Horor adalah salah satu genre film yang populer di Indonesia. Ditandai dengan munculnya Suzzanna sebagai “Ratu Horor Indonesia”, genre ini memiliki sejarah panjang dan lika-liku di Tanah Air.
Awal mula Suzanna dalam perfilman
Suzzanna Martha Frederika van Osch atau yang akrab disapa Suzzanna memulai perjalanan dalam dunia perfilman melalui film “Asrama Dara” (1958) di mana dia memenangkan kontes "Tiga Dara" dan diaudisi oleh Usmar Ismail.
Baca selengkapnyaAwal mula Suzanna dalam perfilman
“Dari kecil Suzzanna ingin jadi guru taman kanak-kanak.. Sebelum jadi artis,” kata Clift Sangra, seorang aktor dan mantan suami Ratu Horor Indonesia, Suzzanna saat berbincang kepada ANTARA pada Kamis (18/10).
Clift menceritakan awal mula Suzzanna menjejakkan langkah dalam dunia perfilman Indonesia.
Suzzanna Martha Frederika van Osch atau yang akrab disapa Suzzanna memulai perjalanan dalam dunia perfilman melalui film “Asrama Dara” (1958) di mana dia memenangkan kontes "Tiga Dara" dan diaudisi oleh Usmar Ismail.
Lewat “Asrama Dara”, dia sukses meraih sejumlah penghargaan di antaranya “The Best Child Actress (Festival Film Asia, Tokyo, 1960)”, dan “Golden Harvest Award”. Dia juga meraih gelar Aktris Terpopuler se-Asia dalam Festival Film Asia Pasifik di Seoul tahun 1972.
Sejak itu, sudah lebih dari belasan film yang dibintangi oleh Suzzanna dengan tingkat popularitas yang tinggi pula.
Suzzanna yang lahir pada 13 Oktober 1942 itu menikah dengan aktor Dicky Suprapto dan dikaruniai dua anak, yakni Ari Adrianus dan Kiki Maria.
Sebagai seorang bintang, kehidupan Suzzanna tak selalu mulus, sang putra Ari Adrianus meninggal dunia dan membuat Suzzanna patah hati.
Akibat kesedihannya yang mendalam karena kepergian Ari, dia sempat vakum dari dunia perfilman selama empat tahun dari tahun 1977 hingga tahun 1981. Kepergian sang putra yang dikubur di TPU Giriloyo, Magelang meremukkan hati.
Beberapa waktu setelah itu, Suzzanna lambat laun pulih dan kembali ke industri perfilman.
“Namun hal itu juga terdesak karena kondisi finansial yang carut marut, Suzzanna harus melunasi sejumlah utang.”
Dari keterangan Clift, utang tersebut muncul karena digadaikan oleh suami pertama dari Suzzanna dan sudah akan dilelang oleh pihak pengadilan. Ketika sudah terdesak, kesempatan datang menghampiri Suzzanna. Ia ditawari untuk mengisi peran dalam tiga film sekaligus, yaitu film “Ratu Ilmu Hitam”, “Sundel Bolong” dan “Sangkuriang”.
“Tiba-tiba ada tawaran sekaligus tiga film dari Rapi Film dengan honor Rp100 juta dibayar cash pada saat itu yang saya tahu pada saat itu,” jelas Clift.
Clift menambahkan bahwa penawaran tersebut sangat besar dibandingkan pemain-pemain besar lainnya pada saat itu yang hanya berkisar di Rp15 juta.
“Akhirnya Suzzanna menerima tawaran tersebut, memang saat itu membutuhkan uang untuk membayar utang di Bank Pacific,” kata Clift.
Dengan bayaran film tersebut Suzzanna berhasil melunasi utang di bank dan menyelamatkan rumah yang nyaris dilelang.
Perjuangan demi perjuangan telah dilewati Suzzanna bersama-sama dengan Clift Sangra.
Clift mengenang bagaimana mereka pertama kali berjumpa film “Sangkuriang”.
Ia mengatakan bahwa hubungan romansa dengan Suzzanna bukan karena cinta lokasi atau yang sering dikenal dengan “cinlok”.
“Itu terjadinya bukan cinta lokasi ya, tapi chemistry (kecocokan hubungan) aja, jadi kita syuting itu kurang lebih itu saya lupa ya, sekitar tiga bulan atau tiga bulan lebih,” kata dia menjelaskan.
Setelah berjalan tiga bulan menjalani proses syuting bersama, ada satu adegan yang mengharuskan mereka berdua untuk berciuman. Ketika usai adegan tersebut, ia mengungkapkan kalau ia merasakan sesuatu yang berbeda.
“Nah, setelah terjadi adegan ciuman itu kayak ada timbul perasaan aja, di hati saya, di hatinya Suzzanna juga seperti itu, lalu saling bertanya ‘merasakan apa?’, dia bilang ada pokoknya ada getaran lah,” ungkapnya.
Perasaan dari keduanya tumbuh. Saat itulah, Clift mengaku jika keduanya mulai saling dekat. Kedekatan tersebut terus bertumbuh sampai ke dalam jenjang pernikahan pada tahun 1983.
Suami sekaligus lawan main Suzzanna di beberapa film horor itulah yang akhirnya menemani sang “Ratu Horor Indonesia” hingga akhir hayatnya.
Seolah sudah garis takdir, kehidupan hingga kematian Suzzanna diliputi misteri. Suzzanna meninggal pada tanggal 15 Oktober 2008 karena disebut-sebut akibat penyakit yang sudah lama dideritanya, yakni diabetes.
Pemakamannya digelar secara tertutup menyisakan banyak tanda tanya. Ia dimakamkan di Magelang, Jawa Tengah. Satu liang lahat dengan sang putra dan kakaknya, Irene Beatrix van Osch.
Suzanna dan praktik hidup mistis
Konon, ada sederet ritual yang wajib ia jalani sebelum berakting yang membantu menciptakan karakter misterius dan menyeramkan dalam film-filmnya. Salah satu ritualnya adalah melakukan semadi di tempat-tempat yang dianggap sakral.
Baca selengkapnyaSuzanna dan praktik hidup mistis
Sebagai seorang aktris spesialis film horor, Suzzanna senantiasa sukses melebur menjadi satu dengan setiap karakter yang dia perankan.
Konon, ada sederet ritual yang wajib ia jalani sebelum berakting yang membantu menciptakan karakter misterius dan menyeramkan dalam film-filmnya. Salah satu ritualnya adalah melakukan semadi di tempat-tempat yang dianggap sakral.
“Sering semadi, berpuasa di tempat-tempat yang sakral,” demikian yang disampaikan oleh Clift Sangra, suami Suzzana kepada ANTARA, Kamis (18/10).
Tempat-tempat sakral yang dimaksud seperti Umbul Jumprit di Temanggung, Jawa Tengah, kemudian Suzzanna juga datang bersemedi di Gua Semar di Dieng, Jawa Tengah dan Gunung Bromo di Probolinggo, Jawa Timur serta banyak lokasi lainnya.
Selain itu Suzzanna juga melakukan tirakat, yaitu serangkaian pantangan-pantangan bahkan melakukan hal yang pantang dilakukan orang-orang pada umumnya seperti memakan melati.
“Dengan tujuan supaya menjiwai peran yang dilakukan. Jadi ada bisikan untuk melakukan hal-hal seperti itu,” ucap Clift.
Suzzanna sering memakan bunga melati. Porsinya bisa sampai satu piring kecil.
“Sebelum syuting makan melati, sesudah syuting makan melati dan sehari-hari juga makan melati. Jadi udah kebiasaan aja,” tuturnya.
Clift juga mengungkapkan bahwa semasa hidup, sang istri mendapat “bisikan” untuk melakukan ritual mistis tersebut.
Tujuannya, agar ketika Suzzanna memainkan peran, penonton tidak lagi melihat Suzzanna melainkan melihat sosok karakter yang diperankan.
Jika ditanya oleh sang suami, Suzzanna akan menjawab, “Ssst, diem nanti juga kamu tahu sendiri. Jadi kamu mengalami sendiri juga,” ucap Suzzanna kepada Clift saat itu.
Selain itu, Suzzanna juga dikenal memiliki wajah yang awet muda. Konon, itu didapat dari ritual makan bunga melati. Namun ketika dikonfirmasi, Clift menyatakan bahwa hal tersebut mungkin yang dilihat masyarakat saja, benar atau tidaknya keterkaitan tersebut, ia tidak tahu secara pasti.
“Nyatanya almarhum memang awet muda, benar atau tidaknya karena melati, saya tidak tahu,” katanya.
Sebagai seorang suami, Clift mengaku bangga bahwa Suzzanna dikenal sebagai sosok yang memiliki citra positif sedemikian rupa.
“Sebagai suaminya juga saya bangga, karena tidak mudah ya untuk mendapatkan julukan seperti itu, keluarga juga ikut bangga,” pungkasnya.
Kebanggaan tersebut tidak pernah sirna meskipun istri yang dicintainya telah pergi. Sebelum Suzzanna meninggal, Clift pun menceritakan bagaimana Suzzanna berwasiat agar tidak ditonton oleh banyak orang ketika ia tiada.
“Ya kalau meninggal tidak mau dipertontonkan ke orang banyak, karena tetap mau dikenang sebagai Suzzanna yang cantik bukan terlihat pucat dan kaku,” tutur Clift.
Clift mengkonfirmasi jika kematian mendiang istrinya itu disebabkan oleh penyakit diabetes yang dideritanya selama puluhan tahun. Terlebih lagi, penyakitnya diperparah dengan satu kebiasaannya sebelum tidur.
“Senang sekali minum susu sebelum tidur. Itu juga memperparah keadaannya,” jelas Clift.
Film horor pertama Suzzanna
Kelahiran “Ratu Horor Indonesia”
Debut film horor Suzzanna adalah “Beranak dalam Kubur” (1971) besutan sutradara sekaligus aktor Awaludin. Dalam film yang diadaptasi dari komik berjudul “Tangisan di Malam Kabut” karya Ganes TH itu, Suzzanna memerankan Lila.
