Kehadiran Timnas PSSI pada laga Asian Games tidak bisa dianggap remeh. Permainan Garuda lapangan hijau ini tidak pernah absen mewarnai laga bergengsi sekawasan Asia tersebut sejak penyelenggaraan yang pertama.
Asian Games pertama kali dilaksanakan pada tahun 1951, dengan India sebagai tuan rumah. Laga perdana dibuka lewat pertemuan Indonesia melawan tuan rumah India, tepatnya pada 5 Maret 1951 di Stadion Nasional India, New Delhi.
Timnas PSSI menurunkan nama-nama yang di kemudian hari dikenal sebagai legenda Tanah Air, yakni Maulwi Saelan, Aang Witarsa, di bawah asuhan pelatih asal Singapura Cho Seng Quee. Pelatih yang akrab dipanggil Uncle Choo ini lebih dulu memiliki rekam jejak sebagai pelatih Singapore FA pada rentang tahun 1949 hingga 1950.
Meski permainan tendangan tim asuhan Uncle Choo sangat apik dan prima, timnas sepak bola India jelas bukan lawan sebanding yang kala itu tengah memasuki masa keemasan. Berbanding terbalik dengan Indonesia yang belum lama merdeka serta baru menata ulang dunia sepak bolanya sejak Kongres PSSI 1950, dunia sepak bola India sudah lebih dulu matang.
Timnas tuan rumah Asian Games perdana tersebut bahkan sempat lolos ke Piala Dunia 1950 yang dilaksanakan di Brazil. Alhasil, Garuda PSSI tidak perlu menunggu waktu lama untuk menghadapi kekalahannya atas India.
Pada kira-kira menit kesepuluh, gawang timnas PSSI harus kebobolan karena tendangan striker Pansanttom Venkatesh. Seolah masih tidak siap mengantisipasi serangan tuan rumah, timnas PSSI harus kembali menyerahkan skor untuk India lewat aksi Sahu Mewalal pada enam menit berikutnya.
Paruh pertama laga yang masih berdurasi 30 menit kala itu tentu saja dimenangkan sementara oleh India atas Indonesia dengan perolehan skor 2-0.
Memasuki babak kedua, semangat dan kegarangan timnas PSSI dalam menahan serangan India terlihat jelas, namun sayang hanya bertahan di menit-menit awal. Seolah menyadari bahwa ketertinggalan dua gol sudah cukup sulit untuk dikejar, performa Garuda kian menurun di pertengahan laga.
Menjelang lima menit sebelum berakhirnya babak kedua, India pun kembali mencetak gol ketiga lewat tendangan Santosh Nandy. Gol ketiga ini kian mempertegas ketertinggalan timnas PSSI. Akhirnya, pertandingan pembuka Asian Games perdana tersebut dimenangkan telak oleh India, dengan skor akhir 3-0.
Kekalahan ini sekaligus pula mengakhiri permainan Garuda PSSI di laga Asian Games tahun tersebut. Hal ini dikarenakan turnamen bergengsi kelas Asia itu sejak awal digelar dengan sistem gugur, sehingga perjalanan Indonesia hanya sampai pada laga pembuka.
Kekalahan ini tentu menjadi pengalaman sekaligus pembelajaran berharga bagi timnas PSSI yang masih terbilang berusia muda sebagai sebuah organisasi saat itu.
Hal ini dibuktikan pada Asian Games beberapa tahun berikutnya. Pada tahun 1954 misalnya, timnas PSSI mampu melaju hingga semifinal.
Menyusul pada tahun 1958, skuat asuhan pelatih Toni Pogacnik asal Yugoslavia bahkan berhasil memboyong medali perunggu dari Asian Games Tokyo ke Tanah Air. Pada Asian Games Tokyo ini, aksi striker Wowo Sunaryo, Bakir, dan kawan-kawan akhirnya mampu mematahkan tendangan timnas India di perebutan tempat ketiga, dengan perolehan skor akhir 4-1.
Garuda PSSI pernah melakukan perjalanan tandang atau tur ke beberapa negara dalam satu kali perjalanan. Lebih dari sekedar menjajal kekuatan dan kekompakan, tur ini dimaksudkan untuk membangun persahabatan antar sesama timnas sepak bola.
Tepatnya di tahun 1956, Timnas PSSI memulai perjalanan tandang ke wilayah Eropa Timur. Pada tahun ini, tur secara khusus dimaksudkan untuk mempersiapkan Garuda lapangan hijau berlaga di Olimpiade Melbourne yang diselenggarakan pada 22 November hingga 8 Desember 1956.
