Indonesia menerima Presidensi G20 2022 di tengah upaya pemulihan ekonomi saat pandemi COVID-19 masih berlangsung. Visi dan keinginan untuk pulih dan bangkit bersama menjadi kunci memaknai kembali G20 sebagai sebuah kekuatan untuk pemulihan global.
G20, kelompok negara dengan beragam latar belakang
Kondisi ekonomi global yang belum pulih sejak krisis keuangan di tahun 1998 melatarbelakangi kemunculan The Group of Twenty (G20) pada tahun 1999 guna membahas kebijakan mencapai stabilitas keuangan internasional.
Baca selengkapnyaG20, kelompok negara dengan beragam latar belakang
Oleh Tri Meilani AmeliyaKondisi ekonomi global yang belum pulih sejak krisis keuangan di tahun 1998 melatarbelakangi kemunculan The Group of Twenty (G20) pada tahun 1999 guna membahas kebijakan mencapai stabilitas keuangan internasional.
Meskipun berangkat dari masalah perekonomian yang dibahas dalam jalur finansial, G20 ikut pula membahas pembangunan, pendidikan, kesehatan, iklim global, dan isu aktual lainnya melalui jalur Sherpa.
Pada setiap tahun, kepresidenan atau keketuaan G20 bergiliran diperoleh oleh masing-masing negara anggota. Para pendahulu dan penerus keketuaan G20 yang dikenal sebagai Troika bekerja sama memastikan kesinambungan agenda.
Puncak kerja G20 di setiap siklus adalah pengungkapan komitmen dan visi anggota untuk masa depan. Komitmen dan visi tersebut disusun berdasarkan rekomendasi terpilih dan dan hasil pertemuan tingkat menteri serta alur kerja lainnya dalam G20.
Seperti angka 20 yang melekati namanya, G20 terdiri atas Uni Eropa dan 19 negara berpenghasilan menengah serta berpengaruh ekonomi secara sistematik, yaitu Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Afrika Selatan, Brazil, Inggris, Tiongkok, dan Italia. Lalu, ada pula Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Turki, Prancis, Rusia, India, serta Indonesia.
Dua puluh negara tersebut sebagaimana yang dimuat dalam resmi G20, yakni g20.org, mewakili 80 persen produk domestik bruto (PDB) dunia dan 75 persen perdagangan global. Masing-masing negara pun memiliki penduduk yang beragam sehingga mewakili 60 persen populasi dunia. Untuk saat ini, giliran Indonesia yang memegang estafet kepresidenan G20 bersama dua negara Troikanya, yaitu Italia dan India.
Keragaman kekuatan ekonomi berdasarkan indikator produk domestik bruto (PDB)
Terkait peran para anggota G20 yang mewakili 80 persen PDB dunia, dilansir dari World Bank, Amerika Serikat menjadi negara dengan perekenomian terkuat melalui produk domestik bruto senilai USD 20,94 triliun pada tahun 2020. Lalu, disusul oleh Uni Eropa di peringkat kedua dengan USD 15,28 triliun, Tiongkok USD 14,72 triliun, dan Jepang USD 4,98 triliun di peringkat kelima.
Di samping kekuatan ekonomi berdasarkan PDB, sebagian besar negara anggota G20 pun dikenal menjadi pengekspor terbesar. Mereka menyumbang tiga perempat dari perdagangan global. Tiongkok, Amerika Serikat, Jerman dan Jepang merupakan empat negara pengekspor terbesar di dunia.
Dengan para anggota yang dikenal berkekuatan ekonomi terbesar di dunia itu, G20 semakin berperan strategis dalam menyelesaikan berbagai tantangan yang mempengaruhi ekonomi global, termasuk persoalan keuangan, investasi, perdagangan, ketenagakerjaan, pembangunan, bahkan inovasi, seperti ekonomi digital.
Melalui kiprahnya tersebut banyak ahli yang memuji peran G20. Salah satunya adalah Ahli Ilmu Ekonomi Dunia Stewart M Patrick.
Ia mengatakan G20 adalah penyelemat sistem keuangan global yang sempat “terjun bebas”. Hal itu dibuktikan dengan keputusan berani negara-negara G20 pada tahun 2008 dan 2009 untuk menghabiskan dana senilai USD 4 triliun demi menghidupkan kembali perekonomian, menolak hambatan perdagangan, dan menerapkan reformasi sistem keuangan yang luas.
Sejak itu, Patrick memandang G20 telah berjuang mencapai kesuksesan mengatasi persoalan moneter dan fiscal dan mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi. Keragaman penduduk negara-negara G20
Selanjutnya terkait peran negara-negara G20 sebagai perwakilan 60 persen populasi dunia, hal itu dapat dibuktikan tidak hanya melalui keberadaan negara dengan populasi terbesar seperti Tiongkok, tetapi juga melalui keberadaan para migran.
Pada pertengahan tahun 2020, sebagaimana informasi yang dibagikan laman resmi PBB, diperkirakan ada 281 juta migran internasional di seluruh dunia dan 64 persen di antaranya menetap di negara-negara G20.
Amerika Serikat, Jerman, Arab Saudi, Rusia, dan Inggris merupakan negara G20 dengan jumlah migran tertinggi, yaitu sekitar 100,8 juta jiwa.
Dengan kata lain, negara-negara G20 memainkan peran utama terhadap migrasi karena tanggapan mereka dalam bentuk kebijakan mampu menjawab tantangan serta peluang terkait migrasi itu sendiri. Selanjutnya, kebijakan tersebut mempengaruhi perpindahan para migran, negara asal yang menjadi penyumbang migran terbesar, bahkan negara transit dan tujuan.
Berdasarkan gambaran di atas, perekonomian yang mewakili kekuatan ekonomi dunia serta latar belakang penduduk yang beragam itu membuat setiap anggota G20 berkemungkinan dihadapkan pada permasalahan yang serupa ataupun berbeda, tetapi tetap atas nama dunia untuk dibahas dalam pertemuan mereka.
Co-Sherpa Indonesia Dian Triansyah Djani pun menyampaikan bahwa anggota G20 memang memiliki keberagaman pandangan yang mewakili penduduknya dan pendekatan tertentu saat menyikapi isu-isu global.
Dengan demikian, pembahasan oleh negara-negara G20 senantiasa diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang mengolaborasikan keberagaman demi tujuan utama, yaitu bermanfaat bagi seluruh warga dunia.
Di tahun ini, tentunya besar harapan Indonesia sebagai presiden G20 hingga November 2022 mendatang dengan tema yang diusung, yakni “Recover Together, Recover Stronger” mampu menangani tantangan dan isu-isu global terkini dengan sebaik mungkin.
Kekuatan ekonomi yang menyatukan G20
Belajar dari kegagalan kelompok G7, sembilan belas negara dan satu lembaga Uni Eropa yang tergabung dalam G20 tidak hanya memiliki PDB tahunan yang cukup besar, namun juga berpengaruh secara sistemik terhadap perekonomian global. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat alur diskusi serta aksi kebijakan yang akan ditetapkan.
Baca selengkapnyaKekuatan ekonomi yang menyatukan G20
Oleh Hana Dewi Kinarina KabanRangkaian pertemuan tahunan G20 telah menjadi salah satu forum ekonomi utama dunia. Aspek ekonomi menjadi pemersatu sekaligus poros kerja dari forum G20 sejak awal terbentuknya di tahun 1999.
Belajar dari kegagalan kelompok G7, sembilan belas negara dan satu lembaga Uni Eropa yang tergabung dalam G20 tidak hanya memiliki PDB tahunan yang cukup besar, namun juga berpengaruh secara sistemik terhadap perekonomian global. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat alur diskusi serta aksi kebijakan yang akan ditetapkan.
Sebagai contoh, laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa PDB Indonesia mencapai 1.058 miliar dolar AS pada tahun 2020. Besaran PDB tersebut menempatkan Indonesia sebagai emerging economy dengan ukuran dan potensi ekonomi terbilang sangat besar di benua Asia. Alhasil, angka ini berhasil menempatkan Indonesia pada urutan ke-16 dari 20 anggota G20. Adapun Turki berada di urutan ke-17, tepat di bawah Indonesia dengan perolehan PDB sebesar 720 miliar dolar AS di tahun yang sama.
