambahan air mancur baru, desain kolam baru, dan pencahayaan. Pasca era reformasi, lokasi ini menjadi lokasi yang populer untuk melakukan aksi demonstrasi. Sejak tahun 2012, lokasi ini rutin dijadikan tempat diselenggarakannya hari bebas kendaraan bermotor atau car free day setiap hari minggu. Monumen Selamat datang masih berdiri tegak hingga hari ini dan dianggap sebagai salah satu ikon Ibukota DKI Jakarta.

Sumber:
Jakarta Raya (Indonesia). Dinas Museum dan Sejarah. (1992). Sejarah Singkat Monumen dan Patung Di Kota Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah

Tutup

Patung Pembebasan Irian Barat

Patung Pembebasan Irian Barat

Jika Anda melalui Lapangan Banteng, Anda pasti pernah melihat sebuah patung di tengahnya. Ya, terletak di tengah Lapangan Banteng, Sawah Besar, Jakarta, Patung Pembebasan Irian Barat berdiri dengan megah. Monumen ini dibangun untuk menghormati para pejuang Trikora dan masyarakat Irian Barat yang memilih menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Dengan tinggi mencapai 35 meter dan terbuat dari perunggu, Patung Pembebasan Irian Barat masih berdiri tegak hingga hari ini. Dikutip dari buku Sejarah Singkat Monumen dan Patung Di Kota Jakarta, koleksi Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, tahun 1992, monumen ini diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1963 oleh presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Soekarno. Pembuatan patung ini sendiri memakan waktu satu tahun lamanya.

Patung tersebut dikerjakan oleh tim pematung di bawah pimpinan Edhi Sunarso. Sedangkan desain arsitektur monumen ini dirancang oleh Henk Ngantung dan Friedrich Silaban. Figur yang ditunjukkan oleh patung ini terlihat sebagai seorang lelaki yang berdiri dengan posisi tubuh yang menyerupai huruf “X” yakni kedua kaki merentang dan kedua tangan tertentang ke atas memutuskan rantai, dengan mulut yang terbuka lebar seolah menyerukan kata merdeka. Figur lelaki yang memutuskan rantai merupakan penggambaran rakyat Irian Barat yang berhasil melepaskan diri mereka dari belenggu penjajahan Belanda.

Monumen ini didirikan atas perintah Presiden Soekarno untuk memperingati kembalinya Irian Barat sebagai bagian dari Republik Indonesia pada tahun 1962 setelah konfrontasi militer pasukan Indonesia dengan Belanda pada tahun 1961. Meskipun Indonesia telah meraih kemerdekaan pada tahun 1945, Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia, namun dalam pengakuan tersebut Belanda tidak melepaskan Irian Barat yang telah menjadi jajahan Belanda sejak tahun 1828. Namun berkat perjuangan pasukan Indonesia, Merah Putih berkibar di Irian Barat pada tahun 1962.

Pada tahun 2017, Lapangan Banteng direvitalisasi oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta. Proyek ini menonjolkan Patung Pembebasan Irian Barat yang sebelumnya tertutupi pepohonan. Proyek revitalisasi ini juga mempercantik area sekitar monumen yang meliputi pembuatan kolam dan air mancur, jalur pedestrian, lintasan lari, serta penataan pedagang kaki lima. Pengerjaan revitalisasi Lapangan Banteng membutuhkan waktu sekitar satu tahun, dan akhirnya diresmikan oleh gubernur DKI Jakarta pada 25 Juli 2018.

Sumber:
Jakarta Raya (Indonesia). Dinas Museum dan Sejarah. (1992). Sejarah Singkat Monumen dan Patung Di Kota Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah

Tutup

Patung Dirgantara

Patung Dirgantara

Ketika melewati daerah Pancoran, Anda pasti sering melihat sebuah patung menjulang tinggi di dekat jalan layang. Ya, patung tersebut adalah Patung Dirgantara atau lebih populer di kalangan masyarakat disebut Patung Pancoran, yakni salah satu tanda bahwa anda sedang berada di daerah Pancoran, Jakarta Selatan. Sesuai dengan nama populernya, patung yang satu ini terletak di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Patung ini terletak tepat di depan kompleks perkantoran Wisma Aldiron Dirgantara yang dulunya merupakan Markas Besar TNI Angkatan Udara. Posisi patung ini terhitung strategis, karena merupakan pintu gerbang menuju Jakarta bagi para pendatang yang baru saja mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma.

Berdasarkan buku Sejarah Singkat Monumen dan Patung Di Kota Jakarta, koleksi Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, tahun 1992, patung dirgantara didirikan atas ide presiden Indonesia kala itu, Ir. Soekarno pada tahun 1964 untuk menampilkan keperkasaan Indonesia dalam bidang kedirgantaraan. Idenya tersebut disampaikan kepada Edhi Sunarso.

Dikutip dari buku Konservasi Patung Dirgantara yang diterbitkan oleh Pusat Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta, 2015, Soekarno menyampaikan ide dan visinya kepada Edhi Sunarso, tepatnya pada tahun 1964. Soekarno berkata kepada Edhi Sunarso “Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah berani. Kalau Amerika dan Soviet bisa membanggakan dirinya karena punya industri pesawat, kita juga harus punya kebanggan.”

Patung Dirgantara berbentuk seperti manusia angkasa, yang menggambarkan semangat keberanian bangsa Indonesia untuk menjelajah angkasa. Bahkan pose Patung Dirgantara sendiri diperagakan oleh Presiden Soekarno yang kala itu juga bertindak sebagai model dari Patung Dirgantara.

Dalam proses pembangunannya, proses penyelesaiannya sempat terkendala dengan terjadinya peristiwa G30S pada tahun 1965, ditambah kondisi kesehatan Presiden Soekarno yang saat itu terus menurun. Hingga akhirnya pemasangan patung ini dapat diselesaikan pada tahun 1966.

Pada tahun 2014, Patung Dirgantara untuk pertama kalinya dikonservasi setelah puluhan tahun berdiri di ruang publik. Konservasi ini dilakukan oleh Pusat Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta. Konservasi dilakukan dengan membersihkan debu, polusi, karat, hingga pengawetan dengan memberikan semacam lapisan di permukaan patung.

Hingga hari ini, Patung Dirgantara atau dikenal juga sebagai Patung Pancoran masih berdiri tegak dengan tangan menjulang ke angkasa.

Sumber:
Jakarta Raya (Indonesia). Dinas Museum dan Sejarah. (1992). Sejarah Singkat Monumen dan Patung Di Kota Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah

Tutup

Patung Pak Tani

Patung Pak Tani

Jika Anda melewati area Gambir, pasti Anda akan melihat sebuah monumen berbentuk seperti petani. Namun sebenarnya patung tersebut bukanlah patung petani melainkan Patung Pahlawan atau lebih populer dikenal masyarakat dengan sebutan Patung Pak Tani atau Tugu Tani, adalah sebuah patung yang terbuat dari bahan perunggu dengan figur satu orang pria bercaping dan seorang wanita. Patung Pak Tani terletak di dekat Stasiun Gambir, Jakarta.

Patung Pahlawan dikenal dengan nama Patung Pak Tani karena figur lelaki yang ada di monumen tersebut mengenakan caping, seperti seorang petani. Patung tersebut didirikan sebagai simbol penghargaan kepada para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, yang digambarkan dengan seorang laki-laki yang memakai caping dan menyandang senapan. Selain itu, di samping lelaki bercaping tersebut, ada figur perempuan sedang memberikan makanan kepada figur lelaki sebagai bekal untuk maju ke medan perang.

Dikutip dari buku Monumen dan Patung di Jakarta, tahun 2000, ide pembuatan patung ini datang dari Presiden Soekarno ketika beliau berkunjung ke Moskow pada akhir tahun 1950. Soekarno terkesan dengan patung-patung yang ada di kota Moskow, ibukota Uni Soviet (saat ini Rusia), sehingga Presiden Uni Soviet saat itu mengenalkan Presiden Soekarno kepada pematung terkenal di Rusia, Matvey Manizer dan anaknya, Ossip Manizer.