Azerbaijan menjadi negara pertama yang didatangi oleh striker kenamaan Andi Ramang, Djamiat Dalhar, kiper Maulwi Saelan, dan lima belas pemain timnas PSSI lainnya. Laga yang digelar pada tanggal 19 Agustus 1956 itu dimenangkan oleh tuan rumah Azerbaijan atas Indonesia, dengan skor final 3-1.
Tidak berlama-lama, rombongan Garuda PSSI selanjutnya bergeser ke Georgia. Pada tanggal 23 Agustus 1956, delapan belas pemain jajal kekuatan dengan klub Dinamo Tbilisi di Tiflis. Berakhir sama, Indonesia kembali lagi ditaklukan oleh tuan rumah dengan skor yang cukup jauh 5-2.
Tiga hari berselang, Indonesia bertemu dengan klub Avangar asal Ukraina pada tanggal 26 Agustus 1956. Bernasib sama, Garuda PSSI lagi-lagi takluk dengan skor akhir yang tipis, yakni 1-2.
Memasuki awal September, Ramang dan kawan-kawan beradu dengan klub buruh di Saint Petersburg. Dihadapan kurang lebih 110 ribu penonton, Garuda PSSI kembali harus menelan malu lantaran kalah dengan hasil akhir 2-5.
Bosan menanggung malu, Indonesia akhirnya memenangkan pertandingan terakhir di Rusia, tepatnya pada tanggal 4 September. Dari Ivanovo, laga ini ditutup dengan kemenangan timnas PSSI atas klub Buruh Tekstil dengan nilai final 2-0.
Seolah pengalaman sebelumnya belum dirasa cukup, timnas PSSI kemudian bertolak menuju Yugoslavia. Pada 9 September, Indonesia melakukan pertandingan uji coba level A FIFA, dengan melawan timnas Yugoslavia yang tengah berjaya.
Tidak seperti prediksi sejumlah pemberitaan kala itu, permainan timnas sepak bola Indonesia ternyata tidak terlampau buruk. Meski tetap berakhir kalah, Garuda PSSI nyatanya mampu menembakkan dua gol yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Banyak koran Eropa Timur bahkan memuji penampilan timnas PSSI ini.
Adapun Cekoslovakia menjadi negara terakhir yang dikunjungi oleh tim asuhan Toni Pogacnik tersebut. Total perjalanan tandang ke Eropa Timur ini berlangsung selama 39 hari, dengan 11 pertandingan. Timnas PSSI menelan sepuluh kali kekalahan dan sekali menang, dengan kebobolan 38 kali dan mencetak gol 16 kali.
Dua tahun berikutnya, Garuda PSSI kembali melakukan perjalanan tandang sebelum mengikuti laga Asian Games Tokyo yang dihelat mulai tanggal 24 Mei 1958.
Pertengahan Mei, tepatnya pada tanggal 12 Mei 1958, timnas PSSI bertolak menuju Filipina dan singgah selama dua pekan di Manila. Kunjungan ini merupakan undangan khusus dari Philippine Football Federation, sehingga Garuda PSSI menerima jadwal uuntuk memainkan tiga pertandingan, yakni melawan Singapura, Myanmar dan Filipina.
Setelah mengikuti Asian Games Tokyo, timnas PSSI juga masih melakukan tur ke beberapa negara sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air. Pada tur sebelum dan sesudah Asian Games ini, total ada 15 pertandingan dengan hasil menang tiga belas kali untuk Garuda PSSI.
Pertandingan Garuda PSSI yang diceritakan kehebatannya dari generasi ke generasi, satu di antaranya ialah duel di Olimpiade Melbourne, Australia, pada 29 November 1956.
Di bawah asuhan pelatih asal Yugoslavia, Toni Pogacnik, penampilan Indonesia dalam ajang olahraga bergengsi dunia yang disaksikan oleh 3.000 ribu lebih pasang mata itu mendatangkan banyak pujian, terutama usai melawan Uni Soviet di babak perempat final.
Uni Soviet adalah satu di antara tim terkuat pada masa itu. Sementara itu, Indonesia masih belum diperhitungkan, malahan diprediksi akan mudah ditumbangkan oleh Soviet. Namun begitu yang terjadi justru sebaliknya, strategi pertahanan berlapis yang diterapkan Tony Pogacnik berhasil dijalankan dengan baik oleh anak-anak asuhannya. Alhasil, Uni Soviet kesulitan menembus kukuhnya pertahanan lini belakang Indonesia.
Bukan hanya itu, postur tubuh skuad Indonesia yang kalah jauh juga nyatanya tidak berpengaruh signifikan terhadap performa Ramang dan kawan-kawan. Keberanian tim Indonesia melawan musuh yang berpostur lebih besar ini menjadi catatan yang sungguh dikenang, bahkan hingga hari ini.
