Sejak ditemukannya kasus HIV di Indonesia pada 1987 sejumlah langkah telah dilakukan oleh pemerintah dan juga berbagai kalangan agar mengendalikan laju paparan virus. Rumatan bagi orang yang hidup dengan HIV dan orang yang hidup dengan AIDS adalah dengan terapi obat Antiretroviral atau yang dikenal dengan ARV.
Meski hingga 2019 ini belum ditemukan obat yang bisa menghilangkan virus HIV pada tubuh manusia, namun serangkaian penelitian telah menjurus pada upaya untuk mengurangi atau menghilangkan virus tersebut pada manusia.
Dalam sebuah laporan yang dilansir oleh Popular Science pada Juli 2019 sebuah terobosan untuk menyembuhkan virus HIV pada hewan telah ditemukan. Penelitian itu dipublikasikan oleh Nature Communications dimana dalam penelitian itu virus HIV dapat dihilangkan dari tikus dengan cara penyuntingan genetik dan kemudian diberi obat.
Penelitian ini menggabungkan pendekatan penyuntingan genetik dengan sistem CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats) dengan LASER ART (Long-Acting Slow Effecive Release Antiretroviral Therapy).
Kamel Khalili, sang peneliti, sebagaimana dikutip oleh Popular Science mengatakan penelitian ini masih terus dikembangkan, dengan tahapan selanjutnya diuji coba kepada monyet. Bila berhasil maka tahapan selanjutnya adalah mencobanya ke manusia.
Tak ada perbedaan apapun yang terlihat pada Jani dengan remaja lain pada umumnya. Jani (bukan nama sebenarnya) yang tampak baik-baik saja dan sehat dengan penuh keingintahuan dan semangat belajarnya tekun menggunakan tetikus di tangan kirinya sambil matanya awas melihat layar laptop.
Dia membantu mengerjakan beberapa tugas yang bersifat administratif di Lentera Anak Pelangi (LAP), program layanan masyarakat yang berfokus pada pendampingan anak dengan HIV di DKI Jakarta. Jani adalah salah satu anak dengan HIV yang mendapatkan pendampingan dari LAP.
Ada alasan mengapa Jani menggunakan tangan kirinya dalam bekerja. Tangan kanan Jani memiliki keterbatasan yang membuatnya tidak bisa menggenggam dan berbentuk tidak seperti biasanya.
Hal itu baru dialami oleh Jani satu tahun yang lalu, saat dirinya harus diopname karena daya tahan tubuhnya menurun sehingga terinfeksi parasit toksoplasma. Penyakit toksoplasmosis itu mengakibatkan gangguan pada tangannya hingga kini.
Sebagai seorang yang hidup dengan HIV, Jani memiliki masalah dengan sistem kekebalan tubuh yang membuatnya lebih rentan terinfeksi virus atau bakteri sehingga menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit.
Jani terpaksa dirawat di rumah sakit dan meninggalkan kegiatan Melukis Pelangi yang amat disukainya, yaitu acara yang diadakan LAP setiap tahun dengan mengajak anak-anak dengan HIV bermalam di Puncak Bogor yang diisi bermacam kegiatan.
Tidak patuh meminum obat terapi antiretroviral virus (ARV) secara rutin adalah penyebab Jani terinfeksi toksoplasma. Namun sejak kejadian itu, Jani merasa kapok dan tak mau lagi melewatkan mengonsumsi obat ARV. Dia hanya tersipu malu ketika ditanya apakah rajin meminum obat ARV atau tidak.
Ya, tak ada beda antara Jani yang berusia 17 tahun dan baru lulus SMA dengan remaja putri usia 17 tahun lainnya. Dia menyukai drama Korea dan artis-artis K-POP, dia senang menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya untuk saling curhat sambil makan siang di luar, dan dia juga memiliki mimpi yang ingin digapai seperti remaja lain dalam menatap masa depan.
"Mau jadi manajer," katanya pelan sambil malu-malu mengungkapkan cita-citanya. Manajer perusahaan dan bekerja kantoran adalah cita-cita Jani, anak perempuan yang terinfeksi HIV sejak lahir.
