Kita mencatat menguatnya politik identitas setelah Pilkada 2017. Sehingga berpotensi menurunnya kualitas kebijakan publik yang sarat dengan kepentingan tertentu
Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan bahwa intoleransi yang merupakan salah satu persoalan pelanggaran HAM yang disoroti, merupakan buah dari adanya politik identitas setelah Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019.
"Kita mencatat menguatnya politik identitas setelah Pilkada 2017. Sehingga berpotensi menurunnya kualitas kebijakan publik yang sarat dengan kepentingan tertentu," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara usai peluncuran Laporan Tahunan 2018 di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu.
Kualitas kebijakan publik, lanjut dia, menjadi imbas dari adanya politik identitas yang menghadapkan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan.
"Akibatnya pada kualitas kebijaan publik, baik di pemerintah daerah dan kepolisian selaku aparat keamanan, ketika mengeluarkan instruksi atau kebijakan lebih banyak dipengaruhi oleh desakan massa segala macem," imbuh Beka.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa belakangan ini aktor intoleransi lebih banyak dilakukan oleh pejabat negara dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif.
"Aktornya mengalami pergeseran. Dulu banyak dilakukan oleh non-state actor. Namun belakangan semakin banyak aktor-aktor negara yang justru banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang pada akhirnya menimbulkan intoleransi di masyarakat," tutur Beka.
Kebijakan dari kepala daerah yang dinilai diskriminatif itu, lanjutnya, diterapkan lewat peratuan daerah (perda) dan keputusan kepala daerah.
"Akibatnya pada kualitas kebijakan publik baik di pemerintah daerah dan kepolisian selaku aparat keamanan, ketika mengeluarkan instruksi atau kebijakan lebih banyak dipengaruhi oleh desakan massa," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM lainnya, Amiruddin menegaskan bahwa intoleransi tak seharusnya terjadi dan semua warga negara Indonesia sepatutnya memiliki hak yang sama.
"Konstitusi Indonesia tidak mengenal minoritas-mayoritas. Apapun itu, selama dia warga negara Indonesia, mendapat hak yang sama," ucapnya.
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019