Kedua pematung tersebut diundang ke Jakarta untuk merancang sebuah patung yang melambangkan semangat kemerdekaan. Patung yang kemudian dibuat di Rusia dan dibawa ke Indonesia dengan menggunakan kapal laut, yang kemudian diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963.

Patung ini juga melambangkan sebuah keluarga yang berjuang untuk kebebasan. Di alas patung tersebut tertulis kalimat “Hanya Bangsa yang Dapat Menghargai Pahlawan-pahlawannya yang Dapat Menjadi Bangsa Besar”. Patung Pahlawan juga merupakan hadiah dari pemerintah Uni Soviet kepada pemerintah Indonesia sebagai manifestasi dari persahabatan kedua negara.

Pada tanggal 22 Januari 2012, pukul 11.12 WIB, sempat terjadi kecelakaan lalu lintas di sekitar area Patung Pak Tani yang menewaskan sembilan orang pejalan kaki.

Di hari ini, Patung Pak Tani masih tetap berdiri tegak dan juga menjadi ikon Kota Jakarta dikelilingi gedung-gedung perkantoran. Selain melambangkan semangat perjuangan, Patung Pak Tani juga memperindah wajah Kota Jakarta.

Sumber:
Jakarta Raya (Indonesia). Dinas Museum dan Sejarah. (2000). Monumen dan Patung di Jakarta. Jakarta : Dinas Museum dan Pemugaran

Tutup

Patung Pemuda

Patung Pemuda

Patung Pemuda Membangun, atau lebih dikenal dengan sebutan Patung Pemuda yang bahkan terkadang disebut dengan Patung Pizza Man karena sosok patung tersebut seolah-olah sedang mengangkat loyang pizza, merupakan sebuah monumen yang terletak di bundaran air mancur Senayan, tepatnya di ujung Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Indonesia. Patung tersebut juga menandai perbatasan kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Patung Pemuda didirikan dengan tujuan untuk mendorong semangat membangun yang sudah sepatutnya harus dilakukan oleh para pemuda atau orang-orang yang berjiwa muda. Patung yang satu ini menggambarkan seorang pemuda yang memiliki semangat tinggi sambil membawa obor. Oleh karena itu patung tersebut diberi nama Patung Pemuda Membangun. Jika dilihat dari penampilannya, patung ini tidak mengenakan busana, hal ini memang disengaja yang tujuannya adalah untuk memperlihatkan otot yang kekar dari para tokoh pemuda Indonesia.

Dikutip dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta, makna dari obor yang diangkat oleh sosok pemuda dalam patung tersebut adalah sebagai alat untuk menerangi kegelapan hati dan jiwa. Oleh karena itu, para pemuda diharapkan dapat berperan penting dalam pembangunan bangsa Indonesia.

Harapan dari didirikannya Patung Pemuda Membangun adalah agar para pemuda Indonesia turut berperan aktif dalam pembangunan bangsa, serta berpartisipasi dalam meraih cita-cita bangsa Indonesia.

Patung yang terkadang juga disebut sebagai Patung Pizza Man ini terletak tidak jauh dari pertokoan Ratu Plaza. Dikutip dari buku Sejarah Singkat Monumen dan Patung Di Kota Jakarta, koleksi Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, tahun 1992, patung ini dibuat oleh tim pematung yang tergabung dalam Biro Insinyur Seniman Arsitektur (ISA) di bawah pimpinan Imam Supardi dan penanggung jawab pelaksanaan oleh Munir Pamuncak. Pengerjaan patung tersebut dimulai pada bulan Juli 1971 dan diresmikan pada bulan Maret 1972.

Rencana awalnya, peresmian patung pemuda akan dilakukan pada acara Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1971, namun patung yang dibuat oleh Biro Insinyur Seniman Arsitek ini belum selesai dibangun sehingga peresmiannya ditunda beberapa bulan. Berdasarkan data Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta, seluruh biaya pembangunan Patung Pemuda Membangun ditanggung oleh Pertamina.

Hari ini, Patung Pemuda Membangun sangat identik dikaitkan dengan kawasan Senayan, sehingga apabila Anda melihat patung ini, bisa dipastikan Anda sedang berada di Senayan.

Sumber:
Jakarta Raya (Indonesia). Dinas Museum dan Sejarah. (1992). Sejarah Singkat Monumen dan Patung Di Kota Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah
Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Administrasi Jakarta Pusat: https://sudinpusarjakpus.jakarta.go.id/?p=11423

Tutup

Relief Sakinah

Relief Sakinah

Sarinah, pusat perbelanjaan legendaris kota Jakarta. Tentunya Anda sudah tidak asing dengan pusat perbelanjaan yang satu ini. Didirikan pada tahun 1962, Sarinah adalah pusat perbelanjaan pertama di Indonesia. Dilansir dari portal resmi Galeri Nasional, Gedung Sarinah merupakan salah satu proyek mercusuar Presiden Soekarno. Nama Sarinah diambil dari nama salah seorang pengasuh masa kecil Presiden Soekarno.

Gedung Sarinah sendiri dikenal sebagai gedung pencakar langit pertama di Kota Jakarta. Namun, tahukah Anda, bahwa ada sebuah peninggalan sejarah berskala gigantik di dalam gedung tersebut?

Ya, terletak di lantai dasar Gedung Sarinah, terdapat sebuah peninggalan karya seni berupa relief yang berukuran sangat besar. Dikutip dari portal resmi Galeri Nasional, karya Relief Sarinah ini berukuran 3 x 12 meter, yang menggambarkan beberapa figur berupa kuli, petani, nelayan, dan juga perempuan berkebaya yang membawa barang dagangan. Sosok-sosok dalam relief ini membentuk citra ideal rakyat kecil yang ditampilkan sedang bekerja dengan kepercayaan diri tinggi.

Berdasarkan data yang dipaparkan Galeri Nasional di portal web resminya, relief ini dibuat sekitar tahun 1963. Mengenai siapa seniman yang mengerjakan karya ini, hingga hari ini masih belum diketahui dan masih dalam proses penelitian lebih lanjut.

Yang menjadi unik dari Relief Sarinah adalah ketiadaan prasasti yang mencantumkan siapa pencipta karya ini. Yang menjadi sedikit aneh karena seniman-seniman era 1960 yang memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno dengan bangganya akan mencantumkan namanya pada hasil karya yang mereka kerjakan atas permintaan Soekarno.

Sempat muncul dugaan perihal siapa seniman yang menciptakan karya ini. Berdasarkan pengakuan pematung Edhi Sunarso, Relief Sarinah diduga merupakan hasil karya para perupa Sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Harijadi Sumadidjaja dan Saptoto.

Dilansir dari portal berita BBC Indonesia, beberapa nama lain yang muncul terkait siapa pembuat relief misterius ini yakni Rustamadji, Batara Lubis, Djoni Trisno, dan Trubus. Ketiga nama belakangan merupakan anggota dari Sanggar Pelukis Rakyat, Yogyakarta. Namun nama terakhir telah wafat sekitar tahun 1965.

Jika Anda penasaran dengan karya gigantik ini, Anda bisa berkunjung ke pusat perbelanjaan Sarinah.

Sumber:
Galeri Nasional Indonesia: https://galnasonline.id/poros/karya/relief-sarinah
BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55714420

Tutup

Benyamin Sueb, cerita seniman serba bisa

Ada banyak hal yang kita bisa pelajari dari perjalanan hidup seniman legendaris ini, beberapa di antaranya adalah semangat berkontribusi, juga melestarikan tradisi dan budaya yang berharga untuk generasi yang akan datang

Baca selengkapnya

Benyamin Sueb, cerita seniman serba bisa

Benyamin Sueb, cerita seniman serba bisa

Lukisan mural wajah Benyamin Sueb di sepanjang tembok Jalan RE Martadinata, Tanjung Priok hingga Pademangan menyambut Jakarta Hajatan ke-495.