Baca selengkapnyaKelahiran “Ratu Horor Indonesia”
Debut film horor Suzzanna adalah “Beranak dalam Kubur” (1971) besutan sutradara sekaligus aktor Awaludin. Dalam film yang diadaptasi dari komik berjudul “Tangisan di Malam Kabut” karya Ganes TH itu, Suzzanna memerankan Lila.
“Film horor pertama dari almarhumah itu ‘Beranak dalam Kubur’, itu rilis tahun 1971,” kata Clift.
Kehadiran film itu menjadi penanda lahirnya kaitan Suzzanna dengan perfilman horor Indonesia. Saking fenomenalnya, bahkan film “Beranak dalam Kubur” diproduksi ulang dan rilis tahun 2023 dengan judul “Bernapas dalam Kubur”. Perannya di film terbaru itu dimainkan oleh Luna Maya.
Selain dari film itu, ada film "Ratu Ilmu Hitam" yang juga dibintangi oleh Suzzanna kemudian diadaptasi kembali pada tahun 2019 dengan judul yang sama. “Ratu Ilmu Hitam” versi terbaru itu ditangani oleh Kimo Stamboel sebagai sutradara dan naskah ditulis oleh Joko Anwar.
Di versi yang baru, tokoh Murni yang dulunya diperankan oleh Suzzanna diambil alih oleh Putri Ayudya, yang juga berperan dalam film horor "Qorin". Film tersebut berhasil meraih penghargaan internasional yaitu Audience Award For Best Motion Picture di Sitges Festival, Spanyol pada tahun 2023 lalu.
Jika ditanya mengenai alasan mengapa Suzzanna turun ke dalam dunia perfilman horor, Clift mengatakan bahwa jika pada saat itu film dengan genre horor sedang populer-populernya.
“Saat itu genre film horor memang sedang saatnya (populer),” ucapnya.
Selanjutnya, ada tiga film yang menjadikan Suzzanna meraih puncak popularitas di dunia perfilman horor, yaitu “Sundel Bolong”, “Nyi Blorong” dan “Sangkuriang”.
“Karena tiga film itu ia kemudian booming,” kata Clift.
Kemudian Suzzanna lanjut memainkan beberapa film lainnya, seperti “Perkawinan Nyi Blorong”, “Malam Satu Suro”, dan “Ajian Ratu Laut Kidul”.
Clift juga mengatakan kalau bekerja sama dengan Suzzanna, semuanya harus sempurna dan tidak boleh asal-asalan.
Bagi Suzzanna, membuat film horor tidak boleh sembarangan. Film itu harus dibuat sungguh-sungguh karena orang sudah rela menonton dan mengeluarkan uang. Bahkan, skenario film harus direvisi dari tiga sampai empat kali di matanya
“Film dibuat sungguh-sungguh, jadi kalau skenarionya gak berkenan di hatinya harus direvisi, bisa tiga sampai empat kali revisi skenario, harus berkenan dan masuk logika,” ujar Clift.
Setelah memainkan banyaknya film horor, pada tahun 80-an masyarakat akhirnya mulai menyematkan julukan “Ratu Horor Indonesia” kepadanya.
Clift berpesan kepada generasi aktor dan aktris baru yang terjun dalam perfilman khususnya film horor bahwa mereka harus menekuni pekerjaan itu dengan sungguh-sungguh dan profesional.
“Ya buat kalian ditekuni sungguh-sungguh, banyak belajar dan profesional,” pesan Clift kepada generasi aktor dan aktris baru di dunia perfilman horor.
Aktris yang memerankan Suzzanna
Aktris sekaligus pengajar di SAE Institut Jakarta, Putri Ayudya mendapat kesempatan untuk memerankan Suzzanna dalam film bertajuk “Ratu Ilmu Hitam”. Putri menyebut, ia tidak ingin melupakan semangat berakting dari Suzzanna dalam membawakan karakter Murni di film tersebut.
Baca selengkapnyaAktris yang memerankan Suzzanna
Aktris sekaligus pengajar di SAE Institut Jakarta, Putri Ayudya mendapat kesempatan untuk memerankan Suzzanna dalam film bertajuk “Ratu Ilmu Hitam”. Putri menyebut, ia tidak ingin melupakan semangat berakting dari Suzzanna dalam membawakan karakter Murni di film tersebut.
“Aku tidak mau ada di dalam lingkaran itu dulu, pengen mengeksplor karakter Murni-nya tapi juga ngebawa spirit-nya Suzzanna,” kata Putri Ayudya kepada ANTARA pada Jumat (20/10).
Dalam produksi ulang film itu, karakter Murni dipercayakan pada Putri Ayudya yang memiliki segudang pengalaman di sinema horor, seperti dalam film “Kafir: Bersekutu dengan Setan” (2018) dan “Pamali” (2022).
Suzzanna memerankan karakter Murni di film "Ratu Ilmu Hitam" yang dirilis pada tahun 1981, seorang korban fitnah mantan kekasihnya yang kembali untuk membalaskan dendam. Meskipun latar belakang karakter Murni pada film tersebut berbeda, tema santet tetap mendominasi cerita.
Bahkan, penulis skenario Joko Anwar hingga sang sutradara Kimo Stamboel sampai berkonsultasi dengan paranormal sungguhan untuk menghadirkan konsep santet ke kisah Murni.
Dalam pengalamannya menggantikan Suzzanna, Putri yang lahir di tanggal 20 Mei 1988 itu mengungkapkan bahwa dia berupaya untuk tidak sekadar meniru Suzzanna dan sengaja menghindari menonton film-film sang "ratu horor" tersebut untuk mencari inspirasi dari berbagai referensi lainnya.
“Aku diberikan referensi film-film yang bisa membantu aku punya bayangan dan bisa mengisi soul-nya tokoh Murni,” kata perempuan yang mempunyai nama lengkap Annisa Putri Ayudya itu.
Selain dari bimbingan Kimo selaku sutradara, Putri juga melakukan riset terhadap karakter Murni, karena baginya tokoh Murni berada diluar jangkauan dengan sisi pribadinya yang keji dan penuh kengerian.
Putri mengungkapkan ia harus melakukan riset terhadap tata rias, kostum hingga kepribadian Murni. Demi upaya menggali kepribadian Murni, ia melakukan ‘kencan’ dengan tokoh Murni dan mengurangi waktu bersama teman.
“Ada satu hari nge-date sama peran jadi hanya aku dan peran aja. Aku bawa jalan kemana-mana, aku sebagai perannya terus mencari tokoh-tokoh dan kehidupan-kehidupan yang terkait dengan perannya dalam satu hari itu,” kata Putri.
Ia juga menaruh banyak waktu untuk menonton referensi tayangan lain yang bernuansa darah-darahan, kecelakaan yang parah dan segala sesuatu yang membuat tokoh Murni semakin senang. Menonton dan mengimajinasikan adalah fokus utama yang dilakukan Putri untuk mengembangkan kedalaman karakter Murni di dalam dirinya.
Bahkan, dalam beberapa bulan mendalami karakter, aktris lulusan Psikologi Universitas Indonesia itu mengatakan bahwa dirinya mengalami kesulitan tidur selama beberapa bulan jika belum menonton tayangan berdarah.
“Sampai dengan beberapa bulan kemudian saya tidak bisa tidur kalau tidak melihat darah-darahan, meskipun saya suka sama hal yang gore ya tapi yang di sini sih agak gawat ya,” ucap Putri yang memulai karir berakting dalam sinetron drama remaja “1001 Cara Menggaet Cowok” pada tahun 2005 itu.
Putri yang sempat aktif menjadi presenter dari program acara “Jejak Petualang” itu mengungkapkan ada beberapa ritual yang ia lakukan untuk memperkuat mentalnya seperti berpuasa dan mendengarkan lagu.
Berbeda dengan Suzzanna yang gemar melakukan ritual mistis seperti memakan bunga melati hingga bersemadi, Putri Ayudya mencoba berpuasa tidak memakan daging untuk mendorong dirinya menghidupi karakter yang akan diperankan.
“Mungkin puasa ya mengurangi makan daging merah gitu misalnya. Beda-beda tiap orang caranya, tapi buat aku ini sangat amat worth it,” kata Putri menjelaskan.
Sebagai aktris yang sering berkecimpung di genre horor, Putri juga membagikan kisahnya bagaimana ia mendalami peran sebagai seorang ibu dan istri dalam film “Perjamuan Iblis” yang tayang pada tanggal 16 November 2023.
“Film horor itu sangat menguras fisik ya, enggak cuma film action (laga), karena harus syuting malam untuk mengambil outdoor (luar ruangan) pas gelap. Dan juga kan banyak kagetnya, jadi badannya banyak tense (ketegangan) dan perasaannya juga kaya karet ya cepat naik turunnya dan juga breathing (bernafas),” jelas Putri.
Karena itu persiapan fisik baginya sangat penting terlebih dengan kebutuhan pengambilan gambar yang juga cukup banyak. Salah satu olahraga yang dilakukan adalah plank (sikap olahraga tolak angkat papan).
“Kita itu pagi senang olahraga bareng, ya enggak terlalu berat. Plank itu udah kena semuanya,” ucapnya.
Ia juga menyampaikan kalau Kenny Gulardi selaku penulis dan sutradara film “Perjamuan Iblis” dapat berkolaborasi dengan baik dengan para aktor serta aktris terutama dalam menggambarkan setiap karakter yang ada.
“Saat reading (pembacaan naskah) Perjamuan Iblis, Kenny Gulardi sebagai sutradara dan penulis sangat dekat dengan kami, sehingga kita bisa kolaboratif kerjanya, seperti menyesuaikan kalimat tiap karakter,” tambah Putri.
Selanjutnya, Putri juga menekankan betapa pentingnya peran kru dalam membantunya menjaga kondisi mental yang stabil. Dia menyatakan bahwa kadang-kadang, emosi yang terbawa dari perannya sebagai Murni tidak bisa langsung dilepaskan selama proses syuting.