Kedua orang tua Jani sudah meninggal, kini dia tinggal di rumah tantenya. Namun semangat terus berjuang sangat kentara terlihat di matanya yang tegas walau kepribadiannya sedikit pemalu.
Bagi Jani, LAP yang sudah mendampinginya sejak masih SMP hingga kini bagai rumah dan keluarga baru baginya. Di Lentara Anak Pelangi itulah Jani mendapatkan dukungan secara lahir dan batin. Di LAP pula Jani memiliki teman baru yang juga sepenanggungan dengannya sebagai anak yang hidup dengan HIV.
"Erin sama Fida (bukan nama sebenarnya)," kata Jani menyebutkan dua orang sahabat yang sama-sama hidup dengan HIV, yang ia temui setelah bergabung dalam pendampingan LAP.
Jani sama seperti remaja lainnya. Dia baik-baik saja. Jani hanya harus mengonsumsi obat ARV setiap hari untuk menekan jumlah virus HIV yang ada di dalam tubuhnya.
Jakarta (ANTARA) - Hujan reda tidak sempurna, Jumat (22/11) siang itu, rintiknya masih membasahi jalanan, seorang wanita mengendarai sepeda kecil berwarna biru.
Berpostur setinggi 158 cm dan berat 45 kg, wanita berambut hitam seleher itu mengkayuh sepeda dengan kencangnya.
Namun karena ukuran sepeda lebih kecil dari tubuhnya, sekencang apapun kayuhannya laju sepeda itu mengaspal tidak sebanding dengan kecepatan kayuhnya.
Dhea (bukan nama sebenarnya) bergegas memarkirkan sepeda milik anaknya di sisi kiri warung waralaba berwarna serba kuning.
Hari menunjukkan pukul 12.54 WIB, sudah waktunya dia membagikan kupon Jumat berkah kepada siapa saja yang dikehendakinya termasuk tetangganya.
Dalam waktu singkat kupon itu sudah ludes berganti dengan anak-anak yang datang menyerbu warung waralaba miliknya.
"Ayo sini-sini silahkan ambil, nanti jajan lagi ke sini ya," kata Dhea kepada anak-anak yang antre untuk mengambil satu persatu paket makanan Jumat berkah darinya.
Total ada 30 paket nasi goreng plus jus oranye disediakan oleh Dhea gratis untuk kegiatan Jumat berkah di warungnya. Begitu setiap hari berkah itu, namun berbeda menu.
Ia mengatakan kegiatan Jumat berkah ini selain untuk sedekah juga untuk mempromosikan warung waralaba yang dikelolanya bersama mitra.
Dhea bukanlah siapa-siapa, hanya wanita berusia 43 tahun, telah divonis positif sebagai ODHA sejak 15 tahun silam.
Ia terinfeksi dari sang suami yang meninggal pada 2004 setelah enam bulan dinyatakan ODHA akibat jarum suntik yang digunakannya sebagai pecandu narkoba.
Ketika suaminya dinyatakan positif, dokter telah menyarankan Dhea dan kedua anak perempuannya untuk menjalani tes HIV, namun ditolaknya lantaran belum siap mengetahui hasilnya, sambil terus berdoa kekhawatiran tidak menjadi nyata.
Tapi selepas 40 hari suaminya berpulang ke Rahmatullah, Dhea sakit-sakitan, batuk tak kunjung berhenti, dokter menyatakannya terkena TBC.
Setelah mengkonsumsi obat TBC selama tiga bulan, batuk tak kunjung juga reda, membuatnya sulit untuk makan, hingga berat badannya terus turun menjadi 20 kg, tersisa kulit pembalut tulang, Dhea sekarat seperti mayat hidup yang menanti ajal.
Keluarganya khawatir dengan kondisinya yang semakin memburuk, selama mengidap TBC, Dhea tidak bisa merawat kedua anaknya.
Dalam hati Dhea curiga kenapa batuknya tidak kunjung hilang, hingga akhirnya ia memberanikan diri bertemu dokter yang lantas menyarankan untuk melakukan tes HIV.
"Waktu itu saya sudah parah banget, dokter menanyakan apakah saya siap untuk tes, saya harus siap," kata Dhea.