Oleh karena itu, forum G20 jelas memiliki posisi strategis. Sebagaimana mengutip hasil telaah Kemenkeu, G20 mewakili 85 persen perekonomian dunia, 75 persen perdagangan internasional, 80 persen investasi global, hingga 60 persen populasi dunia.
Posisi yang sedemikian strategis membuat fokus agenda G20 tidak pernah lepas dari reformasi tata kelola ekonomi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi global yang seimbang, kuat, berkelanjutan, dan juga inklusif.
Fokus agenda pada tiap presidensi G20 diharapkan mampu menjawab secara konkret krisis keuangan maupun gejolak perekonomian global yang tengah terjadi sehingga stabilitas keuangan dunia tetap terjaga.
Hal ini terlihat jelas melalui jalur kerja G20 yang hanya membagi antara jalur keuangan (Finance track) dan jalur nonkeuangan (Sherpa track). Melansir dari rilis resmi Kemenkeu, isu-isu yang menjadi bahasan pada jalur kerja keuangan G20 meliputi kebijakan fiskal, moneter dan riil, investasi dan infrastruktur, regulasi keuangan, inklusi keuangan, serta perpajakan internasional. Pembahasannya dilakukan oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral masing-masing negara anggota.
Setiap isu di atas akan dibahas secara detail dan teknis pada tingkat working group (WG), kemudian dieskalasi ke tingkat deputi agar mendapat konsep kesepakatan (communique) serta menyusutkannya menjadi isu-isu prioritas untuk dibahas pada tingkat menteri. Pada akhirnya, baik jalur kerja keuangan maupun nonkeuangan akan menyepakati komitmen terkait aksi kebijakan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri oleh Kepala Negara anggota G20.
Berdasarkan rilis data Tim Riset G20, KTT G20 telah menyepakati sebanyak 457 komitmen berkenaan dengan tata kelola ekonomi global sejak KTT pertama di tahun 2008 hingga Presidensi Argentina di tahun 2018.
Banyaknya jumlah komitmen yang disepakati forum G20 di atas terbukti efektif dalam merespons berbagai gejolak dan krisis ekonomi global. Selain krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19 yang mulai dapat dipulihkan, krisis keuangan global di tahun 2008 juga menjadi keberhasilan lain G20 disaat berbagai lembaga multilateral, termasuk kelompok G7 tidak dapat menanganinya.
Wang dalam buku putih G20 yang dikeluarkan pada 2018 menyimpulkan, efektivitas kerja G20 tidak terlepas dari tingkat kepatuhan para anggota G20 yang mencapai 80 persen terhadap setiap komitmen yang telah ditetapkan. Tingginya tingkat kepatuhan tersebut bahkan membuat kerja G20 efektif dalam memandu pemulihan ekonomi pascakrisis.
Dengan kata lain, kekuatan aspek ekonomi tidak hanya menyatukan dan menjadi fokus agenda, namun juga tolok ukur efektivitas kerja G20 dalam menangani permasalahan hingga krisis global dari waktu ke waktu.
Forum G20 jadi peluang dorong pemulihan ekonomi global dan nasional
Krisis keuangan global yang dipicu oleh kejatuhan pasar keuangan di AS pada 2008 menjadi alarm bagi negara maju dan berkembang untuk saling bersinergi dalam menjaga perekonomian dunia.
Baca selengkapnyaForum G20 jadi peluang dorong pemulihan ekonomi global dan nasional
Oleh SatyagrahaKrisis keuangan global yang dipicu oleh kejatuhan pasar keuangan di AS pada 2008 menjadi alarm bagi negara maju dan berkembang untuk saling bersinergi dalam menjaga perekonomian dunia.
Pada momen itu lahirlah forum kerja sama multilateral, G20, yang merupakan gabungan antara negara dengan kelas pendapatan menengah hingga tinggi serta negara berkembang hingga maju.
G20 secara tidak langsung telah mengubah wajah tata kelola keuangan global dengan menginisiasi paket stimulus fiskal dan moneter yang terkoordinasi dalam skala besar untuk mengatasi krisis global waktu itu.
Selain itu, kelompok 19 negara maju berkembang dan Uni Eropa ini telah mendorong beberapa reformasi penting di sektor finansial serta menginisiasi kapasitas pinjaman IMF dan beberapa bank pembangunan utama.
Berbagai upaya penanganan yang dilakukan telah menegaskan tujuan sederhana dari kehadiran forum ini yaitu mewujudkan pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif.
Saat ini, kondisi serupa juga dialami dengan skala yang lebih masif karena krisis tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, tapi juga kesehatan seiring dengan hadirnya pandemi COVID-19.
Indonesia kali ini pun menjadi tokoh utama di G20 pada 2022 karena terpilih untuk mengemban amanah sebagai Presidensi G20, meneruskan tugas yang sebelumnya dipegang oleh Italia di 2021.
Sebelumnya, Indonesia dianggap layak untuk masuk dalam kelompok ini karena telah menjadi bagian dari negara-negara yang mempresentasikan 60 persen populasi bumi, 75 persen perdagangan global dan 80 persen PDB dunia.
Untuk itu, Indonesia mencari peluang guna memberikan ide besar bagi dunia dalam forum ini dan menyampaikan solusi untuk mempercepat pemulihan melalui tagline "recover together, recover stronger".
Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak dunia untuk saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan, meski perekonomian dunia masih terdampak pandemi COVID-19.
Terdapat tiga isu prioritas di tingkat global yang menjadi inisiasi Indonesia dalam forum ini yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi melalui digitalisasi, dan transisi menuju energi yang berkelanjutan.
Dengan demikian, sejak awal tahun, segala pertemuan menyangkut isu-isu global akan berlangsung di tingkat kelompok kerja, tingkat menteri dan deputi, serta puncaknya penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi pada Oktober 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap Presidensi G20 Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mendorong negara-negara anggota G20 menyinkronkan pemulihan global dari dampak pandemi COVID-19.
Menurut dia, G20 dapat membangun kepercayaan bagi dunia global dalam pemulihan mengingat negara anggota G20 memiliki kontribusi 80 persen dari PDB global sehingga dapat mempengaruhi ekonomi, perdagangan dan investasi.
Oleh karena itu, Sri Mulyani ingin Presidensi G20 Indonesia dapat mengeluarkan hasil yang nyata dan substantif seperti membuat peta jalan kesiapsiagaan dan respon pencegahan bencana pandemi.
Selain itu, forum ini diharapkan mampu melahirkan indikator komitmen pendanaan yang kredibel terhadap perubahan iklim melalui peta jalan keuangan berkelanjutan untuk meningkatkan pembiayaan internasional dan investasi swasta.
Momentum
Meski perhelatan akbar ini bersifat global, Indonesia juga menginginkan kegiatan tahunan ini bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan perekonomian domestik secara keseluruhan.
Momentum Presidensi juga terjadi 20 tahun sekali, sehingga pemanfaatan sebaik mungkin dapat memberikan nilai tambah bagi pemulihan nasional, termasuk dari sisi ekonomi serta kepercayaan masyarakat domestik dan internasional.
Ribuan masyarakat Indonesia diperkirakan ikut terlibat dalam perhelatan G20 ini sehingga berpotensi meningkatkan perekonomian daerah-daerah yang menjadi tempat acara seperti Bali, Jakarta dan beberapa daerah lain.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Presidensi G20 dapat meningkatkan kepercayaan investor global untuk terlibat dalam pemulihan ekonomi nasional.
Harapan ini sejalan dengan studi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bersama Universitas Indonesia yang menyebutkan forum G20 di Indonesia berpotensi menciptakan lapangan kerja bagi 33.000 orang.
Gelaran ini turut berpotensi meningkatkan PDB nasional mencapai Rp7,47 triliun, mendorong konsumsi dalam negeri hingga Rp1,7 triliun serta manfaat ekonomi lainnya sebanyak 1,5 kali lipat dibandingkan Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 di Bali.
Menurut Airlangga, Presidensi G20 juga dapat berperan penting untuk menjembatani keberagaman kelompok yang ada dalam Forum G20, mengingat Indonesia memiliki falsafah musyawarah dan mufakat.
