Cinta dan perhatian tidak cuma bisa dicurahkan kepada sesama manusia atau hewan kesayangan, melainkan juga tanaman-tanaman hijau yang semakin digandrungi selama pandemi.
Malahan tanaman bisa juga bisa terasa "manja" bila ditinggal terlalu lama oleh pemiliknya, kata Dhannisa Nurfira yang berpendapat merawat tanaman mirip seperti memiliki binatang peliharaan. Ia sedih ketika tanamannya mati, alasannya selalu mencari tahu perawatan yang pas. Dia percaya setiap orang bisa punya hubungan yang dekat dengan tumbuhan.
"Apa yang kita kasih ke tanaman bisa mempengaruhi pertumbuhan tanaman," kata Dhannisa yang sering memperdengarkan musik untuk tanaman-tanamannya setiap pagi.
Sebetulnya dia sudah membeli tanaman untuk menghiasi kediamannya sejak mulai bekerja. Dia mulai jatuh hati semenjak melihat-lihat ilustrasi tanaman di referensi desain interior. Hobi ini semakin subur ketika pandemi melanda. Waktu luang yang lebih banyak membuatnya semakin getol mengurus anak-anak hijau dan banyak mencari tahu informasi seputar tanaman.
"Sampai-sampai pernah addict banget, sebelum tidur jelajah shopping online buat nyari tanaman," ujar pemilik puluhan tanaman yang ditata rapi di tempat tinggalnya.
Dia tak ingat apa tanaman pertama yang dibeli, tapi dia ingat memilih tanaman enak dipandang mata. Sansevieria alias lidah mertua adalah tanaman pertama yang betul-betul ia pahami fungsinya dan dia rawat sendiri, serta membuatnya mau belajar lebih banyak soal tanaman.
Rasa bosan yang melanda akibat di rumah saja membuat banyak orang mengeksplorasi hobi baru, termasuk menghiasi kediamannya dengan berbagai tanaman hijau yang indah di mata dan membuat suasana lebih segar. Tak sedikit orang yang rela berburu tanaman mahal karena sedang banyak digandrungi pencinta tanaman.
Sementara dokter gigi Riza Permatasari mulai menggandrungi tanaman karena bosan berada di dalam rumah. Waktu luang yang bertambah diisi dengan membuat semarak kebun kecil di rumahnya.
Ada sekitar 30 pot-pot kecil yang menghijaukan rumahnya. Semua dimulai dari coba-coba dan keinginan untuk belajar hal baru. Tidak seperti rongga gigi manusia yang sudah dia pelajari bertahun-tahun, ilmu soal tanaman belum pernah disentuh Mita sebelumnya. Semua dipelajari secara otodidak. Kadang juga dia berkonsultasi kepada tukang-tukang penjual tanaman saat sedang berbelanja.
Sebagai pemula, dia mengakui jenis tanaman yang ada di rumahnya adalah tipe-tipe yang mudah dirawat dan tidak gampang layu.
"Seperti caladium, buat pemula oke karena murah dan tanaman enggak gampang mati."
Pebisnis Dhiesta Natalia juga punya status baru sebagai "plant mama" alias ibu tanaman berkat kemunculan virus corona di dunia. Pandemi betul-betul mengubah kebiasaannya yang dulu sama sekali tidak pernah mengurusi "anak-anak hijau".
Saat pandemi melanda, dia baru saja pindah ke rumah baru yang bertema industrial. "Banyak rangka besi, besi berongga, kesannya dingin. Lalu aku coba cari dekorasi yang bisa bikin suasana di rumah lebih hangat," tutur Dhiesta.
Berbagai referensi ia cari, sampai akhirnya dia memutuskan untuk memiliki "anak-anak hijau" di rumah untuk menghiasi sudut rumah, taman di dalam rumah juga panjang di meja. Pemandangan itu ternyata menyejukkan hati.
"Akhirnya keterusan jadi berpuluh-puluh tanaman," Dhiesta tertawa.
Dia fokus kepada tanaman hias yang jenisnya mencapai puluhan, mulai dari kalatea, aglonema, begonia hingga philodendron. Sebagian anak-anak hijau yang tumbuh subur dan lebat sudah dia berikan kepada teman atau saudara.
Apa yang menarik dari anak-anak hijau? Menyenangnkan bisa melihat proses tanaman tumbuh dari tunas menjadi daun-daun yang lebat dan cantik. Terlebih sekarang orang-orang punya waktu untuk berada di dalam rumah. Tidak ada lagi terjebak kemacetan, pekerjaan bisa dirampungkan dari rumah. Waktu yang dulu terbuang di jalan bisa dialokasikan untuk mengurusi si hijau.
Ketimbang membeli tanaman yang sudah tumbuh besar dengan harga relatif mahal, dia lebih memilih mengurus tanaman yang masih "bayi" karena harganya lebih murah. Itu juga jadi tantangan untuk pengadopsi anak hijau agar "bayi" mereka tumbuh subur setelah dipotong dari indukan dan dipindahkan ke kondisi yang berbeda dari rumah aslinya.
"Apalagi sekarang banyak yang beli lintas kota, misalnya di Malang atau Bandung yang beda banget cuacanya dengan di Bekasi yang cenderung panas," katanya.
Tantangan yang berhasil dilewati membuahkan kebahagiaan untuk "plant mama" yang pasti girang bukan kepalang melihat daun-daun baru bermunculan atau akar yang semakin rimbun.
"Anak-anak hijau" juga membuat pergaulan Dhiesta meluas. Dia memiliki teman-teman baru sesama "plant mama" dan mereka sering berdiskusi mengenai tanaman, bertukar serum tanaman hingga media tanam, sampai saling bantu mengurus anak-anak hijau bila terpaksa ditinggal dalam waktu lama.
Dhiesta, yang pernah mencoba berbisnis di bidang tanaman tapi urung meneruskannya, juga belajar untuk lebih mencintai lingkungan. Dimulai dari hal sederhana seperti memanfaatkan cangkang telur untuk pupuk, memakai air bekas cucian beras yang penuh nutrisi untuk menyiram tanaman, kini dia sedang membuat kompos sendiri dari daun-daun yang layu untuk kemudian dijadikan pupuk.
"Efeknya domino, jadi hemat dan ramah lingkungan," katanya.
Diah Irawati semakin getol mengurus tanaman sejak awal pandemi karena ingin memastikan makanan yang disajikan untuk keluarga terjamin keamanannya. Ibu dari empat anak itu lebih fokus bertanam sayur dan buah yang rutin dipanen untuk diolah sendiri.
"Paling tidak untuk kebutuhan keluarga, sayuran yang mudah tumbuh seperti kangkung, bayam dan tomat," tutur dia.
Belajar dari komunitas di media sosial serta video-video di YouTube, Diah mencoba metode hidroponik. Semua peralatan termasuk benuh dibeli secara daring. Semangatnya membara ketika percobaan pertama berhasil. Dari kangkung, bayam dan sawi yang relatif lebih mudah tumbuh, dia menantang diri sendiri dengan tanaman seperti tomat, jagung dan ketimun.
Suaminya yang kini bekerja dari rumah jadi punya waktu luang untuk mengurus kebun seluas 500 meter persegi yang selama ini jarang diperhatikan. Di sela menatap layar laptop, Dia dan suami mengulik serba-serbi bercocok tanam seperti mencari formula pupuk yang sesuai dan aman untuk anak-anak hijau. Nangkadak (gabungan nangka dan cempedak), jambu air, rambutan, jagung hingga singkong ada di kebunnya.
