Wilayah Indonesia merupakan bagian dari cincin api yang mengelilingi Samudera Pasifik. Hidup di kawasan seperti itu memerlukan kesiapan menghadapi berbagai bencana, mulai gempa bumi, tsunami dan letusan gunung.
Hidup dengan potensi bencana di wilayah Ring of Fire
Letusan dahsyat Gunung Krakatau di Selat Sunda pada Agustus 1883 tidak hanya memengaruhi kawasan di sekitarnya bahkan suaranya terdengar sampai ke Perth, Australia yang berjarak 3.110 kilometer dari titik letusan.
SelengkapnyaPosisi unik Indonesia di tengah pertemuan tiga lempeng mayor dunia
Sebagai negara yang berada di daerah Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), Indonesia tidak akan lepas dari ancaman gempa bumi.
SelengkapnyaPotensi tsunami mematikan
Indonesia punya sejarah panjang kejadian tsunami. Dalam Katalog Tsunami Indonesia 416-2018 yang disusun oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahkan mencatat kejadian tsunami sejak ratusan tahun yang lalu.
SelengkapnyaHidup dengan potensi bencana di wilayah Ring of Fire
Oleh Prisca Triferna ViolletaLetusan dahsyat Gunung Krakatau di Selat Sunda pada Agustus 1883 tidak hanya memengaruhi kawasan di sekitarnya bahkan suaranya terdengar sampai ke Perth, Australia yang berjarak 3.110 kilometer dari titik letusan.
Selama tiga hari berturut-turut Gunung Krakatau memuntahkan apa yang selama ini disimpannya, mulai dari abu, batu dan lumpur panas bertebaran tidak hanya di gugusan pulau itu tapi bahkan sampai ke wilayah lain di Sumatera dan Jawa.
Erupsi Krakatau juga mengakibatkan guncangan yang menyebabkan gelombang pasang tinggi yang menerjang wilayah sekitar dan memusnahkan hampir seluruh makhluk hidup yang berada di sekitarnya. Banyak korban jiwa di Teluk Betung di Lampung serta Anyer di Kabupaten Serang dan Caringin di Kabupaten Pandeglang di Banten.
Daerah-daerah tersebut menjadi wilayah paling terdampak erupsi yang memiliki nilai 6 dari 8 skala Volcanic Explosivity Index (VEI), sebuah ukuran relatif ledakan gunung berapi. Kekuatannya setara dengan ledakan 200 megaton TNT.
Korban jiwa menurut catatan otoritas Hindia Belanda saat itu adalah sekitar 36.000 orang, menghancurkan 165 desa dan kota di sekitar Krakatau dan 132 lainnya mengalami kerusakan.
Erupsi Krakatau itu kemudian melahirkan pulau baru di lokasi yang sama pada 1927 yaitu Anak Krakatau, yang masih aktif sampai saat ini dan terakhir mengalami erupsi pada April 2022.
Indonesia juga menjadi titik salah satu letusan vulkanis terbesar di dunia ketika Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat meletus pada April 1815 dengan kekuatan 7 skala VEI. Letusan itu menelan korban jiwa sekitar 71.000 orang, dengan hanya 11.000-12.000 di antaranya adalah korban langsung akibat letusan.
Sisanya menjadi korban tidak langsung salah satunya akibat perubahan iklim yang terjadi karena letusan tersebut, yang mengakibatkan tahun tanpa musim panas pada 1816 akibat masifnya debu yang dihasilkan erupsi tersebut. Ketiadaan musim panas menyebabkan kegagalan panen dan kematian ternak yang menyebabkan kelaparan.
Sampai saat ini Tambora masih masuk dalam daftar gunung berapi aktif.
Masih aktifnya Anak Krakatau dan Tambora itu mengingatkan bahwa Indonesia terletak di wilayah yang disebut sebagai Ring of Fire atau Cicin Api Pasifik, yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Ring of Fire, yang berbentuk tapal kuda dengan wilayah sepanjang 40.000 kilometer mengelilingi Samudera Pasifik, memiliki sekitar 850-1.000 gunung berapi yang aktif dalam 11.000 tahun terakhir. Indonesia berada di wilayah di mana Ring of Fire sekitar Samudera Pasifik bertemu Sabuk Alpide, berada di atas tiga lempeng benua yaitu Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik.
Tidak hanya Anak Krakatau, Indonesia memiliki 127 gunung berapi aktif dengan 69 di antaranya dipantau oleh pemerintah lewat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Sekitar lima juta orang hidup di wilayah sekitar gunung berapi tersebut.
Gunung-gunung berapi yang aktif dalam beberapa tahun terakhir termasuk Semeru yang erupsi pada Desember 2021 dan Gunung Merapi yang pada 13 Mei 2022 telah mengalami 20 kali gempa guguran.
Tidak jarang letusan gunung berapi memakan korban jiwa, dengan dalam erupsi Gunung Semeru mengakibatkan 51 orang meninggal dunia menurut data sampai akhir Desember 2021.
Harmoni dengan bencana
Hidup di wilayah yang rawan bencana baik yang terjadi secara alami seperti erupsi gunung berapi dan gempa sampai bencana antropogenik yang diakibatkan aktivitas manusia seperti banjir, mengakibatkan masyarakat Indonesia harus belajar hidup dengan potensi bencana.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto dalam peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana pada 26 April 2022 mengatakan perlu dilakukan pembangunan karakter sadar bencana yang terikat kuat sejak dini.
Untuk membangun ketangguhan melalui kesiapsiagaan dan budaya sadar bencana, katanya, membutuhkan tidak hanya peran pemerintah tapi juga kolaborasi pentaheliks yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga usaha, akademisi, masyarakat dan komunitas.
Kesiapsiagaan masyarakat juga menjadi kunci untuk dapat hidup berdampingan dengan potensi erupsi gunung berapi. Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eko Budi Lelono mengatakan pihaknya terus melakukan langkah menyiapkan kesiapsiagaan masyarakat demi menghindari jatuhnya korban jiwa.
Dia memberi contoh langkah yang dilakukan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) yang intensif memasang alat pengawasan sehingga aktivitas Gunung Merapi dapat terekam dan bisa dengan cepat disampaikan ke pihak berkepentingan.
Mereka juga terus melakukan sosialiasi kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman ilmiah mengenai Merapi dan pelatihan penanggulangan bencana agar siap menghadapi segala potensi yang ada, sebagai salah satu cara hidup dalam harmoni dengan salah satu gunung berapi teraktif di Indonesia itu.
Posisi unik Indonesia di tengah pertemuan tiga lempeng mayor dunia
Oleh Zubi MahrofiSebagai negara yang berada di daerah Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), Indonesia tidak akan lepas dari ancaman gempa bumi.
Dengan demikian, menjadi menjadi hal wajar bagi Indonesia apabila kerap mengalami bencana alam tersebut.
Indonesia merupakan negara yang memiliki posisi unik, karena berada di tengah pertemuan tiga lempeng mayor dunia, yaitu Samudera Indo-Australia, Samudera Pasifik, dan Benua Eurasia, yang saling berinteraksi dan membentuk Indonesia.
Dilansir dari situs Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke dalam lempeng Eurasia, sementara lempeng Pasifik bergerak relatif ke arah barat.
Lempeng bumi itu selalu mengalami pergerakan. Gerakan lempeng bumi ini bisa saling menjauh, saling mendekat, atau saling bergeser satu sama lain.
Jika terjadi tabrakan atau patahan lempeng akibat pergerakan tersebut, maka akan menimbulkan getaran yang biasa kita sebut dengan gempa bumi.
Ketika dua lempeng bergerak saling mendekat dan lempeng tidak mampu menahan kekuatan akibat pergerakan tersebut, kondisi ini juga bisa menimbulkan gempa.
Jalur pertemuan lempeng berada di laut sehingga apabila terjadi gempa bumi besar dengan kedalaman dangkal maka akan berpotensi menimbulkan tsunami sehingga Indonesia juga rawan tsunami.
Akibat interaksi lempeng-lempeng ini, di satu sisi Indonesia mendapatkan potensi kekayaan alam luar biasa, misalnya cekungan sedimen yang menghasilkan minyak dan gas, jalur metalurgi yang menghasilkan mineral, panas bumi, dan juga cekungan air tanah.
Namun, di sisi lain, potensi bencana juga tidak kalah besarnya. Akibat tumbukan tiga lempeng mayor tersebut, membentuk jajaran gunung api dari Sumatera hingga Jawa dan Indonesia bagian timur.
Rentetan gunung-gunung ini diibaratkan sebagai api karena adanya magma yang panas seperti api, sehingga disebut "ring of fire"
Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan sejak tahun 2008, wilayah Indonesia mengalami kejadian gempa sekitar 5.818 kali per tahun.
Dia mengatakan gempa signifikan dengan magnitudo (M) 5,0 ke atas terjadi 350 kali per tahun. "Gempa merusak rata-rata 10 kali dan dua tahun sekali terjadi gempa besar berpotensi tsunami".
Adapun Indonesia memiliki sejumlah zona megathrust sebanyak 13 segmen yang ada di Sumatera, selatan Jawa, Sulawesi, laut Maluku dan tanah Papua, yang mana ada lempeng samudra yang menghujam ke bawah lempeng benua.
Situasi itu berimplikasi kepada banyaknya aktivitas gempa di bidang kontak zona tersebut. Saat dua lempeng ini bertemu dan saling menekan, terdapat akumulasi tegangan tektonik yang sangat besar sehingga bisa mengeluarkan gempa besar.
Sejak tahun 1600, di Indonesia telah terjadi gempa dengan magnitudo di atas delapan lebih dari 20 kali, dan 90 persen lebih terjadi tsunami yang cukup dahsyat sehingga zona kekosongan gempa besar harus diwaspadai.