Ia memastikan, masyarakat dunia sedang menunggu Presidensi G20 Indonesia untuk mengambil kebijakan yang berwawasan ke depan, bersifat inklusif dan langkah-langkah yang konkret di luar narasi-narasi politik.
Berbagai masukan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk para pakar dan akademisi juga sangat penting, untuk memaksimalkan manfaat Presidensi G20, agar Indonesia mampu melahirkan terobosan-terobosan baru, termasuk di sektor transisi energi.
Selain itu, Presidensi G20 dapat menjadi kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam bidang diplomasi internasional dan ekonomi di kawasan mengingat Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang menjadi anggota G20.
Pertemuan-pertemuan G20 di Indonesia sekaligus menjadi sarana memperkenalkan pariwisata dan produk unggulan nasional kepada dunia. Dalam hal ini, Indonesia menjadi titik awal pemulihan keyakinan pelaku ekonomi pascapandemi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Perjalanan G20 dan isu ekonomi global
Sejak dibentuk pada 1999 untuk mencari solusi krisis keuangan global, G20 menjadi wadah pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral. Baru mulai 2008, pemimpin negara menjadi tuan rumah untuk pertemuan tahunan.
Prakarsa G20
Penanganan krisis dampak pandemi.
Arsitektur keuangan internasional dengan jaring pengaman.
Pemulihan perdagangan internasional.
Pengembangan infrastruktur.
Inovasi perpajakan internasional.
Penguatan kerja sama global.
Indonesia akan terus mendorong negara-negara G20 membangun kolaborasi dan menggalang kekuatan untuk memastikan masyarakat dunia dapat merasakan dampak positif dari kerja sama ini.
- Presiden Joko Widodo
Galeri Foto
Presidensi G20 dan kesetaraan vaksin global
Sebagai lokomotif dalam forum kerja sama multilateral yang terdiri atas 19 negara utama dan Uni Eropa (EU), Indonesia bersama negara G20 memiliki peran penting dalam upaya dunia memulihkan situasi krisis akibat pandemi. Sebab G20 merepresentasikan lebih dari 60 persen populasi bumi, 75 persen perdagangan global, dan 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Baca selengkapnyaPresidensi G20 dan kesetaraan vaksin global
Oleh Andi Firdaus"Dunia harus melakukan tata ulang arsitektur ketahanan kesehatan global," pesan penting itu disampaikan Presiden RI Joko Widodo saat menerima estafet kepemimpinan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Italia 30 Oktober 2021.
Sebagai lokomotif dalam forum kerja sama multilateral yang terdiri atas 19 negara utama dan Uni Eropa (EU), Indonesia bersama negara G20 memiliki peran penting dalam upaya dunia memulihkan situasi krisis akibat pandemi. Sebab G20 merepresentasikan lebih dari 60 persen populasi bumi, 75 persen perdagangan global, dan 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Lahir dari krisis keuangan global pada 1998, G20 diperkuat sejumlah negara anggota di antaranya Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris Raya, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.
G20 kali ini mengusung tema "Recover Together, Recover Stronger" atau "Pulih Bersama, Menjadi Lebih Kuat". Tujuannya adalah membangun kembali arsitektur kesehatan global yang lebih kuat dan dapat bertahan menghadapi krisis kesehatan di masa depan serta mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik.
Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Tata Kelola Pemerintahan Ronaldus Mujur menyebut Presidensi G20 tahun ini mengangkat isu kesehatan hingga November 2022, yakni Sistem Ketahanan Kesehatan, Harmonisasi Standar Kesehatan serta Perluasan Pabrikasi dan Pusat Penelitian Kesehatan sebagai pondasi arsitektur kesehatan global.
"Agenda ini memiliki arti khusus karena hasil diskusi kita diharapkan dapat menjadi output konkret dari Kepresidenan G20 Indonesia terutama pada isu prioritas kesehatan," katanya.
Mengawali rangkaian kerja G20, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan Indonesia-Italia memimpin Kick Off G20 Joint Finance-Health Task Force (FHTF) secara hybrid yang menghasilkan pembentukan Satuan Tugas Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan untuk memperkuat kesiapsiagaan global dalam mengendalikan pandemi melalui Pencegahan, Kesiapsiagaan dan Respons pada Senin (20/12).
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mendorong terwujudnya arsitektur sistem ketahanan kesehatan dunia menyusul ketidaksiapan dunia dalam menghadapi pandemi COVID-19 telah menelan biaya penanganan yang sangat tinggi.
Belajar dari perjalanan pandemi COVID-19, Menkes menilai arsitektur sistem ketahanan kesehatan dunia perlu ditopang partisipasi dunia dalam mengalokasikan kebutuhan finansial, seperti yang telah dilakukan oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) di bidang keuangan.
"Kita memerlukan sistem kesehatan global, seperti IMF di ekonomi global, dengan mekanisme, tata kelola, dan partisipasi negara-negara di dunia, sehingga manakala ada pandemi lain muncul di masa depan, ada sistem funding yang selalu bisa diandalkan,” ujar Budi Gunadi Sadikin pada diskusi virtual Leadership Night Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), pada Kamis (11/9).
Kemenkes RI juga mendorong mobilisasi sumberdaya kesehatan untuk pencegahan, persiapan, dan respons pandemi sebagai salah satu komponen sistem kesehatan global. Alasannya, sistem kesehatan di sebagian besar negara dunia, termasuk Indonesia masih berfokus pada pengobatan dibanding pencegahan sehingga memicu pendanaan yang besar.
"Dalam sistem kesehatan kita, justru lebih fokus menyembuhkan orang sakit daripada membentuk orang sehat, padahal kita harus perkuat preventifnya,"katanya.
Komponen lain yang juga penting dalam arsitektur kesehatan global adalah harmonisasi standar kesehatan yang berlaku sama di semua negara melalui penyusunan pedoman standar yang disepakati bersama forum G20.
Kegiatan surveilans di dunia, antarnegara dan di dalam negara masing-masing penting diwujudkan agar dapat diketahui data lengkap tentang kecenderungan penyakit dan masalah kesehatan, utamanya yang mungkin berpotensi menyebar luas di dunia.
Budi mengatakan seluruh aktivitas pengawasan global terhadap situasi pandemi dilakukan melalui metode berbagi data genomik yang terangkum di platform tunggal sehingga perlu dikembangkan teknologi serta menjalin kemitraan dengan sektor publik maupun privat di seluruh sektor.
Menkes meyakini dengan menghadirkan layanan berbasis digital maka akan semakin memudahkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. "Saya sangat percaya bahwa pemanfaatan big data, Artificial Intelligence (AI) maupun Internet of Things (IoT) akan sangat mengubah sistem kesehatan dunia," katanya.
Menurut Budi digitalisasi informasi kesehatan perlu dibahas pada Presidensi G20 serta pentingnya penguatan global health architecture, seperti kebijakan dan instrumen global untuk protokol kesehatan yang aman dan terstandarisasi secara internasional agar mempermudah perjalanan internasional. Komponen ketiga arsitektur kesehatan global adalah perluasan pabrikasi obat-obatan dan pusat penelitian kesehatan.
Menkes RI menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 memperlihatkan kelemahan dan ketimpangan di sistem kesehatan global. Hanya 20 persen dari pasokan vaksin global yang tersedia untuk negara berkembang, padahal jumlah penduduknya hampir setengah dari populasi dunia.
Dalam kaitan ini, Menkes RI menyampaikan kesiapan Indonesia untuk menjadi regional hub produksi vaksin dan obat-obatan dalam memenuhi kebutuhan berskala global.
Niat itu dijalankan pemerintah Indonesia dengan menawarkan sejumlah produsen di Eropa untuk membuka pabrik vaksin maupun obat-obatan di Tanah Air. Sejumlah produsen farmasi menyambut positif gagasan itu, di antaranya Merck dan Pfizer.
Perusahaan Merck merupakan produsen obat Molnupiravir antivirus COVID-19. Sementara itu, perusahaan farmasi Pfizer juga telah mengumumkan hasil uji klinis obat oral COVID-19, yaitu Paxlovid.