Wajah seniman Betawi itu ada yang menyeringai bahagia dengan latar dominan jingga.

Ada pula lukisannya yang tampak berwibawa dengan latar dominan hitam, dan tulisan Benyamin Sueb warna putih memakai huruf kapital semua.

Pengendara yang melintas sesekali menengok lukisan baru di kawasan itu. Rupanya juga menikmati wajah sang seniman dalam balutan mural tersebut.

Ada banyak hal yang kita bisa pelajari dari perjalanan hidup seniman legendaris ini, beberapa di antaranya adalah semangat berkontribusi, juga melestarikan tradisi dan budaya yang berharga untuk generasi yang akan datang.

Sampai sekarang pun kalau menonton kembali film-film yang dibintangi dari Benyamin, kita masih dapat menemukan hal baru baik lawakan, celetukan, ataupun tingkah laku.

Namun yang paling berkesan bagi putra ketiga Benyamin Sueb, Biem Triani, adalah "Babeh" sangat peduli terhadap pendidikan.

Benyamin rela membanting-tulang demi anak-anaknya meraih pendidikan setinggi-tingginya. Dimanapun tempatnya pasti diusahakan.

Hasilnya, Benyamin pun bisa menyekolahkan anaknya hingga ke luar negeri, di Denver, Colorado, Amerika Serikat.

Sebagai orang Betawi asli pemeluk Islam. Soal sekolah anaknya, Benyamin menyerahkan Biem sang anak mau di mana saja.

Biem sendiri bahkan juga pernah sekolah di Sekolah Katolik dan "Babeh" Benyamin Sueb enggak mempersoalkan.

Babeh hanya berpesan kepada Biem untuk belajar dengan giat, menjaga agama, dan shalat pun dijaga agar tepat waktu.

Menurut Biem, Benyamin cukup kuat agamanya. Termasuk soal makanan, yang haram tentu harus dihindari kalau sudah diberitahu itu haram.

Sosok Benyamin merupakan gambaran Betawi yang berpendidikan atau Betawi "sekolahan". Babeh Benyamin juga visioner, karena seperti sudah memprediksi di masa depan persaingan global di Jakarta akan seketat apa.

Untuk itu, sosok yang lahir 83 tahun lalu atau tepatnya 5 Maret 1939 ini mempersiapkan sumber daya manusia Betawi untuk masa mendatang saat Jakarta menjadi kota harapan, kota ekonomi, kota budaya, dan menjadi pusatnya bagi semua orang.

Jakarta sekarang bukan seperti dulu, yang banyak kebon sehingga orang Jakarta mau membuat apa di sini misalnya, enggak terlalu susah. Dan juga tidak terlalu hiruk-pikuk.

Beda di Jakarta sekarang pembangunan semakin maju dan kontinuitas pembangunan kotanya pun terus dipertahankan. Anak Betawi yang semakin baik pendidikannya, tentu akan menjadikannya lebih siap tinggal di Ibu Kota.

Benyamin Sueb, cerita seniman serba bisa

Terlebih, pemerintahan di Jakarta juga selalu baik, khususnya bagi perkembangan budaya Betawi.

Di Setu Babakan juga telah dibuatkan Kampung Budaya Betawi, itu menurut Biem mampu melestarikan budaya masyarakat asli Jakarta tersebut

Di area Setu Babakan itu kini ada rumah adat Betawi, ada tempat pagelaran, ada tempat kuliner. Sehingga saat ke sana, Biem seperti kembali ke masa silam.

Begitu memasuki kawasan Setu Babakan masyarakat akan disuguhi bangunan-bangunan asli Betawi yang tentunya akan membawa kenangan mereka yang pernah lahir di Betawi.

Tak hanya itu pagelaran seni dan yang kerap diselenggarakan di kawasan itu membuat pengunjung merasa di perkampungan Betawi asli dan tentu betah beralam-lama menikmati keindahan alam serta ditemani panganan khas setempat.

Dia berharap, mudah-mudahan kelestarian budaya Betawi itu bisa terus dipertahankan lebih baik lagi nanti, siapa pun gubernur yang memimpin Jakarta ke depan.

Menurut Biem, tidak masalah walau dalam sejarah menyatakan budaya Betawi yang di kampung (tengah kota) maupun di pesisir (batas Marunda) itu berbeda.

Yang penting adalah komitmen melestarikan kebudayaan Betawi terus ada, karena itu saja sudah sangat berharga.

Babeh Benyamin Sueb sendiri lahir di Kampung Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta. Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan utama di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat.

Di Jakarta sendiri, pendukung klub sepakbola Persija kerap memajang wajah Benyamin Sueb di mana-mana.

Ternyata kegemaran Benyamin pada olah raga sepakbola itu amat mendalam. Posisi main favoritnya adalah sebagai penyerang atau striker.

Babeh Ben sangat hobi bermain sepakbola bersama remaja di sekitar rumahnya, bahkan hingga beliau saat itu berusia 56 tahun, beberapa hari sebelum menghembuskan napas terakhirnya.

Benyamin Sueb diketahui wafat pada 5 September 1995 karena serangan jantung, setelah sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Harapan Kita.

Namun semangat dan kecintaan Benyamin pada sepakbola itu kadung diturunkan kepada Biem. Kebetulan Biem saat ini juga mempunyai klub sepakbola, namanya Betawi FC. Ikon klubnya pun almarhum Babeh Benyamin Sueb.

Jakarta Hajatan ke-495 kali ini adalah Hari Jadi Jakarta yang ke-27 tanpa sosok Benyamin Sueb. Diketahui pada HUT ke-469 pada tahun 1996, Jakarta baru satu tahun kehilangan ikonnya tersebut.

Banyak kenangan dan gairah yang ditinggalkan seniman dengan lebih dari 75 album musik dan 53 judul film itu untuk Kota Kolaborasi ini.

Di Jalan RE Martadinata Jakarta Utara pun sudah ada gambar lukisan mural Benyamin Suaeb yang gede banget.

Lukisan mural itu membanggakan sekali buat keluarga almarhum dan membahagiakan Biem sebagai putranya.

Itu melengkapi kebahagiaan ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyematkan nama Benyamin Sueb sebagai nama jalan, taman, dan museum dan Pemerintah Indonesia memberikan penghargaan Parama Dharma 2011 kepada seniman serba bisa asal Betawi Benyamin Sueb itu.

Tapi yang paling penting, Benyamin memberikan kita cerminan budaya Betawi yang mendapat pengakuan dan diterima masyarakat.

Semua karena gagasan Benyamin mampu menggebrak panggung hiburan, seni dan budaya di Indonesia dengan penuh makna. Gebrakan yang meski humoris, tapi sangat peduli terhadap kemajuan Betawi.

Tutup

Sang pelestari ikon budaya Betawi

Aroma wangi rempah begitu terasa ketika memasuki rumah produksi minuman tradisional yang dikelola Abdul Mutakin di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Baca selengkapnya

Sang pelestari ikon budaya Betawi

Sang pelestari ikon budaya Betawi

Aroma wangi rempah begitu terasa ketika memasuki rumah produksi minuman tradisional yang dikelola Abdul Mutakin di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Ada aroma jahe, cengkih hingga kapulaga di dalam rumah bercat kuning yang dinamakan Rumah Produksi Bir Pletok Bang Isra.

Di rumah produksi yang berada di tengah kediaman bergaya Betawi itu, Abdul bersama kakak-kakaknya menjalankan usaha keluarga, meracik bir pletok khas Betawi.

Dibantu enam orang pekerja, ia memproduksi minuman tradisional penghangat tubuh itu sejak 2017.