Selain itu, Indonesia memiliki lebih dari 295 segmen sesar aktif, dan masih banyak yang belum teridentifikasi. Sesar aktif dibentuk dari bagian lempeng yang mengalami rekahan, karena tekanan dan bagian-bagian lemah itu mengalami pergeseran.
"Di Indonesia, gempa semacam ini yang mematikan sudah 46 kali terjadi akibat sesar aktif. Indonesia adalah wilayah yang terancam dengan zona megathrust, subduksi termasuk gempa kerak dangkal akibat patahan aktif," kata dia.
Sayangnya, bencana alam ini tidak bisa diprediksi jauh-jauh hari, bersifat merusak, dan berlangsung secara singkat. Oleh karena itu, perlu mitigasi bencana yang matang demi meminimalisasi dampaknya.
Setiap bencana alam memiliki cara mitigasinya tersendiri, termasuk gempa bumi.
Risiko kerusakan
Sayangnya, bangunan tahan gempa di Indonesia masih jarang sehingga saat terjadi gempa ada risiko terjadi kerusakan bahkan memakan korban.
Apabila terjadi gempa kuat, namun struktur bangunan lemah dan kondisi tanah lunak, akan memicu kerusakan.
Setiap kejadian gempa di Indonesia cenderung diikuti dengan jatuhnya korban jiwa. Oleh karenanya, hal itu harus diantisipasi. Salah satu solusinya yakni dengan dengan bangunan tahan gempa.
Belajar dari pengalaman kejadian gempa bumi dan tsunami seperti di Aceh, Pangandaran, Palu dan daerah lainnya yang telah mengakibatkan korban jiwa yang cukup banyak serta kerugian harta benda yang tidak sedikit, maka sangat diperlukan upaya-upaya mitigasi baik ditingkat pemerintah maupun masyarakat untuk mengurangi risiko akibat bencana gempa bumi dan tsunami.
Mengingat terdapat selang waktu antara terjadinya gempa bumi dengan tsunami maka selang waktu tersebut dapat digunakan untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat sebagai salah satu upaya mitigasi bencana tsunami dengan membangun Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (Indonesia Tsunami Early Warning System / Ina-TEWS).
Upaya mitigasi bencana geologi sebagai upaya preventif guna menghindari masyarakat dari kerugian jiwa maupun ekonomi akibat bencana tentunya menjadi salah satu peran dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Badan Geologi salah satu tugasnya adalah memitigasi, supaya kita bisa mengetahui kira-kira intensitas bencana dan prediksi waktu bencana, walaupun tidak akurat. Kita bertugas mengenali potensi bencana geologi yang akan terjadi," kata Kepala Badan Geologi Eko Budi Lelono.
Jika telah memahami kondisi geologi wilayah Indonesia dan potensi bahaya dari bencana, maka akan lebih mudah menghadapinya dan hidup berdampingan dengan bencana.
Tentunya, Badan Geologi juga bisa memberikan pencerahan, pengetahuan secara langsung kepada rekan-rekan relawan dan pemerintah daerah soal mengedukasi masyarakat melalui ahli-ahli geologi yang bisa memberikan informasi terkait bencana di Indonesia.
Dengan demikian, keunikan Indonesia yang berada di tengah pertemuan tiga lempeng mayor dunia itu dapat memaksimalkan potensi kekayaan alamnya.
Potensi tsunami mematikan
Oleh Desi PurnamawatiIndonesia punya sejarah panjang kejadian tsunami. Dalam Katalog Tsunami Indonesia 416-2018 yang disusun oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahkan mencatat kejadian tsunami sejak ratusan tahun yang lalu.
Koordinator Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan memang ada metode statistik untuk menghitung periode ulang gempa (return period). Akan tetapi belum ada yang tepat menghasilkan informasi kapan gempa besar akan terjadi pada tahun berapa, bulan apa, atau bahkan hingga tanggal berapa.
Berdasarkan Katalog Tsunami BMKG tersebut, wilayah Aceh telah 13 kali dilanda tsunami sejak 1837 dan yang terparah pada 26 Desember 2004 dengan magnitudo 9,1 menyebabkan korban meninggal maupun hilang mencapai 227.898 orang.
Melihat adanya siklus pada kejadian besar, tidak menutup kemungkinan peristiwa serupa berpotensi terjadi kembali di masa yang akan datang.
Sumatera Barat juga tidak kalah rawan tsunami, tercatat sudah 15 kali terjadi. Pakar gempa Universitas Andalas (Unand) Dr Badrul Mustafa memperkirakan jika di Padang terjadi gempa diikuti tsunami, ketinggian gelombang laut dapat mencapai enam meter.
Angka tersebut hasil perkiraan dari kajian jika pusat gempa berada di megathrust segmen Siberut yang berada di sisi barat Mentawai.
BMKG juga mencatat, segmen megathrust Selat Sunda merupakan salah satu zona seismik gap di Indonesia yang selama ratusan tahun belum terjadi gempa besar, sehingga patut diwaspadai.
Berdasarkan hasil modeling dan penelitian megathrust itu mempunyai potensi gempa bumi yang mencapai magnitudo 8,7.
Perekayasa di Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widjo Kongko mengatakan potensi gempa bumi megathrust Selat Sunda bisa saja lepasnya bersamaan dengan segmentasi di atasnya, yaitu megathrust Enggano, dan di sebelah timurnya megathrust Jawa Barat-Tengah.
Jika pelepasan potensi gempa tersebut terjadi bersamaan, maka magnitudo gempa bumi bisa mencapai 9 atau lebih. Energi yang dihasilkan dari potensi gempa itu mirip dengan gempa bumi dan tsunami Aceh 2004.
Di selatan Jawa Timur juga ada potensi gempa bumi berkekuatan besar dengan skenario terburuk dengan skala VI VII MMI. Contohnya seperti di Pacitan.
Berdasarkan hasil penelitian, wilayah Pantai Pacitan memiliki potensi tsunami setinggi 28 meter dengan estimasi waktu tiba sekitar 29 menit. Adapun tinggi genangan di darat berkisar sekitar 15-16 meter dengan potensi jarak genangan mencapai 4 hingga 6 kilometer dari bibir pantai.
Potensi dari GAK
Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, di wilayah Selat Sunda memang sering terjadi tsunami, tercatat Tsunami Selat Sunda pada 1722, 1852, dan 1958 disebabkan oleh gempa.
Kemudian, tsunami pada 416, 1883, 1928, 2018 berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau. Sedangkan tsunami tahun 1851, 1883 dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.
Aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK) juga patut diwaspadai karena longsorannya dapat menyebabkan tsunami, terlebih lagi GAK hingga saat ini masih aktif mengalami erupsi.
Pakar kegempaan Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano mengatakan wilayah Selat Sunda mengalami regangan (ekstensi) yang tinggi yang dapat meningkatkan potensi letusan (erupsi) GAK. Regangan tektonik yang tinggi ini mempercepat intrusi magmatis dan meningkat potensi letusan Gunung Anak Krakatau.
Data citra satelit yang diambil pada 2018 menunjukkan bahwa Gunung Anak Krakatau terus mengalami inflasi (penaikan permukaan tanah) hingga saat ini.Survei yang dilakukan sejak 2006-2012 menunjukkan adanya regangan di Selat Sunda dan survei selanjutnya yaitu pada 2012-2019 memperlihatkan regangan semakin besar.
Regangan tersebut menyebabkan jarak antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa semakin jauh dan kemungkinan adanya implikasi terhadap aktivitas tektonik terkait sesar dan vulkanik di Selat Sunda.
Implikasi dari regangan tektonik, dari pemodelan yang dilakukan, dengan menghitung besar konvergensi yang berdasarkan survei terjadi hanya pada lokasi yang paling dangkal dan sangat dekat dengan Selat Sunda. Artinya begitu dekat dengan Selat Sunda kemungkinan gempa terjadi adalah gempa-tsunami.
Dari hasil pemodelan, ada rekatan tektonik (coupling) pada bidang kontak antar lempeng yang sangat dekat dengan Selat Sunda. Sumber gempa besar (megathrust) di Selat Sunda berada pada bagian yang paling dangkal sehingga berpotensi menghasilkan gempa dan tsunami.
Survei juga menunjukkan masuknya sesar Sumatera ke Selat Sunda yang dapat berimplikasi jika terjadi gempa bisa berpotensi tsunami.
Potensi di timur
Sejarah juga mencatat sejak tahun 1800-an di busur Kepulauan Sunda Kecil yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur telah terjadi lebih dari 22 kali tsunami.
NTT merupakan daerah rawan tsunami. Sejarah mencatat pada 29 Desember 1820 gempa kuat yang berpusat di Laut Flores memicu tsunami di Flores hingga Sulawesi Selatan, di mana jumlah korban meninggal di Bulukumba mencapai sekitar 500 orang.
Tsunami destruktif terakhir yang dipicu gempa Magnitudo 7,8 di Laut Flores terjadi pada 12 Desember 1992 membangkitkan tsunami setinggi 30 meter menyebabkan 2.500 orang meninggal dan 500 orang hilang.
Begitu pula dengan wilayah Kepulauan Maluku tercatat sudah 39 kali tsunami di Kepulauan Maluku dengan sumber tsunami sebagian besar terjadi di Laut Banda dengan korban jiwa sebanyak 2.460 pada 30 September 1899.
Penting untuk memahami karakteristik ancaman tsunami di Indonesia. Sumber tsunami di Indonesia umumnya sangat dekat, yakni sekitar 100 kilometer dari lepas pantai, sehingga waktu perjalanannya sampai ke daratan terjadi sangat cepat.
Edukasi kebencanaan pada masyarakat serta menyiapkan tempat evakuasi yang layak, plus rutin melakukan simulasi menghadapi tsunami menjadi program mitigasi bencana yang konsisten harus dilakukan.