Pemerintah juga agresif dalam mengelola keanekaragaman hayati dan biodiversitas nasional sebagai aset penting untuk membawa Indonesia menjadi produsen obat-obatan berbasis bioteknologi di masa depan.
"Indonesia dikaruniai keanekaragaman hayati dan biodiversitas yang luar biasa. Di sisi Barat, flora dan fauna mengikuti biodiversitas Asia. Sisi Timur Indonesja memiliki flora dan fauna yang berbasis genomik di Australia. Di tengah-tengahnya kita memiliki campuran dari keduanya," kata Budi.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengingatkan kepada negara yang tergabung dalam G20 bahwa kesetaraan vaksin COVID-19 bukanlah amal dan meminta untuk mendistribusikan vaksin COVID-19 secara adil.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan hingga Desember 2021 ada 7 miliar dosis vaksin yang telah didistribusikan. Tapi hanya 0,4 persen yang diterima negara berpenghasilan rendah, sementara 80 persen sisanya digunakan negara G20.
Ia berpendapat G20 memiliki peran strategis mencegah pandemi di masa depan. WHO mendesak agar G20 untuk segera memasok sumbangan vaksin yang telah dijanjikan dan mendukung produksi vaksin di Afrika.
Indonesia sebagai pemimpin G20 tak henti menyuarakan kesetaraan akses vaksin bagi negara-negara yang membutuhkan di dunia melalui berbagai forum internasional, termasuk G20 sepanjang 2021.
"Sebagai salah satu co-chairs COVAX AMX Engagement Group, Indonesia ikut bekerja memperjuangkan kesetaraan vaksin," kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) 2022, Kamis (6/1).
Retno sebagai salah satu co-chairs COVAX AMX Engagement Group bersama Menteri Kesehatan Ethiopia dan Menteri Pembangunan Internasional Kanada berhasil menyalurkan 811 juta dosis vaksin COVID-19 kepada 144 negara hingga pekan keempat Desember 2021.
COVAX sebagai inisiatif global yang ditujukan untuk akses kesetaraan vaksin terus memperkuat infrastruktur distribusi, logistik dan kapasitas tenaga kesehatan di negara penerima.
Bangsa Indonesia punya banyak pengalaman dan sarat pengetahuan di bidang kesehatan. Indonesia harus berperan besar dan bahkan ikut memimpin tata ulang kesehatan global, termasuk dalam Keketuaan Indonesia di G20 demi menyelamatkan umat manusia di dunia dan demi nama harum bangsa.
Presidensi G20: Momentum peningkatan keamanan transformasi digital
Sejarah dunia akan mencatat 2022 sebagai tahun kepresidenan Indonesia di G20. Berbagai isu prioritas, strategi, capaian, kebijakan, hingga kendala akan menuai perhatian global.
Baca selengkapnyaPresidensi G20: Momentum peningkatan keamanan transformasi digital
Oleh Putu Indah SavitriSejarah dunia akan mencatat 2022 sebagai tahun kepresidenan Indonesia di G20. Berbagai isu prioritas, strategi, capaian, kebijakan, hingga kendala akan menuai perhatian global.
Presiden Joko Widodo, dalam hal ini, berkomitmen untuk menjadikan presidensi Indonesia di G20 sebagai kesempatan untuk melakukan berbagai aksi nyata dengan fokus utama pada tiga isu, yakni penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi berbasis digital, serta transisi menuju energi berkelanjutan.
Kesempatan ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk berkontribusi secara langsung terhadap pemulihan ekonomi dunia setelah pandemi COVID-19. Selain itu, Indonesia juga akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan nasional milik berbagai negara berkembang.
Tidak dapat dipungkiri, pandemi COVID-19 telah mendorong akselerasi transformasi berbasis digital dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dunia. Berbagai aktivitas yang biasanya berlangsung secara tatap muka, seperti belanja, bekerja, belajar, hingga pengobatan, kini berlangsung secara digital.
Akan tetapi, berbagai inovasi dalam bidang digital tidak hanya mendatangkan peluang baru, tetapi juga mendatangkan berbagai permasalahan dan tantangan dalam implementasinya. Gangguan seperti serangan siber, peretasan, hingga pembocoran data pribadi merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh berbagai negara dalam proses transformasi berbasis digital.
Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Dedy Permadi memandang bahwa, menjadikan transformasi digital sebagai salah satu isu utama dalam kepresidenan Indonesia di G20 dapat mendorong kolaborasi konkret bersama berbagai negara anggota G20 untuk mewujudkan ekosistem ekonomi digital yang lebih inklusif, aman, dan berkelanjutan bagi dunia global.
Kepresidenan Indonesia dapat menjadi momentum bagi seluruh negara anggota G20 untuk memperkuat pertahanan dan keamanan siber mereka melalui kerja sama.
Pengamat intelijen, pertahanan, dan keamanan Ngasiman Djoyonegoro mengatakan bahwa Indonesia, melalui G20, memiliki peluang untuk menumbuhkan iklim investasi dan menarik berbagai negara untuk melakukan kerja sama global.
Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memperlihatkan komitmen dan keseriusan Pemerintah dalam meningkatkan keamanan dan pertahanan siber, terlebih guna menyokong berbagai jenis transaksi informasi yang akan berlangsung selama masa tranformasi digital.
Menurut Simon, sapaan akrab Ngasiman Djoyonegoro, sektor pertahanan dan keamanan di dunia siber akan menjadi faktor terpenting sebelum negara-negara lain dan para investor memutuskan untuk berinvestasi di Indonesia.
Dengan demikian, G20 dapat menjadi wadah, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi seluruh negara anggota, untuk mempelajari praktik-praktik terbaik dalam melakukan transformasi digital.
Meskipun Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi masih belum disetujui untuk disahkan oleh DPR dan Pemerintah, Simon mengatakan bahwa Indonesia sudah memiliki perangkat hukum, struktur organisasi, dan berbagai program terkait keamanan siber di berbagai lembaga intelijen, pertahanan, dan keamanan nasional.
Badan Intelijen Negara (BIN) telah membentuk Deputi Bidang Intelijen Siber berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2017 tentang Badan Intelijen Negara. Deputi ini bertugas untuk melaksanakan kegiatan dan operasi intelijen di ranah siber.
Selanjutnya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki Satuan Siber TNI yang berfungsi untuk operasi pertahanan di ranah siber. Sementara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah lama membangun Direktorat Siber. Selain itu, Indonesia juga memiliki Badan Siber dan Sandi Negara yang siap menjaga pertahanan dan keamanan nasional di ruang siber.
Ke depannya, tutur Simon melanjutkan, Pemerintah dapat mengembangkan program, kegiatan, dan operasi lainnya yang lebih adaptif dengan agenda G20. Tranformasi digital merupakan agenda utama yang akan berdampak langsung ke dua agenda alinnya, yakni kesehatan yang inklusif dan transisi menuju energi berkelanjutan.
Permasalahan kesenjangan infrastruktur digital tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga antarnegara. Mengingat komitmen Indonesia yang akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan negara berkembang, pemerataan akses kepada teknologi di negara berkembang akan menjadi tantangan bagi Indonesia untuk melancarkan agenda transformasi berbasis digital.
Terlebih, yang Indonesia perjuangkan bukan hanya negara berkembang yang tergabung di dalam G20, melainkan juga negara berkembang yang berada di luar organisasi tersebut.
Oleh karena itu, sebagai negara yang memperoleh kepercayaan untuk memimpin G20 pada 2022, Indonesia harus mampu mencetuskan berbagai strategi untuk menangani permasalahan, seperti kesenjangan infrastruktur digital.
Akan tetapi, masih terdapat tantangan lainnya yang harus Indonesia hadapi pada masa presidensinya di G20, seperti ketimpangan pemulihan ekonomi global dan kesehatan antara negara maju dengan negara berkembang, menyebarnya varian terbaru COVID-19, yakni varian Omicron, hingga potensi konflik kepentingan antara Amerika Serikat dan China di dalam G20.
Indonesia harus dapat merangkul seluruh negara anggota G20 untuk mengutamakan kepentingan bersama dalam membuat kebijakan, alih-alih terjebak di antara persaingan Amerika Serikat dengan China.