Hasil tes yang diterima Dhea sempat membuatnya syok karena dirinya ternyata positif HIV dan ketika itu harapannya sirna bersama kenyataan bahwa suaminya meninggal usai dinyatakan sebagai ODHA.
Saat divonis HIV, kandungan virus dalam darahnya 750 ribu kopi per mililiter darah, dengan CD4 (sel darah putih) rendah sekali hanya 92.
Dhea merasa vonis itu membuat dunianya sudah berakhir, hanya bisa berpasrah diri dengan nasibnya.
"Waktu divonis itu sempat membuat saya sedikit syok, mungkin memang ini akhir dari segalanya," kata Dhea terisak dalam tangisnya.
Ibu empat orang anak ini hanya mempasrahkan dirinya mengikuti apa saja yang dikatakan dokter, harus minum obat, menjaga kesehatan, semua dilakoninya, tak lupa dia selalu memanjatkan doa kepada Tuhan, meminta maaf dan meminta waktu untuk tetap hidup dengan harapan ingin berbuat baik untuk orang lain.
Tak cukup hanya berjuang untuk sembuh, Dhea pun harus berjuang melawan stigma dan diskriminasi yang dialaminya setelah divonis sebagai ODHA.
Stigma dan diskriminasi itupun didapatkannya dari keluarga, ibu, bapak dan adik-adiknya memisahkan segala perlengkapannya mulai dari piring, gelas, sendok makan, hingga pakaiannya.
Tidak cukup sampai di situ, Dhea pun harus merasakan hidup terasing dari anak-anaknya, merasa hidup sebagai monster yang harus dijauhkan dari siapa saja. Begitu pula dengan para tetangga.
Melihat penampilannya yang kian memburuk, tetangga curiga dengan sakitnya. Setiap hari Dhea membeli susu kental manis di warung tetangga, selalu diberi gelas retak.
"Saya bertanya-tanya kenapa setiap kali saya beli susu saya dikasih gelas retak, alasannya cuma tersisa gelas itu, padahal kalau gelasnya pecah saya luka justru lebih berbahaya lagi," kata Dhea.
Akhirnya wanita lulusan SMEA itu sadar ternyata tetangganya mengetahui status kesehatannya, sehingga menyisakan gelasnya dan menandai gelas minuman dengan gelas retak.
Dhea tidak bisa marah, baginya perlakuan itu didapatinya karena tetangganya, keluarganya tidak tau apa-apa tentang penyakit yang mematikan itu.
Kondisi tersebut justru melecut Dhea untuk bangkit dan berjuang melawan stigma, diskriminasi dan penyakitnya.
Dibantu dengan terapi antiretroviral (ARV) si obat ajaib yang rutin dikonsumsi sehari dua kali, mengembalikan stamina dan kondisi tubuh Dhea.
"Akhirnya saya berjuang bangkit, saya harus bangkit dan bangkit, perubahan itu ada dari saya badan kurus kering, hitam, akhirnya saya pulih menjadi gemuk, kembali lagi kulitnya jadi cantik, muka lebih cantik," kata Dhea.
Sebelum menikah dan dinyatakan ODHA, Dhea berprofesi sebagai seorang SPG (sales promotion girl) di toko serba ada di kawasan Pasar Baru, dia juga pernah menjadi kasir di waralaba ayam goreng milik luar negeri.
Menikah dengan seorang pekerja kapal Dhea hidup berkecukupan, bahkan sudah punya rumah sendiri di bilangan Koja, Jakarta Utara.
Sebagai ibu rumah tangga, Dhea tidak tau persis aktivitas suaminya selain bekerja di kapal, dia tidak tau suaminya seorang pencandu.
Selama merawat suami yang sakit menanti ajal, satu persatu harta pemberian suaminya ludes terjual, hingga rumah pun tergadai.
Berbagai pekerjaan dilakoninya, sebagai ODHA yang didampingi Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Dhea aktif menjadi relawan membantu para ODHA lainnya.
Dhea menjadi penerima bantuan usaha dari YPI, berbagai jenis bisnis dicobanya mulai dari warung nasi, penjual pulsa, hingga membuka salon dengan modal dari seorang dokter.