“Karena secara teknis harus nyiapin kamera dan segala macam karena shot-nya juga tidak mudah, dan sementara emosi kita udah tinggi banget,” ujarnya.
Untuk meredakan emosi, terkadang ia menjauhkan diri dari set syuting dan mengambil napas sejenak. Pada saat tegang dan penuh emosi itu, kru film khususnya talent coordinator mencoba menenangkannya.
“Talent coordinator sigap banget waktu itu, talent coordinator-ku ngikutin aku tau banget dia mau nawarin aku minum atau nawarin apa,” ucapnya.
Baginya, kehadiran lingkungan yang mendukung satu sama lain dalam proses syuting film sangat membantu kelancaran produksi.
Selain berkisah mengenai pengalamannya dalam berakting sebagai Murni, perkembangan sinema horor dipandangnya dapat berkembang lebih jauh lagi, karena kisah horor di Indonesia banyak memiliki variasi dan keunikannya masing-masing.
“Film horor di Indonesia gak bisa lepas dari cerita rakyat, Kita punya banyak sekali variasi hantu rakyat nih. Cerita yang berguling di masyarakat, cerita yang kayak snowball effect (efek bola salju) yang satu cerita apa kemudian nambahin lagi terus ceritanya berkembang,” jelas Putri.
Putri juga menyampaikan beberapa hal mengenai sinema Indonesia saat ini. Dari pandangannya, sinema horor Indonesia zaman sekarang telah berani melakukan banyak perubahan.
“Menurut saya, sinema horror zaman sekarang makin berani dalam ceritanya penggarapannya, produksinya, ide-idenya budget-nya mungkin, amin!” Kata Putri.
Tidak lupa, Putri mengingatkan bahwa dengan berkembanganya sinema horor di Indonesia, keperluan teknis juga perlu diperhatikan lebih lagi.
“Tapi yang paling jelas adalah film horror sekarang banyak macamnya ya, ada yang semakin gore, ada yang campur sama action, ada yang lebih drama. Berbarengan dengan itu semua tentunya harapan saya sih semakin banyak dan semakin besar tanggung jawabnya juga, misalnya disediakan stunt (pemain pengganti), disediakan tim medis karena film horor itu sangat teknis,” terangnya.
Putri memiliki harapan untuk sinema Indonesia, agar dapat mempromosikan sistem kerja yang sehat. Perkataan itu ia ungkapkan seperti yang dirasakannya dalam pengalaman dalam proses syuting “Losmen Melati” (2023) dan bekerja dalam satu studio (Infinite Studio) dengan jam kerja yang sehat.
Dari pandangannya, sinema Indonesia juga sudah mengedepankan karakter ketimbang aktor dan aktrisnya. Sinema horor terkhususnya yang seringkali menjual kecantikan atau menjual unsur seksual, namun berbeda dengan sekarang.
“Siapapun pemainnya kita melihat karakter, kurasa kecenderungannya lebih ke sana ya jadi udah gak jaman pemain bintang. Tapi beda dengan jaman Suzzanna yang sangat amat kental unsur bintangnya dalam pemilihan tokoh,” jelas Putri.
Sebelumnya, aktris lain yang didapuk memerankan Suzzanna adalah Luna Maya. Ia berperan sebagai Suzzanna dalam film “Bernafas Dalam Kubur” yang rilis pada tahun 2018 dan yang terbaru adalah sinema “Suzzanna Malam Jumat Kliwon”. Luna Maya menceritakan bagaimana ia memainkan peran Suzzanna seperti yang pernah ditulis ANTARA beberapa waktu lalu.
Luna Maya yang kembali memerankan Suzzanna dalam film bertajuk “Suzanna Malam Jumat Kliwon” menceritakan pengalamannya selama proses syuting berlangsung.
Demi mendalami karakter, dia sempat menonton film-film Suzzanna saat proses syuting untuk mengetahui gaya berakting sang legenda film horor itu.
Dia juga sering berkonsultasi dan latihan dengan pelatih vokal agar tahu bagaimana cara tertawa khas Suzzanna saat memerankan “Sundel Bolong”.
“Ada vocal coach juga, jadi, kita bareng-bareng nonton film Suzzanna, kebetulan ada ketawanya itu kita rekam,” kata Luna Maya.
Luna Maya mengaku sempat mengalami kesulitan berakting tertawa karena tawa pada film horor rupanya memiliki begitu banyak perbedaan, misalnya tertawa jahil, marah dan marah sekali. Dia sampai membutuhkan waktu lama saat adegan tertawa.
Bahkan, Luna Maya mengalami sakit tenggorokan karena lengkingan tawanya yang harus dilakukan berulang-ulang.
“Karakternya agak berbeda, ya. Jadi, ini sesuatu yang baru, aku bener-bener kesulitan banget,” kata Luna.
Luna pun melakukan beberapa hal agar terlihat semirip mungkin dengan Suzzanna, mulai dari meniru ciri khas pelafalan Suzzanna hingga riasan dan gestur badan yang mirip dengan sosok Suzzanna.
Demi film "Suzanna Malam Jumat Kliwon", Luna pun harus mengatasi ketakutannya terhadap ular karena ada banyak adegan yang melibatkan binatang melata tersebut.
"Skenario aslinya itu kecoa. Yang harusnya scene pendek, tapi, jadi dua hari syutingnya (gara-gara ular),” kata Luna.
Produser film Sunil Soraya mengatakan pemakaian kecoa untuk salah satu adegan menyulitkan para kru karena proses pembersihannya yang tidak mudah. Oleh sebab itu, tim produksi sepakat menggantinya dengan ular karena lebih mudah dibersihkan dibandingkan kecoa.
Film “Suzzanna Malam Jumat Kliwon” akan tayang secara serentak di bioskop Indonesia mulai tanggal 3 Agustus 2023 dengan menghadirkan sederet bintang, yakni Luna Maya, Achmad Megantara, Tyo Pakusadewo, Selly Marcelina, dan lainnya.
Menghidupkan Kembali "Ratu Horor Indonesia" Melalui Tiga Film Suzanna
Suzanna Martha Frederika van Osch atau akrab disapa Suzana merupakan legenda sineas horor Indonesia. Tiga dari film yang diperankan Suzanna, diproduksi kembali oleh pelaku sinema Indonesia, film-film tersebut adalah Bernapas dalam Kubur (2018), Ratu Ilmu Hitam (2019) dan Malam Jumat Kliwon (2023).
Ratu Ilmu Hitam
Kimo Stamboel, sutradara dari Ratu Ilmu Hitam yang diproduksi ulang, mengatakan bahwa film ini berbeda dari film horor lain yang sedikit menggunakan hantu-hantuan dan lebih banyak menggunakan unsur mistis.
Naskah film “Ratu Ilmu Hitam” yang terbaru ditulis oleh Joko Anwar, sutradara dari Pengabdi Setan 1 dan 2. Kemudian disutradari oleh Kimo Stamboel, sutradara film “Rumah Dara” tayang 2009 dengan unsur thriller dan gore yang melekat.
Film ini memenangkan Piala Citra 2020 dalam kategori Penata Efek Visual Terbaik (Gaga Nugraha) dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Ade Firman Hakim) dan memenangkan Sitges Film Festival 2020 dalam Audience Award For Best Motion.
Bernapas dalam Kubur
Proses produksi film telah berjalan dengan sutradara Anggy Umbara, namun Sunil selaku produser, mengaku tidak puas dengan hasilnya. Akhirnya, sutradara untuk “Bernapas dalam Kubur” diganti dengan Rocky Soraya.
Clift Sangra, mantan suami alm. Suzanna membantu proses produksi film dengan memberikan 200 foto alm. Suzanna untuk mendukung pembuatan prostetik dengan baik.
Luna Maya, pemeran alm. Suzanna dalam “Bernapas dalam Kubur” menjalankan kegiatan pengalaman baru karena keharusan adegan yaitu memakan bunga melati.
Malam Jumat Kliwon
Disutradarai oleh Guntur Soeharjanto, yang telah melahirkan film horor lainnya seperti “Lampor” dan “Makmum 2”.
Demi memaksimalkan hasil tampilan yang paling menyerupai alm. Suzanna, aktris Luna Maya harus didandani selama empat jam.
Dibuat dengan judul yang sama namun dengan perubahan dalam alur cerita yang lebih kompleks.
Sejarah panjang film horor di Indonesia
Film horor merupakan salah satu genre film yang menawarkan sensasi rasa takut, seram dan tegang bagi para penonton. Dalam perjalanannya, film horor memiliki sejarah yang panjang di Indonesia.
Baca selengkapnyaSejarah panjang film horor di Indonesia
Film horor merupakan salah satu genre film yang menawarkan sensasi rasa takut, seram dan tegang bagi para penonton. Dalam perjalanannya, film horor memiliki sejarah yang panjang di Indonesia.
Menurut Ekky Imanjaya, Dosen Perfilman Universitas Bina Nusantara kepada ANTARA, Rabu (1/11), terdapat perbedaan pendapat mengenai film horor pertama yang tayang di Indonesia, yaitu film “Tengkorak Hidup” dan “Lisa”.
“Pendapat pertama menyatakan kalau film ‘Tengkorak Hidup’ tahun 1941 adalah film horor pertama di Indonesia. Pendapat lain, mengatakan bahwa film tersebut lebih kepada film petualangan dibandingkan horor. Yang benar, film ‘Lisa’ yang tayang di tahun 1971 lah yang dianggap sebagai film horor pertama,” kata Ekky.
Setelah perilisan film “Lisa”, juga terdapat film bertajuk “Beranak dalam Kubur” yang tayang pada tahun yang sama. Film ini menjadi film debut Suzzanna dalam dunia peran sekaligus mengalami kesuksesan yang cukup besar.
Semenjak kesuksesan film tersebut, produksi film horor di Tanah Air semakin meningkat. Tercatat 22 judul film horor berhasil diproduksi selama periode tahun 1972 hingga 1980.
Pada masa ini, nama Suzzanna sebagai aktris pun semakin melambung berkat penampilannya di sejumlah film horor.