“Kebersamaan adalah jawaban atas masa depan dengan semangat solidaritas. Recover together, recover stronger,” kata Presiden Jokowi.
Inisiasi Inklusifitas ekonomi digital lewat IDEA Hub
IDEA Hub adalah portal digital yang terdiri dari berbagai macam informasi serta pengetahuan tentang model bisnis ekonomi digital yang diharapkan dapat berguna untuk pemerintah, wiraswasta, UMKM, maupun kelompok masyarakat kelas bawah sehingga dapat mengurangi angka kesenjangan sosial dan ekonomi. Pengaplikasiannya diharapkan akan membawa dampak terhadap peningkatan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan di masing-masing negara.
Baca selengkapnyaInisiasi Inklusifitas ekonomi digital lewat IDEA Hub
Oleh Farika Nur Khatimah"Indonesia berhasil menginisiasi inklusivitas ekonomi digital melalui Inclusive Digital Economy Accelerator Hub atau IDEA Hub sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diadakan di Jepang pada 2019.
Dari tahun ke tahun, Indonesia terus memberikan perhatian pada isu inklusivitas dalam ekonomi digital dan pengembangan sumber daya manusia.
Saat menghadiri KTT di Osaka tersebut Presiden Joko Widodo menyampaikan inisiatif Indonesia atas usulan IDEA Hub.
IDEA Hub adalah portal digital yang terdiri dari berbagai macam informasi serta pengetahuan tentang model bisnis ekonomi digital yang diharapkan dapat berguna untuk pemerintah, wiraswasta, UMKM, maupun kelompok masyarakat kelas bawah sehingga dapat mengurangi angka kesenjangan sosial dan ekonomi. Pengaplikasiannya diharapkan akan membawa dampak terhadap peningkatan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan di masing-masing negara.
"IDEA Hub pada dasarnya merupakan tempat mengkurasi, mengelola, dan berbagi pengalaman model bisnis digital para unicorn anggota G20," kata Presiden Jokowi dalam sesi pertemuan yang mengulas tentang ekonomi digital dan kecerdasan buatan. Isu inklusifitas inilah yang mendorong Indonesia untuk mengadakan 'the 1st World Conference on Creative Economy' di Bali pada November 2018.
Dilansir dari Kementerian Luar Negeri, Jokowi juga beranggapan bahwa Indonesia perlu mempersiapkan masyarakat ekonomi digital yang dapat memanfaatkan perkembangan ekonomi digital yang tengah berkembang. Menurutnya, terdapat pilar utama dalam usaha mempersiapkan masyarakat ekonomi digital itu.
"Pertama, peningkatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia. Kedua, pembangunan infrastruktur digital penting untuk terus ditingkatkan," ucapnya.
Dalam hal pembangunan prasarana digital, Indonesia juga sedang mendirikan proyek Palapa Ring yang rencananya akan menghubungkan jaringan infrastruktur digital sepanjang 13.000 kilometer.
Jaringan itu akan mampu mencapai 514 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Sementara saat ini, sedang dibangun dalam wilayah Indonesia bagian Timur tahap satu untuk jalur Mataram-Kupang, sepanjang 1.800km.
Mengenai pilar ketiga pembangunan masyarakat ekonomi digital yang disebutkan presiden yakni perbaikan dan peningkatan iklim investasi dalam mendukung pengembangan ekonomi digital.
"Ketiga, ekosistem dan iklim investasi pengembangan ekonomi digital harus terus diperbaiki," tuturnya.
Presidensi Indonesia pada G20 kali ini membuka peluang bagaimana pelaku usaha kecil dan menengah nasional memperluas pasar produk dengan memanfaatkan kerjasama di bidang perdagangan digital.
Wakil ketua umum IdEA atau Asosiasi E-Commerce Indonesia Budi Primawan dalam sebuah kesempatan mengatakan kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk memasarkan sekaligus menunjukkan pada dunia terkait kualitas dan kehandalan produk Indonesia.
Namun demikian kesiapan untuk mendorong UMKM dalam negeri bisa merengkuh pasar global tidak hanya diupayakan oleh pemerintah semata namun juga dari sisi pelaku usaha ekonomi digital pun harus mempersiapkan diri termasuk kemampuan menjaga kontinuitas kualitas produk dan juga kapasitas produksi.
Perkembangan teknologi yang ada saat ini memberikan keuntungan ketiga seluruh dunia terkoneksi secara digital maka produk yang ditawarkan memiliki peluang pangsa pasar yang luar dan tak terbatas, namun di sisi lain, pelaku usaha juga harus memiliki daya saing dengan pengusaha dari berbagai negara lainnya.
Disinilah pentingnya kerjasama antara pemerintah dan pelaku usaha yang diwakili oleh asosiasi, untuk bersama-sama bekerja dan menembus pasar global, sebagai upaya memanfaatkan secara maksimal presidensi G20 2022.
Nilai strategis Presidensi G20 Indonesia
Indonesia secara resmi akan memimpin forum ekonomi utama dunia G20 pada 1 Desember 2021, melanjutkan estafet dari presidensi Italia. Presidensi G20 akan memberikan sejumlah nilai strategis untuk Indonesia.
Aspek ekonomi
Peningkatan konsumsi domestik mencapai Rp1,7 triliun.
Penambahan Produk Domestik Bruto hingga Rp7,4 triliun.
Pelibatan UMKM dan penyerapan tenaga kerja sekitar 33.000 orang.
Momentum menunjukkan keberhasilan reformasi struktural, antara lain dengan UU Cipta Kerja, untuk meningkatkan kepercayaan investor global.
Aspek pembangunan sosial
Peluang mendorong produksi dan distribusi vaksin COVID-19 untuk negara berkembang dan berpendapatan rendah.
Aspek politik
Peluang memperjuangkan kepentingan nasional di forum global seperti transformasi digital dan ekonomi inklusif.
Fakta G20
Beranggotakan 19 negara utama penggerak perekonomian dunia dan Uni Eropa.
Berkontribusi pada 85% PDB dunia, 75% perdagangan internasional, dan 80% investasi global.
Presidensi ditentukan dengan mekanisme regional basket dan saat ini giliran Asia.
Presidensi G20 pada 2022 merupakan yang pertama untuk Indonesia.
Alur kerja G20 Indonesia 2022
Bidang keuangan
(Finance Track)
Bidang non keuangan
(Sherpa Track)
Pertemuan G20 Indonesia 2022
Konferensi tingkat tinggi (KTT) level pimpinan negara
Pertemuan tingkat menteri/gubernur bank sentral
Pertemuan tingkat deputi
Pertemuan engagement group
Pertemuan working group
Program side events
Dengan presidensi G20, setidaknya ada tiga manfaat besar yang bisa diperoleh Indonesia, baik dari segi ekonomi, pembangunan sosial, maupun manfaat politik.”
- Airlangga Hartarto (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian)
Galeri Foto
Melihat efektivitas G20 dorong pemulihan ekonomi global
Kelompok 20 negara ekonomi terbesar dunia (G20) didirikan pada 1999 sebagai tanggapan atas beberapa krisis ekonomi dunia. Oleh karena itu, fokus utama dari forum antarpemerintah yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa (EU) itu adalah tata kelola ekonomi global.
Baca selengkapnyaMelihat efektivitas G20 dorong pemulihan ekonomi global
Oleh Yuni Arisandy dan Aria CindyaraKelompok 20 negara ekonomi terbesar dunia (G20) didirikan pada 1999 sebagai tanggapan atas beberapa krisis ekonomi dunia. Oleh karena itu, fokus utama dari forum antarpemerintah yang terdiri dari 19 negara dan Uni Eropa (EU) itu adalah tata kelola ekonomi global.
Pada kenyataannya, kelompok tersebut selama ini telah dan terus bekerja untuk mengatasi masalah utama yang terkait dengan ekonomi global, seperti stabilitas keuangan internasional dan pembangunan berkelanjutan.
Sepak terjang G20 sebagai forum multilateral -- yang berfokus pada isu keuangan dan non-keuangan -- dalam menangani krisis ekonomi pun telah terbukti, salah satunya saat menangani krisis keuangan global pada 2008.