Ancaman Gunung Api Aktif di Indonesia
Indonesia memiliki gunung api aktif terbanyak di dunia, dengan total keseluruhan 127. Namun, hanya 63 gunung yang dipantau oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Berikut daftarnya.
Seulawah Agam, Aceh
Peut Sague, Aceh
Bur Ni Telong, Aceh
Sinabung, Sumut
Sorik Marapi, Sumut
Marapi, Sumbar
Talang, Sumbar
Kerinci, Jambi
Kaba, Bengkulu
Dempo, Bengkulu
Anak Krakatau, Lampung
Salak, Jabar
Gede, Jabar
Tangkuban Parahu, Jabar
Papandayan, Jabar
Guntur, Jabar
Ciremai, Jabar
Galunggung, Jabar
Slamet, Jateng
Dieng, Jateng
Sindoro, Jateng
Sumbing, Jateng
Merapi, Jateng
Kelud, Jatim
Arjuno welirang, Jatim
Bromo, Jatim
Semeru, Jatim
Lamongan, Jatim
Raung, Jatim
Ijen, Jatim
Batur, Bali
Agung, Bali
Rinjani, NTB
Tambora, NTB
Sangeang Api, NTB
Anak Ranakah, NTT
Inielika, NTT
Ebulobo, NTT
Iya, NTT
Kelimutu, NTT
Lereboleng, NTT
Rokatenda, NTT
Egon, NTT
Lewotobi Laki-laki, NTT
Lewotobi Perempuan, NTT
Ili Werung, NTT
Ili Lewotolok, NTT
Batutara, NTT
Sirung, NTT
Banda Api, Maluku Tengah
Colo, Sulteng
Ambang, Sulut
Soputan, Sulut
Mahawu, Sulut
Lokon, Sulut
Tangkoko, Sulut
Ruang, Sulut
Karangetang, Sulut
Awu, Sulut
Kie Besi, Maluku Utara
Gamalama, Maluku Utara
Gamkonora, Maluku Utara
Dukono, Maluku Utara
Hikayat Linon dan Smong di Simeulue
Saat gempa magnitudo 9,1 dan tsunami meluluh-lantakkan Aceh 18 tahun silam, umumnya masyarakat provinsi paling ujung barat Indonesia itu tidak mengetahui soal tsunami.
SelengkapnyaRumah Gadang nan tahan gempa
Pengetahuan yang menjadi kearifan lokal untuk mitigasi bencana sebetulnya sudah lama dimiliki leluhur bangsa Indonesia. Dan mereka benar-benar menerapkannya dalam keseharian kehidupannya, sehingga mampu meminimalisir risiko bencana.
SelengkapnyaMenyiasati risiko gempa lewat Pikukuh Baduy
Suku Baduy yang mendiami Pegunungan Keundeng di Kabupaten Lebak, Banten, memiliki nilai-nilai dasar yang diyakininya dalam memahami alam untuk memitigasi bencana.
SelengkapnyaHikayat Linon dan Smong di Simeulue
Oleh Ade IrwansyahSaat gempa magnitudo 9,1 dan tsunami meluluh-lantakkan Aceh 18 tahun silam, umumnya masyarakat provinsi paling ujung barat Indonesia itu tidak mengetahui soal tsunami.
Bahkan saat air laut surut sesaat setelah gempa, sebagian warga justru berbondong-bondong mengambil ikan yang terdampar dibibir pantai.
Suara gemuruh yang terdengar menjelang air bah menerjang daratan ketika itu dianggap suara pesawat, sehingga tidak ada inisiatif untuk menjauh dari bibir pantai. Mereka baru berusaha menuju dataran tinggi setelah menyaksikan air laut mulai menerjang dan memporak-porandakan pemukimannya.
Bencana besar terjadi. Lebih dari 200 ribu jiwa meninggal dan hilang setelah gempa dan tsunami 26 Desember 2004 menyapu pesisir Aceh dan sejumlah negara lain yang menghadap langsung Samudera Hindia.
Peristiwa itu juga menghancurkan pemukiman penduduk dan fasilitas publik di Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Kota Banda Aceh dan Pidie. Sekitar Rp60 triliun dana dikucurkan untuk merehabilitasi pemukiman dan fasilitas publik yang hancur.
Berbeda dengan di Pulau Simeulue dan gugusan pulau di sekitarnya. Kondisi bangunan dan fasilitas publik di sana mungkin bernasib sama dengan di Aceh, hancur lebur, namun minim sekali korban jiwa yang secara langsung disebabkan gempa dan tsunami, kendati pulau terluar di sisi barat Aceh tersebut lebih dekat dari pusat gempa.
Masyarakat di Kabupaten Simeulue masih mengenal Linon dan Smong (gempa bumi dan tsunami) sejak bencana itu datang 115 tahun silam. Musibah yang merenggut banyak nyawa dan juga hewan ternak di sana saat itu masih terus diceritakan kembali turun-temurun oleh nenek moyang mereka, dan melekat di setiap benak individu di kepulauan yang terpicah jarak oleh Samudera Hindia.
Hikayat Linon dan Smong, bercerita tentang tradegi gempa dan gelombang air laut besar yang pernah melanda pulau yang dikenal dengan sebutan U itu. Dan di 2004 lalu terbukti itu bukan sekedar dongeng semata, tetapi penyelamat bagi lebih dari 80 ribu jiwa yang hidup di 10 kecamatan di Kabupaten Simeulue.
- Enggelmon Sao curito (Dengarlah sebuah cerita)
- Inang maso semonan (pada masa jaman dulu)
- Manoknop sao fano (tenggelam satu tempat)
- Wila dasesewan (Begitulah mereka ceritakan)
- Unenne Alek Linon (Diawali dengan gempa)
- Besang bakatne Malli (Disusul ombak yang besar sekali)
- Manoknop Sao hampong (tenggelam seluruh kampung)
- Tibo-tibo Mawi (Tiba-tiba saja)
- Anga linonne Malli (Kalau gempanya kuat)
- Uwek surui sahuli (Disusul air surut sekali)
- Mahea mihawali (Segera cari)
- Fanome singa tenggi (Tempat kalian yang lebih tinggi)
- Ede Smong kahanne (Itulah Smong namanya)
- Turiang da nenekta (Sejarah nenek moyang kita)
- Miredem teher ere (Ingatlah ini betul-betul)
- Pesan dan navida (Pesan dan nasehatnya)
Syair yang menceritakan soal Linon dan Smong itu yang dinyanyikan sebagai bentuk mitigasi bencana oleh penduduk Simeulue. Mereka juga menyampaikannya lewat Nandong, sebuah seni tradisional Simeulue, dan juga lewat seni nanga-nanga yang biasa dilantunkan oleh orang tua saat mengayun bayi mereka di ayunan.
Lewat syair itulah secara turun temurun mereka meminta semua waspada, agar tidak terjadi bencana serupa.
"Cerita Linon dan Smong ini disampaikan melalui banyak cara, bahkan sejak seseorang masih baru lahir cerita Linon dan Smong ini telah disampaikan, salah satunya lewat nang-nanga ini," kata Sarman Jayadi seorang tokoh masyarakat Simeulue.
Menurut Sarman, berkat hikayat yang secara terus menerus diceritakan kepada setiap generasi inilah yang membuat penduduk kabupaten kepulauan itu selamat dari bencana Linon dan Smong pada 2004. Meski Simeulue berdekatan dengan titik terjadinya gempa dan rumah penduduk di sana banyak berada di pinggir pantai, tetapi bencana dahsyat tersebut tidak banyak menimbilkan korban jiwa di sana.
"Salah satu penyebabnya karena masyarakat Simeulue saat gempa tidak mendekati air laut, sebaliknya secara bersama-sama mencari tempat yang tinggi, seperti larangan dalam cerita Linon dan Smong yang diceritakan secara turun temurun itu," ujar dia.
Bahkan, kata Sarman Jayadi yang juga merupakan sejarawan Simeulue itu, warga Simeulue yang berada di luar pulau juga banyak yang selamat dari bencana besar gempa dan tsunami 2004 silam.
Seperti yang terjadi pada salah seorang keluarga Sarman jayadi bernama Saidil yang tinggal di Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Saat gempa dan melihat air surut, ia bersama keluarga berteriak Smong dan berlari menuju dataran tinggi sambil terus meneriakkan kata yang sama ke warga lain di sana.
Namun karena kebanyakan warga Meulaboh belum memahami apa yang diteriakkan Saidil, mereka membiarkan peringatan itu dan tidak mengikuti ajakan untuk berlari ke dataran yang lebih tinggi.
Bahkan sebagian warga Meulaboh yang berada di pinggiran pantai saat air laut surut itu justru berlarian untuk mengambil ikan-ikan yang terdampar setelah air laut mengering.
"Alhamdulillah saudara kita itu bersama keluarganya saat musibah tsunami 2004 silam mereka selamat dari terjangan ombak dahsyat tersebut. Salah satunya berkat cerita Linon dan Smong yang di ceritakan oleh nenek moyang kita dulu. Sementara ribuan warga Meulaboh lainnya banyak yang menjadi korban bencana dahsyat tersebut," kata Sarman Jayadi menceritakan kembali.
Saat ini, menurut Sarman, beberapa desa yang ada di Kecamatan Alafan dan Salang di Kabupaten Simeulue bahkan menunjuk seseorang menjadi penyampai informasi saat ada peristiwa gempa bumi. Mereka yang ditunjuk itu akan langsung memantau air laut dan masyarakat secara bersama harus berkumpul di titik yang telah ditetapkan di desa untuk mengamankan diri.
"Cara itu terbukti ampuh menyelamatkan diri mereka dari ancaman ombak Tsunami meski mereka tinggal berdekatan dengan pinggiran pantai," ujar Sarman.