Dalam laga yang dipimpin wasit asal Jepang, Shigemaru Takenokoshi, kubu Uni Soviet diperkuat pemain kaliber dunia ternama, seperti Valentin Ivanov, Eduard Streltsov, Igor Netto dan Lev Yashin yang merupakan penjaga gawang terbaik di dunia saat itu. Di sisi yang lain, timnas PSSI diperkuat Maulwi Saelan, Endang Witarsa, Thio Him Tjiang, Ramlan dan Rusli Ramang.
Dengan hasrat pantang menyerah, Garuda PSSI mampu menahan gempuran Uni Soviet. Skor imbang 0-0 bertahan hingga menit normal dan perpanjangan waktu selesai.
Pada masa itu, belum ada aturan terkait penentuan akhir pertandingan melalui adu penalti. Oleh sebab itu, pertandingan ulang harus dilakukan untuk menentukan siapa yang berhak melaju ke babak berikutnya. Pertandingan antara skuad Garuda versus Soviet pun kembali digelar di tempat yang sama pada 1 Desember 1956.
Bila dibandingkan laga sebelumnya, jumlah penonton menjadi dua kali lipat pada laga ulangan ini. Besar kemungkinan penyebabnya tidak lain karena rasa penasaran khalayak pada aksi timnas PSSI yang sukses dibanjiri pujian pada laga awal.
Sayangnya, Uni Soviet berhasil menumbangkan Garuda PSSI dengan skor akhir 4-0. Ramang dan kawan-kawan pun terpaksa harus angkat koper, sementara Uni Soviet melaju ke babak final, bahkan berhasil meraih medali emas.
Bagi timnas PSSI, keberhasilan menahan imbang Uni Soviet menjadi catatan sejarah yang terus dikenang hingga kini meski akhirnya pulang dengan tangan hampa dan gagal melangkah lebih jauh,
Olimpiade Melbourne 1956 yang berlangsung pada 22 November hingga 8 Desember 1956 menjadi satu-satunya penampilan Garuda PSSI pada pesta olahraga internasional yang terhitung besar di dunia.
Pemerintah Indonesia pun tetap bangga atas perjuangan para atlet yang telah berusaha berjuang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Hal ini terlihat dari sambutan spesial yang dilakukan panitia Olimpiade kontingen Indonesia sekembalinya mereka di Tanah Air.
Cerita Garuda PSSI hampir bermain pada Piala Dunia Meksiko 1986 masih terus menjadi buah bibir hingga hari ini. Kenangannya menjadi ajang pembuktian, reputasi tendangan timnas PSSI tidak hanya diperhitungkan di Asia.
Sebelum Piala Dunia Meksiko 1986, Indonesia nyaris pula merumput pada Piala Dunia Swedia 1958. Namun begitu, peristiwa penting ini tidak begitu dirayakan sebagai sebuah pretasi sebab perjalanan timnas PSSI sangat singkat kala itu.
Timnas sepak bola Indonesia hanya berlaga satu kali melawan China pada babak pertama kualifikasi piala dunia tersebut. Pada putaran kedua kualifikasi, skuat Indonesia menolak bermain melawan Israel karena alasan politis, yakni peristiwa perang Israel dengan tiga negara Arab di tahun 1946 dan 1956.
Adapun pada babak kualifikasi Piala Dunia Meksiko 1986, tim asuhan Sinyo Aliandoe yang dibentuk dari kompetisi Galatama merasakan betul perjuangan sengit dalam memperebutkan tiket bermain di piala dunia.
Pasalnya, Garuda PSSI tidak begitu dijagokan untuk lolos pada tahap kualifikasi ini. Sementara untuk keluar menjadi juara Grup 3B, Indonesia harus menghadapi tiga negara Asia yang sama kuatnya di era tersebut, yakni Thailand, Bangladesh dan India.
Menurut pemberitaan media kala itu, laga pertama dilakukan di Gelora Bung Karno Senayan, sementara laga kedua dilakukan di tiga negara lawan, yakni Bangkok, Dhaka, dan Kalkuta.
Pada tanggal 15 Maret 1985, striker Bambang Nurdiansyah, kiper Hermansyah dan kawan-kawan memulai babak pertama kualifikasi Piala Dunia Meksiko 1986 dengan menghadapi timnas sepak bola Thailand. Baik di Jakarta maupun Bangkok, Indonesia berhasil mengalahkan Negeri Gajah Putih tersebut dengan skor final 1-0.
Lawan Indonesia selanjutnya ialah Bangladesh yang bertemu pada 18 Maret 1985 di Gelora Bung Karno. Garuda PSSI memenangkan laga pertama lewat tendangan gol striker Bambang Nurdiansyah dan Dede Sulaiman, sedangkan Bangladesh tidak mencetak gol apapun.