Krisis keuangan 2008, atau krisis keuangan global, adalah krisis ekonomi dunia yang cukup parah. Krisis yang juga dikenal sebagai the Great Recession itu merupakan kondisi krisis keuangan paling serius sejak the Great Depression, yakni depresi ekonomi yang terjadi sebagian besar selama tahun 1930-an.
Sejumlah analisa pun telah disampaikan bahwa krisis keuangan global pada waktu itu terjadi akibat sejumlah faktor kompleks. Kondisi awal dimulainya krisis keuangan itu adalah peminjaman dana bersifat "predator" yang menargetkan para pembeli rumah berpenghasilan rendah, pengambilan risiko yang berlebihan oleh lembaga keuangan global, dan meledaknya pertumbuhan perumahan di Amerika Serikat yang memuncak dalam suatu "badai" krisis keuangan.
Saat itu lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia mengalami kerusakan parah, yang kemudian mencapai klimaksnya dengan kebangkrutan perusahaan AS Lehman Brothers pada September 2008.
Bangkrutnya Lehman Brothers berujung pada tertekannya pasar saham. Pada saat yang sama, pasar keuangan pun mengalami kemerosotan di mana indeks-indeks besar AS mengalami kerugian terburuk dalam rekornya.
Hal tersebut membuat sistem keuangan dunia menjadi terancam dan mengakibatkan kegagalan di berbagai sektor, seperti investasi, bank komersil, pemberi kredit rumah, perusahaan asuransi, dan asosiasi peminjaman dan penyimpanan.
Meski kebangkrutan Lehman Brothers menjadi titik kolapsnya ekonomi global pada saat itu, nilai suku bunga yang rendah serta kebijakan peminjaman yang kurang ketat juga disebut menjadi penyebab lain dari krisis yang tak terhindari itu.
Krisis itu pun akhirnya memicu Resesi Hebat (the Great Recession) yang mengakibatkan peningkatan pengangguran serta penurunan kepercayaan publik terhadap institusi keuangan di antara akibat-akibat lainnya. Resesi itulah yang juga menjadi penyebab awal signifikan dari krisis utang di Eropa.
Menyikapi krisis keuangan itu, konferensi tingkat tinggi (KTT) Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pun dilakukan, yang kemudian mempersiapkan pertemuan puncak para pemimpin negara G20.
Untuk langkah penanganan segera terhadap krisis itu, pemerintah negara-negara pun sepakat untuk mengerahkan dana talangan besar-besaran untuk lembaga keuangan dan kebijakan moneter dan fiskal paliatif lainnya untuk mencegah runtuhnya sistem keuangan global.
Selama pertemuan puncak pada November 2008 itu, para pemimpin kelompok tersebut berjanji untuk menyumbangkan triliunan dana untuk organisasi keuangan internasional, termasuk Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), terutama untuk membangun kembali sistem keuangan global.
KTT G20 tentang Pasar Keuangan dan Ekonomi Dunia itu berlangsung pada 14–15 November 2008, di Washington, D.C., Amerika Serikat. Dewan Uni Eropa melihat pertemuan itu sebagai langkah untuk mengambil keputusan awal tentang transparansi, standar regulasi global, pengawasan lintas batas dan manajemen krisis, untuk menghindari konflik kepentingan dan untuk menciptakan sistem peringatan dini, sehingga menimbulkan kepercayaan di antara para nasabah dan investor di setiap negara.
Selain itu, sejumlah kepala/pemimpin negara anggota G20 pun menyampaikan pandangan dan arahan mereka untuk penanganan dan pencegahan krisis ekonomi di masa depan. Misalnya, presiden China saat itu Hu Jintao menyebutkan empat prioritas dalam mereformasi sistem keuangan internasional, yaitu meningkatkan kerja sama internasional dalam regulasi keuangan; memajukan reformasi lembaga keuangan internasional; mendorong kerja sama keuangan daerah; dan memperbaiki sistem mata uang internasional.
Sementara Gordon Brown, perdana menteri Inggris saat itu, menyampaikan beberapa prinsip yang mencakup transparansi -- seperti standar akuntansi yang disepakati secara internasional dan standar pasar asuransi kredit, integritas -- seperti para agen kredit, serta praktik perbankan yang sehat.
Hasilnya, KTT G20 saat itu juga mencapai kesepakatan umum di antara anggota G20 tentang upaya kerja sama di bidang-bidang utama untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi, mengatasi krisis keuangan 2008, dan meletakkan dasar bagi reformasi untuk menghindari krisis serupa terjadi di negara-negara berkembang di masa depan.
Selain itu, terdapat lima tujuan utama yang disepakati para pemimpin negara G20 dalam pertemuan puncak pada 2008, yakni mencapai pemahaman bersama tentang akar penyebab krisis global; meninjau tindakan yang telah dan akan diambil negara-negara di masa depan untuk mengatasi krisis langsung dan memperkuat pertumbuhan; menyepakati prinsip-prinsip umum untuk mereformasi pasar keuangan; meluncurkan rencana aksi untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut; serta menegaskan kembali komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip pasar bebas.
Turalay Kenc, ekonom dari Bank Sentral Republik Turki, mengatakan bahwa pascakrisis keuangan global 2008-2009, G20 terbukti efektif dalam menstabilkan pasar keuangan dan meluncurkan stimulus ekonomi global. Selain itu, menurut dia, G20 berhasil mencegah kemungkinan terjadinya depresi ekonomi.
Bercermin pada keberhasilan G20 saat menangani krisis pada masa lalu, mungkin sudah saatnya melihat efektivitas G20 dalam menghadapi tantangan ekonomi saat ini akibat pandemi COVID-19.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai bahwa kinerja G20 sejauh ini dalam menyikapi tekanan ekonomi yang terjadi selama masa pandemi COVID-19 cenderung belum efektif.
"G20 itu memang (awalnya) dibentuk untuk menangani krisis, lahir dari krisis 1998 kemudian meningkat lagi jadi forum yang memang menangani krisis 2008," ujar Yose.
"Krisis kan sebenarnya merupakan isu jangka pendek yang perlu direspon saat itu juga ... ketika krisisnya terjadi pada 2020, kelihatanya G20 agak lambat, agak sulit untuk merespons. Jadi, efektivitas G20 untuk atasi krisis saat ini sebenarnya kalau bisa dikatakan agak kurang efektivitasnya," lanjutnya.
Namun, ekonom CSIS itu menyoroti bahwa masalah ekonomi yang terjadi pada 2008 -- yang dimulai dari sektor keuangan -- berbeda dengan masalah ekonomi saat ini yang dimulai dari sektor kesehatan. Yose juga berpendapat bahwa negara-negara G20 sebenarnya tetap punya banyak kesempatan untuk merespon secara lebih cepat dan lebih tepat untuk menangani masalah ekonomi yang masih berlangsung selama pandemi ini.
Walaupun demikian, dia menilai ada beberapa masalah ekonomi saat ini yang cukup berhasil ditangani oleh negara G20, yakni masalah di bidang keuangan, di mana G20 cukup responsif dalam memberikan arahan-arahan kebijakan.
"Tapi untuk hal lain yang jadi pondasi dari permasalahan saat ini, yaitu kesehatan, G20 itu agak gagap, tidak cepat untuk memberikan arahan kebijakan yang diperlukan," kata Yose.
Untuk itu, G20 selama di bawah presidensi Indonesia ke depan diharapkan dapat mengatur strategi dan arah kebijakan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi COVID-19.
“Kebersamaan adalah jawaban atas masa depan dengan semangat solidaritas. Recover together, recover stronger,” kata Presiden Jokowi.
Prakarsa G20 dan Peran Indonesia dalam pembaharuan arsitektur ekonomi dunia
G20 atau Group of Twenty merupakan forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia terdiri dari 19 negara dan satu lembaga Uni Eropa.
Baca selengkapnyaPrakarsa G20 dan Peran Indonesia dalam pembaharuan arsitektur ekonomi dunia
Oleh Azis Kurmala dan Yashinta DifaG20 atau Group of Twenty merupakan forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia terdiri dari 19 negara dan satu lembaga Uni Eropa.
G20 memiliki posisi strategis karena secara kolektif merupakan representasi dari 85 persen perekonomian dunia, 80 persen investasi global, 75 persen perdagangan internasional, dan 60 persen populasi dunia.
Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brazil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Prancis, China, Turki, dan Uni Eropa.
Forum kerja sama ekonomi internasional itu mengadakan pertemuan setiap tahun dan memulai konferensi tingkat tinggi (KTT) tahunan pertamanya pada 2008 dengan partisipasi dari masing-masing kepala negara dan pemerintahan.
Forum G20 membahas dua arus isu yakni Finance Track dan Sherpa Track. Fokus isu yang dibahas pada Finance Track adalah ekonomi dan keuangan, seperti kebijakan fiskal, moneter dan riil, investasi infrastruktur, regulasi keuangan, inklusi keuangan, dan perpajakan internasional. Pembahasannya dilakukan oleh menteri keuangan dan gubernur bank sentral masing-masing negara anggota.
Sementara fokus isu yang dibahas pada Sherpa Track lebih luas seperti geopolitik, anti korupsi, pembangunan, perdagangan, energi, perubahan iklim, dan kesetaraan gender. Pembahasannya dilakukan oleh kementerian terkait pada tingkat menteri masing-masing negara anggota.
Sebelum dibahas pada tingkat menteri, isu-isu tersebut akan dibahas secara detail dan teknis pada tingkat Working Group (WG) terlebih dahulu agar optimal dan komprehensif.
Menurut laman resmi Kementerian Perdagangan, rangkaian pertemuan G20 dalam setiap presidensi normalnya mencakup 3-4 pertemuan tingkat WG, 3-4 pertemuan tingkat deputi, 2-4 pertemuan tingkat menteri dan diakhiri dengan KTT yang dihadiri oleh kepala negara anggota G20.
Masing-masing jalur di atas berjalan secara paralel. Dimulai dari tingkat teknis (WG) kemudian dieskalasi ke tingkat deputi untuk mendapat konsep kesepakatan (communique) dan menyusutkan isu-isu untuk dibahas pada tingkat menteri.
Dengan siklus tersebut, pada akhirnya G20 akan menyepakati kesepakatan final atas aksi kebijakan yang diambil atas isu-isu prioritas pada KTT sebagai penghujung rangkaian kegiatan.
Peran nyata G20 terlihat dalam penanganan krisis keuangan global 2008. G20 telah turut mengubah wajah tata kelola keuangan global, dengan menginisiasi paket stimulus fiskal dan moneter yang terkoordinasi, dalam skala sangat besar.
G20 juga mendorong peningkatan kapasitas pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF), serta berbagai development banks utama. G20 dianggap telah membantu dunia kembali ke jalur pertumbuhan, serta mendorong beberapa reformasi penting di bidang finansial.
Dalam kebijakan pajak, G20 telah memacu Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD) untuk mendorong pertukaran informasi terkait pajak.
Pada 2012, G20 menghasilkan cikal bakal Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) keluaran OECD, yang kemudian difinalisasi pada 2015. Melalui BEPS, saat ini 139 negara dan jurisdiksi bekerja sama untuk mengakhiri penghindaran pajak.
G20 juga berkontribusi dalam penanganan pandemi COVID-19. Inisiatif G20 dalam penanganan pandemi mencakup penangguhan pembayaran utang luar negeri negara berpenghasilan rendah, injeksi penanganan COVID-19 sebanyak lebih dari 5 triliun dolar AS (Riyadh Declaration), penurunan/penghapusan bea dan pajak impor, pengurangan bea untuk vaksin, hand sanitizer, disinfektan, alat medis, dan obat-obatan.
Di samping itu, G20 berperan dalam isu internasional lainnya, termasuk perdagangan, iklim, dan pembangunan. G20 juga mendukung gerakan politis yang kemudian berujung pada Perjanjian Iklim Paris 2015 dan Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Pada 2016, diterapkan prinsip-prinsip kolektif terkait investasi internasional. Indonesia sendiri menjadi anggota G20 sejak forum internasional tersebut dibentuk pada 1999.
Pada saat itu,Indonesia berada dalam tahap pemulihan setelah krisis ekonomi 1997-1998 dan dinilai sebagai emerging economy yang mempunyai ukuran dan potensi ekonomi sangat besar di kawasan Asia. Karena itu, Indonesia hadir dalam G20 mewakili kelompok negara berkembang, kawasan Asia Tenggara, dan dunia Islam.
Peran Indonesia dalam setiap KTT G20 senantiasa memajukan kepentingan negara berkembang dan menjaga terciptanya sistem perekonomian global yang inklusif dan berkelanjutan, antara lain melalui usulan pembentukan global expenditure support fund, menghindari pembahasan exit strategy paket stimulus fiskal yang dapat merugikan negara berkembang, dan mendorong tercapainya konsensus selaku bridge builder.
Kementerian Luar Negeri menegaskan pendekatan konstruktif yang dikedepankan Indonesia dalam pembahasan isu-isu di G20. Semangat G-20 yang mendorong equality, trust building, dan berorentasi solusi menjadikan G20 sebagai forum yang demokratis di mana semua negara mempunyai kesempatan untuk speaking on equal footing dengan negara mana pun.
Mengingat Indonesia mempunyai cukup banyak success stories dalam program pembangunan, partisipasi Indonesia dalam G20 dapat digunakan untuk mengedepankan pengalaman Indonesia sebagai kontribusi global Indonesia dalam pembahasan forum G20.
Pada KTT Pittsburgh, misalnya, Indonesia menjadi contoh sukses pengalihan subsidi BBM tidak langsung menjadi subsidi langsung (program BLT). Indonesia juga bekerja sama dengan Bank Dunia dan OECD untuk berbagi kisah suksesnya.
Selama berlangsungnya krisis ekonomi global, secara umum kawasan Asia menunjukkan ketahanan yang lebih baik. Beberapa negara berkembang di kawasan ini bahkan tetap dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi pada tingkat moderat yang kemudian menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi global. Untuk itu, Indonesia bersama-sama negara di kawasan Asia Pasifik, perlu terus mendorong peran penting kawasan dalam proses pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global.
Peran tersebut ditegaskan Indonesia dalam menjalankan tugasnya sebagai Presiden G20 selama 2022. Mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger” (Pulih Bersama, Menjadi Lebih Kuat), Indonesia memfokuskan presidensinya untuk tiga isu yaitu penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi berbasis digital, dan transisi menuju energi berkelanjutan.
Menurut Presiden Joko Widodo, Indonesia akan memanfaatkan masa presidensi di G20 untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan negara-negara berkembang. Presiden menegaskan bahwa Indonesia berusaha membangun tata kelola dunia yang lebih adil.
"Indonesia berupaya memperkuat solidaritas dunia mengatasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan, dan menggalang komitmen negara maju membantu negara berkembang, negara kaya membantu negara miskin," kata Jokowi.
Komitmen tersebut dituangkan ke dalam agenda prioritas Finance Track dalam Presidensi G20 Indonesia yaitu Exit Strategy to Support Recovery yang akan membahas bagaimana G20 melindungi negara-negara yang masih menuju pemulihan ekonomi (terutama negara berkembang) dari efek limpahan (spillover) exit policy yang diterapkan oleh negara yang lebih dahulu pulih ekonominya (umumnya negara maju); Adressing Scaring Effect to Secure Future Growth guna mengatasi dampak berkepanjangan (scarring effect) krisis dengan meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan jangka panjang, memperhatikan ketenagakerjan, rumah tangga, sektor korporasi, dan sektor keuangan.
Agenda selanjutnya merujuk pada laman resmi Bank Indonesia yaitu, Payment System in Digital Era yang merupakan standar pembayaran lintas batas negara (CBP), serta prinsip-prinsip pengembangan CBDC (General Principles for Developing CBDC); Sustainable Finance yang membahas risiko iklim dan risiko transisi menuju ekonomi rendah karbon dan keuangan berkelanjutan dari sudut pandang makroekonomi dan stabilitas keuangan.
Kemudian, Digital Financial Inclusion dengan memanfaatkan open banking untuk mendorong produktivitas dan mendukung ekonomi dan keuangan inklusif bagi underserved community yaitu perempuan, pemuda, dan UMKM, termasuk aspek lintas batas; serta International Taxation yang membahas perpajakan internasional, utamanya terkait dengan implementasi Framework bersama OECD/G20 mengenai strategi perencanaan pajak yang disebut Base Erotion and Profit Shifting (BEPS).