"Ketika yang tadinya enggak diurus jadi diurus, panennya lumayan. Ada kesenangan saat bisa kita nikmati sendiri," tuturnya.
Bukan sekadar hobi, dia punya rencana untuk mengembangkan aktivitas ini jadi mata pencaharian ketika masa pensiun suami sudah tiba.
Amaliya (35) asal Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Batang, Jawa Tengah dan koleksi tanaman miliknya.
Ada sederet nama anak hijau yang populer di antara para pegiat kegiatan bertanam di kala pandemi COVID-19, seperti aglaomena, monstera, jenis variegata bernama unik seperti janda bolong atau sansevieria atau dikenal sebagai lidah mertua.
Kepopuleran tanaman-tanaman hias ini biasanya karena berbagai faktor seperti penampakannya yang elok, manfaat atau khasiat, mudah dirawat, harga beli yang relatif murah, hingga aroma yang dihasilkannya.
Seorang pecinta tanaman hias sekaligus pegiat bisnis bidang kesukaanya itu, Amaliya (35) mengaku menyukai aglonema. Alasannya, warna tanaman ini menarik, dengan variasi yang menurut dia indah.
"Warna menarik dan cewek banget, variasinya juga indah. Aglonema memang penyukanya kebanyakan kalangan ibu-ibu. Ini lagi ngumpulin aglonema-aglonema," kata mantan jurnalis yang kini berdiam di kawasan Banyuputih, Batang, Jawa Tengah itu kepada ANTARA.
Mereka yang menyukai tanaman dari sisi visual seperti bentuk dan warna biasanya juga cenderung menyukai Aglaonema, Miana (Coleus), Begonia, Monstera, Alocasia dan Caladium atau disebut juga Heart of Jesus.
Aglaonema yang mendapatkan julukan ratu daun memiliki keindahan pada daunnya. Tetapi tanaman ini perlu dirawat secara benar agar daunnya tidak terlihat menguning dan lama-kelamaan mati.
Sementara Monstera, salah satunya jenis deliciosa memiliki permukaan daun berlubang dan menjar di bagian pinggirnya. Ukuran daunnya relatif besar dan hampir menyerupai bentuk hati. Semakin tua usia tanaman, maka warnanya akan lebih gelap.
Di sisi lain, menurut hasil pengamatannya pada para pembeli tanamannya selama beberapa waktu terakhir, faktor manfaat atau khasiat tanaman juga memainkan peran meningkatkan kepopulerannya.
Sansevieria atau Snake Plant yang memiliki rupa daun keras tegak dengan ujung meruncing bak mata pedang misalnya, dikenal mampu menyerap udara kotor atau sebagai antioksidan untuk lingkungan.
Manfaat serupa juga sebenarnya dihasilkan jenis tanaman lainnya semisal Lili Paris yang berasal dari Afrika Selatan. Tanaman yang dikenal dengan daun hijaunya yang berbentuk runcing serupa pedang, melengkung berhiasakan warna putih di tepinya ini, seperti dikutip dari laman Kementerian Pertanian, menghasilkan oksigen, menghilangkan racun formaldehida dan xylene dari cat dinding serta furnitur.
Selain itu, ada juga aglaonema atau dikenal juga sebagai Cemara Cina atau Sri Rejeki. Tanaman ini selain bisa mempercantik ruangan juga sanggup menetralisir udara dan menghilangkan zat beracun seperti benzena, karbon monoksida, formaldehida dan trichloroethylene.
Indri asal Cileungsi, Bogor, Jawa Barat dan koleksi tanamannya.
Tak melulu visual, alasan seseorang menyukai jenis tanaman tertentu juga bisa dipengaruhi perkara harga dan perawatan. Indri, seorang awak media yang berdomisili di kawasan Cileungsi, Bogor, Jawa barat misalnya.
"Pertama harganya dulu, kalau pas di kantong, beli. Terus, perawatannya, biasanya Aglaonema enggak ada perawatan khusus," kata dia saat dihubungi dalam kesempatan berbeda.
Indri biasanya mempersiapkan kocek Rp200 ribu-300 ribu per bulan untuk berburu tanaman kesukaanya. Sejauh ini dia sudah memiliki Sirih Lemon, Ponthos, Njoy, beberapa jenis Calathea, Alocasia frydex, Amazonia, koleksi Keladi, Monstera, beberapa jenis Aglaonema ramah di kantong seperti Dona carmen, Lady Valentine dan White Tissue, yang tumbuh subur di balkon rumahnya.
Dari sisi perawatan, tanaman Aglaonema agar bisa tumbuh sumbur umumnya membutuhkan enam hal, yakni perlindungan dari sinar matahari langsung, penyiraman dalam jangka waktu 2-3 hari sekali, pembersihan gulma, pemangkasan daun yang sudah layu, pengelapan daun agar terlihat indah dan penggemburan tanah minimal satu bulan sekali atau bisa mengganti dengan media tanam yang baru bila tanah mulai terlihat mengeras.
Jenis Calathea yang bisa mencapai 3000-an juga cenderung mudah dirawat dan penampakannya indah. Tanaman hias dengan daun lonjong dengan garis dalam rangkaian warna ini kerap dijuluki tanaman zebra, tanaman merak hingga tanaman ular berbisa.
Indri sendiri sebatas menyiapkan pupuk NPK dan neem oil untuk mengusir hama dengan budget sekitar Rp50 ribu untuk beberapa bulan.
Tetapi, tak semua orang mempertimbangkan harga. Menurut Amaliya, Aglaonema jenis Red Anjamani yang bisa dibanderol Rp195 ribu per buah tetap menjadi incaran pembeli. Sama halnya seperti Lady Valentine yang dijual Rp125 ribu per buah, Alocasia frydek Rp20 ribu-50 ribu dan Alocasia Amazonica dengan harga jual Rp50 ribu per buahnya.
Terkait perawatan, semakin sulit biasanya harga jualnya bisa semakin mahal. Jenis Monstera King atau Deliciosa umumnya sulit dirawat. Tanaman ini membutuhkan cahaya dan air dengan takaran pas. Namun, walau sulit dirawat tetapi tanaman ini mendulang popularitas.
Di sisi lain, musim juga punya pengaruh. Menurut Amaliya dan Indri, musim penghujan memudahkan penyiraman. Lain halnya saat musim kemarau hadir, penyiraman akan cenderung lebih sering.
Amaliya mengatakan, merawat anak hijau bisa membantunya meningkatkan suasana hati, terlebih saat hamil. Saat ini, dia merasa mengurus tanaman sebagai bagian dari hiburannya.
"Selain pelepas stres juga mempercantik rumah, bikin seger mata dan udara, juga ada yang bisa kita langsung manfaatkan seperti daun mint. Ini koleksi suami dan biasanya kalo minum teh tinggal petik dan celup," kata dia.
Hal senada diungkapkan Indri. Perempuan berjilbab itu merasa tanaman bisa menjadi sarana terapi untuk suasana hatinya, terlebih di masa pandemi COVID-19.
Seiring munculnya manfaat dari kecintaan pada anak hijau, dia juga lebih mengenal jenis-jenis tanaman dari para ahli.
Di sisi lain, mengurus tanaman juga bisa berbuah cuana apabila Anda berniat menjadikannya lahan bisnis. Awalnya Amaliya tak sadar mengenai hal ini. Setelah diberitahu kakak iparnya, barulah dia mulai paham dan semakin serius merawat anak hijau.
