Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia menilai risiko global relatif kecil untuk terjadinya perang mata uang karena negara-negara dunia akan lebih memprioritaskan kebijakan guna meningkatkan permintaan dan konsumsi domestik, di tengah perlambatan perekonomian global.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo saat dihubungi Antara, mengatakan pelemahan mata uang dengan sengaja yang terus-menerus, akan berdampak negatif pada permintaan domestik negara tersebut. Hal itu juga kontradiktif dengan upaya negara-negara di dunia untuk menumbuhkan konsumsi dan investasi yang sedang dibutuhkan untuk membendung perlambatan ekonomi global.
"Negara-negara perlu juga untuk memberikan topangan pada permintaan domestik, risiko 'currency war' (perang mata uang) tidak besar terlebih di tengah permintaan global yang memang sedang melemah," kata Dody pada Rabu di Jakarta.
Saat ini kata Dody, memang terdapat dugaan China sedang mendevaluasi mata uangnya. Namun, Dody meyakini China tidak akan terus-terusan untuk sengaja mendepresiasi mata uangnya. Pelemahan mata uang yang terus menerus akan berisiko terhadap ekonomi China.
"Kurs Yuan China yang terlalu lemah tentunya akan menekan konsumsi dan investasi yang saat ini sedang dibutuhkan Tiongkok untuk memitigasi kinerja eksternalnya yang menurun," ujar dia.
Dody mengatakan saat ini fokus BI adalah mencegah risiko yang dapat mengganggu makro ekonomi domestik dan stabilitas sistem keuangan.
"Risiko potensial, dari sumber mana pun, dihitung oleh BI dan akan dipertimbangkan dalam perumusan bauran kebijakan," ujar dia.
Terkait dampak pelemahan yuan yang bisa meningkatkan risiko di pasar keuangan dan bisa menggerus nilai tukar rupiah, Dody mengatakan BI akan selalu bersiaga di pasar untuk memastikan nilai rupiah tetap sejalan dengan fundamentalnya. BI tetap akan melakukan intervensi di pasar spot dan pasar valas berjangka atau domestik NDF.
"Kami juga akan menjaga likuiditas pada tingkat yang memadai dan memastikan mekanisme pasar untuk beroperasi dengan baik," ujar dia.
Dody mengatakan bank sentral akan terus mempercepat pendalaman pasar keuangan, baik di pasar uang dan valuta asing. Hal itu juga termasuk menyediakan mekanisme lindung nilai dengan harga lebih rendah.
Pada Selasa (7/8) kemarin rupiah bergerak lunglai meskipun di akhir sesi perdagangan kembali menguat. Rupiah ditutup melemah 22 poin atau 0,15 persen di spot menjadi Rp14.277 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.255 per dolar AS.
Pada Rabu pagi ini, rupiah dibuka dengan bergerak menguat 8 poin atau 0,05 persen menjadi Rp14.269 per dolar AS dibanding penutupan di hari sebelumnya yakni Rp14 277 per dolar AS.
Baca juga: Rupiah masih lanjut melemah akibat "terpapar" perang dagang
Baca juga: Darmin khawatir pelemahan yuan pengaruhi mata uang lainnya
Baca juga: China: Pelabelan manipulator mata uang picu kekacauan pasar keuangan
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019