Ia berharap hikayat Linon dan Smong masuk dalam bahan ajar tetap di setiap jenjang pendidikan di pulau itu. Cerita itu merupakan pengetahuan mitigasi bencana yang bermanfaat tidak saja bagi penduduk Indonesia, tetapi juga warga dunia.
Rumah Gadang nan tahan gempa
Oleh Virna P SetyoriniPengetahuan yang menjadi kearifan lokal untuk mitigasi bencana sebetulnya sudah lama dimiliki leluhur bangsa Indonesia. Dan mereka benar-benar menerapkannya dalam keseharian kehidupannya, sehingga mampu meminimalisir risiko bencana.
Salah satunya adalah Rumah Gadang. Bangunan adat Suku Minangkabau yang dibangun berbentuk unik seperti perahu terbalik itu bukan tidak ada alasan, karena setiap sudutnya telah diperhitungkan untuk mengurangi kerusakan akibat peristiwa alam.
Kepala Organisasi Riset Kebumian dan Maritim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ocky Karna Radjasa mengatakan kearifan lokal dalam membangun rumah dapat dipelajari untuk memperkaya pengetahuan dalam mengembangkan teknologi rumah tahan gempa masa kini.
"Mitigasi bencana perlu memasukkan aspek kearifan lokal karena aspek ini memberikan pengetahuan mendasar bagaimana mengenali dan mengurangi risiko dari ancaman geologi," kata Ocky kepada ANTARA.
Selain mengandung cerita atau hikayat mengenai suatu peristiwa bencana di masa lampau, menurut dia, kearifan lokal juga mengandung pengetahuan atau informasi ilmiah terkait teknologi yagn dapat dikembangkan untuk mendukung upaya mitigasi bencana saat ini dan masa depan.
Kearifan lokal itu dapat berupa cara masyarakat membangun Rumah Gadang, panggung, dan joglo dengan teknik pemasangan rangka kayu yang terlihat kompleks serta dinding berlapis anyaman bambu yang dinilai tahan terhadap gempa.
Teknik pembangungan bangunan-bangunan itu menjadi tantangan tersendiri bagi periset-periset BRIN untuk mencoba mempelajari dan mengembangkannya dalam bentuk konstruksi rumah tahan gempa yang terakomodir di kehidupan saat ini.
Seperti yang Gantino Habibi tulis dalam buku bacaan anak tingkat SD kelas 4, 5 dan 6 berjudul Rumah Gadang yang Tahan Gempa, yang diterbitkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Rumah Gadang juga sering disebut rumah adat bagonjong karena memiliki bentuk atap bergonjong runcing menjulang.
Bentuknya yang menyerupai tanduk kerbau berkaitan dengan tambo (cerita) tentang kemenangan orang Minangkabau dalam adu kerbau dengan raja dari Jawa pada zamannya. Untuk mengenang kejadian itu, masyarakat di sana membuat rumah dengan gonjong di bagian atapnya yang menyerupai tanduk kerbau.
Bagian badan Rumah Gadang berbentuk persegi empat yang membesar ke atas seperti trapesium. Sisinya terbalik melengkung ke dalam, rendah di bagian tengah sehingga membentuk komposisi dinamis yang indah.
Jendela rumah dibuat dalam ukuran besar dengan bentuk mengikuti Rumah Gadang yang miring dan tidak simetris. Jumlahnya ada delapan di bagian depan, dua di bagian kiri dan dua di bagian kanan.
Cahaya dari matahari cukup menyinari setiap ruangan di dalamnya dan udara leluasa bersirkulasi di sana, sehingga isi rumah terasa segar.
Rumah Gadang yang menjulang memiliki tiang luar yang tidak lurus ke atas tetapi sedikit miring ke arah luar. Konstruksi itu dibuat karena kondisi alam Minangkabau yang terletak di dataran tinggi dan rendah bukit barisan yang rawan gempa.
Selain untuk mengantisipasi gempa, konstruksi rumah tersebut juga dibuat untuk mengatasi embusan angin kencang yang datang dari berbagai penjuru.
Tiang-tiangnya tidak ditanamkan ke tanah tetapi bertumpu di atas batu datar yang kuat dan lebar. Sehingga ketika terjadi gempa bumi, Rumah Gadang akan bergerak di atas batu datar tempat tiang itu berdiri.
Seluruh sambungan setiap pertemuan tiang dan kasau besar tidak memakai paku tetapi memakai pasak yang terbuat dari kayu. Saat terjadi gempa setiap sambungan yang dihubungkan oleh pasak kayu bergoyang, sehingga membuat konstruksi tersebut tahan gempa.
Sebagai bentuk mitigasi bencana, rangkian atau lumbung yang merupakan rumah kecil yang biasanya dibangun di sebelah atau di depan Rumah Gadang digunakan untuk menyimpan padi. Apabila terjadi kelaparan akibat bencana atau perang mereka masih memiliki cadangan makanan.
Menyiasati risiko gempa lewat Pikukuh Baduy
Oleh Virna P SetyoriniSuku Baduy yang mendiami Pegunungan Keundeng di Kabupaten Lebak, Banten, memiliki nilai-nilai dasar yang diyakininya dalam memahami alam untuk memitigasi bencana.
"Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung" (panjang tidak boleh dipotong dan pendek tidak boleh disambung). Itu hanya sepenggal dari Pikukuh Baduy yang menjadi filosofi masyarakat adat yang memiliki komitmen kuat dan tanggung jawab untuk menjaga serta melestarikan alam, termasuk kawasan hutan lindung.
Hutan lindung bagi masyarakat Suku Baduy sebagai kewajiban dan amanat titipan leluhur yang harus dijaga karena memberi manfaat luar biasa untuk kesejahteraan dan keberlansungan hidup manusia. Sebaliknya, jika tidak dijalankan akan membawa malapetaka.
"Kami melestarikan kawasan hutan lindung seluas 3.101 hektare dan kondisinya terjaga dengan baik," kata tetua adat yang juga Kepala Desa Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Jaro Saija.
Setiap tahun mereka melakukan gerakan penghijauan dengan berbagai tanaman agar ekosistem tetap lestari dan hijau sehingga memberikan keseimbangan alam. Masyarakat Baduy yang hidup tersebar di 68 perkampungan Baduy Luar dan tiga Baduy Dalam tetap berkomitmen menjaga hutan lindung sebagai pilar kehidupan.
Dengan cara mematuhi pikukuh yang sudah ada, pemukiman di sana relatif aman dari ancaman bencana banjir dan longsor, meskipun cuaca buruk dan hujan lebat disertai angin kencang menerpa.
Seperti dilansir ANTARA dalam artikel berjudul Urgensi edukasi bencana sejak usia dini, Sabtu (13/10/2018), yang mengutip jurnal Suparmini dan kawan-kawan (2014), dalam menghadapi ancaman gempa bumi, masyarakat Baduy menyiasatinya dengan membuat aturan adat atau pikukuh dan larangan dalam membangun rumah.
Secara detil masyarakat Baduy sudah memiliki kearifan lokal dan aturan adat pada syarat membuat bangunan tradisional sebagai bentuk mitigasi bencana gempa bumi, kebakaran, banjir dan bencana lainnya.
Dalam jurnal tersebut tertulis bahwa permukiman masyarakat Baduy ditentukan oleh puun selaku ketua adat. Bangunan didirikan harus sesuai dengan struktur tanah dan letak topografi daerah di sana, termasuk kondisi rumah, bentunya, susunan ruangannya juga sudah ditentukan adat.
Meski mereka yang memiliki lahan, tapi tidak boleh mendirikan bangunan secara sembarangan tanpa ada perizinan dari ketua adat.
Bentuk bangunan permukiman masyarakat Baduy rata-rata memiliki bentuk yang sama, yaitu ruangan rumah dibagi menjadi tiga bagian antara lain teras (sasoro), ruang tengah (depas) dan dapur (imah). Arsitekturnya saling berkaitan dengan lingkungannya, seperti atap terbuat dari daun aren (kirey) dan ijuk, yang berfungsi untuk menghindari air hujan masuk ke dalam ruangan dan saat sinar terik matahari menyinarinya rumah terhindar dari kelembapan.
Tiang-tiangnya terbuat dari kayu mahoni, karena kayu tersebut termasuk yang paling kuat sehingga dapat mengantisipasi rumah cepat roboh dan tahan terhadap bencana alam seperti angin kencang, air hujan, dan gempa.
Dinding rumah terbuat dari bambu yang dianyam. Tanaman bambu termasuk elastis sehingga mudah dijadikan penutup rumah, dan fungsinya tahan terhadap angin sekaligus memberikan efek sejuh di dalam rumah.
Teknologi yang mereka terapkan dalam membangun rumah tergolong sederhana, namun menjunjung tinggi kearifan lingkungan. Bangunan rumah Baduy umumnya berbentuk sama berupa rumah panggung dengan ukuran yang hampir sama pula.
Mereka memiliki kepercayaan bahwa rumah sebagai pusat yang memiliki kekuatan netral yang terletak di antara dunia bawah dan dunia atas tidak boleh berdiri langsung menyentuh tanah (sebagai bagian dari dunia bawah). Oleh karenanya rumah dibuat dengan cara memasang tiang-tiang kolong yang ditegakkan di atas batu umpak.
Susunan vertikalnya merupakan cerminan pembagian jagat raya, sedangkan kaki atau tiang melambangkan dunia bawah (dunia kegelapan, neraka), sedangkan tubuh atau dinding dan ruangan di dalamnya melambangkan dunia tengah (dunia kehidupan alam semesta). Dan kepala atau atap melambangkan dunia atas (dunia abadi, kahyangan).
Khusus pada masyarakat Baduy Tangtu bila mendirikan rumah pada tanah yang miring maka tidak boleh meratakan tanah tersebut. Meratakan tanah berarti akan merusak dan membolak-balikkan tanah, dan itu melanggar pikukuh.