Membawa visi-misi Indonesia Maju dalam kancah global melalui G20
Keketuaan atau Presidensi Indonesia di G20 (Group of Twenty) tahun 2022 menjadi peluang untuk membawa visi-misi Indonesia Maju dalam kancah global. Dengan menjadi pemegang Presidensi G20, Indonesia memiliki posisi strategis untuk menentukan isu-isu yang akan diangkat melalui forum G20.
Baca selengkapnyaMembawa visi-misi Indonesia Maju dalam kancah global melalui G20
Oleh Rangga Pandu Asmara JinggaKeketuaan atau Presidensi Indonesia di G20 (Group of Twenty) tahun 2022 menjadi peluang untuk membawa visi-misi Indonesia Maju dalam kancah global. Dengan menjadi pemegang Presidensi G20, Indonesia memiliki posisi strategis untuk menentukan isu-isu yang akan diangkat melalui forum G20.
Terpilihnya Indonesia sekaligus menandakan torehan sejarah baru karena untuk pertama kalinya Indonesia memegang Presidensi G20 sejak forum G20 ini dibentuk pada tahun 1999. G20 merupakan forum yang beranggotakan sembilan belas negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, ditambah dengan Uni Eropa.
Saat ini anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.
Mengutip penjelasan dari Sekretariat Negara, terpilihnya Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20, memiliki nilai strategis bagi pemulihan ekonomi dan pencapaian visi-misi Indonesia Maju apabila Indonesia mampu mengkapitalisasi peluang dan tantangan dengan kemanfaatan optimal bagi kepentingan Indonesia.
Tema G20 tahun 2022 adalah “Recover Together, Recover Stronger”, yang memiiki makna dapat tercipta pertumbuhan ekonomi yang inklusif, people centered, serta ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Secara lebih spesifik Presidensi G20 Indonesia dapat menjadi momentum meningkatkan kontribusi dalam mendukung pemulihan ekonomi domestik, dengan adanya rangkaian pertemuan yang kumulatif menghadirkan ribuan delegasi dari seluruh negara anggota dan berbagai lembaga internasional, terhitung mulai 1 Desember 2021 sampai 30 November 2022 mendatang.
Presiden RI Joko Widodo menyampaikan dalam forum G20 akan terdapat 150 kegiatan. Kegiatan tersebut berupa rapat yang terbagi dalam 2 kelompok kegiatan berbeda yakni, Sherpa Track dan Finance Track yang berlangsung secara marathon, mulai dari ministerial meeting, engagement group meeting hingga rapat-rapat setingkat eselon I, dan mencapai puncaknya pada event “Presidensi G20 Leader Summit”.
Melalui berbagai agenda tersebut, Indonesia selaku pemegang Presidensi G20 dapat membawa visi-misi Indonesia Maju dalam kancah global. Presiden RI Joko Widodo pada awal masa pemerintahan Kabinet Indonesia maju, tanggal 14 Juli 2019 lalu, telah menyampaikan program-program unggulan yang menjadi visi-misi pemerintahan ke depan.
Visi dan misi tersebut yakni terus melanjutkan pembangunan infrastruktur negara, pembangunan sumber daya manusia (SDM) termasuk dalam bidang kesehatan terkait pencegahan stunting atau kekerdilan, penurunan angka kematian ibu (AKI), serta angka kematian bayi.
Selain itu Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf juga memiliki visi dan misi dalam pertumbuhan ekonomi dengan berupaya mengundang investasi seluas-luasnya untuk membuka lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya.
Reformasi birokrasi juga menjadi salah satu tujuan Jokowi, untuk membawa birokrasi lembaga menjadi semakin sederhana, lincah, terutama dalam pelayanan pengurusan izin secara cepat.
Selanjutnya Jokowi juga menekankan bahwa penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus fokus dan tepat sasaran agar memberikan manfaat bagi negara dan kesejahteraan rakyat.
Secara garis besar visi-misi tersebut bertujuan membawa Indonesia menjadi negara maju, sesuai dengan nama kabinet pemerintahan Jokowi periode kedua Indonesia Maju. Visi-misi Indonesia Maju ini yang harus dibawa dan diperjuangkan Indonesia dalam kancah global melalui momentum Presidensi G20.
Sebagai catatan, Presiden Jokowi sendiri mengungkapkan, saat menghadiri KTT G20 di Roma begitu banyak negara besar yang meminta pertemuan bilateral dengan Indonesia. Hal ini menunjukkan Indonesia berpeluang menjadi tujuan investasi negara lain, yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi bangsa.
Hal ini sejalan dengan visi-misi Jokowi, bahwa pembukaan peluang investasi seluas-luasnya akan dilakukan guna membuka lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya.
Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi juga menyebut kesuksesan penyelenggaraan rangkaian acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 2022 akan mampu membuka peluang investasi di Indonesia, yang pada akhirnya diharapkan memberi dampak ganda bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Presidensi G20 oleh Indonesia akan membuka peluang bagi negara lain untuk melihat kesiapan Indonesia sebagai tempat menanamkan modal.
Presidensi G20 akan membawa Indonesia menjadi salah satu fokus perhatian dunia, khususnya bagi para pelaku ekonomi dan keuangan. Kesempatan ini harus dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan berbagai kemajuan yang telah dicapai Indonesia kepada dunia, dan menjadi titik awal pemulihan keyakinan pelaku ekonomi pascapandemi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Di samping itu, pertemuan-pertemuan G20 di Indonesia juga dapat menjadi sarana untuk memperkenalkan pariwisata dan produk unggulan Indonesia kepada dunia internasional, sehingga diharapkan dapat turut menggerakkan ekonomi Indonesia mempercepat pemulihan ekonomi dan agar dapat berkonstribusi dalam mengakselerasi Indonesia Maju.
Selain visi-misi Indonesia Maju, Presiden RI Joko Widodo juga menegaskan bahwa Indonesia melalui Presidensi G20 akan mengulang dan memperkokoh kepemimpinannya di kancah global seperti yang dulu pernah dilakukan Presiden Pertama RI Soekarno (Bung Karno).
"Kita akan mengulang dan memperkokoh kepemimpinan Indonesia yang dulu pernah dilakukan Presiden pertama kita Bung Karno," ujar Presiden Joko Widodo.
Presiden menekankan akan memanfaatkan momentum Presidensi G20 untuk memperjuangkan kepentingan bangsa dan kepentingan negara-negara berkembang, Indonesia akan terus berjuang membangun tata kelola kesehatan, tata kelola ekonomi dunia yang lebih adil, lebih kokoh dalam menghadapi ketidakpastian, dan kompleksitas masalah yang semakin banyak di dunia.
Salah satu langkah konkret yang sudah mulai dilakukan yaitu hilirisasi industri yang terus ditingkatkan, untuk menghasilkan nilai tambah dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Dan oleh sebab itu sejak tahun 2020 Indonesia telah menghentikan ekspor nikel bahan mentah.
Credit
PENGARAH
Akhmad Munir, Gusti Nur Cahya Aryani, Saptono, Teguh Priyanto
PRODUSER EKSEKUTIF
Sapto HP
PRODUSER
Panca Hari P
PENULIS
Tri Meilani Ameliya, Hana Dewi Kinarina Kaban, Satyagraha, Andi Firdaus, Putu Indah Savitri, Farika Nur Khatimah, Yuni Arisandy, Aria Cindyara, Azis Kurmala, Yashinta Difa, Rangga Pandu Asmara Jingga
SUMBER FOTO
Reuters, Setpres, Antara Foto
KURATOR FOTO
Puspa Perwitasari
VIDEO
Cahya Sari, Rio Feisal, Amita Putri, Chairul Fajri, Satrio Giri, Arif Prada
PERISET dan GRAFER INFOGRAFIK
Perdinan, Iqbal, Erie, Dasri, Noropujadi
EDITOR INFOGRAFIK
Heppy Ratnasari, Dyah
DATA DAN RISET
Pusat data dan Informasi ANTARA
WEB DEVELOPER
Y. Rinaldi