Para pekerja itu adalah ibu-ibu rumah tangga di sekitar rumahnya yang digandeng untuk menghidupkan usaha skala mikro tersebut.

Mereka berbagi tugas, ada yang meracik rempah, memasak hingga mengemas minuman berwarna merah itu menjadi dua ukuran, ada yang berukuran 250 mililiter dan 600 mililiter.

Untuk sekali produksi, ia membutuhkan sekitar 10 kilogram jahe yang dipasok dari Pasar Induk Kramat Jati dan bahan rempah lain yang jumlahnya kurang dari satu kilogram.

Rata-rata per hari, ia mampu memproduksi sekitar 500 botol bir pletok tanpa pengawet, dengan rata-rata produksi tiga kali dalam satu minggu.

Adapun nama Bang Isra diambil dari nama almarhum sang kakak yang menginisiasi pengembangan kuliner khas Betawi melalui usaha keluarganya.

Sebagai putra Betawi asli, Abdul ingin berkontribusi untuk melestarikan budaya Bir Pletok yang menjadi salah satu ciri khas Jakarta.

Kehadiran berbagai merek minuman hingga aneka kopi gaya milenial tidak menyurutkan niatnya untuk mengembangkan bir pletok.

Ia yakin bir pletok terus diminati karena dari sisi produksi, bahan baku berupa rempah cukup mudah didapatkan sehingga bisa tetap berjalan agar keberadaannya tetap eksis.

Awalnya, minuman itu diproduksi hanya sebatas acara keluarga dan kerabat atau hanya hadir di kegiatan seremonial atau pameran seperti Pekan Raya Jakarta (PRJ).

Dengan produksi berkelanjutan, ia pun memasok bir pletok di sejumlah titik di antaranya kawasan wisata budaya Setu Babakan, restoran hingga tempat publik seperti stasiun kereta di Tebet, Jakarta Selatan.

Sang pelestari ikon budaya Betawi

"Rasa tanggung jawab kami terhadap budaya Betawi itu tetap ada, faktor ekonomi juga tetap kami jalani sehingga berimbang," kata bapak dua anak itu.

Bir pletok merupakan minuman tradisional yang sejatinya tidak mengandung alkohol, alias tidak memabukkan.

Rempah yang diracik menjadi bir pletok semua rempah yang biasa ditemukan di Tanah Air yakni jahe, cengkih, serai, biji pala, kapulaga, kayu manis, kayu secang, daun pandan, daun jeruk, lada, cabai jawa, dan gula.

Minuman tradisional itu dipercaya memiliki khasiat untuk menghangatkan tubuh dan menjaga daya tahan tubuh.

Selain bir pletok, ada juga ikon Betawi lainnya yakni kerak telor. Makanan legenda itu bisa dikatakan memiliki nasib hampir serupa dengan bir pletok yang berupaya tetap eksis di tengah gempuran kuliner Barat dan kekinian.

Kuliner yang terbuat dari bahan utama ketan, telor dan serundeng itu kerap menjadi incaran masyarakat yang rindu dengan makanan tradisional Jakarta.

Penyajian sederhana dan cara memasak menggunakan arang dalam tungku menjadikan makanan khas Betawi itu unik.

Meski begitu, tidak banyak tempat dan penjual ditemukan secara merata di Ibu Kota yang menghadirkan kerak telor.

Biasanya, kerak telor dijual secara individu oleh pedagang keliling atau di beberapa titik saja yang bisa dihitung jari.

Selain itu, panganan tersebut biasanya ada ketika hajatan hingga festival atau pameran yang diadakan pemerintah seperti PRJ.

Yusuf Saepudin merupakan satu dari sejumlah pedagang kerak telor yang hadir di ajang pameran terbesar di Indonesia itu.

Ia mengaku meneruskan tradisi sang kakek yang melestarikan makanan kerak telor.

Kini, ia tetap eksis menjajakan kerak telor di kawasan Banjir Kanal Timur (BKT) Duren Sawit, Jakarta Timur agar masyarakat tidak lupa dengan makanan khas Betawi.

Selain kuliner, ada juga ondel-ondel yang juga ikon budaya Betawi.

Sang pelestari ikon budaya Betawi

Serangkaian HUT ke-495 DKI Jakarta, sejumlah seniman ikut berpartisipasi memeriahkan hajatan, dengan menampilkan kreasi sepasang boneka besar khas Betawi itu.

Seniman Suprayogi merupakan salah satu pegiat ondel-ondel dari Jagakarsa, Jakarta Selatan yang hampir tiap tahun memamerkan kreasinya.

Pada hajatan HUT DKI, ia akan memamerkan 12 boneka yang terbuat dari anyaman bambu itu di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 19 Juni 2022.

Suprayogi mengharapkan melalui pameran itu masyarakat lebih mengenal ondel-ondel secara utuh sehingga berkembang ke arah lebih positif demi pelestarian budaya Jakarta.

Seniman yang menggeluti ondel-ondel sejak 1999 itu menilai pameran khusus tersebut akan menjadi wadah melestarikan seni dan budaya asli masyarakat Betawi.

Bir pletok, kerak telor dan ondel-ondel adalah ikon budaya Betawi yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 11 tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi.

Selain ketiga ikon itu, lima ikon budaya Betawi lainnya yakni kembang kelapa, ornamen gigi balang, baju sadariah, kebaya kerancang, dan batik Betawi.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, penyelenggaraan pelestarian juga meliputi delapan ikon budaya Betawi tersebut disamping soal kepurbakalaan, film, museum, sejarah hingga sastra.

Pelestarian kebudayaan Betawi menjadi krusial di tengah modernitas masyarakat Jakarta.

Sebagai wadah berkumpulnya masyarakat Betawi, Badan Musyawarah (Bamus) Betawi juga memegang kunci untuk mendukung pelestarian budaya Jakarta.

Ketua Umum Bamus Betawi Riano P Ahmad menjelaskan organisasinya memberikan dukungan pelestarian kebudayaan Betawi di antaranya fasilitasi seniman, perajin dan UMKM melalui pelatihan digital.

Selain itu, untuk memberikan perlindungan mereka diajak mendirikan koperasi Betawi yang tujuan akhir semuanya adalah untuk budaya Betawi lestari, agar bisa terus berkelanjutan.

Tutup

Nostalgia Betawi dalam lukisan Sarnadi Adam

Kamis, 16 Juni 2022 pukul 19.30 WIB menjadi malam perdana bagi galeri seni itu memamerkan 21 lukisan karya Sarnadi Adam, pelukis berdarah Betawi.

Baca selengkapnya

Nostalgia Betawi dalam lukisan Sarnadi Adam

Nostalgia Betawi dalam lukisan Sarnadi Adam

Galeri Seni di lantai dua Gedung Panjang, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta tampak berbeda dari biasanya.

Kamis, 16 Juni 2022 pukul 19.30 WIB menjadi malam perdana bagi galeri seni itu memamerkan 21 lukisan karya Sarnadi Adam, pelukis berdarah Betawi.

Pandangan mata tertuju pada warna warni goresan tangan karya sang maestro kelahiran Simprug, Jakarta Selatan itu yang dituangkan melalui lukisan berukuran besar, hingga lebih dari 200 cm.

Pelukis berusia 66 tahun itu begitu piawai mengalihkan pandangan dengan memainkan warna cerah yang dominan kuning, merah dan hijau di setiap karya lukisannya.

Sebagai putra asli Betawi, Sarnadi tidak pernah melepaskan budaya masyarakat Jakarta dalam setiap karyanya.

Nostalgia Betawi dalam lukisan Sarnadi Adam

Melalui imajinasi dan kreasinya di kanvas, ia menginginkan seni dan budaya Betawi tetap eksis meski Jakarta semakin berkembang menjadi salah satu kota global dengan kehidupan modern.