Karenanya untuk mendapatkan lantai rumah yang datar maka tihang atau tiang diatur ketinggiannya. Pada tanah yang lebih rendah dibuatkan tiang lebih tinggi, sebalikknya pada tanah yang lebih tinggi dibuatkan tiang lebih rendah.
Dengan demikian bentuk kontur lanah asli tetap terlihat jelas, air hujan akan mengalir mengikuti jalan alamiahnya. Karena tidak ada rekayasa yang bertentangan dengan bentuk aslinya maka tidak pernah terjadi erosi, tanah longsor, atau banjir di permukiman Baduy.
Kearifan lokal dalam tradisi membangun rumah yang berkaitan dengan mitigasi bencana gempa (lini) terdapat pada konstruksi teknik sambung dan ikat, serta penggunaan umpak. Bahannya berasal dari lingkungan sekitar seperti kayu dan bambu.
Semua rincian konstruksi diselesaikan dengan prinsip-prinsip ikatan, tumpuan, pasak, tumpuan berpaut dan sambungan berkait. Orang Baduy Tangtu dilarang menggunakan paku dalam membuat rumah, mereka memanfaatkan rotan dan bambu atau dengan teknik pasak.
Struktur lantai rumah menggunakan bambu dibuat lembaran yang disebut palupuh, sedangkan struktur atap menggunakan rumbia atau kirey. Jika terjadi gempa, maka struktur rumah akan bergerak dinamis sehingga terhindar dari kerusakan atau kehancuran.
Mengantisiapasi bencana longsor dengan Gama EWS
Teknologi dan inovasi sejatinya dapat membantu dalam kehidupan manusia, termasuk untuk mengantisipasi bencana. Sistem peringatan dini (early warning system/EWS) banyak dikembangkan untuk membantu mitigasi bencana.
SelengkapnyaInaRISK personal, memudahkan setiap orang mengantisipasi bencana
Aplikasi berbasis Android dan iOS bernama InaRISK yang menyajikan informasi potensi bencana di wilayah Indonesia memberikan rekomendasi pada setiap orang yang menggunakannya untuk mengantisipasi bencana.
SelengkapnyaMengenal teknologi mitigasi bencana BRIN
Indonesia yang merupakan negara rawan bencana sejatinya terus memperkuat diri untuk mampu mengurangi risiko bencana melalui pemanfaatan teknologi dan inovasi.
SelengkapnyaMengantisiapasi bencana longsor dengan Gama EWS
Oleh Virna P SetyoriniTeknologi dan inovasi sejatinya dapat membantu dalam kehidupan manusia, termasuk untuk mengantisipasi bencana. Sistem peringatan dini (early warning system/EWS) banyak dikembangkan untuk membantu mitigasi bencana.
Salah satu teknologi yang dikembangkan khusus untuk memberi peringatan dini bahaya longsor adalah Gadjah Mada Early Warning System (Gama EWS). Alat tersebut merupakan sistem yang dirancang untuk memantau, mendeteksi, dan memberikan peringatan dini bahaya longsor.
Sistem tersebut dilengkapi dengan teknikal sensor terdiri dari extensometer (alat deteksi pergerakan tanah secara lateral, vertikal atau relasional), tilt meter (alat deteksi perubahan posisi kemiringan permukaan tanah atau batuan pada lereng), dan ultra-sonic water level (alat deteksi perubahan permukaan air pada alur sungai) yang terintegrasi dan terhubung dalam satu server dengan memori digital.
Pemasangan alat sistem peringatan dini pertama kali dilakukan di Banjarnegara, Jawa Tengah. Perkembangan dan pembaruan alat sistem peringatan dini bencana longsor semakin meningkatkan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2009 mulai dikembangkan alat deteksi longsor generasi terbaru dengan memanfaatkan energi dari tenaga panel surya dan terus berkembang hingga menjadi alat deteksi longsor digital. Hingga kini telah lahir generasi ke-6 Gama EWS.
Sekitar 25 varian alat deteksi, seperti extensometer, crackmeter, tiltmeter, inclinometer, penakar hujan, ultrasonic water level sensor dan groundwater sensor berhasil diciptakan. Varian-varian itu kemudian dilindungi dengan lima paten inventor Prof Teuku Faisal Fathani dan Prof Dwikorita Karnawati, mengutip dari laman pengabdian.ugm.ac.id.
Alat EWS ini dibuat dengan menggunakan lebih dari 90 persen komponen lokal dan diproduksi oleh industri kecil dan menengah (UKM) di wilayah D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sistem pada EWS tidak hanya melalui sirine atau pengeras suara, tetapi juga melalui pesan singkat (SMS) ataupun email melalui jaringan GSM, Wifi, maupun frekuensi radio.
Teknologi yang diciptakan oleh para peneliti dan tenaga ahli Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut memiliki beberapa keunggulan, yakni mudah dipasang dan dipindahkan, dilengkapi tiap penyangga yang fleksibel, tidak menggunakan suplai listrik dari PLN (menggunakan tenaga surya), dan mudah diinstal dengan koneksi nirkabel.
Gama EWS berhasil diimplementasikan di 30 provinsi, 110 kabupaten/kota dan lebih dari 200 desa di seluruh Indonesia bahkan hingga Myanmar. Alat tersebut terbukti mampu menyelamatkan jiwa manusia dari bencana, seperti bencana di Banjarnegara (2007), Aceh Besar (2015), Donggala (2016), Lombok Barat (2016), Kerinci (2017), Purworejo (2017), Gunungkidul (2017), Sintang (2017), Jambi (2017) dan beberapa lokasi lainnya.
Supervisor Pengawas Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana BPBD Pamekasan Budi Cahyono pun pernah mengatakan banyak kecamatan di Pemekasan, Jawa Timur, yang areanya berbukit seperti di Desa Bindang, karenanya perlu juga menggunalan alat seperti Gama EWS tersebut.
Peristiwa tanah longsor selama musim hujan cukup sering terjadi di Pamekasan, antara lain seperti di Kecamatan Pakong, Kadur, Waru dan Pasean. Namun memang di Kecamatan Pasean yang sering menimbulkan korban, karena lokasi bukit yang rawan longsor dekat dengan permukiman warga dan pondok pesantren.
Tidak hanya mengembangan teknologi EWS khusus untuk mitigasi bencana tanah longsor, tim dari UGM bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang didukung Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga telah merumuskan standar internasional tentang sistem peringatan dini gerakan tanah.
Pembuatan standar itu mengacu pada empat unsur utama sistem peringatan dini (UN-ISDR, 2006), yakni pengetahuan tentang risiko, teknologi pemantauan dan layanan peringatan, diseminasi dan komunikasi, hingga kemampuan merespons.
Sistem itu terdiri atas tujuh subsistem utama, yakni penilaian risiko, diseminasi dan komunikasi pengetahuan bencana, pembentukan tim siaga bencana, pembuatan panduan operasional evakuasi, penyusunan prosedur tetap, teknologi pemantauan, peringatan dini, dan gladi evakuasi, serta membangun komitmen otoritas lokal dan masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan keseluruhan sistem.
Sistem Peringatan Dini Gerakan Tanah Berbasis Pemberdayaan Masyarakat telah diadopsi dan dipublikasikan oleh ISO/TC 292 Security and Resilience.
Pencapaian penting bagi UGM karena ISO 22327:2018 adalah standar internasional pertama yang diusulkan oleh Indonesia dan bahkan dari negara berkembang.
Penetapan ini menyusul SNI 8235:2017 tentang sistem peringatan dini gerakan tanah yang terbit setahun sebelumnya.
Dengan capaian itu, maka sejak tahun 2011 UGM ditetapkan oleh UN-ISDR UNESCO sebagai World Center of Excellence on Landslide Disaster Risk Reduction selama tiga periode berturut-turut (2011-2014; 2014-2017; 2017-2020).
InaRISK personal, memudahkan setiap orang mengantisipasi bencana
Oleh Virna P SetyoriniAplikasi berbasis Android dan iOS bernama InaRISK yang menyajikan informasi potensi bencana di wilayah Indonesia memberikan rekomendasi pada setiap orang yang menggunakannya untuk mengantisipasi bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memang juga mengembangkan aplikasi versi personal yang dapat diakses secara mobile dengan tujuan untuk memperluas inklusivitas informasi bencana kepada masyarakat, menurut Pelaksana Tugas Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB Mohammad Robi Amri.
InaRISK awalnya dikembangkan dalam bentuk portal, yang memberikan hasil kajian risiko menggunakan arcgis server sebagai data services yang menggambarkan cakupan wilayah ancaman bencana, populasi terdampak, potensi kerugian fisik, potensi keruagian ekonomi, dan potensi kerusakan alam, serta terintegrasi dengan realisasi pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana sebagai tool monitoring penurunan indeks risiko bencana.
Portal yang diluncurkan pada November 2016 itu harapannya dapat digunakan oleh semua pihak, termasuk masyarakat dalam menyusun rencana-rencana penanggulangan bencana.
Selain itu, portal tersebut juga untuk berbagi data spasial dalam bentuk service gis yang digunakan sebagai alat diseminasi hasil kajian risiko bencana kepada pemerintah, pemda, dan stakeholder lainnya sebagai dasar perencanaan program pengurangan risiko bencana. Lalu dapat membantu pemerintah, pemerintah daerah, dan para pihak dalam menyusun strategi pelaksanaan program, kebijakan, dan kegiatan untuk mengurangi risiko bencana di tingkat nasional hingga daerah.
Penggunaan InaRISK juga dapat membantu pemerintah dalam melakukan pemantauan terhadap capaian penurunan indeks risiko bencana di Indonesia. Serta menyediakan data spasial untuk kepentingan analisa lainnya, seperti Global Center Disaster Statistics (GCDS), MHEWS hingga revisi tata ruang.