Karena tendangan gol Dede Sulaiman, Indonesia berhasil menutup putaran pertama dengan mencetak kemenangan 2-1 atas India. Peluang Garuda PSSI menjuarai Grup 3B semakin terlihat jelas.
Kendati demikian, putaran kedua laga Indonesia dengan ketiga negara Asia tersebut tidak semulus sebelumnya, melainkan berlangsung begitu menegangkan. Pasalnya, timnas PSSI sempat menelan kekalahan 1-2 atas Bangladesh ketika berlaga di Dhaka.
Alhasil, Indonesia harus berjuang ekstra melawan India di Kalkuta. Pada saat yang sama, timnas sepak bola India nyatanya juga begitu mempersiapkan diri agar dapat bermain lebih baik selama putaran kedua.
Terbukti, pertandingan terakhir Grup 3B ini berakhir seri, dengan skor akhir 1-1 untuk Indonesia dan India.
Meski berakhir mendebarkan, Indonesia mendapat poin terbanyak, dengan empat kali menang, satu kali kalah, dan satu kali seri. Oleh karena itu, Indonesia menjadi juara grup 3B dan melaju ke babak selanjutnya.
Babak pertandingan berikutnya ini menentukan timnas negara mana yang mewakili Asia berlaga di Meksiko.
Garuda PSSI kemudian bertemu dengan Korea Selatan yang merupakan jawara Grup 3A. Seperti sebelumnya, pertandingan dilakukan di dua tempat dan diawali di Stadion Olimpiade Seoul baru di Gelora Bung Karno Senayan.
Sayangnya, Korea Selatan memenangkan kedua pertandingan ini yang akhirnya menghentikan perjalanan timnas PSSI menuju Meksiko. Meskipun gagal, pencapaian timnas PSSI asuhan Sinyo Aliandoe tersebut menjadi salah satu yang terbaik sampai hari ini.
Garuda PSSI pernah mendapat julukan Sang Macan Asia pada beberapa dekade silam. Permainannya begitu diperhitungkan, bahkan ditakuti oleh timnas negara lain dalam setiap laga internasional bergengsi.
Julukan Sang Macan Asia memang tidak berlebihan sebab timnas PSSI membuktikannya tidak hanya lewat permainan yang garang, namun juga sederet piala yang berhasil diboyong ke Tanah Air.
Menengok kembali pada perhelatan Asian Games Tokyo 1958, timnas sepak bola Indonesia berhasil membawa pulang medali perunggu usai kalahkan India dengan skor akhir 4-1 di perebutan tempat ketiga. Perunggu ini sekaligus pula menjadi piala pertama Garuda PSSI pasca Kongres PSSI tahun 1950, yang menandai lahirnya kembali sepak bola Indonesia.
Berkat piala perunggu Asian Games Tokyo 1958 itu, timnas sepak bola Indonesia kian dikenal kualitas permainannya karena terlihat mengalami peningkatan drastis dari masa ke masa.
Bagaimana tidak, perjalanan Garuda PSSI hanya sampai pada laga pembuka ketika pertama kali mengikuti Asian Games India di tahun 1951. Dalam Asean Games perdana ini, Indonesia harus takluk atas tuan rumah India tanpa mencetak gol sama sekali, dengan perolehan skor final 3-0.
Kemudian selama Asian Games kedua yang diselenggarakan pada Mei 1954 di Manila, timnas sepak bola Indonesia berhasil memperbaiki pencapaian tahun sebelumnya dengan melaju hingga babak semifinal. Garuda PSSI asuhan Toni Pogacnik tersebut bahkan mampu mengalahkan India serta Jepang di babak penyisihan yang kala itu begitu dijagokan untuk memenangkan kembali piala Asian Games.
Tidak berhenti hanya di Asian Games, timnas PSSI juga menunjukkan kualitas permainannya pada Olimpiade Melbourne 1956. Di bawah asuhan pelatih Toni Pogacnik lagi, tidak ada yang menyangka perjalanan Indonesia akan maju hingga perempat final olimpiade tersebut.
Bahkan, Garuda PSSI sempat mengimbangi Uni Soviet yang saat itu tengah menyandang predikat sebagai salah satu tim papan atas dunia. Dalam pertandingan yang dihelat di Olympic Part Stadium Melbourne tersebut, kedudukan 0-0 keduanya terus bertahan hingga tambahan waktu habis. Kegesitan dan kelincahan Ramang berhasil mengacaukan strategi permainan Soviet saat itu.