Tapi usaha itu satu persatu bangkrut karena tidak mampu mengelola keuangan dengan baik.
Meski berkali-kali jatuh bangun membangun usaha, Dhea pantang menyerah, inilah yang jadi nilai positif YPI memandang Dhea sebagai perempuan ODHA yang pantang menyerah.
"Dhea itu wanita hebat, benar-benar pekerja keras untuk kehidupannya, setiap usahanya macet dia bangkit lagi dan terus mencoba lagi," kata Sundari, konselor YPI.
Dhea memotong stigma tentang HIV/AIDS, setelah ditinggal mati suami pertama, dirinya menikah lagi dengan suami kedua yang masih sepupu suami pertama.
Dhea tidak menutupi statusnya, kepada calon suaminya dia menanyakan apakah mau menerima dirinya yang berpenyakit.
"Saya bilang saya sakit, mau tidak terima saya. Lalu dia tanya sakit apa, saya kasih jawab lewat buku tentang HIV supaya dia baca," kata Dhea.
Hingga akhirnya Dhea menikah untuk yang kedua kalinya pada 2007 dengan suami negatif HIV.
Karena tidak kunjung dikaruniai anak, Dhea terpaksa bercerai, lalu memutuskan merantau ke Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Di rantau Dhea bertemu dengan suami ketiga yang juga menerima status dirinya sebagai ODHA dan menikahinya pada 2012, lantas dikaruniai seorang anak perempuan.
Entah apa yang terjadi, Dhea bercerai dan melanjutkan hidupnya bersama ketiga anaknya di rumah orang tuanya Jakarta.
Tahun 2015, Dhea bertemu dengan suami yang keempat, yang juga bisa menerima statusnya. Dari suami keempat lahir bayi laki-laki dengan status negatif HIV.
"Saya ingin membuktikan pada orang-orang tentang perempuan ODHA juga bisa menikah dengan laki-laki negatif dan punya anak negatif juga," katanya.
Dua anaknya yang lahir dari rahimnya setelah menjadi ODHA tenyata tidak mewarisi virus HIV yang ada di dalam tubuhnya.
Anak ketiganya kini berusia tujuh tahun dan anak laki-lakinya satu-satunya yang dimilikinya berusia 18 bulan jadi kebanggaannya.
"Anak saya empat, tiga perempuan satu laki-laki, yang laki-laki ini jadi calon pengganti Presiden Jokowi nantinya," kata Dhea penuh harap.
Dhea menyibukkan diri bekerja di warung waralaba, menyambi sebagai relawan peduli HIV/AIDS, mencari nafkah untuk membiayai keempat anaknya. Anak pertamanya sedang menempuh pendidikan di lembaga perguruan tinggi.
Anak adalah sumber kekuatan Dhea untuk bertahan, harapan memiliki usaha sendiri dan membelikan rumah untuk anak-anaknya adalah mimpi terbesarnya sebelum berpulang menghadap yang Kuasa.
Orang yang terinfeksi HIV/AIDS, baik dewasa maupun anak-anak sudah seharusnya bisa diterima dan hidup bersosialisasi dengan siapa saja serta dimana saja tanpa perlu dijauhi atau dikucilkan sesuai dengan hak asasi manusia.
Namun bagi sebagian kalangan masyarakat, orang dengan HIV/AIDS masih menjadi momok yang menakutkan sehingga perlu dijauhi.
Masih adanya stigma negatif dari masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS itu yang membuat seorang perempuan bernama Maria Magdalena Endang Sri Lestari mendirikan Rumah Singgah Aira yang terletak di Jalan Kaba Timur Nonor 14 RT 09 RW 13, Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.
Berbeda dengan rumah singgah yang ada lainnya, Rumah Singgah Aira dikhususkan untuk merawat anak-anak dan perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS.
Rumah Singgah Aira kini menampung tujuh orang dengan HIV/AIDS yang terdiri dari tiga balita, dua anak-anak, dan dua perempuan dewasa.
Mereka berlatar belakang keluarga yang berbeda-beda dan tertular virus HIV/AIDS dari orang tua yang merupakan pekerja seks komersial atau sering melakukan seks bebas atau pecandu narkoba.