Pada 2017, BNPB dan instansi terkait kebencanaan mulai mengembangkan versi mobil, sehingga semakin memudahkan setiap orang untuk bisa memitigasi bencana.
"Dengan menggunakan InaRisk Personal, yang kami desain juga untuk orang yang sangat awam dan mudah dipahami masyarakat, maka mereka tidak perlu membaca-baca, karena kata-katanya sudah kami persingkat," katanya.
Ia menjelaskan aplikasi InaRISK Personal dapat diakses secara mobile dan menampilkan data berbasis koordinat peta dan asesmen tingkat bahayanya, serta guna pemantauan dan pelaporan kebencanaan dengan mudah.
Aplikasi tersebut, menurut dia, memang dirancang khusus untuk pengguna telepon seluler dengan desain yang lebih sederhana dan informasi yang ringkas serta mudah diakses.
Ia juga mengatakan bahwa InaRISK personal juga sudah memiliki fitur pelaporan, pencegahan, mitigasi bencana serta penangaan COVID-19.
"Kami memberikan rekomendasi apa yang bisa mereka lakukan secara mandiri untuk antisipasi pada saat sebelum, terjadi atau setelah bencana," katanya.
Selain itu, InaRISK juga memiliki beberapa fitur untuk menguji penilaian pribadi masyarakat soal kebencanaan di wilayahnya dengan kuisioner tertutup sehingga masyarakat diharapkan memiliki kemampuan mitigasi.
"Ini guna membangun kesadaran masyarakat atas kebencanaan. Termasuk COVID-19," katanya.
Adapun InaRisk dalam versi web yakni http://inarisk.bnpb.go.id/dashboardkegiatan/ dan menyajikan data yang lebih lengkap yang bisa digunakan untuk semua kalangan mendeteksi adanya potensi bencana.
Selain itu, juga dilengkapi dasbor untuk berbagai kebutuhan termasuk pemantauan aktivitas edukasi kebencanaan, pencegahan dan penanganan COVID-19, kata Mohammad Robi Amri.
Pada musim libur Idul Fitri lalu, antisipasi munculnya bencana juga giat dilakukan. Kepala BNPB Letnan Jenderal Suharyanto mengatakan mereka sudah mengeluarkan peta mudik aman bencana yang berisi lokasi-lokasi rawan bencana dan juga kontak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terdekat yang dapat mempermudah masyrakat untuk mengetahui potensi bencana saat mudik.
"BNPB telah mengeluarkan peta mudik terkait bencana alam, sudah terpetakan daerah mana yang rawan banjir, longsor dan bencana lainnya. Peta ini dapat diakses di InaRISK BNPB," kata Suharyanto.
Aplikasi tersebut memang diupayakan dapat digunakan secara maksimal, tidak hanya membantu masyarakat mengantisipasi bencana alam, namun juga krisis kesehatan seperti pandemi COVID-19 yang melanda dunia.
BNPB sengaja menambahkan fitur baru untuk melakukan pantauan risiko COVID-19. Fitur tersebut disertakan dalam fitur penilaian risiko dan kesiapsiagaan COVID-19 untuk pribadi, keluarga dan desa.
Pengguna aplikasi akan memperoleh informasi mengenai status risiko tertular COVID-19 mulai dari rendah, sedang hingga tinggi, yang dilengkapi nomor identitas dan rekomendasi hal yang harus dilakukan. Dari sama juga bisa mendapat rekomendasi rumah sakit rujukan COVID-19 terdekat atau rumah sakit umum lainnya.
Teknologi informasi dan telekomunikasi membantu memudahkan masyarakat lebih luas lagi untuk mengantisipasi dan memitigasi bencana. Harapan terbesarnya, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi risiko bencana dapat semakin berkurang.
Mengenal teknologi mitigasi bencana BRIN
Oleh Martha Herlinawati SIndonesia yang merupakan negara rawan bencana sejatinya terus memperkuat diri untuk mampu mengurangi risiko bencana melalui pemanfaatan teknologi dan inovasi. Penciptaan berbagai teknologi dan inovasi akan mendukung penguatan kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana.
Sistem deteksi dini diperlukan bagi antisipasi bencana, mulai dari banjir, tanah longsor, hingga tsunami. Selain itu, alat deteksi ketahanan gedung bertingkat dalam menghadapi gempa bumi tentunya dibutuhkan, khususnya di kota-kota besar.
Menurut Kepala Organisasi Riset Kebumian dan Maritim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ocky Karna Radjasa, penggunaan teknologi tersebut akan membantu pengambilan keputusan untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat berdasarkan hasil pengamatan gejala-gejala gempa bumi dan tsunami.
Ada cukup banyak produk-produk teknologi mitigasi bencana yang sudah dihasilkan oleh kementerian/lembaga pemerintah yang terintegrasi ke dalam BRIN, seperti INA-Bouy, INA-CBT (cable based tsunameter), PUMMA (Perangkat Ukur Murah untuk Anomali Muka Air Laut), LIPI- WISELAND, LEWS (Sistem Peringatan Dini Longsor), FEWS (Sistem Peringatan Dini Banjir), dan Sikuat.
INA-Buoy merupakan sistem pemantauan bahaya tsunami berbasis sensor tekanan air di dasar laut yang terhubung ke suatu bouy/pelampung yang ditempatkan di lepas pantai. Teknologi itu merupakan produk penelitian dan pengembangan eks Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang sudah terintegrasi ke BRIN.
Teknologi tersebut memberikan informasi peringatan dini tsunami berdasarkan perubahan tekanan air di dasar laut ketika tsunami terjadi akibat gempa atau longsoran di dasar laut sehingga masyarakat diharapkan dapat melakukan evakuasi dini.
INA-Buoy telah dipasang di Selatan Selat Sunda, Barat pulau Nias, Gunung Anak Krakatau, Barat Bengkulu, Selatan Cilacap, Selatan Sumbermanjing, dan Selatan Bali.
Lalu ada INA-CBT sebagai sistem pemantauan bahaya tsunami berbasis sensor tekanan air laut, accelerometer yang terpasang di dasar laut menggunakan kabel optik. Teknologi tersebut merupakan produk penelitian dan pengembangan eks BPPT.
Teknologi tersebut memberikan informasi peringatan dini tsunami berdasarkan perubahan tekanan air di dasar laut akibat aktivitas seismik di dasar laut sehingga masyarakat dapat melakukan evakuasi dini. INA-CBT telah dipasang di Rokatenda dan Labuan Bajo di di Nusa Tenggara Timur.
PUMMA merupakan sistem pemantauan bahaya tsunami berbasis sensor tinggi muka air laut yang dipasang di pinggir pantai di pulau utama atau pulau-pulau kecil yang terancam tsunami. Inovasi tersebut merupakan hasil penelitian dan pengembangan eks pusat riset kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Teknologi dan inovasi tersebut memberikan informasi peringatan dini tsunami berdasarkan peningkatan tinggi muka air laut akibat aktifitas seismik di dasar atau longsoran bawah laut sehingga masyarakat di pesisir dapat melakukan evakuasi dini.
PUMMA dipasang di Komplek Gunungapi Anak Krakatau, Aceh, Padang dan Mentawai di Sumatera Barat, Sebesi dan Gebang di Lampung, Marina Jambu di Pandeglang di Banten, Pelabuhan Ratu dan Pangandaran di Jawa Barat, Sadeng di DI Yogyakarta dan Prigi di Kabupaten Trenggalek di Jawa Timur.
Mitigasi tanah bergerak
LIPI-WISELAND adalah sistem pemantauan gerakan tanah berbasis jejaring sensor nirkabel, yang dipasang di lereng tanah alami atau buatan, yang merupakan produk penelitian dan pengembangan yang sebelumnya dikembakan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Teknologi inovasi itu memberikan informasi curah hujan, kenaikan kondisi kejenuhan tanah, tinggi muka airtanah dan pergerakan lereng sehingga peringatan dini ancaman gerakan tanah dapat diberikan kepada masyarakat yang tinggal atau berada di daerah bahaya gerakan tanah.
LIPI-WISELAND dipasang di Desa Pangelangan di Kabupaten Bandung di Jawa Barat, Jembatan Cisomang di Kabupaten Purwakarta di Jawa Barat, dan Desa Clapar di Kabupaten Banjarnegara di Jawa Tengah.
Lalu ada Sistem Peringatan Dini Tanah Longsor (Landslide Early Warning System/LEWS) sebagai sistem peringatan dini tanah longsor di lereng alami atau buatan, yang dulu merupakan produk penelitian dan pengembangan BPPT.
LEWS memberikan informasi curah hujan, kenaikan kondisi kejenuhan tanah dan pergerakan lereng sehingga peringatan dini ancaman gerakan tanah dapat diberikan kepada masyarakat yang tinggal atau berada di daerah bahaya gerakan tanah. LEWS dipasang di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Pemanfaatan teknologi inovasi LIPI-WISELAND dan LEWS akan mengurangi korban jiwa di wilayah perbukitan padat penduduk atau infrastruktur penting.
FEWS merupakan sistem peringatan dini banjir berbasis sensor tinggi muka air sungai yang dipasang di dipinggir aliran sungai, yang merupakan produk penelitian dan pengembangan eks BPPT.
Teknologi mitigasi bencana itu memberikan informasi curah hujan, kenaikan tinggi muka air sungai sehingga peringatan dini ancaman banjir dapat diberikan kepada masyarakat yang tinggal/ berada di daerah aliran sungai.
FEWS sudah dipasang di Bekasi, Jawa Barat, di Klender, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Bengawan Solo, Jawa Tengah. Teknologi tersebut dapat bermanfaat untuk mengurangi korban jiwa di wilayah aliran sungai padat penduduk atau infrastruktur penting.
