Pilihan tersebut sangat tepat karena pembangunan infrastruktur dasar akan memberikan manfaat dalam jangka panjang jika disertai dengan ketersediaan SDM yang berkualitas.
Pertimbangan kedua adalah agar bonus demografi benar-benar memberikan manfaat yang optimal. Selama 10 tahun terakhir data ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sekitar 51 persen angkatan kerja berpendidikan setingkat SD, dan sekitar 48 persen berpendidikan setingkat SMP/SMA. Artinya, hanya sekitar 10 persen angkatan kerja yang berpendidikan tinggi.
Fakta ini tentu membawa konsekuensi rendahnya produktivitas nasional jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dimana angkatan kerjanya didominasi oleh SDM berpendidikan tinggi.
Tantangan besar lain adalah adanya sekitar 1,8 juta lulusan SMA/SMK/MA plus sekitar 1,3 juta lulusan perguruan tinggi sebagai pekerja baru setiap tahun. Itulah sebabnya Pemerintah sangat perhatian terhadap berbagai upaya mempermudah investasi, dengan harapan tercipta lapangan kerja baru.
Melihat persoalan tersebut, maka penting untuk melanjutkan penataan pendidikan di Indonesia. Salah satu terobosan yang dilakukan dengan merevitalisasi SMK bekerjasama dengan industri.
Pemerintah akan meningkatkan dari 2.600 SMK menjadi 5.000 SMK selama lima tahun mendatang yang bekerjasama dengan industri agar siswa memiliki akses kerja praktek.
Selain itu diperlukan revitalisasi sekitar 150 politeknik dan membangun 500 politeknik baru agar mampu menampung sebagian dari 1,8 juta lulusan SMA/SMK/MA. Upaya ini merupakan terobosan agar tercipta critical mass tenaga trampil yang keterserapannya sangat tinggi.
Terobosan ini diikuti dengan kebijakan afirmasi pemberian bantuan pendanaan bagi anak dari keluarga tidak mampu melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah diharapkan mampu menekan angka kemiskinan.
Anak-anak diharapkan masuk ke Politeknik selain siap bekerja juga sebagian diharapkan mampu menjadi wirausaha baru.
Penataan beban dosen
Berbagai terobosan telah disiapkan guna meningkatkan kualitas SDM dan Pemerintah terus berupaya memenuhi amanat Undang-undang dengan menyediakan pembiayaan pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Tiga kementerian pengelola dana pendidikan terbesar adalah Kemendikbud, Kemenristekdikti dan Kemenag.
Selain itu masih terdapat lebih dari 18 kementerian/lembaga yang juga memanfaatkan anggaran fungsi pendidikan.
Hingga saat ini di bawah Kemenristekdikti terdapat setidaknya 11 Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Perguruan Tinggi tersebut diberikan keleluasaan, selain itu harus masuk sembilan peringkat nasional dalam publikasi internasional dan paten, telah terakreditasi institusi "A" oleh BAN PT, mendapat opini keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama dua tahun berturut-turut, serta prestasi kegiatan kemahasiswaan di tingkat internasional.
PTN BH memiliki otonomi luas dalam hal akademik. Salah satunya, PTN BH dapat membuka dan menutup program studi di perguruan tingginya. Pendapatan PTN Badan Hukum bukan merupakan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Artinya, PTN BH memiliki keleluasaan dalam mobilissasi recources. Berbagai kemudahan yang diberikan kepada PTN BH dimaksudkan agar mampu melakukan lompatan dan masuk world class university.
Sayangnya hingga saat ini dirasakan masih belum mampu melakukan lompatan. Oleh sebab itu muncullah pemikiran untuk merekrut rektor dari negara lain agar mampu meningkatkan rangking dan kinerja perguruan tinggi. Apakah dengan merekrut rektor dari negara lain akan mampu meningkatkan rangking dengan cepat?
Menurut pengamatan, setidaknya terdapat beberapa faktor yang menentukan kinerja perguruan tinggi. Pertama, academic atmosphere harus dibangun agar kondusif bagi kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Jangan lupa ada kewajiban bagi dosen untuk melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi di luar negeri tidak mengenal pengabdian masyarakat.
Di bidang pendidikan tinggi, sangat prihatin mendengar begitu banyak dosen yang harus mengajar 6-9 kelas dalam satu semester mencakup S1, S2 dan S3. Belum lagi tugas pembimbingan skripsi dan thesis serta tidak jarang dosen masih mendapat tugas struktural.
Idealnya seorang dosen maksimal mengajar 5 kelas (15 SKS) dan itu artinya 2,5 hari dihabiskan waktunya untuk menyiapkan bahan ajar dan mengajar. Sementara 2,5 hari dihabiskan untuk pembimbingan skripsi/thesis dan melakukan penelitian serta pengabdian masyarakat.
Mengapa dosen harus mengajar hingga 6-9 kelas tiap semester? Jawaban utama disebabkan karena kekurangan dosen. Persoalannya jika harus mengajar sebanyak itu, maka kapan dosen mampu melakukan penelitian dan menerbitkan karyanya di jurnal ilmiah? Alasan lain karena pendapatan dosen relatif rendah. Akibatnya harus mencari tambahan dengan mengajar lebih banyak kelas.