Lena, panggilan akrab pendiri sekaligus pengasuh Rumah Singgah Aira mengungkapkan tujuan mendirikan rumah singgah karena ingin membagikan sisa hidupnya untuk merawat anak-anak yang terlahir atau terinfeksi HIV/AIDS.
"Selain itu, saya sayang terhadap anak-anak dan ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa anak-anak yang tidak berdosa dan terlahir dari ibu-ibu penderita HIV/Aids itu tidak selalu terinfeksi HIV/AIDS dan bisa hidup sehat," katanya.
Mereka, lanjut dia, bisa tumbuh dan berkembang seperti anak-anak pada umumnya, beraktivitas dan bermasyarakat dengan lingkungan sekitar secara baik.
Selama proses pendirian dan mengelola Rumah Singgah Aira yang saat ini masih berstatus kontrak itu, Lena mengaku sempat khawatir ada penolakan dari masyarakat yang tinggal di sekitar rumah yang akan disewanya tiap tahun.
Menurut ibu tiga anak tersebut, tidak mudah bagi dirinya untuk menyiapkan agar masyarakat sekitar bisa menerima anak-anak dan perempuan terinfeksi HIV/AIDS yang dirawatnya.
Dirinya mengajak masyarakat agar mau menerima orang-orang yang terinfeksi HIV/AIDS dengan memberikan pemahaman-pemahaman melalui cara yang sederhana.
"Saya sampaikan bagaimana cara merawat anak-anak yang terinfeksi HIV/Aids dengan harapan agar masyarakat bisa menerima mereka dan tidak merasa dikucilkan atau merasa putus asa dengan hidupnya," ujarnya.
Saat ini, masyarakat di sekitar Rumah Singgah Aira merasa nyaman, tidak merasa khawatir, bahkan "enjoy" hidup berdekatan bersama orang-orang yang terinfeksi HIV/AIDS.
Lena juga mendorong anak maupun perempuan asuhnya agar menjadi orang dengan HIV/AIDS yang sehat dan mandiri dalam berbagai hal.
Kedepan, Lena yang mendapat dukungan penuh dari ketiga anak kandungnya itu berencana membeli sebuah rumah permanen yang berukuran lebih besar dibandingkan rumah kontrak yang saat ini ditempati bersama anak asuhnya.
"Dari hasil tabungan dan sumbangan donatur, saya berencana membeli rumah sebelah agar anak-anak bisa lebih layal dan nyaman, serta memiliki keluarga utuh yang menyayangi mereka. Doakan saya...," ujarnya.
"Program pemberdayaan ekonomi pertama dimulai sejak 1999," kata Koodinator Program Dukungan untuk ODHA YPI, Sundari.
Sundari mengatakan program pemberdayaan ekonomi ini adalah salah satu dari sekian banyak program pemberdayaan dan pendampingan ODHA yang dijalankan oleh YPI.
Kegiatan pada program pemberdayaan ekonomi ini adalah membantu para ODHA untuk meningkatkan perekonomiannya lewat usaha atau kegiatan yang diminatinya.
Program tersebut juga memberikan bantuan modal usaha pada tahun pertama, lalu modal pengembangan usaha pada tahun berikutnya. Program ini telah menyasar sekitar 315 ODHA di wilayah Jakarta.
"Ini adalah program sosial, karena kita memberikan modal usaha bagi ODHA dan keluarganya yang jelas-jelas mereka memiliki risiko (meninggal dunia sewaktu-waktu)," kata Sundari.
Ia mengatakan tujuan program pemberdayaan ekonomi ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada para ODHA mandiri secara ekonomi dan berdaya dengan kemampuan diri sendiri.
Penyakit HIV/AIDS lanjut dia, dapat memiskinkan si penderita karena mereka harus mengeluarkan biaya untuk mengurus keluarganya dan mengobati dirinya.
Karena adanya stigma, beberapa ODHA kesulitan untuk mengakses pekerjaan, hal ini yang melatarbelakangi YPI untuk membuat program pemberdayaan ekonomi bagi para ODHA.
"Penerima program ini kita seleksi terlebih dahulu, minimal ada tiga syarat untuk mereka bisa mengakses modal, yakni niat, faktor keluarga dia sebagai tulang punggung, dan harus mengisi formulir pengajuan," kata Sundari.