Berbagai jenis tanaman hias yang dia rawat di garasi rumahnya antara lain berbagai Aglaonema seperti Red Sumatra, Big Roy, Butterfly, Snow White, Lady Valentine, Lipstik, kemudian Alocasia, Miana, Begonia, Monstera dan Philodendron.
"Awal jualan malah enggak sadar kalau tanamanku punya potensi dijual. Yang menyadarkan itu kakak iparku. Alocasia frydek yang aku tanam di depan rumah, dia suruh untuk dipotin. Katanya bernilai jual. Masih agak enggak percaya waktu itu, tapi aku turuti. Dia posting di status WhatsApp dia, eh benaran terjual. Dapat duit Rp300 ribu waktu itu," kata dia.
Sejak saat itu dia mulai berjualan Alocasia frydek yang kini jumlahnya sudah banyak tanpa dia sadari. Amaliya juga membantu menjualkan tanaman miliki kenalannya dan ini menguntungkan untuk dua belah pihak. Omzet yang dia hasilkan selama enam bulan saja mencapai Rp2-3 juta.
Alocasia frydek biasanya dibanderol Rp15 ribu-125 ribu tergantung ukuran, Alocasia Amazonica Rp50 ribu-70 ribu, Kuping Gajah mulai Rp35 ribu, Miana mulai Rp5 ribu, Aglaonema Rp30 ribu-200 ribu tergantung jenis dan ukuran serta Kuping Kelinci Rp10 ribu-35 ribu untuk anakannya.
Pembeli tanaman Amaliya berasal dari berbagai wilayah, mulai dari tetangganya, dari lintas desa, Jakarta hingga Jawa Barat. Mereka ini rata-rata berusia muda dengan latar belakang pekerjaan karyawan BUMN, swasta, dosen hingga ibu rumah tangga.
Bagi Anda yang berminat merawat tanaman hias terutama di masa pandemi seperti saat ini, Amaliya menyarankan Anda tak perlu berpikir panjang.
"Gak usah mikir panjang, ada tanaman yang disukai, tanam saja. Peralatan seperlunya saja. Jangan sampai ribet harus punya ini itu akhirnya menyurutkan niat bertanam," kata dia.
Khusus untuk Aglaonema agar mudah anakan, taruh di pot dengan diameter maksimal 25cm.
Kemudian, bagi yang mau berbisnis tanaman pertahakan prinsip maju terus pantang menyerah. Anda harus yakin tanaman Anda layak jual dan berusaha terus menawarkannya pada calon pembeli.
"Dibikin menarik biar orang tinggal beli, pajang dan rawat. Segmen pembeli ini yang menurutku sekarang lebih bagus diincar. Mereka ingin punya tapi enggak ingin repot. Inginnya tinggal rawat. Enggap apa-apa, yang penting mereka turut memperbanyak tanaman di bumi dan mau merawat," demikian pesan ibu satu putri itu.
"Aku dan temanku punya tekad tetap konsisten di perhijauan. Memang siklusnya bakal berputar. Tapi kalau kita konsisten, kelak pas perhijauan viral lg, aku tinggal memetik cuan. Selama belum laku atau nunggu viral ya buat hiasan rumah," imbuh dia.
Monstera king, Syngonium variegata, Philodendron birkin, Aglonema, Calathea orbifolia, hingga Rhapidhopora tetrasperma, nama- nama latin tanaman hias itu kini tak lagi asing bagi sebagian besar masyarakat yang memiliki hobi bercocok tanam tanaman hias selama pandemi COVID-19 berlangsung di Indonesia.
Setahun terakhir, hobi untuk merawat tanaman hias berkembang pesat. Mendadak pekerja kantoran beralih menjadi penggemar tanaman yang identik dengan daun- daun cantik untuk menghadirkan suasana alam di rumah. Meningkatnya animo masyarakat pada tanaman- tanaman hias juga ikut membuat bisnis tanaman hias semakin merona.
Salah satu pebisnis yang merasakan betul keuntungan dari tanaman hias selama COVID-19 adalah Haji Tonggak (46). Awalnya ia menceritakan di masa pandemi ia harus mengalami penurunan pada penjualan tanaman pelindung yang biasa digunakan dalam proyek- proyek pengerjaan jalur hijau di bahu jalan atau pun perumahan.
Penjualan tanaman sejenis Pohon pucuk merah dan Pohon Asoka pun berkurang seiring pembatasan yang dilakukan pada proyek- proyek di awal pandemi COVID-19. Namun demikian, tak butuh waktu lama bagi Haji Tonggak untuk mendapatkan keuntungan lewat bisnisnya. Berkat hobi merawat tanaman hias yang naik daun, ia pun justru merasakan betul keuntungan berlipat- lipat di masa pandemi ini.
Tempatnya melapak berada di kawasan yang termasuk salah sentra penjualan tanaman hias di wilayah Jakarta, dengan banyak saingan bisnis ia tak merasa ciut dan justru menyebutkan keuntungan tetap dapat diraupnya. Ketika kondisi perekonomian di sektor- sektor formal mengalami kejatuhan, bisnis penjualan tanaman hias milik Tonggak melesat cepat mencapai keuntungan lebih dari 100 persen.
“Ini bisa dibilang berkat dari dulu main aglonema sama tanaman hias yang emang lagi viral setahun terakhir. Omzet juga naik lebih dari 100 persen. Belum lagi dibantu penjualan online jadi makin untung lagi,” kata pria yang memiliki nama asli Maralih itu ditemui di nurserinya bernama “Salman Flower” di kawasan Meruya, Jakarta Barat.
Ia mengaku para pembeli perorangan yang membeli tanaman untuk koleksi menjadi faktor yang meningkatkan omzetnya hingga ratusan persen itu. Tanaman seperti philodendron, caladium atau keladi, dan aglonema menjadi tanaman yang paling sering dijualnya.
Dalam 30 tahun meniti karir menjadi pebisnis tanaman hias, Tonggak mengatakan masa pandemi COVID-19 justru menjadi puncaknya mendapatkan keuntungan dari tanaman yang membuat asri lingkungan itu. Dari pandemi juga, Tonggak berhasil mengekspansi pangsa pasarnya lewat penjualan daring.
Pada awalnya ia memiliki pangsa pasar di Jabodetabek, namun kini sudah menjangkau ujung Indonesia bagian Timur yaitu Papua. Ia bahkan mengatakan pelanggannya di Papua pernah membeli salah satu tanaman hiasnya dengan angka bernilai puluh juta. Meski sudah menjual tanaman dengan nilai tinggi, di nurserinya Tonggak masih menyediakan tanaman yang terjangkau mulai dari harga Rp 5.000 hingga ratusan ribu rupiah.
“Saya tetap jual juga tanaman dengan harga yang terjangkau jadi untuk para pemula juga bisa mulai belajar. Kalau untuk pemula mah jangan langsung beli yang mahal, karena kan butuh riset. Beli saja dulu yang murah nanti sudah sebulan- dua bulan pasti sudah paham dan lakukan riset sana- sini jadinya bisa merawat untuk tanaman yang harganya lebih tinggi,” kata Tonggak memberi sarannya untuk para pemula yang memulai hobi merawat tanaman.
Keuntungannya selama pandemi COVID-19 pun digunakannya untuk mengekspansi bisnisnya dengan mengubah tampilan nurseri yang tadinya dibangun hanya dari bambu kini ditingkatkan menjadi lebih asri dan kokoh dengan besi.