Alhasil, para penikmat seni atau bahkan masyarakat biasa, diajak bernostalgia, melihat Betawi dalam bingkai lukisan.

"Lukisan-lukisan ini terinspirasi ketika saya masih remaja atau anak-anak sehingga kenangan itu membekas dengan situasi Jakarta yang sudah sangat berbeda seperti sekarang," kata Sarnadi Adam pada pembukaan pameran tunggal lukisannya.

Adapun objek yang ditorehkan dalam kanvas itu didominasi dari kehidupan berkesenian dan kebudayaan masyarakat Betawi.

Nuansa dalam setiap lukisan yang dihadirkan maestro itu menampilkan suasana Jakarta tempo dulu.

Misalnya lukisan tentang kehidupan warga di salah satu warung di Rawa Simprug dengan pakaian khas Betawi, lengkap dengan rindangnya pepohonan sebagai latar suasana perkampungan.

Begitu juga lukisan Palang Pintu dengan latar belakang hijau pepohonan, dialog para penari wanita di antaranya penari Cokek Betawi hingga ondel-ondel yang menjadi ikon Jakarta

"Dulu kita punya sebuah perkampungan yang sangat sejuk, damai, ketika siang hari kami jalan di kampung tidak panas karena pohon rindang menutupi tanah jadi adem," ucap seniman yang berkarya sejak 1975 itu.

Nostalgia Betawi dalam lukisan Sarnadi Adam

Tak hanya itu, kehidupan masyarakat Betawi yang berbaur dengan etnis lain di Jakarta juga ditampilkan dalam lukisan pameran tunggal itu.

Lukisan itu menunjukkan potret Jakarta yang terbuka dan menjadi rumah bagi masyarakat multikultur.

Sebagian karya lukisan Sarnadi Adam dibuat selama masa pandemi COVID-19 dari 2020 hingga 2021 yang digarap di Studio Perupa Betawi miliknya di kawasan Simprug, Jakarta Selatan.

Pandemi tidak menyurutkan kreasi dan gerak tangan pelukis untuk terus berkarya.

Hasil karyanya pun juga sebagian di antaranya menceritakan kehidupan para seniman misalnya para penari yang sempat terhenti beraktivitas seni karena dampak pandemi COVID-19.

Misalnya, ia melukiskan dua penari dengan busana khas Betawi berdiam diri dengan judul lukisan "Menatap Masa Depan" dan ada juga tiga penari yang sedang duduk dan berdialog.

Melalui lukisan itu seolah mengajak setiap orang yang memandanginya untuk memahami pandemi virus corona itu berdampak kepada seniman yang memaksa mereka termasuk masyarakat kebanyakan berhenti beraktivitas.

Nostalgia Betawi dalam lukisan Sarnadi Adam

Terhentinya kegiatan berkesenian itu setidaknya selama dua tahun terakhir ini karena pembatasan aktivitas untuk menekan penularan virus COVID-19.

Namun para seniman pun bersiap adaptif dan kreatif serta fleksibel di tengah pandemi dengan terus berkarya.

Kini, setelah pandemi COVID-19 di Ibu Kota melandai, Pemprov DKI Jakarta memfasilitasi ruang berkarya kepada para seniman.

Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry memfasilitasi dengan menyiapkan sejumlah lokasi di antaranya Gedung Kesenian Jakarta, pusat pelatihan seni budaya di lima wilayah di Jakarta.

Kemudian, Taman Benyamin Sueb, museum dan Taman Ismail Marzuki yang menjadi referensi eksebisi seniman.

Di sisi lain, pihaknya mengapresiasi karya Sarnadi Adam yang mengangkat peradaban masyarakat Betawi yang hadir semakin nyata sekaligus menjadi torehan sejarah karena diciptakan oleh putra Betawi asli.

Nostalgia Betawi dalam lukisan Sarnadi Adam

Berkat keteguhannya menghadirkan tema Betawi dalam setiap karyanya, Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi Beky Mardani menyebut Sarnadi pantas sebagai ikon pelukis Betawi.

"Bang Nardi memiliki kelebihan mampu menampilkan kenangan di lukisan, itu luar biasa makanya tidak berlebihan, sebagai ikon pelukis," kata Beky.

Adapun kenangan yang ia maksud adalah menjabarkan ulang lingkungan dan suasana Jakarta tempo dulu dengan budaya Betawi yang khas.

Jejak Sarnadi di dunia seni memang tak instan tapi berkarya sejak 1975.

Pria dua anak itu aktif melakukan pameran baik tunggal hingga pameran bersama sejak 1999 ketika melakukan eksebisi pertama di Amsterdam, Belanda.

Tak hanya di dalam negeri, dosen seni rupa di Universitas Jakarta itu juga pernah pameran di beberapa kota di Amerika Serikat di antaranya New York, New Jersey dan Boston.

Lukisan Sarnadi juga pernah menjajal sejumlah negara lain yakni Jerman, Prancis, Swedia, Belgia, Luxemburg, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Korea Selatan, hingga China.

Pameran itu selain sebagai bentuk eksistensi diri, juga tanggung jawab sebagai pelukis, baik untuk pameran yang bersifat seremonial maupun sosial.

Sejumlah penghargaan dalam bidang seni telah dikantongi sejak 1975 di antaranya tiga kali meraih Satya Lencana Karya Satya dari Presiden Gus Dur pada 2000, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011 dan Presiden Joko Widodo pada 2017.

Kehadiran lukisan Sarnadi di TIM pada tahun ini setelah vakum dua tahun akibat pandemi menjadi momentum tersendiri bagi peraih gelar doktor seni lukis di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.

Eksebisi itu juga sekaligus menyemarakkan HUT ke-495 Jakarta yang dipamerkan hingga 30 Juni 2022 mulai pukul 10.00 hingga 20.00 WIB.

Tutup

Tokoh-tokoh dari tanah Betawi

Hari Ulang Tahun (HUT) ke-495 Jakarta yang jatuh pada 22 Juni 2022 dapat menjadi momen untuk mengenang kembali jasa tokoh-tokoh asli Tanah Betawi yang telah memberikan sumbangsih nyata bagi masyarakat Indonesia.

Tokoh Betawi

Tempat-tempat ikonik di Jakarta

Image

Pasar Baru

Pasar Baru

Pasar Baru

Pasar Baru menjadi bukti nyata betapa Kota Jakarta tidak pernah kehabisan tempat berbelanja sejak dahulu kala. Meski tidak seramai tempo dulu, sisa kejayaan Pasar Baru sebagai tempat beradu nasib para pedagang pribumi, Tionghoa, dan India masih jelas terlihat hingga hari ini.

Menurut buku Menguak Pasar Tradisional Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pasar tertua ketiga di Jakarta ini didirikan pada tahun 1820 dengan ejaan awal De Nieuwe Markt dan serapan awalnya Passer Baroe. Arsitektur berlanggam eropa klasik dengan kaca patri menjadi ciri khas jajaran toko di Pasar Baru.

Penamaan Pasar Baru bukan asal pilih. Pembangunannya memang dimaksudkan untuk melengkapi perpindahan pusat pemerintahan baru VOC dari Batavia Lama ke Weltevreden yang kini merupakan wilayah sekitar Lapangan Banteng. Dengan kata lain, Pasar Baru hadir untuk melengkapi dua pasar yang lebih dulu beroperasi di sekitaran Batavia Lama atau Kota Tua, yakni Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang.

Pasar Baru

Meski dibangun dengan tujuan serupa, Pasar Baru membawa gambaran yang berbeda. Sejak selesai dibangun hingga kisaran tahun 1930-an, Pasar Baru begitu tersohor dan bergengsi, tidak dikenal sebagai pasar tradisional selayaknya Pasar Senen atau Pasar Tanah Abang. Alasannya dikarenakan lokasinya yang dekat dengan kawasan elit Rijswijk yang kini adalah Jalan Veteran, Jakarta Pusat.

