Jerusalem, (ANTARA News) - Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Jimmy Carter mengatakan, Senin, kelompok Hamas siap hidup berdampingan secara damai dengan Israel jika ada perjanjian yang didukung rakyat Palestina melalui referendum. "Masalahnya bukan saya bertemu dengan Hamas di Suriah. Problemnya adalah Israel dan Amerika Serikat menolak bertemu dengan pihak yang seharusnya dilibatkan," kata Carter, sebagaimana dikutip kantor berita Ria Novosti. Carter mendapat kecaman keras dari Presiden AS George W. Bush dan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert karena bertemu dengan para pemimpin Hamas. Hamas menguasai Jalur Gaza dan dipandang sebagai organisasi teroris baik oleh AS maupun Israel. Setelah bertemu para pemimpin gerakan Hamas, termasuk Khaled Meshaal di Suriah, Carter berkata,"Mereka mengatakan akan menerima sebuah negara Palestina berdasarkan tapal batas tahun 1967 jika hal itu disetujui rakyat Palestina...walau Hamas mungkin tak setuju dengan beberapa hal dalam kesepakatan itu." Menurut dia, Hamas tidak akan merongrong usaha-usaha Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk merundingkan suatu kesepakatan dan Hamas akan menerima hal tersebut jika rakyat Palestina mendukung kesepakatan itu lewat sebuah Pemilu yang bebas. Pertemuan tingkat tinggi yang diselenggarakan AS pada November lalu menghendaki dimulainya kembali pembicaraan antara otoritas nasional Palestina dan Israel setelah tujuh tahun terputus. Kedua pihak berjanji untuk melakukan semua hal yang bisa dilakukan untuk merancang suatu penyelesaian damai pada akhir 2008 dan mencapai suatu perjanjian tentang bentuk negara Palestina merdeka. Namun, pembicaraan tak berlanjut sejak bulan lalu akibat serangan biadab Israel ke Jalur Gaza yang menewaskan 120 warga Palestina. Abbas mengumumkan pihaknya akan memulai pembicaraan lagi setelah pada akhir Maret bertemu dengan Menlu AS Condoleezza Rice. Moskow berniat menjadi tuan rumah konferensi perdamaian Timur Tengah, sebagai kelanjutan dari pertemuan di Annapolis, AS, akhir November lalu. Pertemuan tersebut, yang didukung sejumlah negara termasuk Suriah, diharapkan menghasilkan terobosan dan memperkuat peran Rusia dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008