Kediri (ANTARA News) - Riwayat danau kawah Gunung Kelud telah berakhir sejak enam bulan lalu. Sejak itu sirnalah sudah danau kawah berair hangat yang berada di atas ketinggian 1.113,9 meter dari permukaan laut itu.Namun, sebuah fenomena baru langsung menggantinya. Sebuah sumbat lava berbentuk kubah terbentuk. Sumbat itu pula yang menyirnakan danau "ikon" Kelud, seluas 400 meter persegi itu.Fenomena baru ini lantas mengubah panorama gunung api setinggi 1.731 meter di perbatasan Kediri-Blitar-Malang, Jawa Timur itu. Setelah hilangnya danau kawah, sebagian orang beranggapan, Gunung Kelud sudah tidak memiliki daya tarik lagi. Namun yang terjadi justru sebaliknya, setiap hari jumlah pengunjung rata-rata mencapai 150 orang. Sedang setiap akhir pekan dan hari libur lainnya jumlah pengunjung bisa mencapai angka 300 hingga 500 orang. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan saat Gunung Kelud masih memiliki danau kawah. Para wisatawan ingin menyaksikan dari dekat sumbat lava yang kini tingginya mencapai 250 meter itu. Mereka banyak yang tak hirau pada rekomendasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), yang hingga kini belum mencabut status waspada (pada level II) Gunung Kelud. Dengan status itu berarti dalam radius 1,5 kilometer dari kawah merupakan zona terlarang, apalagi sampai saat ini gempa embusan dari dalam kawah masih terus berlangsung rata-rata 10 kali dalam satu hari. Peringatan Pemkab Kediri tentang situasi Gunung Kelud yang masih berbahaya, juga tak cukup mampu membendung rasa penasaran wisatawan. Sehari setelah statusnya diturunkan dari Siaga (Level III) ke Waspada pada 8 November 2007 lalu, Pemkab Kediri telah memasang pintu besi di mulut Terowongan Ampera yang merupakan satu-satunya akses jalan menuju kawah Gunung Kelud. Upaya selanjutnya adalah membuat pintu besi setinggi dua meter lengkap dengan kawat berduri yang ditempatkan satu kilo menjelang terowongan. Tapi dua pintu besi itu masih diterobos. "Setiap hari kami kewalahan menghadapi wisatawan," kata Utomo penjaga pintu Kelud mengeluhkan sikap bandel wisatawan. Anehnya beberapa wisatawan yang dicegat Utomo di pintu itu malah memarkir kendaraan di depan pintu dan menerobos dengan cara merayap di tebing perbukitan yang terjal sebelum jalan kaki sejauh 1,5 kilometer menuju kubah lava. Cara ini tentu sangat membahayakan jiwa wisatawan. "Lha wong, orang ingin tahu, kok dilarang. Jauh-jauh dari Madiun saya ke sini, hanya ingin tahu seperti apa Gunung Kelud setelah tak jadi meletus," kata Yatman (78), warga Desa Demangan, Taman, Madiun, yang dibantu tiga cucunya merayap tebing di sebelah barat pintu besi itu. Pemkab Kediri dan PVMBG tidak bertanggungjawab terhadap jiwa wisatawan yang tetap saja nekat menerobos rambu Waspada. Berharap Status Diturunkan Para wisatawan dan pedagang di sekitar obyek wisata andalan Kabupaten Kediri itu berharap agar status Gunung Kelud diturunkan menjadi Aktif Normal (Level I) mengingat selama dua bulan terakhir ini aktivitasnya relatif stagnan. "Sudah tidak jadi meletus, ditambah sekarang sudah agak tenang, mengapa statusnya tidak diturunkan saja?" kata Kamsirah, salah seorang pedagang makanan di Dusun Margomulyo, Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Ia justru kasihan melihat para wisatawan yang sudah datang jauh-jauh, tapi harus beradu nyali untuk bisa melihat dari dekat kawah yang kini berubah bentuk menjadi gundukan panas berwarna hitam pekat yang setiap saat mengeluarkan asap putih itu. "Mumpung masih seperti ini, nanti kalau sudah tidak ada aktivitasnya, saya yakin Gunung Kelud tidak akan banyak dikunjungi orang," katanya menambahkan. Memang sejumlah wisatawan masih merasakan daya pikat gunung api itu kendati sudah tidak bisa lagi merasakan kesegaran air hangat danau kawah. "Ini kan fenomena alam, yang tidak pernah diduga sebelumnya. Makanya tidak ada alasan untuk menutup akses jalan menuju Kelud," kata