Sebelum diberikan bantuan modal, para ODHA terlebih dahulu wajib mengikuti pelatihan tentang membangun sebuah usaha, manajemen keuangan dan tata cara memulai usaha.
"Selama menjalankan usaha mereka juga kita dampingi dan dikontrol bagaimana usahanya berjalan, apakah lancar atau ada yang macet," kata Sundari.
Sundari mengatakan program pemberdayaan ekonomi tersebut telah bergulir dari 1999 lalu berlanjut pada 2014, 2015 dan 2016.
"Khusus di 2015 programnya diperuntukkan bagi kelompok bukan perorangan," kata Sundari.
Berdasarkan data YPI jumlah ODHA yang bergabung dalam lembaga tersebut dari periode 1994 hingga 2016 tercatat sebanyak 3.046 orang.
Mereka terdiri atas 2.670 orang masih hidup dan 394 meninggal dunia. Dari angka tersebut berdasarkan jenis kelamin, terdiri atas 2.529 laki-laki dan 539 perempuan.
Hidup dengan HIV/AIDS tentu bukanlah hal yang mudah. Di fase awal orang yang punya latar belakang resiko biasanya sungkan untuk melakukan tes, jika pun dia sudah tahu tidak gampang untuk membuka diri pada layanan apalagi dengan stigma dan diskriminasi yang sampai saat ini masih ditemui. Ruang Carlo di Rumah Sakin St Carolus Jakarta berupaya menjawab kebutuhan itu.
Digagas sejak 2009, Ruang Carlo mencoba untuk ikut berkontribusi pada pengobatan dan pengentasan HIV/AIDS. Pengelola Ruang Carlo, dr Emon Winardi Danudirgo menyebut Ruang Carlo jadi bagian dari jejaring layanan ODHA yang bermitra dengan pemerintah yang sudah melakukan banyak usaha dan menyebarkan kesempatan layanan ke banyak tempat.
"Pada dasarnya kita terbuka untuk semua golongan dan latar belakang, sebagaimana rumah sakit, kita bantu mereka menemukan penyakitnya dengan testing. Jadi tidak ada bedanya. Hanya di sini lebih praktis saja karena khusus. Kami menyediakan layanan tes, konseling, dan pengobatan di satu tempat," kata Emon kepada Antara.
Paling tidak, setiap bulannya Ruang Carlo didatangi oleh kurang lebih 40 orang yang hendak tes. Pada kesempatan itu Ruang Carlo melakukan kajian bersama tentang resiko dan kemungkinan tertularnya sesorang.
Jika positif, Ruang Carlo segera merencanakan pengobatannya, sementara jika si pasien negatif tapi punya latar belakang beresiko, Ruang Carlo biasanya menawarkan tes ulang karena bisa jadi di tes pertama kemungkinan positifnya belum terlihat.
"Jangan sampai terlambat mendapatkan pelayanan pengobatan," kata dia.
Namun berbeda dengan pengobatan penyakit biasa, pasien yang dinyatakan poistif HIV/AIDS kerap terpukul. Ini biasa terjadi di awal pasien dinyatakan positif.
Stigma dan diskriminasi yang hadir di masyarakat kerap jadi penghambat mereka untuk mendapat layanan dan deteksi lebih dini. Oleh karena itu selain memberikan konseling, Ruang yang telah merawat setidaknya 3000 pasien ini senantiasa menjaga kerahasiaan diri pasien sambil tetap melibatkan keluarga pasien dalam proses pengobatan.
"Penghambatnya (pengobatan HIV/AIDS) stigma dan diskriminasi. Kalau kami di sini berusaha melibatkan keluarga, kami akan dampingi pasien untuk berjumpa dengan keluarga. Pengobatan ini kan panjang. Saat ini mungkin kita bisa mandiri tanpa bantuan orang tapi nanti sepuluh tahun kemudian, pasien tetap membutuhkan pertolongan," ucap dia.
Kendati demikian, jika dibanding zaman dulu, zaman sekarang pemahaman pasien dan masyarakat pada HIV/AIDS juga lebih terbuka. Dengan begitu keberanian orang dengan resiko untuk memeriksakan diri menjadi leluasa.