Selain itu, Sungai Ciliwung yang tepat berada di depan Pasar Baru telah dikenal luas karena airnya yang mengalir dan bersih sehingga sudah lebih dulu riuh dengan berbagai kegiatan, baik ritual keagamaan, jalur transportasi hingga aktivitas pribadi seperti mandi, cuci, kakus.

Adapun alasan lainnya dan barangkali jadi alasan utama mengapa Pasar Baru begitu bergengsi pada jamannya ialah para pedagangnya terkenal mampu memenuhi pesanan tersier konsumen, seperti sepatu, lukisan, jahit kebaya dan gaun dengan cepat dan cekatan. Para pelanggan setia Pasar Baru datang dari kalangan menengah ke atas, baik pribumi maupun mancanegara. Oleh sebab itu, kawasan Pasar Baru pada 1930-an menjadi pusat perdagangan yang ramai disinggahi oleh beragam suku bangsa Asia dan Eropa.

Sumber:
Harianti, D, dkk. (2012). Menguak Pasar Tradisonal Indonesia. Jakarta: Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tutup

Glodok

Glodok

Glodok

Membincangkan Glodok hari ini masih lekat dengan geliat kehidupan masyarakat Indonesia Tionghoa, mulai dari ritual keagamaan hingga hiruk-pikuk aktivitas ekonomi seperti jual beli barang elektronik, obat tradisional, bahkan sederet kuliner yang tidak lazim ditemui.

Glodok sebagai kawasan pecinan memang bukan lekatan baru. Masyarakat Tionghoa tercatat telah mendiami kawasan Glodok pada pertengahan abad ke-17. Adolf Heukeun, peneliti sejarah Jakarta dalam bukunya berjudul Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta mengutip langsung Kronik Kai-ba-li-dai shij (Kronik Tionghoa di Batavia) yang berbunyi:

“Sekitar tahun 1650, Letnan Tionghoa Guo Xun Guan mendirikan sebuah kelenteng untuk menghormati Guan-Yin di daerah Glodok. Waktu itu Glodok masih agak kosong”.

Lantas, masyarakat Tionghoa semakin ramai menempati kawasan Glodok seusai peristiwa pembantaian yang dilakukan serdadu VOC di tahun 1740, atau lebih dikenal dengan Geger Pacinan Tragedi Angke. VOC meyakini, kian bertambah banyaknya masyarakat Tionghoa yang bermukim di pesisir utara Jayakarta atau Sunda Kelapa menimbulkan ketidakstabilan terhadap monopoli perdagangan sekaligus membawa sederet masalah sosial.

Seusai peristiwa berdarah tersebut, Baron van Imhoff yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Batavia sejak tahun 1743 memutuskan untuk memusatkan pemukiman masyarakat Tionghoa di satu kawasan, yaitu kawasan Glodok yang telah berada di luar Benteng Kota, menjauhi Oud Batavia atau Kota Tua. Karena itu, lalu lalang orang-orang Tionghoa dengan rambut dikepang panjang ke belakang, bagian depan dicukur licin, serta mengenakan setelan Tang atau Cheongsam merupakan pemandangan khas Glodok pada zamannya.

Namun begitu, kata Glodok sendiri dipastikan bukan berasal dari bahasa Mandarin apalagi nama Tionghoa meskipun asal usul namanya memiliki beberapa versi.

Dalam bukunya yang berjudul Betawi Queen of The East, Alwi Shahab menuliskan bahwa kata Glodok menyerap tiruan bunyi suara kucuran air yang jatuh dari pancuran kayu setinggi kurang lebih sepuluh kaki, yakni grojok-grojok. Kemudian, suara grojok-grojok tersebut diucapkan oleh orang-orang Tionghoa totok menjadi glodok, menyesuaikan dengan lidah mereka, demikian versi sejarawan Betawi Rachmat Ruchiat dalam bukunya Asal-usul Nama Tempat di Jakarta.

Sumber:
Shahab, A. (2002). Betawi: Queen Of The East. Jakarta: Republika.
Ruchiat, R. (2012). Asal-usul Nama Tempat di Jakarta. Depok: Masup Jakarta

Tutup

Museum Fatahillah

Museum Fatahillah

Museum Fatahillah

Berdiri megah hingga hari ini, Museum Sejarah Jakarta atau lazim disebut Museum Fatahillah tidak hanya mengabadikan perjalanan sejarah Kota Jakarta, namun juga riwayat perjalanan bangunannya yang berusia tak kurang dari lima abad.

Menurut laman Rumah Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, riwayat bangunan Museum Sejarah Jakarta dimulai pada tahun 1627. Pada masa itu, pembangunannya dimaksudkan untuk menggantikan Gedung Balai Kota Batavia yang sebelumnya hancur karena serangan pasukan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram di tahun 1626.

Bangunan yang sama kembali mengalami pembongkaran dan pembangunan ulang karena kondisi tanah di Kota Batavia yang tidak stabil hingga kian hari menurunkan posisi bangunan dari permukaan tanah. Pembangunannya dimulai kembali pada tanggal 25 Januari 1707 atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoorn.

Museum Fatahillah

Seiring berjalannya waktu, bangunan gedung ini mengalami alih fungsi, mulai dari gedung dewan pengadilan, Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat, hingga kantor pengumpulan logistik semasa pemerintahan Jepang pada tahun 1942-1945. Setelah kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1952, gedung ini menjadi markas Komando Militer Kota I, menyusul kembali diubah menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat.

Adapun Museum Sejarah Jakarta baru berdiri pada tahun 1936 dengan nama awal Museum Oud Batavia dan lokasi awalnya di sisi timur Kali Besar yang kini dikenal sebagai Museum Wayang. Museum ini milik Yayasan Oud Batavia yang didirikan guna mengumpulkan segala ihwal tentang sejarah Kota Batavia. Koleksi-koleksi awal Museum Oud Batavia kebanyakan merupakan peninggalan-peninggalan masyarakat Belanda yang tinggal di Batavia sejak awal abad XVI, seperti mebel perabotan rumah tangga, senjata, keramik, peta, serta buku-buku.

Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, museum ini berganti nama menjadi Museum Djakarta Lama. Di tahun 1968, kewenangan museum ini akhirnya diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta. Gubernur Ali Sadikin pun melakukan pemugaran terhadap bangunan-bangunan lama, termasuk gedung Balai Kota Batavia.

Ia lantas mengubah fungsinya dari kantor balai kota menjadi museum, dengan nama Museum Sejarah Jakarta yang berdiri resmi sejak tanggal 30 Maret 1974. Oleh karena itu, seluruh koleksi Museum Djakarta Lama dipindahkan ke Museum Sejarah Jakarta, dengan ditambah koleksi dari Museum Nasional.

Sumber:
Rumah Belajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: https://petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id/Repositorys/museum_sejarah_jakarta/

Tutup

Sarinah

Sarinah

Sarinah

Sarinah bukan hanya menjadi mal pertama sekaligus tertua, namun juga pelopor bisnis ritel modern di Indonesia. Sejak awal hingga hari ini, kehadirannya dimaksudkan untuk mewadahi kegiatan perdagangan produk dalam negeri serta mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Mengutip penjelasan dari laman resmi Sarinah, penggagas berdirinya Sarinah ialah Soekarno Sang Bapak Proklamator. Dalam hemat pandangan Soekarno, Sarinah mutlak diperlukan untuk ekonomi sosialis, yakni sebagai alat distribusi legal yang mampu menekan sekaligus menurunkan harga berbagai barang, utamanya produk buatan dalam negeri.

Ia bercita-cita menjadikan Sarinah sebagai pusat sales promotion barang-barang produksi dalam negeri, mulai dari barang konsumsi sehari-hari, seperti pertanian hingga barang-barang industri rakyat. Soekarno ingin rakyat Indonesia berdikari dengan barang-barang buatan tangan mereka sendiri. Konsep bisnis Sarinah ini ditiru Soekarno dari negara-negara sosialis lainnya, seperti Vietnam, China, Rusia hingga Hungaria.