Nurserinya pun terbuka bagi para pecinta tanaman untuk mencari koleksi hingga melakukan pengulasan tanaman seperti yang dilakukan oleh Youtuber. Ia pun masih tetap menaruh asanya sangat besar pada bisnis tanaman- tanaman hias untuk tetap dapat menghasilkan keuntungan dan menjadi sumber pendapatannya sehari-hari.
Tidak hanya Haji Tonggak yang mendapatkan keuntungan dari bisnis tanaman hias selama pandemi COVID-19, tapi juga orang- orang yang sebelumnya bermula menjadi kolektor tapi mulai menjadi tanaman hias sebagai bisnis sampingan.
Salah satu contoh kolektor yang akhirnya menjadikan tanaman hias sebagai usaha sampingan adalah Fanny Octavianus. Merawat tanaman hias merupakan hobi baru bagi Fanny yang merasa bosan dengan fotografi setelah sehari- hari berkutat menjadi pewarta foto menjalankan profesinya.
Setelah memulai hobinya pada pertengah 2019, ia pun memutuskan untuk mulai menjual hasil pembibitannya lewat instagram @royo.shop pada April 2020.
“Sekarang sebenarnya lagi slow down dulu karena baru punya anak. Nah tapi pas kemarin lagi rajin- rajinnya ngurus tanaman itu setiap hari. Kalau gak megang tanah buat tanaman rasanya kayak sakau gitu apalagi gak bisa ngecekin tanaman. Karena kan setiap hari ada aja waktu untuk ngecek yang kemungkinan bisa diperbanyak,” kata pria yang akrab disapa Fanny itu.
Sebenarnya ia sendiri tidak menghitung tepatnya tanaman yang sudah diperbanyak baik untuk dikoleksi atau pun dijual, namun dari instagram tempatnya berjualan Ada terlihat cukup banyak varian tanaman hias yang dijual Fanny mulai dari jenis Calathea, Syngonium, Philodendron, hingga Epiprenum.
Meski tidak mematok target dalam berbisnis tanaman hias, namun ia mengaku cukup mendapatkan banyak keuntungan dari daun- daun eksotis itu. Tanaman hias dengan penjualan tertinggi pernah dijualnya hingga Rp 17 juta dari koleksi pribadinya.
“Yah sebenarnya untuk yang merawat tanaman yang lagi hits, terus dijual anakannya dalam waktu tiga bulan pun sudah balik modal. Terhitung cepat lah untuk dapat keuntungan kalau dilakukan seperti orang-orang yang fokus untuk berbisnis tanaman,” ujar Fanny.
Cerita lain datang dari Acen yang juga merupakan kolektor sekaligus penjual tanaman hias dari koleksi pribadinya. Acen justru termasuk pemain baru, ia menyebut dirinya sebagai angkatan kedua dari orang- orang yang hobi merawat tanaman di masa pandemi COVID-19. Ia memulai hobi merawat tanaman hias di pertengahan 2020, setelah ia memutuskan untuk berhenti menjadi pegawai kantoran dan membuka usaha kecilnya. Baginya merawat sekaligus berbisnis tanaman hias merupakan investasi menjanjikan dan bisa melebihi keuntungan yang diberikan dari investasi saham.
“Jadi kalau performa perusahaan turun, biasanya orang yang investasi saham akan deg-degan. Nah kalau investasi tanaman itu meski di awal terasa mahal tapi percayalah memberi kepuasan tersendiri. Kayak awalnya gue cuma punya satu Montsera king, tapi sekitar 3 bulanan gua rawat tau- tau udah jadi tiga anakan. Gua beli Rp 200.000 satu tanamannya, nah hasil anakannya ini bisa gua jual dengan harga modal gua dan jadi untung. Itulah yang bisa dibilang investasi tanaman itu lebih menjanjikan ketimbang saham,” kata Acen.
Ia mulai menjual tanamannya pada Januari 2021 lewat akun usahanya di salah satu e-commerce dengan nama toko “Toko Kekucingan”, ia menyebutkan pernah mendapatkan keuntungan 10 kali lipat dari harga modalnya merawat tanaman hias dari bisnisnya itu.
Ia mencontohkan ia pernah membeli bonggol tanaman alocasia seharga Rp 30.000, ia pun merawat bonggol itu hingga akhirnya menghasilkan pucuk- pucuk baru yang berkembang menjadi tanaman yang besar dan sehat dalam kurun waktu 3 bulan.
Jerih payahnya membesarkan tanaman itu pun terbayar setelah ia berhasil menjual tanaman alocasia yang sudah berkembang seharga Rp 300.000 untuk satu batangnya. Meski demikian Acen mengaku memang butuh waktu untuk memahami tanaman- tanaman hias terutama untuk mengenali pemenuhan nutrisi, media tanam, hingga kadar air yang tepat untuk menghasilkan tanaman yang sehat dan berkualitas baik.
Akan tetapi baginya hal itu bukanlah halangan, dan justru menjadikannya tantangan untuk merawat anak-anak hijaunya dan kini menjadi salah satu sumber penghasilan bagi Acen.
“Ini memberikan healing moment buat gue, bahkan ketika gue jual tanaman dari koleksi yang ada sering gue tanyain kabarnya ke pemiliknya yang baru. Gue kasih tahu cara perawatannya, kalau misalnya jadi gak sehat gue bahkan kasih yang baru ke pembeli gue itu. Sesimpel ingin berbagi kebahagiaan gitu,” tutup Acen.
Dari kisah- kisah menarik para pebisnis tanaman itu dapat dilihat berbisnis tanaman hias di tengah pandemi memang sangat menguntungkan. Di tengah kesulitan ekonomi dalam kondisi krisis, justru para penjual tanaman itu dapat meraup berkah. “Blessing in Disguise” istilahnya, masih ada oasis di tengah krisis yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.
Bantar Gebang bukanlah nama asing bagi masyarakat Jakarta karena di tempat itu berada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang menjadi tujuan akhir dari sampah para penduduk ibu kota.
Jumlah sampah yang dikirim ke fasilitas yang terletak di Bekasi, Jawa Barat itu tidak sedikit dan mengalami peningkatan.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, pada 2018 sampah yang dikirim mencapai 7.453 ton per hari yang naik menjadi 7.702 ton pada 2019. Angka itu mengalami sedikit penurunan pada 2020 yaitu menjadi 7.424 ton sampah per hari.
Tapi siapa sangka, di lahan yang dikenal karena sampah itu bisa dimanfaatkan untuk pertanian dengan menggunakan sistem hidroponik seperti yang dilakukan para siswa Sekolah Alam tunas Mulia.
Sekolah yang dibangun untuk memberikan pendidikan kepada anak pemulung itu memanfaatan pelatihan yang diberikan mahasiswa tentang hidropinik dan mengembangkannya untuk menanam sayur.
Menurut pendiri Sekolah Alam Tunas Mulia, Nadam Dwi Subekti, ketika dihubungi oleh ANTARA terdapat sekitar 10 orang anak sekolah yang berbatasan dengan TPST Bantar Gebang tersebut itu yang mengurus program hidroponik.
"Untuk hidroponik kita sudah panen tiga kali, produknya ada pakcoy, kangkung dan bayam merah dan meski belum banyak. Kita sekarang lagi fokus ke bayam merah karena bisa diolah menjadi keripik," kata Nadam.
Fokus ke bayam merah itu karena produk olahan yang mereka buat sebelumnya mendapatkan respons yang baik dan memiliki harga jual yang bagus. Untuk satu bungkus keripik, memerlukan satu lubang hidroponik.