Rumah tahan gempa
Sikuat adalah Sistem Informasi Kesehatan Gedung Bertingkat berbasis sensor pergerakan dan deformasi yang dipasang di tiang-tiang utama gedung bertingkat atau bangunan tinggi, dan merupakan produk penelitian dan pengembangan yang sebelumnya dikembangkan BPPT.
Teknologi mitigasi bencana Sikuat memberikan informasi penting mengenai kesehatan struktur gedung bertingkat ketika goncangan gempabumi terjadi sehingga upaya perkuatan bangunan yang diperlukan dapat dilakukan.
Selanjutnya, ada teknologi dan inovasi rumah tahan gempa, yang menggunakan teknologi seismic rubber bearing sebagai base isolator untuk menahan beban gempa.
Hunian tahan gempa itu sudah dibangun di beberapa lokasi di Indonesia, antara lain di Keranggan di Kota Tangerang Selatan dan di Kecamatan Jayanti di Kabupaten Tangerang di Banten, serta di Rangkasbitung di Kabupaten Lebak di Banten.
Inovasi rumah tahan gempa buatan BPPT yang sudah tergabung ke BRIN itu diluncurkan pada 2019 dengan nama Bale Kohana (Komposit Tahan Gempa) oleh mantan Kepala BPPT Hammam Riza.
Selain tahan gempa, bangunan rumah komposit tersebut juga tahan api dan cepat bangun, serta bisa dibongkar pasang untuk daerah rawan gempa.
Material yang digunakan untuk bangunan rumah bersifat tahan api dan cukup ringan seperti panel komposit FRP, struktur baja ringan, dan aluminium. Dengan demikian, total berat struktur komposit bisa seperempat kali dibanding berat struktur rumah konvensional.
Hammam yang saat ini menjabat sebagai perekayasa ahli utama di BRIN mengatakan rumah komposit tahan gempa menggunakan sistem saling mengunci, bingkai aluminium dengan lapisan tahan korosi, dan komposit sandwich panel.
TAS SIAGA BENCANA
Tas siaga bencana adalah tas berisi barang-barang penting yang wajib dipersiapkan dan dibawa saat bencana datang, sehingga kita bisa bertahan sampai evakuasi atau pertolongan datang. Tas ini harus diletakkan di tempat yang mudah dijangkau.
GPDRR dan komitmen upaya pengurangan risiko bencana
Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana atau Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) adalah forum multi pemangku kepentingan dua tahunan yang diinisiasi oleh PBB untuk meninjau kemajuan, berbagi pengetahuan dan mendiskusikan perkembangan dalam Penanggulangan Risiko Bencana (PRB).
SelengkapnyaIndonesia bersiap menjadi tuan rumah GPDRR 2022
Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan acara Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana (Global Platform for Disaster Risk Reduction/GPDRR) yang akan diselenggarakan di Provinsi Bali pada 23-28 Mei 2022.
SelengkapnyaGPDRR 2022 ajang unjuk gigi pariwisata aman bencana di Bali
Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) pada 2022 yang akan digelar di Bali pada 23-28 MEI 2022, menjadi ajang unjuk gigi pemerintah Indonesia untuk mempromosikan Pulau Dewata sebagai daerah pariwisata aman bencana, sekaligus dapat menanggulangi COVID-19 di mata dunia.
SelengkapnyaGPDRR dan komitmen upaya pengurangan risiko bencana
oleh Devi Nindy Sari RamadhanPlatform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana atau Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) adalah forum multi pemangku kepentingan dua tahunan yang diinisiasi oleh PBB untuk meninjau kemajuan, berbagi pengetahuan dan mendiskusikan perkembangan dalam Penanggulangan Risiko Bencana (PRB).
GPDRR memainkan peran penting dalam memobilisasi dan mendorong kolaborasi antara pemerintah, pemangku kepentingan dan sistem PBB untuk mempercepat pelaksanaan pengurangan risiko bencana.
Adapun Majelis Umum PBB mengakui GPDRR sebagai mekanisme penting untuk meninjau kemajuan implementasi Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030.
Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana merupakan acuan dalam aktivitas pengurangan risiko bencana yang telah disepakati 187 negara. Kerangka Sendai merupakan kelanjutan dari implementasi Hyogo Framework for Action (HFA).
Dalam Kerangka Kerja Sendai, terdapat empat prioritas aksi diantaranya (1) memahami risiko bencana, (2) memperkuat tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko bencana, (3) berinvestasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketahanan, dan (4) meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif dan untuk “Membangun Kembali Lebih Baik” (Build Back Better) dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Kemudian GPDRR yang berlangsung pada 24-26 Mei 2017 di Cancún, Meksiko, merupakan pertemuan pertama yang membahas kelanjutan implementasi Kerangka Kerja Sendai.
Di platform tersebut, pemerintah, PBB, dan semua pemangku kepentingan berkumpul untuk mengidentifikasi cara untuk lebih mempercepat implementasi Kerangka Kerja Sendai.
Sejak 2007, enam sesi GPDRR telah berlangsung. Hasil-hasilnya telah diakui oleh Majelis Umum PBB sebagai kontribusi pada pertimbangan Forum Politik Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan (HLPF), yang diadakan setiap tahun pada bulan Juli.
Sesi ketujuh pertemuan tersebut akan diselenggarakan bersama oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) dan pemerintah Indonesia di Bali dari 23- 28 Mei 2022.
GPDRR kali ini berlangsung pada saat yang kritis, yakni tujuh tahun sejak mengadopsi Kerangka Sendai, dan lebih dari dua tahun sejak ditetapkannya pandemi COVID-19, sebagaimana informasi ini dilansir dalam laman web UNDRR.
Utusan khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Bidang Pengurangan Risiko Bencana Mami Mizutori mengatakan Global Platform for Disaster Risk Reduction 2022 bertujuan membangun kesepahaman global mengenai kesiapan menghadapi bencana.
Dalam konferensi pers Mami mengatakan GPDRR 2022 menjadi kesempatan bagi seluruh negara anggota PBB, akademisi, dan pihak swasta serta media untuk menunjukkan dan berpikir bersama mengenai praktek kesiapsiagaan, dan ketahanan di bidang risiko bencana di seluruh dunia.
Sebagaimana tema besar penyelenggaraan GPDRR 2022 tahun ini adalah From Risk to Resilience: Towards Sustainable Development for All in a COVID-19 Transformed World.
Mami mengatakan fokus pertemuan tersebut untuk melihat bagaimana COVID-19 telah menjadi tantangan pertama dalam memahami risiko yang dihadapi di bidang kebencanaan.
"Pertemuan ini juga akan melihat bagaimana krisis global dapat dijadikan sebuah kesempatan untuk mengubah, mentransformasikan, berbagai kesepahaman yang telah disepakati bersama untuk agenda 2030," ujar dia.
Hasil dari pertemuan GPDRR tersebut, menurut Mami sangat penting, karena semua catatan dan capaian yang diraih akan menjadi masukan bagi pertemuan Mid Term Review yang akan diselenggarakan pada tahun 2023, serta juga menjadi masukan implementasi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan.
GPDRR diharapkan memberikan sejumlah hasil yakni konsolidasi inventarisasi kemajuan implementasi Kerangka Sendai oleh Negara Anggota dan pemangku kepentingan, dan pencapaian target terkait risiko bencana dari Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, hingga praktik baik dalam mengelola COVID-19 dan memperkuat manajemen risiko wabah penyakit.
Indonesia bersiap menjadi tuan rumah GPDRR 2022
Oleh Devi Nindy Sari RamadhanIndonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan acara Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana (Global Platform for Disaster Risk Reduction/GPDRR) yang akan diselenggarakan di Provinsi Bali pada 23-28 Mei 2022.
Penunjukkan negara Indonesia untuk lokasi pertemuan delegasi terkait pengurangan risiko bencana adalah yang pertama kalinya bagi negara-negara di Benua Asia, setelah enam sesi berlangsung, sekaligus mengukuhkan komitmen Indonesia yang kuat dalam penanganan bencana.
Sejumlah persiapan telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk menunjukkan komitmen pengurangan risiko bencana kepada dunia, juga mempromosikan Pulau Dewata sebagai daerah pariwisata aman bencana di mata dunia.
Diperkirakan 5.000 peserta dari 193 perwakilan Negara akan hadir, sehingga yang pertama adalah mempersiapkan kedatangan di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali.
Panitia akan menyiapkan meja bantuan (help desk) untuk membantu tahapan atau alur kedatangan delegasi, sedangkan beberapa proses tambahan harus dipenuhi oleh para peserta, khususnya prosedur pengecekan kesehatan dan dokumen terkait COVID-19.
Tempat kedatangan juga dilengkapi dengan pengecekan tes PCR untuk memastikan kondisi kesehatan delegasi dan keamanan penyelenggaraan GPDRR 2022 serta pengendalian pandemi COVID-19.
Pihak otoritas bandara telah mempersiapkan jalur cepat untuk membantu mereka yang dokumennya belum lengkap. Selain itu, pihak otoritas dibantu oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan untuk pelaksanaan tes usap PCR.
Kemudian dalam GPDRR 2022 telah disiapkan tiga skenario tatap muka. Skenario pertama, yakni 4.000 orang tatap muka, sisanya dilakukan daring. Selanjutnya, 2.000 orang tatap muka dan sisanya daring, serta yang ketiga adalah 1.000 orang tatap muka dan sisanya daring.
BNPB memastikan penanganan terhadap delegasi dengan negara rawan penyebaran COVID-19 maupun tidak, adalah sama. Bersama Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten Badung, BNPB memutakhirkan rencana kontinjensi (renkon) gempa bumi dan tsunami, guna persiapan GPDRR 2022.