"Dengan demikian, kita ada peluang untuk bisa merangkul mereka karena jika tidak pada gilirannya mereka juga bisa menularkan kepada orang lain, dan mata rantai ini mesti diputus" ucap dia.
Bagi dr Emon, keinginannya untuk mengelola Ruang Carlo dengan pasien-pasien ODHA-nya adalah panggilan hati. Sebelum ada Ruang Carlo, lulusan Universitas Atma Jaya pada 1985 ini sudah mendalami tentang HIV/AIDS sejak 1998.
"Dulu sakit ini jarang yang mau tangani padahal pasien ada, kalau tenaga kesehatan saja gak mau gimana pasien mencari pengobatan? Kami selalu sampaikan profesi kami menjaga kehidupan dan memberi layanan kepada yang sakit. Setiap orang yang datang sudah mengalami dinamikanya sendiri sampai mau datang. Karena itu kami terima itu," ucap dr Emon,
Ruang Carlo beroperasi setiap hari sejak pukul 08.00 hingga 20.00 WIB dengan tiga dokter. Lewat Ruang Carlo, dr Emon hendak berpesan kalau ODHA tetap punya kesempatan dan harapan untuk lebih baik lagi. "Dan saya pikir itu kabar baik, kita bisa lakukan itu agar pengobatan tidak putus," ucap dia.
Puskesmas Gedongtengen sudah tidak asing bagi ODHA di Yogyakarta. Puskesmas yang terletak di Jalan Pringgokusuman, Gedongtengen, Kota Yogyakarta itu telah menjelma layaknya rumah kedua bagi mereka.
Di Puskesmas itu, para penderita HIV/AIDS tak sekadar mendapatkan pelayanan pengobatan semata. Mereka dapat bertemu, berbagi cerita, menguatkan satu sama lain antarsesama penderita maupun dengan dokter dan karyawan puskesmas, layaknya keluarga.
Sama sekali sulit menemukan pemandangan yang menunjukkan perbedaan perlakuan terhadap ODHA atau pasien umum lainnya. Tidak ada petugas pelayan kesehatan yang mencoba melindungi dirinya dengan masker atau sarung tangan.
"Saat mereka (ODHA) datang kami tidak pernah menanyakan pasien itu HIV atau tidak," kata Kepala Puskesmas Gedongtengen, Yogyakarta dr. Tri Kusumo Bawono.
Pelayanan kesehatan semacam itu tentu tak tercipta secara instan dan mudah. Tri Kusumo telah merintisnya selama bertahun-tahun hingga akhirnya medeklarasikan Puskesmas Gedongtengen sebagai Puskesmas dengan Pelayanan Ramah ODHA (Peradha) pada 2016.
Pada 2011, Tri Kusumo kerap menemukan pelayanan kesehatan yang memperlakukan ODHA secara diskriminatif. Saat menjumpai pasien yang baru diduga terinfeksi HIV, tak butuh waktu lama, para petugas kesehatan bergegas memakai masker atau sarung tangan dengan dalih sebagai upaya prefentif.
Tak hanya masyarakat umum, bahkan petugas kesehatan pun tak sedikit yang takut dan khawatir berlebihan menghadapi ODHA. Kala itu,di benak mereka telah terpatri bahwa sentuhan, keringat, atau ludah dapat menjadi media penularan HIV dari ODHA ke tubuhnya. Padahal, menurut Tri, dirinya telah berulang kali menegaskan bahwa penularan HIV hanya bisa terjadi melalui kontak beberapa cairan tubuh manusia yaitu darah, sperma, dan cairan vagina melalui hubungan seksual dan tranfusi darah.
Keprihatinan itulah yang kemudian mendorong Tri mewujudkan program Perada. Ia ingin membuat Puskesmas Gedongtengen sebagai sebuah rumah, tempat berteduh bagi ODHA untuk berobat dan berkonsultasi tak hanya ihwal kesehatan, namun juga persoalan sosial yang mereka hadapi.