Fokus menjual produk olahan sayur hidroponik itu dilakukan untuk meningkatkan nilai jual sayuran tersebut, yang tidak terlalu besar ketika dijual secara utuh tanpa pengolahan tertentu.
Selain itu fokus ke produk olahan hasil pertanian hidroponik itu juga dilakukan karena penjualan tidak harus dilakukan secepat mungkin, mengingat penjualan sayur mentah biasanya harus diselesaikan dengan jeda tidak lama setelah panen untuk menjaga kesegaran.
"Namanya hidroponik, ibaratnya sayuran dengan teknologi tinggi dan mahal. Kalau kita menjualnya mengikuti harga sayuran di pasaran tidak masuk," kata Nadam.
Hidroponik sendiri merupakan teknik budidaya menanam yang memanfaatkan air tanpa memakai media tanah. Sebagai gantinya, teknik itu menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi tanaman. Asal kata hidroponik sendiri dari hydro yang berarti air dan ponos yang artinya daya.
Penanaman tanpa tanah yang sudah ada bukanlah hal yang terlalu baru. Suku Aztec yang merupakan penduduk asli benua Amerika sudah terlebih dahulu mempraktikkan tenik pertanian tanpa media tanah asli dengan membangun Chinampa yaitu pulau buatan di atas danau air tawar atau seperti taman terapung.
Suku kuno itu membangun petak-petak yang dipasang di dasar danau dan menjalin pagar di antara tiang-tiang tersebut. Area itu kemudian dipenuhi oleh lumpur kaya nutrisi dan dedaunan. Namun, penelitian formal dan publikasi resmi tentang hidroponik baru dimulai pada abad ke-17 ketika Francis Bacon yang merupakan peneliti terkenal dari Inggris memulai penelitian tentang perkebunan tanpa tanah pada sekitar tahun 1620-an. Hasil penelitiannya sendiri dipublikasi setelah dia tiada pada 1627. Setelah itu pada 1699, John Woodward menerbitkan hasil penelitiannya dengan menanam spearmint dengan budidaya memakai beberapa jenis air.
Pada 1929, William Gericke dari Universitas California di Berkeley, Amerika Serikat mulai mempromosikan hidroponik untuk pertanian komersial, menggunakan proses yang disebutnya sebagai aquaculture atau budidaya perairan. Namun istilah itu diubah karena aquaculture sudah digunakan untuk studi tentang organisme air.
Dua peneliti dari Berkeley, Dennis Hoagland and Daniel Arnon kemudian mengembangkan studi William Gericke dan pada 1938 menerbitkan "The Water Culture Method for Growing Plants Without Soil" yang fokus tentang metode budidaya air untuk menumbuhkan tanaman tanpa tanah.
Gericke kemudian juga mempublikasikan tulisan berjudul "Complete Guide to Soilless Gardening" pada 1940 yang membahas secara lengkap teknik, media, nustrisi dan langkah-langkah melakukan hidroponik.
Di Indonesia sendiri, teknik tersebut mulai populer di tengah semakin terbatasnya lahan terutama di kota-kota besar.
Yang harus dipastikan dalam memulai hidroponik adalah ketersediaan alat seperti net pot, media tanam seperti rockwool, benih sayuran dan nustrisi atau zat hara yang diperlukan tanaman untuk tumbuh tanpa tanah. Tentu saja terdapat perbedaan banyak dan jenis alat antara hidroponik rumahan dan untuk kebutuhan industri.
Selain itu terdapat beberapa jenis macan hidropnik seperti sistem Nutrient Film Technique (NTF) yang harus menggunakan pipa dan pompa, sistem wick yang cocok untuk pemula, atau bahkan aeroponick di mana tanaman digantung dan akarnya secara berkala dibasahi dengan larutan nutrien.
Meski mulai populer untuk menjadi solusi pertanian dengan lahan terbatas, bukan berarti hidropnik tidak lepas dari perdebatan. Beberapa ada yang mempersalahkan terkait organik atau tidak dan potensi ancaman terhadap petani yang menggunakan tanah untuk berkebun.
Pendiri usaha pertanian organik Twelve's Organic dan anggota Dewan Perwakilan Anggotan Aliansi Organis Indonesia (AOI) 2017-2020 Maya Stolastika mengatakan secara pengertian, hidroponik belum bisa dikatakan masuk dalam kategori organik sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.
Namun, terkait ancaman, Maya mengatakan baik pertanian organik maupun hidroponik memiliki segmentasi pasar yang berbeda.
"Tergantung pada segmentasi pasar, pasti memiliki pasar yang berbeda-beda. Konsumen sendiri terbagi dari yang sekedar membeli dan ada yang aware soal kesehatan dan konsep lingkungan no plastic atau waste-nya seperti apa," kata Maya.
Di tengah pandemi COVID-19 yang tak kunjung reda, ternyata kegiatan pertanian malah naik daun. Bagi masyarakat di pedesaan, pertanian memang bukan kegiatan yang asing.
Bagaimana dengan masyarakat kota? Ternyata pertanian kota (urban farming) pun bisa dilakukan.
Urban farming kini menjadi gaya hidup masyarakat perkotaan di tengah pandemi COVID-19. Dan banyak orang yang menjadikan kegiatan bercocok tanam menjadi hiburan sekaligus hobi, bahkan bisnis. Bercocok tanam tidak melulu dari pola konvensional yang membutuhkan lahan yang luas. Akan tetapi, dapat juga adaptif dengan kehidupan masyarakat perkotaan.
Salah satu penerapan pertanian urban yang dapat dilakukan pada pekarangan rumah, yakni hidroponik. Sistem tanaman hidroponik adalah salah satu cara bertanam menggunakan media air.
Lantaran tanpa tanah tentu saja formulasi nutrisi cair yang dipilih harus terjamin. Air harus mengandung campuran hara atau nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman. Tanaman yang biasanya ditanam secara hidroponik adalah tanaman hortikultura berupa sayur-sayuran dan buah-buahan.
Cara bertanam hidroponik salah satunya bisa dengan memanfaatkan pipa air. Untuk menjamin sirkulasi nutrisi, dalam rangkaian pipa air disiapkan alat pompa dengan kapasitas tertentu. Selain nutrisi, hal yang perlu diperhatikan dalam membuat hidroponik adalah suhu dan intensitas cahaya.
Pemerhati horti, Ani Andayani mengatakan bahwa tren pertanian urban apabila terus dikembangkan setidaknya dapat mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri skala rumah tangga.
"Di tengah pandemi ini, sayur sehat akan membantu urusan keluarga," ujar Ani yang sempat menjabat Staf Ahli Menteri Pertanian bidang Infrastruktur Pertanian pada periode 2015 - 2018 itu.
Ia pun memanfaatkan rooftop atau bagian lantai atas rumah sebagai lahan bertanam untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga yang berkualitas.
"Apabila dipahami secara benar mengerjakan hidroponik di rumah sendiri ibu-ibu pun bisa, ini merupakan cikal belakang ketahanan pangan rumah tangga," ujar Ani.
Lulusan S2 dan S3 Jepang bidang ilmu Plant Nutrition Specialist itu pun sudah memanen beberapa kali tanaman sayuran sejak September 2020, mulai dari sawi, tomat, cabai, hingga baby buncis.
"Semua saya konsumsi untuk keluarga sendiri, kalau lebih saya bagikan tetangga, kadang buat oleh-oleh teman datang," ucapnya.