M Arif, wisatawan asal Desa Tiru Kidul, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri itu. Namun tidak demikian bagi petugas pengamatan Gunung Kelud, Khoirul Huda. "Selagi PVMBG belum mengumumkan perubahan status Gunung Kelud, maka kami tak akan membuka pintu itu," katanya saat ditemui di Pos Pengamatan Gunung Api (PPGA) Kelud di Dusun Margomulyo. Menurut dia, tidak mudah bagi PVMBG untuk menurunkan status, apalagi sampai saat ini perkembangan Gunung Kelud masih bersifat fluktuatif. Selain masih ada gempa embusan dengan rata-rata kejadian sebanyak 10 kali per hari, masih sering terekam adanya gempa tremor dan gempa tektonik jauh. Khoirul Huda menilai masyarakat kurang sabar. Hal ini tidak hanya terjadi saat ini, tapi juga saat aktivitas Gunung Kelud perlahan-lahan meningkat dari Aktif Normal (Level I) menjadi Waspada (Level II), dilanjutkan Siaga (Level III) dan Awas (Level IV) dalam waktu 59 hari. PVMBG dan Pemkab Kediri merasakan betapa sulitnya mengevakuasi warga yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana (KRB) I agar terhindar dari bencana letusan saat Gunung Kelud menyandang status Awas pada 16 Oktober hingga 8 November 2007 lalu. Sementara itu meskipun saat ini statusnya masih tetap Waspada, namun Pemkab Kediri telah mempersiapkan Gunung Kelud sebagai obyek wisata andalan. Pemkab Kediri kembali melakukan pelebaran jalan dari PPGA Margomulyo menuju areal parkir yang ada depan Terowongan Ampera, termasuk memperbaiki badan jembatan yang sempat berubah akibat adanya tekanan deformasi saat aktivitas Gunung Kelud meningkat beberapa waktu lalu. "Kami juga melakukan terobosan lain, bagaimana supaya Kelud ini masih layak dijual meskipun sudah tidak ada lagi danau air hangat," kata Kabag Humas Pemkab Kediri, Sigit Rahardjo. Pemkab Kediri juga tidak merisaukan hilangnya uang miliaran rupiah yang digunakan untuk membangun kolam renang air hangat di balik danau kawah. "Masih ada upaya lain untuk meneruskan pembangunan kolam renang air hangat itu. Pokoknya Gunung Kelud masih laku dijual," katanya sambil mengingatkan agar masyarakat tidak mendekat ke kubah lava selama Gunung Kelud berstatus Waspada. Tak mau kalah dengan tetangganya, Pemkab Blitar pun berencana membuat jalan tembus menuju ke Gunung Kelud. Tak tanggung-tanggung, Pemkab Blitar telah menganggarkan dana sebesar Rp400 juta untuk menyulap jalan makadam menjadi jalan beraspal hotmix sepanjang lima kilometer di Desa Tulungrejo, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar. "Kami sudah berkoordinasi dengan Perhutani untuk memuluskan rencana ini. Mudah-mudahan untuk tahap awal bisa direalisasikan mulai tahun ini," kata Kepala Dinas Prasarana Wilayah Kabupaten Blitar, Mangatas L Tobing kepada wartawan di Blitar, baru-baru ini. Bahkan Pemkab Blitar sendiri berencana akan menambah dana lagi hingga mencapai Rp5 miliar untuk memudahkan wisatawan yang dari arah Blitar menuju Gunung Kelud. Kendati secara administratif kawah Gunung Kelud berada di wilayah Kabupaten Kediri, namun pemukiman penduduk terbesar dan terdekat dengan kawah berada di wilayah Kabupaten Blitar. Dari beberapa kali terjadi letusan dahsyat, korban terparah berada di wilayah Kabupaten Blitar. Saat Gunung Kelud terakhir kali mengalami erupsi pada 10 Februari 1990 lalu, sebanyak 31 orang warga Kabupaten Blitar tewas. Sementara jumlah korban tewas di Kabupaten Kediri hanya dua orang. Kemudian saat Pemkab Kediri membangun sarana dan prasarana di sekitar Gunung Kelud pada awal 2003 lalu, Imam Muhadi yang saat itu menjabat Bupati Blitar melayangkan protes lantaran tidak diajak bicara dan tidak dilibatkan dalam proyek itu. Imam Muhadi menilai Bupati Kediri Sutrisno hanya ingin mengambil buahnya saja dari Gunung Kelud, tanpa melihat penderitaan warga Kabupaten Blitar yang selalu menjadi korban setiap kali terjadi bencana letusan. (*)
Oleh Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008