Selanjutnya, pada tahun 1981 hingga 1991 juga terdapat peningkatan produksi film horor di Indonesia. Setidaknya, ada 84 judul film horor diproduksi pada periode ini. Dari jumlah tersebut, sebagian besar tema mengangkat cerita yang berkaitan dengan mistik seperti santet dan ilmu hitam di masyarakat.
Ekky menambahkan, bahwa pada periode ini film-film horor yang dibintangi oleh Suzzanna masih sangat digandrungi oleh masyarakat. Hingga ia mendapat julukan sebagai “Ratu Horor Indonesia” karena kesuksesannya saat membintangi sejumlah film horor.
Film horor saat itu juga dianggap berhasil menarasikan kepercayaan masyarakat terhadap hal mistik dengan menggunakan latar cerita di masyarakat pedesaan yang masih sangat percaya dengan hal gaib.
“Tahun 80-an hampir semua orang melihat film horor yang dibintangi Suzzanna, soalnya kebanyakan film Suzzanna punya cerita yang dekat dengan masyarakat seperti ‘Nyi Roro Kidul’, ‘Nyi Blorong’, ‘Ratu Ilmu Hitam’, dan ‘Sundel Bolong’. Masyarakat jadi merasa relate (terhubung) dengan cerita horor yang diangkat,” ucap Ekky.
Ekky menyampaikan bahwa faktor keberhasilan film horor khususnya yang dibintangi oleh Suzzanna, tidak hanya terletak faktor cerita saja, tetapi juga karena aura yang dimiliki oleh sosok Suzzanna.
“Jadi sebelum Suzzanna, sebenarnya sudah ada beberapa film horor, tapi memang saat Suzzanna muncul, itulah momen dimana perkembangan penonton film horor di Indonesia menjadi masif,” kata Ekky.
Setelah era film Suzzanna, sejarah film horor di Indonesia sempat terperosok ke sisi kelam dalam perjalanannya. Pada periode tahun 1990-an, selain cerita yang itu-itu saja, unsur pornografi apalagi yang mengeksploitasi tubuh perempuan menjadi citra buruk film horor Indonesia kala itu.
Bahkan beberapa film horor sengaja menggunakan artis film dewasa luar negeri sebagai aktris pada film tersebut untuk menjadi daya tarik.
Strategi penggunaan adegan sensual pada film horor pada awalnya cukup berhasil, biaya produksi yang murah dan membludaknya jumlah penonton menjadi alasan film horor dengan bumbu adegan dewasa banyak diproduksi.
Namun, lambat laun seiring kian meningkatnya selera sinema penonton Indonesia, genre film horor ini mulai ditinggalkan masyarakat. Masyarakat mulai jenuh dengan konsep daur ulang pada film horor dengan bumbu adegan dewasa.
Perkembangan teknologi yang mempermudah akses terhadap film lewat jaringan internet juga menjadikan masyarakat lebih selektif dalam memilih tontonan.
Di sisi lain, film horor di Indonesia kini telah banyak berkembang dari segi kualitas narasi, karakter, hingga sinematografi. Beberapa film horor seperti “Pengabdi Setan”, “Danur”, dan “Sebelum Iblis Menjemput” dibuat dengan cerita dan pengemasan yang modern.
“Ketika ‘Danur’, tiba-tiba naiknya gila-gilaan karena mengangkat cerita dari novel laris. Sejak saat itulah, muncul film horor yang diambil dari novel horor laris,” kata Ekky.
Sehingga, film-film tersebut digandrungi para penikmat film horor dan mendapatkan kesuksesan dalam penayangannya.
Kesuksesan tersebut, juga menjadi penanda bahwa kualitas film horor di Indonesia mulai membaik dan dapat dinikmati tanpa harus menampilkan unsur dewasa dalam film tersebut.
Skema film horor Indonesia dari masa ke masa
Sinema horor di Indonesia memiliki skema yang berbeda-beda di setiap era. Skema pada film horor Indonesia pertama kali dapat terlihat pada era Orde Baru.
Baca selengkapnyaSkema film horor Indonesia dari masa ke masa
Sinema horor di Indonesia memiliki skema yang berbeda-beda di setiap era. Skema pada film horor Indonesia pertama kali dapat terlihat pada era Orde Baru.
Karya film termasuk genre horor harus beradaptasi dengan kondisi sosial dan politik pada saat itu. Setidaknya itulah yang disampaikan oleh Dosen Perfilman Universitas Bina Nusantara Ekky Imanjaya kepada ANTARA, Rabu (1/11).
“Film horor di Indonesia pada masa itu harus menitikberatkan pada pola disorder (gangguan) menjadi order (ketertiban) dibandingkan good (baik) vs evil (jahat).” ujarnya.
Adanya kebutuhan untuk mengikuti peraturan yang ada pada era itu mempengaruhi skema film horor di Tanah Air.
Dalam mematuhi peraturan itu, para sineas menggunakan skema dengan menambahkan tokoh agama di akhir cerita untuk menyelesaikan semua masalah yang muncul dalam film horor tersebut.
Kemudian, skema film horor di Indonesia mengalami penyesuaian setelah berakhirnya era Orde Baru. Pada periode tersebut, terjadi perubahan dalam peraturan film yang memicu kemunculan film horor di Indonesia yang terinspirasi oleh film horor luar negeri yang bersifat sekuler.
“Setelah era Orde Baru, munculah film-film yang terinspirasi dari horor Jepang, korea, dan Thailand yang sekuler sehingga tidak ada tokoh agama di akhir cerita, salah satunya film ‘Jelangkung’ pada era itu,” kata Ekky.
Ekky menambahkan bahwa pada saat ini skema film horor sudah semakin berkembang. Tokoh agama yang pada awalnya hanya muncul di akhir cerita untuk mengusir teror dari mahluk gaib, saat ini seringkali ikut menjadi tokoh utama yang muncul sejak awal cerita.
Selain itu, skema film horor yang banyak dipakai adalah rural horor dengan mengangkat cerita urban legend di masyarakat. Sedangkan pada era modern, film horor sudah banyak mengangkat cerita dari novel horor.
“Kebanyakan cerita yang diangkat juga terkait urban legend. Kemudian trennya berubah lagi, ketika ada film ‘Danur’, munculah pola film horor yang diambil dari novel horor laris,” tutur Ekky.
Senada dengan itu, Hikmat Darmawan selaku pengamat film saat diwawancarai oleh ANTARA, Jumat (27/10), menyampaikan bahwa memang selama ini film atau konten horor lebih banyak mengangkat legenda atau cerita mitos.
Namun disisi lain, ia sedikit menyayangkan adanya kesalahan terhadap penggambaran kebudayaan lokal khususnya pada film horor.
“Film horor selama ini banyak mengangkat cerita legenda, mitos yang sebenarnya ini menarik buat saya. Hanya, saya lihat seringkali terjadi abuse terhadap kebudayaan lokal itu,” ujar Hikmat.
Hikmat menambahkan bahwa film horor Indonesia yang menggambarkan tradisi atau budaya dari desa secara positif masih sedikit. Bagi Hikmat, sebuah desa dalam film horor masih dianggap sebagai sumber kekerasan dan sumber horor, sementara para korbannya seringkali diceritakan datang dari kota.
“Misalnya, coba perhatikan film horor yang menggambarkan tradisi secara positif itu sedikit. termasuk kayak film yang menggambarkan desa secara positif,” jelas Hikmat.
Hikmat juga menyampaikan adanya penggambaran horor yang berlebihan pada tradisi lokal, seperti alunan gamelan dan latar rumah tua.
“Selain itu, kalau lihat di film horor misalkan ada adegan mengobrol, lalu muncul suara gamelan dengan penggambaran seram yang membuat tokoh dalam film ketakutan. Jadinya seperti mewariskan ketakutan terhadap tradisi gitu, padahal kan tradisi bisa jadi sumber kreatif,” kata Hikmat.
Menurut Hikmat, tradisi lokal sebenarnya merupakan sumber yang kaya sehingga masih banyak hal yang bisa dieksplor.
Ia merasa sineas film horor bisa memulai untuk tidak lagi menggunakan pola yang sudah sering digunakan di dalam genre film horor di Indonesia.
“Kita tidak bisa selalu hidup dalam bubble, saya merasa bahwa justru kita bisa lebih kaya dalam membuat film horor, drama atau apapun dengan lebih masuk ke dalam tradisi lokal namun tetap menghormati sejarah,” pungkas Hikmat ketika menyampaikan pesan untuk para sineas Indonesia.
Perkembangan film horor di Indonesia
Sejak awal kemunculannya di era 1970-an, film horor Indonesia telah mengalami berbagai macam evolusi, baik dari segi tema, cerita, maupun teknik pembuatannya.
Baca selengkapnyaPerkembangan film horor di Indonesia
Sejak awal kemunculannya di era 1970-an, film horor Indonesia telah mengalami berbagai macam evolusi, baik dari segi tema, cerita, maupun teknik pembuatannya.
Menurut Hikmat Darmawan, seorang pengamat film, era 1970-an adalah periode awal genre horor Indonesia menemukan tempatnya di hati masyarakat.
“Film Indonesia pada tahun 70-an adalah formasi awal genre horor menemukan publiknya,” kata Hikmat kepada ANTARA ketika membahas perkembangan film horor di Indonesia, Jumat (13/10).
Hikmat menjelaskan pada awal tahun 1970-an, film-film horor dari Italia dan Amerika mulai merambah Indonesia dengan genre horor yang sensasional dan eksploitatif. Di antaranya adalah film karya sineas Dario Argento dan Mario Bava dari Italia.
“Jadi ada zombie, ada kanibal, terus ada juga model-model yang banyak dipujikan itu Dario Argento dan Mario Brava. Nah, saya melihat bahwa pada tahun 70-an itu ada poster-poster film diiklankan di koran-koran kita,” tambah Hikmat.
Hikmat mengungkapkan dengan masuknya sinema horor Italia yang disebut giallo tersebut, film horor Indonesia pun ikut terpengaruh. Hal ini terlihat dari aspek warna yang kontras, tata musik, dan proses pengeditan, hingga model visualnya.