Pada dasarnya, nutrisi hidroponik merupakan zat-zat yang dibutuhkan oleh tanaman hidroponik agar dapat tumbuh dengan baik dengan menambahkan unsur hara. Normalnya, unsur hara seperti nitrogen bisa didapat dari tanah. Namun karena media tanam tumbuhan hidroponik tidak menggunakan tanah, maka diperlukan nutrisi khusus.
"Di dalam negeri, saat ini tidak sulit mencari hara, itu membuat saya happy, hara yang dibutuhkan untuk hidroponik itu sudah available di dalam negeri," kata Ani yang kini bermukim di Yogyakarta.
Beberapa zat penting yang perlu dimiliki nutrisi hidroponik selain nitrogen adalah fosfat, kalium, kalsium, sulfur, hingga magnesium. Salah satu kemudahan dari berkebun hidroponik adalah segala parameter untuk budidaya tanaman lebih mudah dikelola dan dikendalikan.
"Kalau tanah harus dianalisis dulu tanahnya, kandungan hara yang tersedia apa saja kemudian memberikan kandungan sesuai dengan kebutuhan tanaman," paparnya.
Hal senada juga disampaikan salah satu petani hidroponik Slamet Riyanto. Menanam dengan media tanah membutuhkan pengetahuan lebih untuk mengukur hara yang dibutuhkan tanaman.
"Kalau media tanah 'gambling' saja. Hidroponik bisa ukur hara-nya, setiap tanaman ada ukuran unsur hara," ujar Yanto demikian ia biasa disapa.
Pria yang sudah masuk dalam masa pensiun sejak pertengahan tahun 2020 itu kini fokus menekuni tanaman hidroponik sebagai tambahan penghasilan. Dalam berhidroponik, dia tidak sendirian. Ia pun tergabung dalam Maharaja Urban Farming (MUF), komunitas hidroponik dilingkungan rumahnya.
Baginya komunitas itu adalah wahana untuk share ilmu tentang bercocok tanam sayur dan buah baik untuk pemula atau sudah skala bisnis. Selain itu MUF juga memberikan kesempatan kepada anggota untuk bisa memasarkan hasil produksinya. Ia pun tidak segan-segan membagikan pengetahuannya kepada siapa saja. Ilmu hidroponik yang diperoleh pun didapat dari pertemanan hingga sosial media.
"Saya lulusan Fisip (fakultas ilmu politik), tapi teman saya banyak juga dari IPB (Institut Pertanian Bogor), saya juga belajar dari internet," ucapnya.
Ia mengaku telah memiliki 200 lubang tanam untuk berbagai macam sayuran, seperti sawi, lettuce, dan cabai di pekarangan rumahnya. Dari lubang tanam itu, kesempatan menambah penghasilan pun dimungkinkan dari menjual hasil panen tanaman. "Kalau panen bareng, di broadcast hari ini besoknya habis. Kadang ada yang langsung borong semuanya," ucapnya.
Menurutnya, tanaman hidroponik memiliki keunggulan seperti unsur nutrisi lebih tinggi, higienis, lebih cepat panen dan tanpa mengandung pestisida. Hal itu yang membuat tanaman hidroponik diminati masyarakat. Ia memaparkan, lahan 1 meter persegi dengan instalasi hidroponik bertingkat bisa menghasilkan sekitar 50 lubang tanam.
Terdapat beberapa jenis sayuran daun paling diminati untuk hidroponik, seperti sawi, bayam, kangkung, selada, hingga kemangi. Disamping aspek bisnis, aspek ekonomi juga dapat dirasakan dalam rumah tangga bagi penggiat pertanian urban, yakni pemangkasan biaya konsumsi rumah tangga terhadap pangan segar.
Dengan sederet keuntungan yang diperoleh dari menanam di rumah, sepertinya tidak ada alasan lagi bagi penduduk perkotaan untuk tidak mulai menanam. Dengan begitu, setidaknya dapat menghemat anggaran pengeluaran kebutuhan pangan rumah tangga.
Lokasi pertanian kota Trasa Balong yang berada di bawah kolong jembatan layang Cipinang
Matahari senja bersinar cukup hangat di tengah bisingnya jalanan ibu kota ketika Murtani (58) sibuk menyirami tanaman sayur-sayuran di lokasi yang tak biasa untuk bercocok tanam itu. Trasa Balong (Sentra Sayur Bawah Kolong) begitulah warga RW 08 Cipinang, Jakarta Timur, menyebut lahan kosong di bawah kolong jembatan layang yang kini digunakan sebagai tempat bercocok tanam yang lazim disebut sebagai urban farming atau pertanian kota.
Beragam jenis tanaman sayur ditanam di lahan dengan luas kurang lebih 100 meter persegi, seperti kangkung, kol, brokoli, hingga cabai. Bahkan di sini juga ada kolam sebagai tempat budidaya ikan mujair. Beratapkan beton jalan tebal sebagai penghubung antara kawasan Cipinang menuju Jatinegara, Murtani sehari-harinya bekerja merawat tanaman mulai dari pagi saat fajar menyingsing dan juga ketika sore hari menjelang.
Dalam merawat tanaman di Trasa Balong, Murtani mengaku juga mendapatkan bantuan dari personel Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) yang juga dikerahkan langsung oleh pihak kelurahan Cipinang.
Pria yang akrab disapa Pak Tani itu mengisahkan bahwa kehadiran Trasa Balong merupakan atas inisiatif dari warga di lingkungan RW 08 yang ingin mengubah lahan kosong di bawah jembatan layang Cipinang yang saat itu baru selesai dikerjakan.
"Kita manfaatkan aja kalau misalnya lahan ini kosong nanti bisa dimanfaatkan orang lain untuk bangun gubuk segala macam. Kalau ini kan lebih terawat," kata Murtani.
Murtani mengungkapkan bahwa seluruh biaya perawatan tanaman seperti membeli pupuk, insektisida, hingga bibit semuanya merupakan hasil swadaya masyarakat tanpa mengandalkan biaya dari pemerintah kota. Konsep dari warga untuk warga benar-benar diterapkan dalam tata kelola Trasa Balong. Seluruh hasil panen tanaman sayur yang ditanam di lahan ini seluruhnya diberikan kepada warga dan mereka yang membutuhkan.
"Hasilnya buat warga, PKK (pemberdayaan kesejahteraan keluarga) Kelurahan, Jumantik (juru pemantau jentik), dan lansia. Hasilnya tidak dijual karena sudah kesepakatan kita untuk bantu warga," ujar Murtani.
Dalam sekali panen tanaman sayur kangkung misalnya, dia mengatakan hasilnya bisa didapatkan kurang lebih sebanyak 30 kg yang seluruhnya dibagikan kepada warga dan mereka yang membutuhkan. Tentu saja swadaya ini sedikitnya meringankan beban pengeluaran masyarakat yang tak perlu lagi mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli sayuran di pasar.
Meskipun Murtani mengatakan bahwa dirinya tidak menerima bayaran sepeserpun atas jasanya dalam merawat tanaman di kolong jembatan layang ini. Kecintaannya terhadap tanaman dan juga keinginan kuat untuk membantu sesama yang membutuhkan menjadi pemuas batinnya diluar urusan materi. Berkat jasanya pula yang membuat pemandangan di bawah kolong jembatan layang yang biasanya tak terurus menjadi lebih indah dengan adanya Trasa Balong. Tidak sedikit masyarakat sekitar atau pengendara melintas yang menjadikannya sebagai objek untuk berfoto dengan latar pemandangan hijaunya tanaman.