Pelan tapi pasti, seluruh karyawan di Puskesmas Gedongtengen berhasil membangun komutmen bersama untuk memberikan pelayanan yang baik, santun, sopan, dan ramah kepada ODHA. Untuk memudahkan para penderita HIV/AIDS berobat, Puskesmas Gedongtengen membentuk sebuah grup whatsapp khusus para pendamping pasien ODHA. Melalui grup itu para pasien dapat mengirimkan data KTP masing-masing sehingga tak perlu antre mendaftar saat hendak berobat.
Selain membentuk alur pelayanan khusus ODHA, hingga saat ini jumlah konselor juga terus ditambah dengan menggandeng sejumlah LSM yang memiliki konsetransi terhadap ODHA di Yogyakarta. Dengan pelayanan yang ramah dan terbuka terhadap ODHA, jumlah pasien HIV/AIDS yang berobat ke Puskesmas Gedongtengen terus meningkat. Pada 2016 jumlah ODHA yang melakukan terapi ARV di Puskesmas Gedongtengen sebanyak 59 pasien, pada 2017 naik menjadi 261 pasien, 2018 menjadi 320 pasien, dan pada periode Januari-September 2019 meningkat menjadi 322 pasien.
Puskesmas Gedongtengen juga menggencarkan "voluntary counselling and testing (VCT)" atau konseling dan tes HIV secara sukarela dengan mendatangi daerah atau tempat-tempat berisiko penularan HIV/AIDS. Dengan demikian, banyak ditemukan kasus baru karena tak semua penderita HIV berinisiatif melakukan test.
Perhatian Puskesmas Gedongtengen terhadap ODHA, tak berhenti pada pelayanan yang ramah. Para penderita HIV/AIDS yang terjerat kasus hukum juga tak lepas dari perhatian tim dari Puskesmas Gedongtengen. Pendampingan dilakukan untuk memastikan ODHA diberi kesempatan meminum obat setiap hari dan tak terdiskriminasi ketika telah menjadi tahanan.
"Kami menyampaikan kepada kepolisian bahwa yang bersangkutan sakit HIV atau ODHA sehingga harus diberikan obat yang diminum setiap hari," kata Tri.
Untuk pendampingan itu, hingga saat ini Puskesmas Gedongtengen telah menjalin kerja sama dengan klinik di Polresta Yogyakarta, serta Lapas Kelas II A Wirogunan, Yogyakarta. Pendampingan maupun layanan VCT, menurut Tri, tak hanya dilakukan saat jam kerja. Bahkan di luar jam kerja hingga malam hari pun petugas dari Puskesmas Gedongtengen siap memberikan pelayanan kepada ODHA.
Atas inovasi Peradha itu, Tri Kusumo berhasil mendapatkan penghargaan sebagai Tenaga Kesehatan Puskesmas Teladan kategori Dokter terbaik. Belum puas dengan inovasi itu, Tri berkomitmen memunculkan inovasi-inovasi baru pelayanan ODHA dengan melaksanakan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK).
Salah seorang ODHA, Magdalena menuturkan bahwa selama enam tahun menjalani pengobatan di Puskesmas Gedongtengen tak pernah mendapat perlakuan diskriminatif. Akses di puskesmas itu dimulai Magdalena sejak kehamilan anak keduanya yang akhirnya bisa dicegah penularannya.
Tak seperti di puskesmas lainnya, menurut Magdalena, hubungan dengan dokter tak berhenti pada pemeriksaan medis. Konsultasi dan komunikasi dengan dokter tetap bisa berlanjut melalui whatsapp.
"Mungkin ini yang tidak dimiliki layanan-layanan lainnya. Kita bisa membangun komunikasi langsung dengan dokter dan dokter tidak sungkan membagikan nomor 'WA'-nya agar pasien bisa curhat," kata Magdalena.
Ragil, ODHA lainnya menganggap Puskesmas Gedongtengen layaknya rumah keduanya. Ia yang dahulu menutup diri lantaran penyakit yang dideritanya, di puskesmas itu ia merasa menemukan kelurga baru untuk berbagi cerita dan bertukar pengalaman.
"Kami merasa ini bukan puskesmas, tapi ini adalah rumah yang selalu kami rindukan," kata Ragil yang dinyatakan positif HIV/AIDS sejak 2013 ini.