Sebagai contoh, jika film dari luar negeri terdapat film “The Exorcist” dan “The Omen”, sementara di Indonesia sendiri ada “Cincin Berdarah”, “Pesugihan”, hingga “Beranak dalam Kubur”. Hikmat menyebut film tersebut berasal dari cerita rakyat namun visualnya dipengaruhi oleh sinema Italia.
Berbeda dengan tahun 1970-an, pada tahun 1980-an sinema horor Indonesia lebih menekankan adegan sadis dan penuh darah atau “gore”. Namun tetap mengutamakan isi cerita yang dekat dengan masyarakat melalui unsur humor.
“Ada tekanan pada body horor atau gore-gore gitu ya, misalnya mati ada sadis gitu oleh para penjahat laki gitu ya. Tapi juga selalu ada unsur humor juga dalam dalam horornya gitu misalnya pesan sate 200 tusuk bang atau bakso, itu kan pesan bakso itu kan tidak ada gunanya terhadap keseluruhan cerita tapi membangun kedekatan dengan masyarakat,” kata Hikmat.
Hikmat juga menjelaskan bahwa pada tahun 1980-an, Suzzanna muncul sebagai ikon utama dalam industri film horor Indonesia. Puncak kesuksesannya dicapai melalui peran dalam "Ratu Ilmu Hitam," sebuah film dari Relief Studio pada tahun 1981 yang hingga kini dianggap sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa.
Sementara itu, pada tahun 1990-an Hikmat menceritakan bahwa pada saat itu sedang terjadi masa krisis, maka dunia perfilman pun cenderung membuat karya yang kembali ke selera dasar dan “murah”. Ia mengatakan film era tersebut dibuat asal-asalan dan isinya pun eksploitasi ketakutan atau seks.
“Itu mengeksploitasi ketakutan atau seks, dan dua-duanya muncul di film-film horor di tahun 90an. Cukup kuat, makanya trennya lebih ke film yang sangat murah Dibuat dengan sangat asal-asalan, dibikinnya cuman syutingnya tiga hari gitu,” ungkap Hikmat.
Selain itu, sineas film pada saat itu banyak meniru adegan sinema horor luar negeri seperti “Friday the 13th” atau “Nightmare on the Elm Street”.
“Horornya juga rada-rada gitu, pokoknya cari gampangan aja jadi ngambil ada misalnya kayak ada adegan lidah memanjang mengikat tangan korbannya itu. Nah itu kan adegan dari ‘Nightmare on the Elm Street III’, jadi kayak niru aja plek-ketiplek gitu,” kata Hikmat menjelaskan.
Mengingat keadaan krisis di akhir dekade tersebut, Hikmat menyampaikan bahwa di Indonesia hanya ada sekitar enam sinema horor yang diproduksi oleh pembuat film.
Dibandingkan tahun 1990-an, justru di tahun 2000an awal menjadi era kebangkitan sinema Tanah Air dengan munculnya film “Kuldesak” di tahun 1999 yang disutradarai oleh Riri Riza, Mira Lesmana, dan Rizal Mantovani. Bagi Hikmat, bangkitnya film era ini karena banyak anak-anak sekolah film yang mulai berkarya.
“Nah menariknya di tahun 2002 atau 2003 itu ada semacam manifesto dari angkatan muda ini, Rizal Mato Pane, Riri Riza, Koya Pagayo gitu karena pada saat awal 2002, dia termasuk angkatan yang dianggap bisa mengangkat generasi baru film Indonesia,” ucap Hikmat.
Salah satu sutradara yang ikut menghidupkan genre horor di Indonesia adalah Koya Pagayo. Ia membawa nuansa horor yang penuh atmosfer dan konteks perkotaan, dipengaruhi oleh film-film dari Asia dan Jepang.
Perkembangan film horor mencapai puncaknya dengan kemunculan film "Jalangkung" pada tahun 2001 yang disutradarai oleh Rizal Mantovani. Film ini mencuri perhatian karena memberikan perspektif berbeda. Biasanya, setan dikalahkan oleh tokoh agama, tetapi di film ini, segerombolan anak muda berhasil mengatasi setan atau hantu yang ada dalam ceritanya.
“Jadi setan kalahnya bukan oleh agama, tapi oleh anak-anak muda gitu. Nah, itu kan sempat katanya konon sampai di bioskop Blok M itu, kaca loketnya itu sampai pecah katanya, karena desakan orang pengen nonton berebut. Jadi itu kayak sleeper hit (film yang laris dalam periode yang lama) yang bertahan bahkan sampai tiga bulan. Sekarang sih sepertinya tidak ada lagi film kayak gitu,” kata Hikmat.
Menurut Hikmat setelah keberhasilan film "Jalangkung", industri film seakan bangkit dari tidur pada periode ini, diikuti oleh kesuksesan sinema "Ada Apa dengan Cinta" pada tahun 2002, disusul film "Petualangan Sherina" pada tahun 2003.
Keberanian pengangkatan jalan cerita yang berbeda oleh Rizal Mantovani kemudian melahirkan sinema horor yang berisikan anak-anak muda dan legenda urban. Di antaranya adalah “Terowongan Kasablanca”, “Nenek Gayung”, dan “Suster Ngesot”.
Sejak saat itu, para sineas telah meningkatkan kesadaran mereka dan mengembangkan keterampilan teknis yang tinggi, termasuk tata kamera, narasi, dan unsur visual.
“Nah, merekalah generasi baru yang punya keterampilan tinggi yang kemudian mampu melahirkan puncak-puncak karya mereka sendiri di dalam sejarah film horor,” imbuh Hikmat.
Ia menyimpulkan bahwa tren cerita film horor di Indonesia tahun 2000-an awal hingga 2010-an adalah legenda urban.
Selanjutnya, saat ini sinema horor Indonesia terus berkembang menjadi lebih beragam, mulai dari isi cerita, penggunaan teknologi, hingga efek khusus dalam film. Hikmat menambahkan juga bahwa kualitas sinema horor dalam negeri meningkat sejak munculnya sutradara Joko Anwar dengan film "Pengabdi Setan 2".
“Jadi misalnya Joko Anwar di ‘Pengabdi Setan 2’, dia pakai suara yang khusus, kseperti buat IMAX gitu kan, jadi teknologi suaranya tinggi gitu. Digital enhancement (peningkatan digital) gitu ya. Lalu bagaimana kameranya itu diatur untuk menangkap adegan-adegan yang sukar gitu ya,” kata Hikmat.
Mengenai penonton genre horor, Hikmat menyampaikan bahwa penonton film horor, baik di Indonesia maupun secara global, terus meningkat dan stabil. Namun bagi Hikmat, kemajuan film horor Indonesia tidak hanya terukur dari seberapa banyak penontonnya atau seberapa laris, tetapi juga dari keberagaman cerita yang ditawarkan.
Rekomendasi Film Horor Indonesia
Film horor merupakan salah satu genre yang paling populer di Indonesia. Nah, berikut ini rekomendasi sinema horor Indonesia dari seorang pengamat film Hikmat Darmawan!
Komparasi film horor Indonesia dan luar negeri
Industri sinema horor Indonesia tak kalah saing dengan genre yang sama dari luar negeri, terutama karena perbedaan karakteristik sinema horor Indonesia menjadi kelebihan di penonton luar negeri.
Baca selengkapnyaKomparasi film horor Indonesia dan luar negeri
Industri sinema horor Indonesia tak kalah saing dengan genre yang sama dari luar negeri, terutama karena perbedaan karakteristik sinema horor Indonesia menjadi kelebihan di penonton luar negeri.
Demikian yang disampaikan oleh dosen penyutradaraan Institut Kesenian Jakarta Erina Adeline dalam wawancara kepada ANTARA terkait perbedaan film horor Indonesia dan luar negeri, Kamis (2/10).
Sinema horor telah menjadi genre yang populer di Indonesia dibuktikan dengan masuknya empat film horor, yaitu “Qodrat”, “Qorin”, “Sewu Dino” dan “Waktu Maghrib”, ke dalam 30 besar seleksi awal Festival Film Indonesia (FFI).
“Bahkan film KKN di Desa Penari mencapai 10 juta penonton ya,” ucap Erina.
Alasan itu menjadi alasan yang kuat mengapa akhirnya para pembuat film horor mengangkat banyak kisah yang dekat dengan masyarakat seperti mitos, cerita rakyat ataupun kepercayaan.
Erina menjelaskan jika dibandingkan dengan film horor luar negeri, terdapat beberapa perbedaan karakteristik.
“Kalau Amerika tuh justru dilogikain. Ternyata setannya orang. Eh nggak taunya plot twist nya (pelintiran alur) manusia gitu,” katanya.
Berbeda dari film horor Indonesia yang sering mengangkat budaya atau cerita rakyat yang populer seperti film “Hantu Bangku Kosong” keluaran tahun 2006, film horor di Amerika justru membuat cerita yang tidak sarat dengan unsur mistis dan kental dengan logika.
“Saya tahunya The Boy itu adalah boneka yang di matanya tuh ada kamera pengintai. Jadi, ternyata plot twist nya bukan setan tapi lelaki creepy (menakutkan) yang memantau perempuan,” ucap Erina.
Kemudian, ia juga menerangkan kalau film horor di Eropa masih memiliki kemiripan dengan Indonesia. Kebanyakan masyarakat di Eropa masih mempercayai klenik dan kepercayaan tertentu yang akhirnya diangkat ke layar lebar.
“Nah kalau Eropa dia masih agak-agak percaya klenik. Mereka religinya mirip seperti Indonesia gitu. Kalau Eropa terutama yang bagian dari Spanyol, mereka karena mungkin agama Katoliknya cukup kuat gitu ya,” ujarnya.
Hal ini dapat dilihat melalui film yang baru saja rilis baru-baru ini bertemakan agama Katolik dengan tajuk “Sister Death” yang baru saja rilis di media film daring, Netflix, disutradarai oleh Paco Plaza yang berkebangsaan Spanyol.
