Jakarta (ANTARA) - Ketergantungan impor benih padi hibrida perlu dikurangi, sebelum pemerintah nantinya memberi insentif kepada institusi-institusi pendidikan untuk mengembangkan pusat penelitian padi hibrida baru, demikian pendapat peneliti senior CIPS Indra Krishnamurti.
"Ke depannya, hanya kesinambungan peneliti yang akan mampu mempertahankan dan memperluas pengembangan padi hibrida di Indonesia," kata Krisna, saat membawakan materi "Prospek dan tantangan padi hibrida di Indonesia," di Jakarta, Selasa.
Indra juga mengungkapkan bahwa pusat-pusat penelitian lokal di Indonesia harus berupaya mengembangkan varietas-varietas yang sesuai dengan selera konsumen dan kondisi iklim serta tanah di berbagai wilayah Indonesia.
Dari hasil riset CIPS, harga benih hibrida memang lebih mahal daripada benih inbrida yakni mencapai Rp 110.000 sampai Rp135.000/ kilogram. Namun para petani tidak menganggapnya sebagai kendala, karena mereka percaya bahwa benih tersebut akan menghasilkan padi yang berharga tinggi saat dipanen.
Masalah harga dapat diantisipasi saat petani tergabung dalam kelompok tani. Dengan bergabung ke kelompok tani, mereka dapat membeli benih dengan harga lebih murah, yakni dari harga Rp 115.000/kilogram menjadi Rp 98.000/kilogram.
Pemerintah melakukan intervensi regulasi untuk padi hibrida. Melalui Peraturan Pemerintah Pasal 5(1)b tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih Tanaman, dinyatakan bahwa benih padi hibrida F1 diizinkan untuk diimpor tiga tahun setelah pelepasan varietas.
Namun dari Pasal 10 peraturan di atas, impor seperti itu dapat dilakukan tergantung dari adanya kekurangan pasokan benih di dalam negeri, tanpa pembedaan yang jelas antara benih hibrida dan inbrida. Maka dalam beberapa kejadian, pemerintah dapat memblokir impor F1 hibrida karena alasan tidak ada kekurangan benih.
Baca juga: Impor Benih Padi Hibrida Maksimal 50 Persen dari Kebutuhan
Baca juga: Kementan dapat royalti penjualan bibit hibrida bawang merah
Pewarta: A Rauf Andar Adipati
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019