Perlunya pengamanan mengantisipasi bencana tersebut, karena Bali rawan terhadap beberapa jenis bencana, termasuk gempa bumi dengan potensi kekuatan M 8,5 yang dapat diikuti tsunami dengan ketinggian gelombang lebih dari 3 meter.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan Indonesia akan menunjukkan kearifan lokal pada upaya pengurangan risiko bencana.
Pemerintah Indonesia selain menggelar acara berformat konferensi dan diskusi, juga akan mengajak delegasi dalam program kunjungan, atau fieldtrip, seperti Desa Wisata Penglipuran, Kintamani, Besakih, Kertha Gosa, Benoa dan Garuda Wisnu Kencana (GWK).Hal tersebut guna menggali kisah baik kearifan lokal dalam penanggulangan bencana.
Pemerintah juga menggelar simulasi evakuasi gempa dan tsunami di kawasan rawan bencana, guna melatih kesiapsiagaan masyarakat, seperti yang dilakukan di SMP Negei 3 Kuta Selatan Bali. Sementara di Pantai Mertasari, Kota Denpasar akan diadakan kegiatan penanaman bakau atau pohon mangrove dari seluruh delegasi yang hadir.
Suharyanto juga memastikan adanya fasilitas di Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022 pada 23-28 Mei 2022 di Indonesia untuk akses penyandang disabilitas.
“Kami juga memastikan fasilitas untuk penyandang disabilitas akan dipermudah aksesnya, seperti taksi, informasi dengan huruf braile, akomodasi dan lainnya,“ ujar Suharyanto.
Panitia Nasional GPDRR 2022 memastikan penyelenggaraan pertemuan internasional ini memfasilitasi para penyandang disabilitas, seperti di Bali Nusa Dua Convention Centre dan tempat penginapan yang telah direkomendasikan. Pihaknya bersama United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) memvalidasi kebutuhan transportasi khusus untuk penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda.
GPDRR di Bali nanti diharapkan memberikan sejumlah hasil yakni konsolidasi inventarisasi kemajuan implementasi Kerangka Sendai oleh negara anggota dan pemangku kepentingan, dan pencapaian target terkait risiko bencana dari Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, hingga praktik baik dalam mengelola COVID-19 dan memperkuat manajemen risiko wabah penyakit.
Terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah GPDRR 2022 merupakan langkah memperkokoh Indonesia sebagai negara berpengalaman dalam penanggulangan bencana, menurut Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Dengan dipercayanya Indonesia sebagai tuan rumah forum internasional, menjadi momentum untuk memperkuat mitigasi, praktik terbaik pengurangan risiko bencana, termasuk penanggulangan bencana secara global dan nasional, katanya.
GPDRR 2022 ajang unjuk gigi pariwisata aman bencana di Bali
Oleh Devi Nindy Sari RamadhanGlobal Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) pada 2022 yang akan digelar di Bali pada 23-28 MEI 2022, menjadi ajang unjuk gigi pemerintah Indonesia untuk mempromosikan Pulau Dewata sebagai daerah pariwisata aman bencana, sekaligus dapat menanggulangi COVID-19 di mata dunia.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan selain mengadakan acara berformat konferensi dan diskusi, pemerintah Indonesia juga mengadakan kegiatan bersifat ekshibisi dan budaya, seperti kunjungan ke obyek pariwisata.
"Ini merupakan bagian dari program pendukung kegiatan GPDRR yang dimotori Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Akan ada kegiatan pendukung yang sifatnya ekshibisi budaya," kata Muhadjir.
Sejumlah destinasi dipersiapkan seperti Garuda Wisnu Kencana dan Pura Luhur Uluwatu, yang akan menjadi daya tarik kunjungan delegasi negara sebanyak 4.000-5000 wakil dari 193 negara.
Selain itu melalui program kunjungan atau fieldtrip programme, para delegasi tersebut juga akan diboyong untuk melihat langsung pariwisata serta kearifan lokal dalam pengurangan risiko bencana di Desa Wisata Penglipuran, Kintamani, Besakih, Kertha Gosa, dan Benoa.
Fieldtrip program tersebut diharapkan dapat meningkatkan kembali perekonomian warga setempat yang bergerak dalam bidang pariwisata. Para delegasi nantinya akan belajar tentang penanganan bencana berbasis alam.
Kemudian dalam GPDRR ke-7, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan menyediakan pameran industri dan teknologi yang nantinya akan menggandeng sektor privat, guna mengakomodir para pelaku industri teknologi bidang kebencanaan di Indonesia.
Pameran industri teknologi di bidang kebencanaan yang pertama dilakukan ini turut mendukung pertumbuhan sektor perekonomian Indonesia.
Selain pameran, BNPB turut memperkenalkan Resilience House yang akan ditampilkan pada Bali Collection untuk menampilkan beragam edukasi kebencanaan.
Lewat Bali Collection pula, partisipasi para Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kuliner dapat terjaring, sehingga para delegasi dapat menikmati wisata kuliner Bali dengan harga yang terjangkau.
Pameran tersebut diharapkan dapat menjadi wadah untuk menjalin jejaring ke pasar internasional sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang telah terdampak pandemi COVID-19 sejak awal tahun 2020 lalu.
“Tentunya kami harapkan pameran ini dapat menjadi bussiness meeting dan mereka dapat membangun jejaring ke pasar internasional terkait pengenalan produk dan potensi ekspor ke luar negeri,” kata Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Raditya Jati.
Di sisi lain, Indonesia memiliki peluang mendatangkan hingga 3,6 juta wisatawan mancanegara pada 2022 saat situasi pandemi COVID-19 secara umum berjalan kondusif.
Kementeraian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) juga menyambut antusias kerja sama seluruh kementerian dan lembaga dalam mempersiapkan kedatangan wisatawan mancanegara dalam sejumlah ajang pertemuan internasional di Bali.
"Kami sangat menyambut baik semua kerja sama kementerian dan lembaga mempersiapkan penanganan wisatawan asing yang akan perpartisipasi dalam Forum G20 dan penyelenggaraan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) ke-7 di Bali pada Mei 2022," kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI Sandiaga Uno
Sandiaga mengatakan pemerintah telah mempersiapkan sertifikasi berstandar internasional terkait kebersihan, kesehatan, keselamatan dan kelestarian lingkungan selama mereka berada di Indonesia.
"Kami tawarkan kepada wisatawan asing kenyamanan yang aman dan liburan yang aman serta kegiatan di Indonesia dengan layanan yang lebih ramah dari bandara ke hotel, ke lokasi kegiatan dan untuk kembali ke negara asal," katanya.
Menurut Sandiaga, Presiden Joko Widodo juga berpesan bahwa forum GPDRR tak hanya menunjukkan peran dan praktik Indonesia dalam mengurangi risiko bencana, tapi juga menjadi momentum mempromosikan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif kepada para delegasi yang diprediksi akan dihadiri ribuan partisipan dari berbagai negara.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia terus mematangkan persiapan GPDRR 2022, baik dari segi amenitas, atraksi, hingga aksesibilitas, supaya pertemuan internasional tersebut dapat berjalan dengan aman dan nyaman, karena kondisi pandemi COVID-19 masih menyelimuti dunia.
Sandiaga juga mengatakan penyelenggaraan forum global tersebut akan menjadi role model dalam penyelenggaraan ajang internasional lain di tengah pandemi COVID-19. Bagaimana aktivitas masyarakat dapat berjalan beriringan dengan situasi pandemi, bagaimana kolaborasi antara kementerian dan lembaga dapat mendorong pemulihan ekonomi secara nasional bahkan global.
PERTEMUAN GPDRR DARI MASA KE MASA
Forum Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) telah enam kali digelar sejak diluncurkan pertama kali pada 2007. Setelah Swiss dan Meksiko, Indonesia akan menjadi tuan rumah forum dialog kebencanaan tersebut tahun 2022.
Dipercayanya Indonesia sebagai tuan rumah forum internasional ini menjadi momentum untuk memperkuat mitigasi dan praktik pengurangan risiko bencana.
Muhadjir - Effendy Menteri Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Covid-19 melandai Bali siap jadi tuan rumah pertemuan internasional
Pentingnya peran generasi muda dalam GDPRR
Galeri Foto
Sejak dulu masyarakat telah memiliki pemahaman tentang bagaimana hidup berdampingan dengan alam. Kearifan lokal ini kini bisa dipadukan dengan kemajuan teknologi agar kesiapan menghadapi bencana menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Credit
PENGARAH
Akhmad Munir, Gusti Nur Cahya Aryani, Saptono, Teguh Priyanto
PRODUSER EKSEKUTIF
Sapto HP
PRODUSER
Panca Hari P, Virna P Setyorini
PERISET
Farika Nur Khatimah, Hana Dewi Kinarina Kaban
PENULIS
Prisca Triferna Violleta, Zubi Mahrofi, Desi Purnamawati, Devi Nindy, Sari Ramadhan, Virna P Setyorini, Martha Herlinawati S, Ade Irwansyah
FOTOGRAFER
Saptono, Anis Efizudin, Wihdan Hidayat, Maha Eka Swasta, Yayat Soelaeman, Wahyu Putro A, Muhammad Adimaja, Rudi Mulya, Sumaryantobronto, Paramayuda, Ali Anwar, Jefri Aries, Aloysius Jarot, Hendra Nurdiyansyah, Andreas Fitri Atmoko, Nyoman Hendra Wibowo, Fikri Yusuf
KURATOR FOTO
Puspa Perwitasari
VIDEO
Antara TV
PRODUSER
Amita Caesaria
INFOGRAFIK
Perdinan, Diyah, Noropujadi, Ilham
EDITOR INFOGRAFIK
Guntur, Rany
DATA DAN RISET
Pusat data dan Informasi ANTARA
WEB DEVELOPER
Y. Rinaldi