Adapun nama Sarinah sendiri dipilih Soekarno sebab salah satu pengasuhnya di masa kecil bernama Sarinah. Dalam otobiografinya berjudul Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia yang disusun oleh Cindy Adams, Soekarno mengatakan bahwa Sarinah yang mengajarkannya mengenal dan belajar tentang arti cinta kasih. Terutama yang berkenaan dengan kecintaan kepada rakyat jelata. Menurut Soekarno, nama Sarinah bukan hanya untuk mengabadikan jasa pengasuh masa kecilnya itu, namun juga telah menginsipirasi dirinya untuk membangun pusat perbelanjaan pertama modern dari dan untuk rakyat Indonesia.

Sarinah

Untuk mewujudkan cita-citanya, Soekarno lantas mempercayakan pembangunan Sarinah kepada R. Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Menteri Muda perindustrian Rakyat sekaligus dokter pribadinya. Dalam memoarnya yang berjudul Saksi Sejarah, R Soeharto kemudian menunjuk arsitek Abel Sorensen dari Denmark untuk merancang bangunan Sarinah, sedang pembangunannya diserahkan kepada kontraktor Jepang dengan pembiayaannya dari pampasan perang Jepang.

Maka pada 15 Agustus 1966, Soekarno berhasil meresmikan Sarinah dengan 14 lantai di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat dengan R. Soeharto sebagai presiden direktur PT. Departmen Store Indonesia-Sarinah. Dalam perjalanannya di sekitaran tahun 1980, Sarinah berekspansi melalui pembukaan cabang di Semarang, Jawa Tengah yang dibarengi dengan peluncuran sejumlah program baru untuk mempromosikan produk UMKM.

Sumber:
Adams, C. H. (1966). Bung Karno-Penjambung lidah rakjat Indonesia Alih Bahasa: Major Abdul Bar Salim. Jakarta: Yayasan Bung Karno
Soeharto, R. (1984). Saksi Sejarah. Jakarta: Gunung Agung

Tutup

Jembatan Harmoni

Jembatan Harmoni

Harmoni

Anda pastinya sudah tidak asing ketika mendengar nama Harmoni. Harmoni merupakan salah satu kawasan yang terbilang cukup sibuk di Kota Jakarta. Nama Harmoni sendiri diambil dari salah satu gedung peninggalan Belanda yang didirikan pada tahun 1810, bangunan tersebut bernama Gedung Harmonie.

Di Harmoni sendiri terdapat sebuah jembatan yang juga merupakan peninggalan era kolonial. Dilansir dari portal daring Dinas Pariwisata DKI Jakarta, jembatan ini dibangun secara permanen saat perbaikan kanal dan pelebaran jalan Gajah Mada – Hayam Wuruk. Di tengah bagian jembatan tersebut berdiri sebuah patung. Sosok yang digambarkan patung tersebut adalah Dewa Hermes, sosok dewa dalam mitologi Yunani. Patung Dewa Hermes ini sendiri adalah sumbangan dari Mr Karl Wilhelm Stolz yang diterima oleh pemerintah Batavia kala itu, tepatnya pada tahun 1930.

Dahulu, Harmoni sendiri merupakan wilayah kaum sosialita Belanda, biasanya mereka berkumpul dan berpesta di Gedung Harmonie di akhir pekan. Di area ini pun pernah berdiri sebuah penginapan mewah yang bernama Hotel des Indes. Hal ini pula yang menguatkan penggambaran Harmoni sebagai kawasan yang sibuk.

Meskipun di hari ini kedua bangunan tersebut sudah tidak ada, namun Harmoni tetap mewakili kata “sibuk” yang memang sudah menjadi gambaran dari kawasan tersebut sejak era Batavia. Pada tahun 1982, Gedung Harmonie sudah rata dengan tanah, karena lahan tersebut digunakan untuk perluasan gedung Sekretariat Negara. Sedangkan Hotel des Indes dirubuhkan pada tahun 1971 dan digantikan oleh pusat perbelanjaan Duta Merlin.

Segala kemegahan wilayah Harmoni era kolonial memang sudah tergantikan dengan bangunan-bangunan baru. Namun masih ada satu peninggalan kolonial yang bisa tetap dinikmati di hari ini. Peninggalan tersebut yaitu Patung Hermes yang terletak di Jembatan Harmoni. Dalam mitologi Yunani, Dewa Hermes merupakan dewa pelindung para pedagang, yang memang mewakili kegiatan perdagangan yang masih berjalan hingga hari ini di kawasan Harmoni. Namun patung yang berdiri sekarang merupakan patung replika.

Dilansir dari portal daring Dinas Pariwisata DKI Jakarta, patung ini sempat hilang pada tahun 1986, yang diduga dirusak dan dijatuhkan oleh orang dengan gangguan jiwa. Namun akhirnya dapat diamankan oleh dinas pertamanan kala itu.

Sumber:
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta:
http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/jembatan-dan-patung-harmoni--benda-cagar-budaya?lang=id

Tutup

Jalan Thamrin - Sudirman

Jalan Thamrin - Sudirman

Jalan Thamrin - Sudirman

Kemacetan, hiruk-pikuk, orang-orang berpakaian rapi, dan gedung-gedung pencakar langit. Mungkin merupakan penggambaran yang paling mewakili Jalan Thamrin - Sudirman. Ya, Jalan M.H. Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman adalah salah satu jalan utama di Jakarta yang merupakan pusat kegiatan masyarakat, mulai dari perdagangan, pendidikan, hingga pemerintahan. Kompleks olahraga Gelora Bung Karno pun berada di kawasan yang sibuk ini, tepatnya di Jalan Jenderal Sudirman.

Jalan M.H. Thamrin membentang sepanjang 2,5 KM dari bundaran air mancur Bank Indonesia sampai Dukuh Atas. Nama jalan ini diambil dari nama salah satu pahlawan nasional, yaitu Mohammad Husni Thamrin, yang telah berjasa meningkatkan kualitas hidup masyarakat Jakarta.

Jalan Thamrin - Sudirman

Sedangkan Jalan Jenderal Sudirman membentang sepanjang 4 KM dari Dukuh Atas sampai Senayan. Seperti diketahui masyarakat, Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman merupakan salah satu tokoh pahlawan nasional yang begitu besar jasanya dalam kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, sebagai penghormatan atas jasanya, jalanan utama ini diberi nama atas nama beliau. Selain itu di kawasan Dukuh Atas, tepatnya di depan Gedung BNI, terdapat sebuah patung yang menggambarkan dirinya.

Banyak gedung yang berdiri di area ini, mulai dari bank, pusat perbelanjaan, kedutaan besar, kementerian, hingga perguruan tinggi. Beberapa bangunan yang berdiri sepanjang dua jalan utama ini antara lain, Gedung Sarinah, Bank Indonesia, Kedutaan Besar Kerajaan Jepang, Universitas Atma Jaya, Polda Metro Jaya, Bursa Efek Indonesia, dan masih banyak lagi gedung-gedung lainnya yang terdapat di sepanjang jalan Thamrin-Sudirman.

Jalan Thamrin - Sudirman

Bersama dengan Jalan Kuningan, Jalan M.H. Thamrin, dan Jalan Jenderal Sudirman merupakan pusat bisnis di DKI Jakarta yang dikenal dengan kawasan segitiga emas atau juga poros Sudirman-Thamrin-Kuningan. Maka tidak mengherankan jika ruas jalan ini selalu mengalami kemacetan di jam-jam sibuk. Beberapa metode telah dilakukan untuk mengurangi kemacetan seperti kawasan 3 in 1 hingga sistem ganjil genap yang masih berlaku hingga hari ini.