Film horor di Inggris pun juga punya karakteristiknya sendiri. Mayoritas masyarakat Inggris masih mempercayai cerita-cerita mistis yang berkembang di masyarakat, seperti penyihir, dukun dan lain sejenisnya.
“Kalau di Inggris tuh masih percaya dengan cerita lokal yang nuansanya sihir-sihir,” kata Erina.
Di samping semua perbedaan dalam pembuatan cerita horor, setiap film horor memiliki kesamaan dalam alur ceritanya. Mereka biasanya akan membangun kisah yang penuh konflik dengan variasi tokoh, namun di akhir cerita yang akan selamat adalah dia yang memiliki citra baik di mata masyarakat.
“Yang tipikal itu biasa orang-orang yang sifatnya baik itu akan selamat dari ancaman setannya gitu. Sedangkan yang berbuat dosa atau kayak tergoda untuk berbuat tidak senonoh gitu kan, nah itu biasanya mati duluan gitu,” tutur Erlina.
Alur cerita yang demikian disebut dengan final girl (tokoh terakhir), tokoh yang akan selalu selamat dengan citra baik dan positif yang dimilikinya di pandangan publik.
Kembali kepada film horor Indonesia, daya tarik utama dari sinema horor di Indonesia datang dari kedekatan cerita yang dibuat oleh si pembuat film. Menurut Erina, masyarakat membutuhkan sebuah pelarian dan film adalah salah satunya.
“Kadang-kadang penonton itu butuh pelarian dari hidup sehingga salah satu caranya adalah mereka menonton film. Mereka pengen merasakan emosi yang sisa teridentifikasi dengan si tokoh,” ucap Erina.
Kedekatan secara emosional inilah yang menjadi daya tarik dari sinema horor Indonesia kepada masyarakat Indonesia itu sendiri.
“Maka dari itu, film horor Indonesia sering mengangkat mitos atau legenda rakyat. Seperti kita ditakut-takuti jangan pulang lewat dari waktu maghrib, muncullah film Waktu Maghrib,” tambah Erina.
Berangkat dari pembahasan mengenai daya tarik, film horor juga memiliki sudut pandang tertentu yang dapat diangkat ke layar lebar. Erina menyebutkan salah satu perspektif dalam mengangkat kisah horor ke layar lebar, yaitu waktu.
“Sekarang sudah banyak yang pakai masalah waktu, seperti film Sewu Dino berbicara tentang perempuan kelahiran Jumat kliwon yang disantet dan harus diurus oleh perempuan-perempuan kelahiran Jumat kliwon juga,” ujar Erina.
Tidak hanya dari sudut pandang waktu, ada juga yang mengandalkan bintang ternama. Seperti pada era Suzzanna, semua film horor berkiblat untuk membuat tokoh horor yang dapat diperankan olehnya.
Film-film era Suzzanna yang kemudian tayang dan memerankan tokoh horor dari masyarakat seperti film “Sundel Bolong”, berkisah tentang perempuan yang sedang ditinggal pergi oleh suami dan diperkosa hingga hamil. Karena malu, ia akhirnya bunuh diri dan membalaskan dendam kepada yang memperkosanya.
Diluar dari cerita rakyat, kisah horor di layar lebar juga mengangkat sejarah dari konflik sosial yang terjadi.
Salah satunya direfleksikan melalui film “Khanzab” yang berlatar belakang pada tahun 1998 yaitu kisah pembantaian dukun namun juga membantai kyai atau ustadz yang disalahpahami sebagai dukun.
Meskipun bukan membawakan konflik tersebut sebagai cerita utama, namun cerita yang diangkat didasari dari latar belakang konflik yang terjadi.
Beralih dari konflik sosial, representasi dalam film horor yang menonjol adalah perempuan-perempuan seksi. Biasanya adegan yang ditayangkan merupakan adegan vulgar antara pria dan wanita ataupun berfokus kepada kemolekan tubuh perempuan.
Erina menyatakan bahwa pada saat itu, tepatnya tahun 90-an, perfilman Indonesia sedang mati suri. Kalaupun ada film, biasanya menjual adegan-adegan yang tidak senonoh.
Menurutnya, alasan mengapa representasi perempuan seksual dan adegan vulgar dijual dalam film horor adalah karena penggabungan dua unsur biologis manusia.
“Horor itu kan ngomongin ketakutan ya ketika kita takut, kita gimana reaksinya? Gemetar ya. Ketika kita ngeliat lawan jenis yang tubuhnya sangat indah. Itu reaksi kita gimana? Gemetar juga ya kan?” katanya.
Erina melanjutkan bahwa dengan menggabungkan sensasi rasa takut karena horor dan rasa gemetar karena hal vulgar akan memacu adrenalin penonton.
Tren ini memang sempat populer pada zaman itu, namun tidak lagi dewasa ini. Sinema horor sudah lebih mengedepankan asal-usul kisah horor serta penggunaan efek visual.
“Mungkin patokannya Hollywood. Secara teknologi itu jauh lebih canggih. PH (production house) di Indonesia aja masih menggunakan jasa studio luar negeri untuk membuat visual effect (efek visual) di film-film yang mereka termasuk horor,” ucap Erina.
Walaupun begitu, Erina mengatakan sebenarnya sumber daya manusia dari efek visual di Indonesia bukan kurang banyak.
“Kayak film Marvel kalau kamu perhatikan kadang-kadang di bagian visual effect ada orang Indonesia,” katanya.
Menurut Erina, mungkin karena ekosistem efek visual perfilman di Amerika sudah lebih baik makanya mereka memilih untuk bekerja di sana.
Bahasan kemudian berlanjut mengenai perfilman di Indonesia. Dari pandangannya, perfilman Indonesia sangat potensial untuk dapat apresiasi dan penerimaan yang lebih di mata penonton luar negeri.
Kisah horor di Indonesia sebenarnya sudah duluan mendapat apresiasi karena mampu menghadirkan kisah yang menyeramkan sekaligus mengharukan. Erina mengatakan pesan ini disampaikan dalam film buatan Joko Anwar bertajuk “A Mother’s Love”.
Film ini mengisahkan Murni, yang diperankan Marissa Anita sebagai ibu dari Jody yaitu Muzzaki Ramdhan, ketika sedang berjuang dalam kondisi ekonomi yang buruk dan menghadapi mitos tentang “Wewe Gombel” yang mengancam anaknya.
“Intinya pesan moralnya adalah gimana sebenarnya yang lebih mengerikan itu adalah perlakuan manusia di situ dan kalau ternyata setan yang dianggap serem mereka masih lebih punya rasa cinta kasih,” jelas Erina.
Erina berpesan bahwa dengan film-film seperti ini, potensi akan mendapatkan perhatian dari dunia luar sangat besar jika unsur horor dan nilai yang universal dapat disajikan dengan baik.
“Menurutku tuh ya pembuat film horor yang kayak gitu tuh cerdas gitu loh, gimana dia bisa ngasih suatu value (nilai) yang universal ya terus tapi tetap ada sisi lokal kontennya,” ucapnya.
Film horor Indonesia
vs film horor luar negeri
Film horor selalu menarik untuk dibandingkan. Dalam wawancara dengan ANTARA (2/10), dosen penyutradaraan Institut Kesenian Jakarta Erina Adeline menjelaskan sejumlah perbedaan karakteristik film horor layar lebar, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Alur film horor, baik produksi Indonesia maupun luar negeri, umumnya memiliki kesamaan, yaitu menekankan pada peran karakter gadis yang selamat atau biasa disebut "Final Girl".
"Final Girl" adalah kiasan umum dalam film horor yang mengacu pada karakter perempuan terakhir yang mampu mengalahkan tokoh antagonis di akhir cerita.
Indonesia dan metafisika
Kepopuleran sinema horor di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari gemarnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi dan menyebarkan kisah-kisah metafisik, kata Agus Mauluddin, selaku Sosiolog sekaligus dosen Kriminologi Universitas Indonesia.
Baca selengkapnyaIndonesia dan metafisika
Kepopuleran sinema horor di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari gemarnya masyarakat Indonesia mengkonsumsi dan menyebarkan kisah-kisah metafisik, kata Agus Mauluddin, selaku Sosiolog sekaligus dosen Kriminologi Universitas Indonesia.
“Bisa dilihat dari beberapa data, pangsa pasar film horor di Indonesia itu cukup tinggi. Secara kultural, masyarakat kita memiliki tradisi lisan yang kuat dan tidak terlepas kepada anak-anak,” ucap Agus.
Kuatnya tradisi lisan di masyarakat Indonesia memperjelas mengapa kisah metafisik dapat begitu laris di masyarakat Indonesia. Tradisi lisan berlangsung pada banyak budaya di dunia, salah satunya di Indonesia. Tradisi lisan hadir sebelum adanya tulisan dan manusia mencoba membekukan sejarah dan budaya melalui ucapan yang terus-menerus diturunkan ke dalam pikiran manusia dari satu generasi ke generasi yang lain.
“Seperti pamali menebang pohon di area sana dan hal-hal lain yang diturunkan secara lisan. Karena memang konteks pengetahuan yang dimiliki, artinya dalam kapasitas waktu itu, belum memadai,” kata dia menerangkan.
Kisah metafisik tersebut sering diangkat ke layar lebar Indonesia sebagai tayangan horor yang menegangkan, menghibur sekaligus mengedukasi tentang kisah mistis.
Melalui wawancara kepada ANTARA, Agus mengatakan jika film horor berpengaruh kepada perilaku masyarakat khususnya dalam berwisata.
“Kalau melihat sosiologi pariwisata, justru aspek-aspek mistis tersebut bahkan secara negatif “mengarang cerita” sehingga itu akan menciptakan daya tarik dan masyarakat berbondong-bondong datang kesitu dan dibuat objek atau situs wisata baru,” kata Agus Mauluddin, Senin (16/10).
Dalam kacamata ilmu Sosiologi, ternyata setiap kisah metafisik yang diucapkan oleh orang tua atau leluhur bertujuan untuk melindungi alam ataupun diri kita dari ancaman yang pada saat itu belum dapat dijelaskan secara sains.