"Kalau main aja enggak apa-apa, asal jangan sampai merusak," ujar Murtani.
Dalam beberapa kesempatan, Murtani mengatakan bahwa Trasa Balong juga pernah mendapatkan penghargaan saat mengikuti lomba pertanian kota di tingkat Provinsi DKI Jakarta. Banyak manfaat yang bisa dirasakan dari pertanian kota yang tak hanya sekadar mengubah lahan kosong untuk ditanami aneka macam tumbuhan seperti sayur dan buah-buahan.
Berlokasi tak jauh dari Trasa Balong, sebuah taman hijau berdiri indah berdampingan dengan rel kereta api. Warga RW 08 Cipinang Lontar menyebutnya sebagai Samrel Garden karena lokasinya yang berada di samping rel kereta api. Eflin Herman merupakan inisiator dari berdirinya Samrel Garden pada bulan Mei 2020 silam. Berawal dari kepeduliannya terhadap lingkungan di tempat tinggalnya yang saat itu tidak teratur karena banyak warga yang membuang sampah di lahan kosong milik PT KAI yang tak jauh dari rumahnya.
Kereta rel listrik melintas di samping Samrel Garden yang merupakan lokasi pertanian kota di RW 08 Cipinang, Jakarta Timur.
Eflin menceritakan bahwa saat itu kondisi sampah dan sisa puing-puing yang dibuang warga di lokasi tersebut sangat memprihatikan dan juga menimbulkan pemandangan kumuh yang tak sedap dipandang. Setelah berkordinasi dengan pihak kelurahan, Eflin kemudian meminta izin untuk mengelola lahan kosong itu untuk dijadikan penghijauan dengan ditanami aneka macam sayur dan buah.
Pihak kelurahan pun menyetujui ide tersebut dan kemudian berkomunikasi dengan pihak PT KAI mengenai pemanfaatan lahan kosong untuk penghijauan tersebut. Setelah izin diberikan, Eflin mengatakan bahwa untuk membersihkan sampah dan puing-puing di lahan tersebut menjadi pekerjaan yang sangat melelahkan.
"Selama dua setengah bulan PPSU itu kerja di sini membersihkan dengan menurunkan sebanyak 12 personel," tutur Eflin.
Setelah lahan dibersihkan dari sampah-sampah dan sisa puing yang menggunung, barulah ia mulai menanaminya dengan aneka jenis sayur mayur dan juga buah. Hingga kini Samrel Garden memiliki sekitar 50 jenis tanaman buah dan sayur seperti markisa, cabai, pare, mentimun, singkong dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahkan di sini juga ada kolam budidaya ikan lele, mujair, nila dan juga koi yang semuanya dirawat dengan baik oleh Eflin dan juga petugas PPSU yang ikut membantu.
Eflin menjelaskan bahwa tanah di Samrel Garden ini terbilang cukup bagus untuk ditanami dengan berbagai macam sayuran. Kondisi itu sedikit berbeda dibandingkan dengan tanah di Trasa Balong yang tidak semua jenis sayuran dapat ditanam. Meski demikian, dia tidak bisa asal menanam tanaman. Hal ini berdasarkan permintaan langsung dari PT KAI yang mengirimkan beberapa persyaratan dalam memanfaatkan lahan kosong itu sebagai sarana penghijauan.
"Mereka minta yang penting tanaman tinggi seperti nangka, mangga jangan dekat gardu. Kalau yang semusim boleh, kayak singkong dan tidak boleh dekat gardu mereka," kata wanita asal Padang itu.
Eflin juga sangat memperhatikan lokasi tanaman yang ditanam di Samrel Garden agar tidak membahayakan perjalanan kereta api yang melintas, baik commuter line jurusan Bekasi - Jakarta hingga kereta jarak jauh. Dia mengatakan saat ini warga sudah meninggalkan kebiasaan lama yang membuang sampah sembarangan semenjak Samrel Garden berdiri. Hal itu juga tak lepas dari dukungan pihak RT, RW dan juga keluruhan yang rutin memberikan pendampingan kepada warga untuk menjaga lingkungan tetap bersih.
Dalam sekali panennya, Samrel Garden mampu menghasilkan puluhan kilogram sayur mayur yang hasilnya cukup untuk dibagikan kepada 40 orang warga dan mereka yang membutuhkan.
"Ada yang bilang kenapa enggak dijual aja. Saya bilang maaf enggak deh. Kalau ada tim PKK yang ke sini kasih pupuk silahkan, tapi saya tidak minta uang," ujar Eflin yang juga harus merogoh kocek pribadi untuk biaya perawatan tanaman sebesar Rp500 ribu per bulan.
Karena pemandangannya yang asri dan hijau, lokasi ini juga sering dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai tempat berkumpul mengadakan acara seperti ulang tahun dan reuni.
Agus Rochimat selaku Kepala Seksi Ketahanan Pangan dan Pertanian Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) Jakarta Timur menyebut bahwa tren pertanian kota di wilayahnya meningkat. Meski belum ada data pasti mengenai jumlah pemanfaatan lahan kosong sebagai pertanian kota, namun inisiatif yang dilakukan warga tersebut menjadi salah satu solusi di tengah masa sulit akibat pandemi COVID-19 dalam setahun terakhir ini.
Kehadiran pertanian kota yang kebanyakan merupakan hasil swadaya masyarakat membuktikan bahwa lahan sempit di tengah perkotaan pun dapat disulap menjadi ladang tanaman yang hasilnya bisa dimanfaatkan sendiri oleh warga.
"Intinya kegiatan urban farming ini kalau dikelola dengan profesional itu menguntungkan bagi warga sendiri," kata Agus Rochimat.
Menurut Agus, hasil panen dari tanaman yang ditanam di lahan pertanian kota membuat warga tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli sayuran dan buah-buahan.
"Mereka kasih gratis ke warga sekitar sehingga itu juga mengurangi biaya atau beban pengeluaran rumah tangga," jelasnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa pihaknya di Sudin KPKP Jakarta Timur juga memberikan pendampingan kepada warga yang ingin mendalami kegiatan pertanian kota melalui pelatihan yang digelar secara daring mengingat masih dalam suasana pandemi.
"Kita juga lakukan terus bimbingan teknis melalui Zoom terkait urban farming dengan adanya teknologi lebih efisien," ujarnya.
Dengan adanya metode tanam seperti pertanian kota, lahan yang sempit pun bisa diubah menjadi ladang tanaman yang hasilnya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Setidaknya warga RW 08 Cipinang Jakarta Timur sudah membuktikan hal tersebut. Tidak hanya lingkungan yang menjadi lebih hijau dan indah, namun dampaknya juga dapat mengubah kebiasaan masyarakat untuk lebih sadar dalam menjaga kebersihan.
Anggota Karang Taruna RW10 Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan memanen sayuran kangkung di lahan pertanian terbatas perkotaan atau "urban farming", Jumat (26/3/2021).ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Jarum jam baru menunjukkan pukul 09.00 pagi, namun Arif Biantono, pemuda Karang Taruna RW10, Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, sudah sibuk merawat sayuran hidroponiknya. Tangan kanan dan kirinya cekatan mengganti nutrisi di tandon air agar sayuran yang baru ditanam, tumbuh subur.