Masalah klasik dan dihadapi oleh PT BH adalah kekurangan jumlah dosen karena formasi sangat terbatas dan tidak mampu mengimbangi jumlah dosen yang pensiun.
Bagaimana dengan kegiatan penelitian? Persoalan kedua ini lebih disebabkan karena ketersediaan anggaran penelitian yang terbatas dan mekanisme pertanggungjawaban anggaran penelitian yang justru time consuming.
Para peneliti lebih disibukkan oleh urusan administrasi yang dibuat demi memastikan post audit tidak timbul masalah. Selain itu jarang anggaran penelitian yang sifatnya multi years sehingga keberlanjutan penelitian terganggu karena menggunakan sistem pertanggungjawaban setiap akhir tahun.
Idealnya seorang dosen maksimum boleh mengelola dua competitive research grant. Setiap research grant harus melibatkan setidaknya 3 mahasiswa program S2/S3. Seorang dosen dibatasi maksimal membimbing mahasiswa S1, S2 dan S3 sebanyak 9-10 orang. Dengan demikian kualitas penulisan skripsi atau thesisnya terjaga.
Jika ini dapat dipertahankan, maka setidaknya tiap tahun seorang dosen mampu menghasilkan 2 publish paper. Tentu saja agar dapat melakukan penelitian yang baik, diperlukan investasi yang besar atas sarana laboratorium. Hal inilah yang sangat dirasakan kurang diperhatikan di berbagai PTN BH.
Rektor dari luar
Gagasan merekrut Rektor dari luar negeri ramai diperbincangkan. Banyak yang meragukan keberhasilannya. Mari disimak beberapa pertimbangan. Sistem jenjang dosen di Perguruan Tinggi luar negeri berbeda dengan di Indonesia.
Di luar negeri, seorang dosen meniti karier melalui jenjang tenure, assistant professor, associate professor dan full professor. Pada tiap jenjang tersebut seorang dosen harus mencapai kinerja yang telah disepakati, jika tidak tercapai maka tidak akan naik jenjangnya dan bisa kehilangan pekerjaan.
Tidak demikian halnya bagi dosen di PTN BH, mereka tidak dapat diberhentikan dengan mudah sekalipun target tidak tercapai. Lebih ekstrem lagi, dosen yang tidak perform sekalipun tidak dapat dengan mudah diberhentikan sebagaimana Rektor di luar negeri bisa dengan mudah memutus kontrak dosen jika target tidak tercapai.
Inilah tantangan yang akan dihadapi oleh seorang Rektor dari luar negeri. Selain itu rektor di luar negeri, insentifnya dikaitkan dengan kemampuan meningkatkan endowment fund. Jadi tidak heran jika rerata penghasilan rektor dari universitas di luar negeri sekelas UI, UGM dan ITB adalah di atas US$ 1,000,000 per tahun.
Bagaimana dengan di Indonesia? Rerata take home pay Rektor PTN BH pada kisaran Rp750 juta per tahun. Jika demikian apakah mungkin rektor dari luar negeri mau menerima penghasilan katakanlah Rp1 M per tahun? Belum lagi agar dapat dilaksanakan maka Peraturan Pemerintah yang mendasari lahirnya PT BH harus diubah, karena dalam PP tersebut diatur bahwa jabatan rektor syaratnya adalah Warga Negara Indonesia.
Tahun 2015 Kemenko PMK mengadakan FGD membahas berbagai upaya peningkatan kualitas pendidikan tinggi. Salah satu rekomendasinya, agar dilakukan “penugasan khusus” kepada PTN BH untuk melakukan pendidikan dan menghasilkan kualitas sekelas perguruan tinggi di luar negeri.
Syaratnya adalah “berikan beasiswa yang setara”. Misalkan, LPDP memberikan beasiswa untuk program master di luar negeri. Rata-rata menghabiskan sekitar Rp1 M sementara untuk program doktor sekitar Rp3 M.
Sekarang berikan beasiswa Rp500 juta untuk tiap mahasiswa program master dan Rp1,5 miliar untuk program doktor di dalam negeri. Maka saya yakin bahwa hasilnya akan bagus. Jadi katakanlah Rp400 juta dalam bentuk tuition fee untuk program master selama 4 Semester. Sisanya Rp100 juta untuk beasiswa selama 24 bulan. Dengan cara demikian maka PNBP PTN BH meningkat, kualitas meningat dan PTN BH dapat memberikan insentif lebih baik.
Nampaknya, perlu dicoba merekrut rektor dari luar negeri setelah berbagai aturan dilakukan penyesuaian untuk memimpin PTN BH. Tentu saja rektor PTN BH yang lain dari dalam negeri juga harus mendapatkan perlakuan yang sama.
Dengan demikian akan nampak nanti hasilnya apakah keduanya sama baiknya atau tidak. Jika playing field-nya sama tetapi kinerjanya berbeda, maka menjadi makin beralasan untuk memilih yang terbaik.
Tidak ada salahnya untuk melakukan perubahan dan memberikan wake up call agar kita tidak terus menerus di comfort zone. Begitu banyak anak bangsa yang mumpuni asalkan diperlakukan sama.
*) Agus Sartono adalah Deputi Bidang Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Baca juga: Rencana rektor asing, UGM: perbaiki dulu internal PTN
Baca juga: Pengamat: berdayakan putra bangsa dari pada datangkan rektor asing
Copyright © ANTARA 2019