Akibatnya, Indonesia harus kembali menghadapi Soviet dalam laga tambahan untuk memperebutkan satu tiket semifinal Olimpiade Melbourne 1956. Kali ini, kekuatan Andi Ramang dan kawan-kawan tidak cukup kuat untuk mengimbangi Soviet. Sergei Salnikov beserta tim sukses melenggang ke babak semifinal, dengan skor 4-0.
Beberapa tahun berselang, timnas PSSI kembali lagi membuktikan perbaikan kualitas permainannya. Pada SEA Games 1987, The Boys of 1987, sebuah julukan yang mengacu pada panggilan spesial buat anak asuhan pelatih Bertje Matulapelwa kala itu berhasil memboyong pulang medali emas ke Tanah Air untuk pertama kalinya.
Pada partai semifinal, Ricky Yakob dan kawan-kawan bersua dengan Myanmar yang berakhir menang telak untuk Garuda PSSI, lewat skor akhir 4-1. Usai menghadapi berbagai pertandingan berliku menuju babak final, timnas sepak bola Indonesia pun bertemu dengan Malaysia untuk memperebutkan juara satu.
Meski rivalitas kedua negara dan tuntutan juara menghantui para pemain timnas PSSI, satu gol tetap berhasil ditembakkan ke gawang Malaysia lewat kaki Ribut Waidi. Piala emas SEA Games 1987 pun dimenangkan oleh Indonesia, dengan skor final 1-0.
Ketangguhan dan teknik mumpuni para pemain Garuda PSSI dalam setiap laga internasional tidak lepas dari tangan dingin para pelatih. Berkat arahan mereka, timnas sepak bola Indonesia sempat menjadi momok bagi para lawannya.
Salah satu pelatih yang tidak akan luput dari catatan sejarah dunia sepak bola Indonesia ialah Antun Tony Pogacnik. Kadir Jusuf dalam bukunya berjudul Sepak Bola Indonesia (1982) bahkan menyebut pelatih asal Yugoslavia tersebut sebagai bapak sepak bola modern Indonesia. Sebutan ini tentu tidak berlebihan bila melihat usaha Pogacnik dalam mempersiapkan timnas sepak bola Indonesia yang sangat totalitas.
Pogacnik tidak pernah segan turun langsung untuk melatih teknik dasar kepada para pemain timnas PSSI, mulai dari menendang, menyundul, melakukan adu pinalti, melakukan tekel dan teknik dasar lainnya. Terbukti, buah kedisplinan dan semangat Pogacnik mampu membuat anak asuhannya mengimbangi Uni Soviet pada babak pertama perempat final Olimpiade Melbourne 1956. Dua tahun berikutnya, Garuda PSSI asuhan Pogacnik berhasil membawa pulang medali perunggu Asian Games Tokyo 1958 ke Tanah Air.
Alfred Riedl menjadi nama pelatih berikutnya yang tidak akan terlupakan dalam persepak bolaan Indonesia. Pasalnya, Riedl merupakan pelatih asing yang paling sering melatih timnas PSSI. Berdasarkan arsip, pelatih asal Austria ini telah menukangi Garuda PSSI sebanyak tiga kali periode, yakni 2010-2011, 2013-2014, dan 2016-2017.
Kehadiran Riedl berhasil menghadirkan kembali euforia dan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas timnas sepak bola Indonesia yang sempat redup setelah Piala Asia 2007. Pada saat pertama kali mengasuh Garuda PSSI, Riedl berhasil membawa Bambang Pamungkas, Irfan Bachdim, dan kawan-kawan beradu dengan Malaysia di babak final Piala AFF 2010.
Meski harus kalah dari Malaysia, medali perak Piala AFF 2010 tersebut begitu ditunggu-tunggu. Hal ini dikarenakan Indonesia telah hiatus selama enam tahun dari babak final Piala AFF. Timnas PSSI terakhir kali berhasil melaju ke babak final pada Piala AFF 2004.
Tidak hanya pelatih asing, beberapa pelatih dari dalam negeri juga pernah mengasuh Garuda PSSI. Kualitas asuhan beberapa pelatih lokal ini tidak kalah bagus dengan pelatih asing yang mendominasi dunia sepak bola Indonesia.
Nama Bertje Matulapelwa menjadi salah satu pelatih lokal yang digadang-gadang terbaik sepanjang masa. Hasil asuhannya terlihat pada perhelatan Asian Games 1987 ketika timnas PSSI untuk pertama kalinya berhasil merebut medali emas Asian Games usai bertarung sengit dengan Malaysia.
Seolah bosan kalah dan menanggung malu, para pemain dan staf terpilih di bawah komando Bertje membenahi banyak hal demi membawa Indonesia hingga babak puncak pada Asian Games 1987. Di tahun ini, Indonesia juga bertindak sebagai tuan rumah Asian Games.
Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia begitu menantikan permainan apik Garuda PSSI besutan Bertje tersebut. Kerja keras tim asuhan Bertje nyatanya membuahkan hasil. Pasukan Merah Putih tampil memuaskan, mulai dari babak eliminasi grup hingga memenangkan final melawan Malaysia, dengan skor akhir 1-0. Di babak final, timnas PSSI bahkan melakukan aksi jual beli serangan dengan harimau Malaya selama 90 menit.
Pelatih lokal lainnya ialah Rahmad Darmawan. Tangan dingin mantan pemain timnas PSSI sekaligus purnawirawan Mayor Angkatan Laut ini juga membuahkan dua medali perak pada SEA Games 2011 dań SEA Games 2013.
Meski bertangan dingin, Rahmad juga dikenal sebagai pelatih yang pandai dalam hal pendekatan kepada para anak asuhannya. Pada perhelatan SEA Games 2011, Indonesia tengah mendapat gilirannya untuk menjadi tuan rumah, sehingga kemenangan tersebut dirayakan dengan gegap gempita, bahkan masih dikenang hingga hari ini.
Permainan timnas sepak bola Indonesia tidak melulu berada di puncak kejayaan. Tidak sedikit pasang surut yang dialami Garuda PSSI di lapangan rumput, mulai dari peringkat terjun bebas hingga menerima suspensi FIFA.
Secara peringkat, timnas sepak bola Indonesia pernah menjadi salah satu tim yang disegani karena menghuni posisi 100 besar. Pada tahun 1998, Indonesia pernah menempati urutan ke-87 secara dunia.
Di tahun yang sama, Garuda PSSI bahkan sempat menduduki peringkat 76 dunia, namun hanya sebentar karena angka ini merupakan catatan sementara dan bukan peringkat akhir tahun. Secara garis besar, peringkat tersebut diperoleh karena Indonesia mampu meraih 10 kemenangan dari 13 laga yang dimainkan selama setahun.
Akan tetapi, posisi itu terus menurun dari tahun ke tahun, hingga berada pada titik terendah yang terjadi pada tahun 2015. Pada tahun ini, peringkat timnas PSSI terlempar jauh hingga di angka 179 dunia.
Tidak berhenti sampai di situ, FIFA sebagai badan sepak bola dunia juga bahkan menjatuhkan sanksi pembekuan atau suspensi terhadap sepak bola Indonesia di tahun yang sama. Sanksi ini merupakan tindakan tegas FIFA merespon intervensi pemerintah Indonesia melalui Kemenpora terhadap tata kelola sepak bola Indonesia.
Sebelumnya, Menpora Imam Nahrawi telah lebih dulu mengeluarkan surat keputusan tentang pembekuan PSSI pada tanggal 17 April 2015, sebagai buntut dari konflik antara lembaga induk sepak bola Indonesia PSSI dengan pemerintah melalui Kemenpora. Bagi FIFA, surat keputusan ini adalah bentuk intervensi Pemerintah Indonesia terhadap tata kelola sepak bola Indonesia.
Oleh karena itu, FIFA lantas menjatuhkan sanksi kepada Indonesia, tepatnya pada tanggal 30 Mei 2015, yang diketok dalam rapat Komite Eksekutif (Exco) FIFA di Zurich, Swiss.
Adapun dampaknya, PSSI kemudian kehilangan hak keanggotaan selama masa hukuman berlangsung. Tidak berhenti sampai di situ, seluruh wakil asal Indonesia, baik klub maupun timnas sepak bola dilarang melakukan agenda internasional, termasuk terlibat dalam kompetisi FIFA dan AFC.
Usai setahun sejak ketok palu, FIFA kemudian secara resmi mencabut sanksi untuk Indonesia. Pencabutan sanksi ini dilakukan oleh Presiden FIFA Gianni Infantino pada Kongres Tahunan FIFA yang dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2016 di Meksiko.
Keputusan tersebut diambil oleh FIFA karena pemerintah Indonesia melalui Kemenpora telah mencabut surat keputusan terkait pembekuan PSSI.
Enam tahun telah berlalu sejak Garuda PSSI terbebas dari sanksi FIFA. Kini, dibawah asuhan pelatih Shin Tae-Yong, timnas sepak bola Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan kualitas permainannya agar dapat bersaing dengan negara lain.
Meski belum jua membawa kembali gelar juara, para pemain asuhan Shin Tae-Yong menjadi setitik harapan bersama perihal membaiknya dunia sepak bola Indonesia karena mulai menunjukkan geliat perbaikan.