Ruas jalan Thamrin-Sudirman juga biasa digunakan untuk kegiatan hari bebas kendaraan bermotor yang dilaksanakan setiap hari minggu. Namun karena pandemi COVID-19, kegiatan tersebut sempat ditiadakan selama dua tahun yang akhirnya diselenggarakan kembali pada 5 Mei 2022 kemarin

Tutup

Monumen Nasional

Monumen Nasional

Monas

Siapa yang tidak kenal dengan Monas? Hampir seluruh orang di Jakarta atau mungkin Indonesia pasti pernah mendengar nama ini. Monumen Nasional, atau lebih dikenal sebagai Monas atau Tugu monas merupakan monumen peringatan yang memiliki tinggi 132 meter. Terletak di tengah lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, monumen ini didirikan untuk mengenang perjuangan rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan dari kolonialisme Belanda.

Dikutip dari buku Sejarah Singkat Monumen dan Patung Di Kota Jakarta, koleksi Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, tahun 1992, Monumen Nasional didirikan pada tanggal 17 Agustus 1961 dan selesai dibangun pada tahun 1965. Monas dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Pada puncak tugu ini terdapat bentuk nyala obor yang merupakan manifestasi dari api abadi yang melambangkan semangat bangsa Indonesia yang tak pernah padam.

Monas

Di dalam monumen yang satu ini juga terdapat sebuah museum. Jam operasional tugu dan museum yaitu mulai pukul 08.00 WIB – 16.00 WIB. Monumen ini terbuka untuk umum setiap hari kecuali hari Senin. Sejak April 2016, Monas mulai dibuka untuk wisatawan pada malam hari mulai pukul 19.00 WIB – 22.00 WIB pada hari Selasa sampai Jumat, sedangkan di akhir pekan jam operasional di malam hari yaitu dari pukul 19.00 WIB – 00.00 WIB.

Selama pandemi COVID-19, kawasan Monas ditutup untuk umum. Namun setelah dua tahun ditutup karena pandemi, Monas kembali dibuka untuk umum dengan beberapa pembatasan per tanggal 16 Juni 2022. Berdasarkan pernyataan Kepala Unit Pengelola Kawasan Monas, untuk saat ini hanya kawasan sekitar Monas saja yang sudah boleh dikunjungi, sedangkan untuk Tugu Monas sendiri masih belum dibuka.

Pengunjung yang ingin memasuki area Monas diwajibkan untuk melakukan scan aplikasi PeduliLindungi sebagai tindakan pencegahan penyebaran COVID-19. Selain itu pihak pengelola Monas juga menyiapkan sentra vaksinasi COVID-19 bagi pengunjung yang belum menerima vaksinasi COVID-19.

Monas

Jika Anda ingin berkunjung ke Monas, banyak pilihan moda transportasi umum untuk sampai ke lokasi. Anda bisa memilih untuk menumpangi TransJakarta jika Anda lebih suka menikmati perjalanan dengan bis. Anda juga bisa menaiki KRL ataupun MRT jika Anda senang menikmati perjalanan dengan kereta api.

Sumber:
Jakarta Raya (Indonesia). Dinas Museum dan Sejarah. (1992). Sejarah Singkat Monumen dan Patung Di Kota Jakarta. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah

Tutup

Lapangan Banteng

Lapangan Banteng

Lapangan Banteng

Lebih dari sekedar arena berolahraga, Lapangan Banteng nyatanya ikut menyimpan cerita-cerita sejarah bangsa Indonesia. Halamannya menjadi rumah bagi sederet monumen penting dari masa ke masa.

Lapangan Banteng tidaklah seluas Lapangan Medan Merdeka atau Monas. Dahulu sekali, lahan ini ialah hutan belantara yang sebagian wilayahnya rawa-rawa, bukan seperti Lapangan Monas yang merupakan padang rumput luas.

Sejarawan Betawi Rachmat Ruchiat dalam bukunya Asal-usul Nama Tempat di Jakarta menjelaskan, sejak semula lahan tersebut memang milik pribadi salah seorang pegawai VOC bernama Anthony Paviljoen Sr. yang dibeli secara resmi pada tahun 1632. Ia menyewakan lahannya kepada orang-orang Tionghoa pendatang yang kemudian mereka gunakan untuk menanam tebu dan sayur-mayur.

Lapangan Banteng

Lahan ini pun dikenal dengan nama Paviljoensveld yang bila diterjemahkan secara harfiah menjadi Ladang Paviljoen.

Barulah pada akhir abad ke-18, Daendels mengambil paksa lahan tersebut dan mengubahnya menjadi alun-alun yang rutin memamerkan berbagai parade. Namanya lantas berubah menjadi Paradeplaats atau Lapangan Parade. Sejak saat itu, Lapangan Banteng menjelma ruang publik. Semasa pemerintahan Raffles, lapangan ini rutin menjadi tempat pacuan kuda.

Lapangan Banteng

Meski namanya berganti-ganti, Lapangan Banteng dikenal luas dengan sebutan Lapangan Singa atau Waterlooplein pada zaman kolonial Belanda. Alasannya sederhana, tugu peringatan kemenangan Belanda dalam perang di Waterloo berdiri gagah di bagian tengah lapangan, lengkap dengan seekor patung singa pada bagian atasnya. Tugu ini dibangun pada tahun 1828.

Selanjutnya di tahun 1876, Jenderal JW van Lansberge menambahkan Patung Jan Pieterszoon Coen untuk memperingati 200 tahun berdirinya Kota Batavia.

Adapun nama Lapangan Banteng diberikan oleh Soekarno setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1950 untuk menghilangkan warisan kolonial Belanda. Soekarno pun mengganti tugu peringatan perang Waterloo dengan Monumen Pembebasan Irian Barat yang dibuat oleh pematung Edhi Sunarso beserta tim dengan mengikuti hasil rancangan Friedrich Silaban.

Monumen ini utamanya dimaksudkan Soekarno untuk mengenang para pejuang yang wafat dalam Operasi Trikora guna merebut kembali Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi di tahun 1962.

Sumber:
Ruchiat, R. (2012). Asal-usul Nama Tempat di Jakarta. Depok: Masup Jakarta

Tutup

Galeri Foto Jakarta

"Semua boleh datang ke Jakarta
Semua akan disambut di Jakarta
Karena Jakarta selalu memberikan harapan untuk setiap orang"

Credit

PENGARAH
Akhmad Munir, Gusti Nur Cahya Aryani, Saptono, Teguh Priyanto

PRODUSER EKSEKUTIF
Sapto HP

PRODUSER
Panca Hari P

CO PRODUSER
Taufik Ridwan

PENULIS
Abdu Faisal, Dewa Ketut Sudiarta Wugina, Yogi Rachman, Ricky Prayoga, Walda Marison, Mentari Dwi Gayati, Walda Marison, Hana Dewi Kinarina Kaban, Farika Nur Khatimah

FOTOGRAFER
Ali Anwar, Yayat Soelaeman, Hadiyanto, Yulius Satria Wijaya, Hafidz Novalsyah, Fanny Octavianus, Sigid Kurniawan, Andika Wahyu, Aprillio Akbar, Rivan Awal Lingga, Hafidz Mubarak A, Widodo S. Jusuf, Rosa Panggabean, Reno Esnir, Muhammad Adimaja, Zabur Karuru, Galih Pradipta, Indrianto Eko Suwarso, Akbar Nugroho Gumay,Dhemas Reviyanto, M Agung Rajasa, Dewa Ketut Sudiarta Wiguna, Abdu Faisal, Walda Marison, Yogi Rachman.

KURATOR FOTO
Prasetyo Utomo

INFOGRAFIK
Iqbal, Perdinan, Dyah, Wasril

EDITOR INFOGRAFIK
Rany

DATA DAN RISET
Pusat data dan Informasi ANTARA

WEB DEVELOPER
Y. Rinaldi