Agus memberi contoh dalam merespon sebuah peristiwa seperti fenomena gempa bumi.
“Masyarakat teologis misalnya. Mereka akan beranggapan bahwa murka Tuhan ataupun murka Dewa terhadap manusia yang sudah berbuat kesalahan dan seterusnya,” jelasnya.
Kemudian, masyarakat metafisik juga akan menjelaskan gempa bumi adalah fenomena alam akibat hukum-hukum alam tertentu. Namun, mereka tidak dapat menjelaskan secara saintifik mengapa terjadi gempa bumi.
Kepala Riset CIC Official itu mengatakan bahwa Indonesia sudah dalam tahapan masyarakat yang mempercayai rasio dan akal sehat. Namun ia juga menerangkan bahwa bagi segmentasi orang-orang tertentu, mereka menyikapi realitas sosial dengan caranya sendiri termasuk memakai pola pikir dari tahapan-tahapan sebelumnya, yaitu masyarakat teologis, masyarakat metafisik dan masyarakat positivis.
Tahapan-tahapan tersebut terjadi pada setiap masyarakat, bukan hanya di Indonesia. Tentunya, tahapan tersebut punya andil dalam memberi dampak negatif maupun positif bagi masyarakat.
Dalam dampak negatifnya terhadap masyarakat Indonesia, Agus menerangkan data dari UNESCO mengatakan bahwa minat baca Indonesia hanya 0,001 persen yang berarti hanya 1 dari 1.000 orang yang gemar membaca.
“Adanya tradisi lisan membuat masyarakat Indonesia menjadi minim literasi,” kata Agus.
Meski telah mencapai masyarakat yang positivistik dalam pandangan ilmu sosiologi, namun budaya dan kebiasaan lama masih terbawa hingga saat ini dan menyebabkan kurangnya minat baca dari masyarakat Indonesia.
Maka dari itu, isu mengenai kepercayaan akan metafisik menjadi hal yang perlu diperhatikan bersama. Agus juga berpesan bagi mereka yang gemar mengaitkan kisah metafisika ke dalam keseharian akibat menonton sinema horor agar dapat berperilaku dengan cerdas.
“Kita harus menjadi penonton yang dewasa. Jika nilai dari sinema itu mendekatkan diri kepada nilai ketuhanan, maka hal itu patut ditiru. Kalau berkaitan dengan ritual-ritual itu tidak disarankan untuk dilakukan,” saran Agus kepada masyarakat.
Alternatif horor melalui media baru
“Kehadiran media baru selalu menarik untuk membuat penyuka horor tidak bosan dengan media atau format yang ada, jadi bisa ada selingan,” ucap Rizky Ardi Nugroho, pemilik kanal YouTube dan siniar horor Do You See What I See.
Baca selengkapnyaAlternatif horor melalui media baru
“Kehadiran media baru selalu menarik untuk membuat penyuka horor tidak bosan dengan media atau format yang ada, jadi bisa ada selingan,” ucap Rizky Ardi Nugroho, pemilik kanal YouTube dan siniar horor Do You See What I See.
“Saya mencari sesuatu yang niche di podcast dan satu minggu setelah saya upload (unggah) Do You See What I See, waktu itu langsung trending di Spotify, langsung masuk chart,” ujar Rizky kepada ANTARA pada Kamis (28/10), saat menceritakan awal kanalnya menjadi alternatif horor melalui media baru, khususnya media sosial.
Rizky yang memiliki akun Instagram Mizter Popo itu berdiri teguh di antara media sosial lain sebagai siniar yang hanya menyiarkan audio. Menurutnya, Do You See What I See menawarkan sesuatu yang berbeda dibanding siniar lain yang menyertakan visual, yaitu theatre of mind (teater dalam pikiran).
“Saya membiarkan mereka bercerita secara sendiri gitu. Pendengar bisa imagining (mengimajinasikan) gitu ya, membayangkan apa yang sedang terjadi dalam versi otaknya mereka sendiri-sendiri,” kata Rizky.
Salah satu kisah horor dari Rizky yang populer adalah tentang rumah eyang miliknya dan diceritakan dalam video YouTube, penulis dan stand-up comedian, Raditya Dika dengan tajuk “Paranormal Experience: Rumah Terseram Jogja (Part 1)”.
Video itu menjadi salah satu pemicu Rizky untuk memulai siniar bernuansa horor.
Kini, siniar Do You See What I See sudah berkembang pesat dengan lebih dari 1300 episode bahkan salah satu episode dari siniar sedang diangkat ke layar lebar dengan tajuk “Do You See What I See Episode #64: First Love”.
Selain mendengarkan siniar dari Do You What I See, alternatif kisah horor dari media baru juga dapat dinikmati melalui kanal lainnya dengan tajuk “Malam Mencekam”.
Kanal ini menyediakan wawancara langsung dengan narasumber yang mengalami kisah horor di kehidupan pribadi atau terdekatnya. Penonton akan disuguhi wawancara ditemani ilustrasi dan suara yang menegangkan.
Kisah horor yang dibagikan juga dari berbagai tempat dan latar belakang, sebagian menceritakan mengenai akibat pesugihan, kemudian tidak sedikit juga yang menceritakan tentang kekuatan yang didapat dari jimat serta akibat buruknya.
Dalam mencari kisah-kisah yang demikian, tim Malam Mencekam yakni Eyi dan Gege membagikan proses penyaringan narasumber kepada ANTARA pada Selasa (31/10), dimulai dari ekspedisi sampai seleksi tiga tahap oleh tim mereka.
Hal pertama yang dilakukan oleh tim Malam Mencekam yaitu melakukan pencarian langsung di lapangan yang disebut dengan ekspedisi.
“Kalau nyarinya sendiri ya itu tadi. Kita meluangkan waktu ya dari kita sebutnya ekspedisi lah. Jadi meninggalkan kota Bandung, kantor kita ini untuk mencari berita lah,” ujar Eyi.
Selanjutnya, mereka akan berinteraksi dengan warga lokal untuk mendapatkan narasumber yang cocok. Setelah mendapatkan kandidat tersebut pun tidak langsung diwawancarai, namun tim Malam Mencekam akan melakukan penyaringan terhadap kandidat.
“Jadi, lewat tiga tahap pemfilteran. Yang pertama, kandidat narasumber akan di-interview sama karyawan pertama. Lalu, yang kedua akan merangkum ceritanya atau membuat sinopsis. Yang terakhir akan diseleksi oleh tim penata gerak,” terang Eyi.
Jika proses penyaringan kandidat sudah selesai maka akan dilakukan pengambilan video di tempat. Kemudian, hasil pengambilan video akan diberikan ke editor tim Malam Mencekam untuk kemudian diolah sampai akhirnya tayang di setiap media sosial.
“Kita ada di semua platform (media sosial). Facebook Fanpage, Spotify, Noice, TikTok, YouTube. Kita sekali upload (unggah) langsung ke semua platform,” jelas Gege.
Disisi lain, ada kanal milik Billy Christian menyajikan sesuatu yang berbeda. Dalam kanalnya, ia menayangkan kisah horor dari seorang “indigo” (karakter manusia yang dicirikan dengan kecerdasan dan kemampuan spiritual yang tinggi) digabung dengan berwisata ke tempat-tempat yang memiliki sejarah kisah horor.
Pada awalnya, ia membuat sebuah film dengan judul “Mereka Yang Tak Terlihat” yang mengisahkan tentang anak “indigo”. Film tersebut didukung oleh hasil wawancaranya dengan dua orang indigo yaitu, Citra Prima dan Frislly Herlind.
“Setelah filmnya jadi, saya melihat kembali hasil wawancara itu, lalu tercetus ide, bagaimana jika hasil wawancara itu saya upload saja di YouTube” kata Billy Christian kepada ANTARA pada Senin (30/10) tentang awal mula perjalanan kanal YouTube-nya.
Ia tak menyangka kalau tayangan wawancara tersebut dapat viral di YouTube dan mendapat tanggapan yang baik dari penonton.
“Sejak itulah saya mulai membuat wawancara-wawancara dengan orang ‘indigo’ dengan harapan bisa memberikan wawasan kepada khalayak umum tentang ‘indigo’ serta membantu orang ‘indigo’ yang kesulitan menerima dirinya dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar,” katanya.
Dari harapan itulah, Billy meneruskannya dan menamakan tayangan wawancara-wawancara itu dengan nama “Indigo Talk”. Sudah banyak latar belakang orang indigo yang diwawancarai, dimulai dari ibu rumah tangga sampai ke praktisi.
“Kemudian saya mengembangkan kembali channel ini ke travel (kegiatan jalan-jalan), dengan menggabungkan ‘Indigo Talk’ dengan travel,” ucapnya.
Ia kemudian mengembangkan program wawancara dengan orang “indigo” dengan sesuatu yang baru, yaitu kegiatan jalan-jalan. Jadilah sebuah program yang ia sebut dengan “Indigotalk Travel”
“Yaitu konten travel bersama dengan anak indigo ke tempat-tempat angker, membahas cerita-cerita di lokasi langsung,” jelas Billy.
Billy juga menyampaikan bahwa tayangan “Indigotalk Travel” tersebut menggunakan gaya dokumenter dan tidak dibuat-buat.
“Tentunya dengan gaya dokumenter yang raw (mentah) dan spontaneous (spontan) tidak scripted (tidak menggunakan skrip),” tambahnya.
Semua produksi konten yang dilakukan dibuat sealami mungkin tanpa dipaksa. Bahkan biasanya ia lakukan di kafe-kafe atau tempat yang jauh dari kesan horor, untuk menyampaikan pesan kepada publik.
“Karena memang tujuan saya untuk ‘Indigotalk Travel’ adalah membuat penonton paham dan bisa mengerti, bisa seakan masuk ke dalam kehidupan orang yang saya wawancara bahwa betapa sulitnya menjadi seorang yang memiliki kemampuan spiritual yang tidak semua orang percaya,” pungkas Billy.