Salah satu prestasi Shin Tae-Yong yang menjadi sorotan ialah keberhasilannya membawa runner-up Piala AFF 2020 serta meloloskan timnas sepak bola grup U-20 ke ajang Piala Asia U-20 2023.Laga bergengsi ini akan dilaksanakan di Uzbekistan. Bukan hanya itu, anak-anak asuhan Shin Tae-Yong juga berhasil lolos pada ajang Piala Asia 2023.
Timnas sepak bola Indonesia terus melakukan perubahan dari masa ke masa demi memastikan prestasinya bertahan di laga internasional. Bongkar pasang strategi hingga formasi seolah sudah menjadi keharusan.
Bongkar pasang strategi ini salah satunya terlihat melalui pergantian pelatih yang cukup sering. Berdasarkan catatan media selama rentang tahun 1998 hingga 2021 saja, Garuda PSSI telah mengalami 23 kali pergantian pelatih, dengan total 18 pelatih yang pernah mengasuh.
Pelatih-pelatih ini tidak melulu didatangkan dari mancanegara. Pasalnya, pengurus PSSI beberapa kali juga memanggil pelatih lokal yang sama hebatnya dalam mempersiapkan timnas sepak bola Indonesia sebelum berlaga.
Karena itu sebagaimana mengutip pendapat striker kenamaan Bambang Pamungkas dalam salah satu wawancara, pergantian pelatih berarti pergantian sistem sekaligus pola permainan meskipun para pemain tidak jarang sama.
Sebagai contoh selama masa pengasuhan dengan Alfred Riedl yang menjadi pelatih asing terbanyak membesut Garuda PSSI, strategi yang kerap kali dipakai ialah 4-4-2. Taktik ini terbilang gaya lama sebab memang menjadi patron permainan yang dipopulerkan oleh Inggris. Karena itu, tidak heran bila Riedl dikenal pula sebagai generasi pelatih old fashion nan konservatif.
Meski begitu, taktik bergaya lama ini terbukti jitu membawa tim asuhan Riedl keluar sebagai runner-up pada ajang Piala AFF 2010. Irfan Bachdim, Cristian Gonzales dan kawan-kawan berhasil melesakkan gol beberapa kali, dengan penjagaan gawang yang rata-rata hanya satu kali kebobolan pada tiap pertandingan.
Pada ajang Piala AFF tahun tersebut, timnas PSSI mengantongi skor akhir yang jauh berbeda dengan lawan. Sebagai contoh, laga Indonesia melawan Laos ditutup dengan skor akhir 6-1, sementara laga melawan Filipina berakhir agregat 2-0.
Bergeser ke pelatnas terkini, pelatih asal Korea Selatan Shin Tae Yong masih dipercayakan mengasuh timnas sepak bola Indonesia.
Lain halnya dengan Riedl, Shin Tae Yong lebih sering memilih menggunakan formasi 3-4-3 dengan terkadang variasi 4-3-3. Dalam hemat pandangan Tae Yong, formasi 3-4-3 membuat pertahanan Indonesia lebih ketat sekaligus menguatkan serangan Indonesia.. Ia juga beralasan, postur tubuh Indonesia kurang baik sehingga posisi belakang memerlukan tiga bek tengah.
Selain itu, formasi ini juga menguntungkan pemain yang mampu bermain di banyak posisi. Sebagai contoh, pemain U-19 Rachmat Irianto merangkap sebagai wing back kanan sekaligus gelandang tengah pada laga Piala AFF 2020 karena Tae Yong melihat Rachmat mampu melakukan posisi ganda tersebut.
Terbukti, Rachmat Irianto mampu membuat 1 assist dan 1 gol ke gawang Kuwait pada kualifikasi Piala Asia AFC 2023. Situasi ini sekaligus pula berhasil membawa Garuda PSSI ke putaran final usai kalahkan Kuwait dengan skor akhir 2-1.
Selain pelatih, bongkar pasang formasi pemain juga menjadi strategi lain yang dipilih PSSI untuk mempertahankan prestasi. Bongkar pasang formasi pemain ini salah satunya terlihat melalui regenerasi pemain serta banyaknya pemain naturalisasi.
Pelatih Shin Tae Yong misalnya, ia lebih sering memanggil banyak pemain muda dalam beberapa tahun terakhir. Adapun beberapa pemain gaek tetap diikutsertakan untuk menyeimbangkan skuad asuhannya. Pemanggilan banyak pemain muda ini juga termasuk para pemain naturalisasi.
Di bawah asuhan Shin Tae Yong, pemanggilan para pemain naturalisasi untuk melengkapi formasi Garuda PSSI menjadi yang terbanyak sejauh ini. Dalam salah satu wawancara dengan awak media, Shin Tae Yong mengatakan, sedikitnya ada tiga pemain yang dalam proses naturalisasi.