Lokasi pertanian perkotaan atau urban farming itu berada di lantai empat, salah satu rumah toko di Jalan W, RT4/RW10, Kelurahan Kebon Baru.Di roof top itu, total ada 925 lubang tanam untuk sayuran yang dibagi menjadi dua vertical farming atau pipa bertingkat dengan media air atau hidroponik. Satu bagian pipa bertingkat merupakan sayuran yang baru ditanam dan satunya lagi merupakan susunan pipa berisi sayuran siap panen. Ada beberapa jenis sayuran yang digarap oleh pemuda berusia 30 tahun itu di antaranya kangkung, bayam dan pokcoy.
Beberapa saat kemudian, pria yang akrab disapa Jimmy itu kemudian beranjak dari tempat duduknya, dan bersiap untuk memanen sayuran kangkung, dibantu dua rekannya yang juga dari karang taruna. Sedikitnya, sekitar tiga kilogram kangkung dipanen dari lahan pertanian minimalis milik warga setempat yakni Hartono yang tinggal di seberang rumah toko itu.
Hartono menuturkan ia bersama anaknya mulai melakukan urban farming mulai 2020 dengan menggandeng Karang Taruna itu. Dari awalnya hanya 300 lubang tanam, kini mendekati 1.000 lubang tanam yang dimiliki. Hasil dari pertanian itu tidak hanya untuk konsumsi pribadi, tapi juga untuk tetangga, warung sekitar hingga kerja sama dengan karang taruna sehingga memberikan nilai ekonomi.
Meski dikelola kecil-kecilan, pensiunan PNS DKI itu mengaku dalam sebulan rata-rata ia memperoleh sekitar Rp300 ribu hingga Rp800 ribu dengan waktu panen dua hingga tiga kali untuk tiga sayuran yakni bayam, pokcoy dan kangkung.
Keterlibatan warga dalam urban farming tidak terlepas dari peran Kelompok Tani New Garden Hydro, Karang Taruna Kebon Baru. Ketua Kelompok Tani New Garden Hydro La Ode Hardian menuturkan pertanian perkotaan mulai digagas sejak pertengahan 2019 setelah mendapatkan pelatihan dari Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) Jakarta Selatan. Ia kemudian mengajak warga dan anak-anak muda setempat untuk ikut mengembangkan urban farming. Satu hal yang ditekankan adalah pemberdayaan ketahanan pangan secara mandiri atau bahkan jeli memanfaatkan peluang ekonomi.
Mulanya tak mudah merangkul warga untuk mau bertani karena terbatasnya lahan, namun berkat pendekatan yang intensif, mereka pun kini kian bersemangat.Dari 14 RW di Kelurahan Kebon Baru, sejumlah warga di sembilan RW sudah menerapkan urban farming. Mereka membuat instalasi pribadi di rumah mereka masing-masing secara swadaya, seperti yang dilakukan Hartono, dan ada pula dibuat di sekretariat karang tarunanya. Sarjana pertanian lulusan Universitas Haluoleo, Kendari itu mencatat awalnya kelompok tani itu hanya ada 72 lubang tanam dalam pipa bertingkat. Kini, jumlahnya sudah meningkat mencapai total 4.211 lubang tanam.
Kelompok tani ini juga mengelola kebun edukasi sekaligus pusat pengembangan urban farming memanfaatkan lahan kosong milik warga yang berada di Gang D3 yang berada di seberang Masjid Jami Al Husni, Jalan Kebon Baru Utara melewati Gang R2, RT9/RW4.
Ketua Kelompok Tani New Garden Hydro La Ode Hardian menunjukkan hasil pertanian memanfaatkan lahan terbatas perkotaan atau "urban farming" yang sudah menembus pasar modern di Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (24/3/2021). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Siapa menyangka di gang sempit berukuran lebar sekitar satu meter itu dapat dikatakan sebagai salah satu percontohan urban farming di Jakarta Selatan. Di lahan seluas sekitar 9x8 meter persegi, kelompok tani itu mengembangkan tiga jenis sayuran yakni bayam, kangkung dan pokcoy karena menyesuaikan permintaan yang cukup tinggi.
Di kebun edukasi itu, mereka melakukan penyemaian yakni benih sayuran ditabur pada media busa. Tiga hari kemudian, benih tersebut pecah hingga tumbuh daun dan akar. Setelah itu, benih kemudian dipotong bersama busanya menjadi beberapa bagian kecil, lalu dipindahkan ke lubang tanaman di pipa vertikal. Agar tanaman lebih kuat dari serangan hama, pemuda berusia 31 tahun itu menyemprotkan pestisida nabati dari endapan rendaman bawang putih. Dalam waktu kurang dari 30 hari sejak penyemaian, sayur pun siap panen.
Urban farming yang dikelola kelompok tani anak-anak muda itu nampaknya bukan isapan jempol. Melihat peluang yang besar didukung keseriusan warga, hasil produksi sayuran kelompok tani itu, tak tanggung-tanggung sudah merambah Gelael, pasar swalayan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Dalam satu minggu, mereka mampu mengirim dua kali yakni setiap Rabu dan Sabtu, dan langsung dikirim ke pasar swalayan yang dilakukan sejak Juni 2020. Untuk menembus pasar modern, pihaknya juga melalui proses di antaranya pemeriksaan laboratorium dari pihak swalayan untuk memastikan tidak ada kandungan berbahaya. Satu kali pengiriman rata-rata mencapai 7,5 kilogram untuk tiga jenis sayuran yakni bayam, kangkung dan pokcoy, atau masing-masing sebanyak 2,5 kilogram.
Kelompok tani juga mengemas produk itu dengan nama label “New Garden Hydro”. Sayuran dikemas masing-masing 10 bungkus untuk tiga jenis sayuran itu dengan berat 250 gram. Hardian menjelaskan satu bungkus sayuran itu dihargai Rp7.500 per 250 gram. Dalam satu bulan, kelompok tani itu mampu memanen bersih rata-rata mencapai 60 kilogram untuk tiga jenis sayuran.
Hardian menuturkan pendapatan bersih yang diraup kelompok tani itu mencapai rata-rata sekitar Rp2 juta per bulan. Pendapatan tersebut digunakan untuk biaya modal, termasuk 10 persen di antaranya masuk ke kas kelompok tani untuk biaya operasional. Hasil dari pendapatan itu juga digunakan untuk menambah kapasitas lubang tanam.
Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Perikanan (KPKP) DKI Jakarta mencatat kebutuhan sayuran di ibu kota per hari mencapai sekitar 1.500 ton per hari. Pelaksana Tugas Kepala Dinas KPKP DKI Suharini Eliawati mengatakan potensi tersebut menjadi peluang besar bagi kelompok tani di Jakarta untuk memetik nilai ekonomi.
Meski lahan terbatas, namun sistem pertanian perkotaan atau urban farming menjadi solusi untuk merebut pasar, selain menjaga ketahanan pangan secara mandiri. Apalagi saat pandemi COVID, urban farming bisa menjadi alternatif usaha.
Dinas KPKP DKI mencatat urban farming dinilai akan menggerakkan potensi lini usaha baik hulu dan hilir di antaranya penyediaan sarana produksi pertanian, jasa, dan budidaya penanaman termasuk kebutuhan bibit. Sedangkan di hilir, di antaranya pemasaran, pengolahan hingga jasa pengiriman.
Pasar kini sudah membuka ruang bagi kelompok tani skala kecil dalam menyerap produksi urban farming. Kini, bola ada di tangan masyarakat termasuk muda mudi, agar pertanian perkotaan ini bisa terus dikelola secara berkelanjutan. Bukan tidak mungkin, usaha mikro kecil ini bisa menguasai pangsa pasar lebih besar.