Konten horor dan euforianya
Dulu, menonton film horor di bioskop atau layar tancap menjadi satu-satunya sumber hiburan untuk menikmati genre tersebut, namun kini setiap kisah horor dapat dinikmati dengan mudah melalui media sosial yang ada.
Baca selengkapnyaKonten horor dan euforianya
Sebelum era internet dan telepon pintar, menonton film horor di bioskop atau layar tancap atau membaca dari buku menjadi satu-satunya sumber hiburan untuk menikmati genre tersebut.
Kini kisah horor dapat dinikmati hanya dari gawai, diakses kapan saja suka.
Perubahan dari menikmati konten horor dari sinema menuju media sosial berpengaruh besar terhadap masyarakat itu sendiri terkhususnya generasi muda.
Rizky Ardi Nugroho, pencetus siniar “Do You See What I See” membagikan kisahnya dalam membangun siniar horor dan pengaruhnya terhadap masyarakat Indonesia.
Orang-orang menyampaikan berbagai alasan kenapa mereka senang mendengarkan kisah horor kepada Rizky.
“Beberapa alasan mereka suka itu karena konten horor itu membuat deg-degan dan seru, mereka juga penasaran dengan hal-hal aneh yang dialami orang lain sampai kedekatan cerita mistis yang dialami dengan budaya di sekitarnya,” kata Rizky.
Rizky juga mengungkapkan bahwa lebih dari 30 persen pendengarnya adalah pengguna muda dengan rentang umur 23-27 tahun. Pendengar yang berumur lebih muda sebanyak 14 persen dengan rentang umur 18-22 tahun juga masih sering mendengarkan siniarnya.
Data-data itu menunjukkan besarnya interaksi dan pengaruh salah satu media baru horor berformat siniar kepada generasi muda.
Saat ini, siniar “Do You See What I See” yang dimulai dari berkolaborasi telah berhasil “melahirkan” kreator horor lainnya seperti kanal “Lonceng Mystery” dan “Terbangun Tengah Malam”.
Selain kolaborasi serta pertumbuhan di siniar “Do You See What I See”, perkembangan tersebut juga lahir di kanal Billy Christian yang membagikan kisah orang “indigo” (karakter manusia yang dicirikan dengan kecerdasan dan kemampuan spiritual yang tinggi) dan menggabungkannya dengan berwisata ke tempat-tempat angker.
Pengaruhnya terhadap anak muda dapat dilihat dari antusiasme serta interaksi para penggemar yang berkomentar di kanal YouTube miliknya.
“Saya hanya melakukan observasi melalui kolom komentar di YouTube dan media sosial saya, Instagram,” ucapnya.
Penggemarnya biasa memberikan saran tentang tren horor apa yang menarik untuk dibahas oleh Billy.
“Kadang banyak juga request-request (permintaan) dari para subscriber (pelanggan) saya untuk membahas suatu topik atau tema yang sedang hot (sedang tren),” kata Billy.
Ia melakukan hal itu karena menganggap keberadaan para penggemar sangatlah penting. Bagi Billy, tanpa mereka ia bukan apa-apa.
“Fans service (memuaskan penggemar) itu penting. Apalah saya jika tidak ada yang mendukung dan menyemangati saya,” tambahnya.
Setelah menampung banyak saran dari penggemar, keputusan mengenai konten tetap Billy fokuskan kepada sesuatu yang otentik dan bukan tujuan untuk terkenal.
“Tapi balik lagi, saya tidak suka ikut-ikutan. Logika berpikir saya, jika saya tidak bisa memberikan perspektif baru, buat apa saya buat? Toh semua orang sedang membahas itu,” katanya.
Kanal YouTube milik Billy Christian ini sudah berkembang sampai memiliki 600.000 pelanggan. Ia juga menambahkan jika penontonnya lebih banyak anak muda dengan rentang umur 25-34 tahun.
“Anak muda masih butuh hiburan, media YouTube masih menjadi pilihan diantara gempuran media lain. YouTube masih dianggap gratis, dibandingkan OTT (Over The Top) yang harus berbayar,” lanjut Billy tentang pengaruh dan perannya sebagai media baru yang menayangkan konten horor di mata anak muda.
Alasan mengapa generasi muda sangat gemar dengan konten horor kemudian dijawab oleh Iswan Saputro selaku psikolog klinis. Ia menjelaskan jika hal ini berkaitan dengan hormon di dalam tubuh.
“Secara psikologis, film horor atau hal-hal yang menakutkan itu menimbulkan emosi rasa takut. Rasa takut secara biologis itu bisa mentrigger (memicu) produksi hormon adrenalin, endorfin, dan dopamin. Karena ketiga hormon tadi itu akan membantu kita untuk fight or flight response (respon melawan atau melarikan diri),” kata Iswan saat menjelaskan kepada ANTARA, Jumat (10/11).
Terdapat lonjakan adrenalin yang luar biasa ketika menonton film maupun kisah horor dan akan menimbulkan gejala seperti fisik bergetar, tremor kemudian berkeringat dan lain sebagainya yang membuat seseorang suka untuk mengulang-ulang film horor.
Bagi sebagian orang, menaklukan rasa takut itu dapat menjadi solusi bagi sensasi yang diinginkan. Tetapi hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah adiksi, karena arti dari adiksi sendiri yaitu ketika seseorang kehilangan kendali atas apa yang disukai.
“Jadi kecanduan film horor itu bukan term yang tepat untuk kita gunakan, namun ada beberapa orang yang memang menyukai film horor karena sensasi adrenalin yang dirasakan,” lanjutnya.
Tidak jarang terdapat euforia yang meriah dari penggemar terhadap satu film horor tertentu. Dari sudut pandang psikologi klinis, euforia berarti kondisi dimana individu merasa sangat bahagia atau sangat tertarik terhadap sesuatu.
“Nah, kondisi euforia disini bisa muncul ketika kita menyukai atau sudah mengetahui apa yang kita sukai. Misalnya, kita menyukai film horor dan kita sangat menunggu film atau serial horor tertentu, atau dimainkan oleh aktor yang kita sukai, atau diproduksi oleh production house atau sutradara yang kita nantikan,” jelas Iswan.
Terakhir, Iswan juga menambahkan jika euforia yang dihasilkan bisa datang dari orang-orang memang gemar dengan film horor tersebut atau dibangun sendiri oleh pemasaran dari film horor dibuat.
“Apakah dari sisi marketing (pemasaran) yang berhasil untuk menarik perhatian dari para penonton? Atau euforia ini didapat karena kita ikut-ikutan hype (sedang populer) yang diciptakan. Misalnya, teman-teman kita lagi nonton ini, kemudian kita tertarik juga untuk ikut nonton agar bisa belong (tergabung) dengan lingkungan,” tambahnya.
5 Akun YouTube Sebagai Alternatif Sinema Horor
Di era digital saat ini, tayangan horor tidak melulu dapat dikonsumsi melalui layar lebar, tetapi juga dapat melalui media sosial. Berbagai aplikasi di media sosial menyediakan akses terhadap tayangan horor seperti YouTube.
Berikut adalah lima kanal YouTube yang bisa kamu kunjungi sebagai alternatif horor selain layar lebar. Yuk simak!
Billy Christian
https://www.youtube.com/@BillyChristianMenyajikan tayangan horor melalui vlog (video blog), kanal YouTube dengan nama Billy Christian menghadirkan pengalaman berkunjung ke situs-situs yang erat dengan kisah horor dimulai dari dalam hingga luar negeri. Berani nonton?
Do You See What I See
https://www.youtube.com/@doyouseewhatisee1464Kalau kamu bosan dengan tampilan visual dari tayangan horor, kamu bisa mencoba mendengarkan Do You See What I See. Kisah horor lokal dengan audio berkualitas pasti bisa buat kamu ketakutan tanpa melihat. Mau dengar kisah horornya?
Malam Mencekam
https://www.youtube.com/@MalamMencekamKanal Malam Mencekam menghadirkan malam-malam mencekam dan malam tanpa tidur jika kamu menontonnya sebelum tidur. Malam Mencekam menghadirkan ragam narasumber dari berbagai latar belakang dan wilayah serta kisah- kisah mereka yang unik namun tetap buat bergidik.
Jurnal Risa
https://www.youtube.com/@jurnalrisaJurnal Risa merupakan kanal YouTube yang mencoba membawa penonton lebih dekat dengan tempat-tempat tertentu dengan makhluk mistis yang menunggu di sana. Biasanya, makhluk mistis tersebut akan merasuki salah satu tim dan berkisah tentang apa yang terjadi dari mata mereka.
Ewing HD
https://www.youtube.com/@EwingHDTVJika sebelum-sebelumnya kental dengan unsur mistis, Ewing HD menayangkan sesuatu yang berbeda. Lebih banyak membawakan cerita- cerita misterius dimulai dari pembunuhan hingga penculikan. Ewing HD mencoba menguak misteri dengan gaya cerita yang tidak membosankan.
Dari kisah menyeramkan Suzzanna hingga evolusi film horor yang terus berubah, terasa getaran ketegangan dari layar lebar hingga era digital. Tentu, alternatif horor di dunia YouTube juga membuka lembaran baru, menjembatani masa lalu dengan masa kini.
Credit
PENGARAH
Akhmad Munir, Gusti Nur Cahya Aryani, Teguh Priyanto
PRODUSER EKSEKUTIF
Sapto HP
PRODUSER
Ida Nurcahyani
CO PRODUSER
Farika Nur Khotimah
PENULIS
Farika Nur Khotimah, Jeremy Putra Budi Salenusa
EDITOR TEKS
Ida Nurcahyani
INFOGRAFIK
Abdul Kahfi, Wasril, Chandra
EDITOR INFOGRAFIK
Heppy, Rany
FOTOGRAFER
Moch Asim, Aji Styawan, Aditya Pradana Putra, Andri Saputra
FOTO
ANTARA FOTO, Dokumentasi pribadi Clift Sangra
DATA DAN RISET
Pusat Data dan Riset Antara
WEB DEVELOPER
Y. Rinaldi