PSSI menempa timnas U-20 sejak tahun 2021 demi perhelatan Piala Dunia U-20 2023. Berbagai persiapan, seperti pemusatan latihan (TC) hingga laga uji coba menjadi ikhtiar agar Indonesia lolos dari fase grup turnamen yang dilaksanakan pada 20 Mei-11 Juni 2023.
Berbekal dana sebesar Rp 50,6 miliar dari Pemerintah, PSSI memberangkatkan skuad berjuluk "Garuda Nusantara" ke beberapa negara, seperti Turki, Prancis, dan Korea Selatan untuk mengasah kemampuan.
Setelah meneguk pengalaman di Turki pada akhir tahun 2021, timnas U-20 terbang ke Korea Selatan pada Maret 2022 untuk menjalani TC dan 10 laga uji coba sampai April 2022. Selama TC di Korea Selatan, skuad besutan pelatih asal Korea Selatan Shin Tae-yong memenangi tiga laga persahabatan, kalah enam kali, dan sekali imbang.
Berlanjut pada Juni 2022, "Garuda Nusantara" berlaga di salah satu kejuaraan tingkat remaja bergengsi di Eropa, Turnamen Toulon di Prancis. Pada kompetisi tersebut, Indonesia berhasil menjadi tim terbaik ke-10 dengan mencatatkan kemenangan atas Ghana dengan skor 1-0.
Sebulan setelahnya, timnas Indonesia kembali ke Tanah Air untuk berlaga di Piala AFF U-19 2022. Berbekal pengalaman sebelumnya, timnas Indonesia bertanding di Kualifikasi Piala Asia U-20 2022 di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya.
Hasilnya, skuad "Garuda Nusantara" tampil sukses mengunci satu slot di Piala Asia U-20 2023 yang dilaksanakan di Uzbekistan pada Maret 2023.
Timnas U-20 menutup tahun 2022 dengan melajukan TC di Turki dan Spanyol pada Oktober-November. Di sana, timnas U-20 menorehkan lima kali menang, tiga kali imbang, dan lima kali kalah dalam 13 kali laga uji coba.
Usai menjalani beberapa turnamen internasional, berlatih di beberapa negara dan beruji coba menghadapi tim-tim dengan kualitas bervariasi, performa pemain timnas PSSI U-20 dinilai meningkat signifikan
Beberapa pemain yang terlihat sangat menonjol dipanggil ke TC timnas senior untuk persiapan Piala AFF 2022, seperti Muhammad Dzaky Asraf, Muhammad Ferarri, dan Marselino Ferdinan.
Kualitas Garuda Nusantara U-20 Indonesia diyakini juga akan makin membaik karena akan masuknya tiga pemain naturalisasi asal Belanda, yaitu Justin Hubner (19 tahun), Ivar Jenner (18 tahun), dan Rafael Struick (19 tahun).
Kompetisi internasional terdekat untuk menggali potensi terbaik dari timnas U-20 Indonesia, yaitu Piala Asia U-20 2023 yang akan berlangsung pada tanggal 1-18 Maret. Pada laga ini Indonesia berada di Grup A bersama tuan rumah Uzbekistan, Suriah, dan Irak.
Tuan rumah Uzbekistan berada pada peringkat kedua Piala Asia U-19 2008. Adapun Irak merupakan pemegang lima gelar juara Piala Asia U-19, pada tahun 1975, 1977, 1978, 1988, dan 2000, sedang Suriah merebut kampiun turnamen itu pada 1994.
Melihat kualitas para peserta, Piala Asia U-20 2023 sangat ideal dijadikan "koloseum" untuk mempertajam kemampuan taktik, teknik, dan fisik pemain timnas U-20. Di pertarungan ini, lawan-lawan Indonesia merupakan kesebelasan-kesebelasan terbaik dari benua masing-masing.
Selain Indonesia, ada 11 negara yang akan bertanding di Piala Dunia U-20 2023, yakni Republik Dominika, Guatemala, Honduras, Amerika Serikat, Fiji, Selandia Baru, Inggris, Prancis, Israel, Italia, dan Slovakia.
Dikelilingi tim-tim terunggul dari seluruh dunia di Piala Dunia U-20 2023, Indonesia diharapkan tidak kalah mental sebelum bertanding. Pada momentum inilah, ketangguhan psikologis dari banyaknya pertandingan dan turnamen yang telah diikuti menjadi penting.
Dengan demikian, Indonesia sudah berada di jalan yang benar. Timnas PSSI U-20 sudah mengawali dan menempa diri. Saatnya mengakhiri dengan prestasi pada Piala Dunia U-20 2023.