Jakarta (ANTARA) - Koalisi masyarakat sipil akan menyurati panitia seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023 dan Presiden Joko Widodo terkait kewajiban pelaporan harta kekayaan para calon pimpinan KPK.
"Dalam surat ini kami akan mengatakan bahwa berdasarkan UU KPK ada kewajiban hukum melaporkan harta kekayaan bagi calon pimpinan KPK dan kami meminta pansel dan Presiden mempertimbangkan hal ini sebagai hal utama dan karena kami mengirimkan surat secara tertulis maka kami juga minta balasan secara tertulis agar kami memiliki bukti jawabannya," kata perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Asfinawati yang juga Direktur YLBHI di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) Jakarta, Selasa.
Pada Senin (5/8), pansel capim KPK mengumumkan 40 nama kandidat calon pimpinan KPK yang lolos tes psikologi, namun dari nama-nama tersebut koalisi menilai masih ada orang-orang yang belum taat menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) padahal mereka wajib melaporkan LHKPN setiap 2 tahun atau bila mengalami rotasi/mutasi.
LHKPN merupakan suatu kewajiban hukum bagi setiap penyelenggara negara yang diatur dalam UU Nomor 28/1999, UU Nomor 30/2002, dan Peraturan KPK Nomor 07/2016.
Anggota koalisi lain, Feri Amsari, mengatakan bahwa seharusnya LHKPN menjadi syarat awal dan bukan baru diserahkan saat sudah menjabat sebagai pimpinan KPK.
Juga baca: IPW apresiasi ketatnya pansel seleksi capim KPK
Juga baca: Pansel capim KPK gali kemampuan memimpin para kandindat
Juga baca: 40 orang lolos tes psikologi calon pimpinan KPK
"Kami mempersiapkan surat karena kami anggap pansel melakukan beberapa kealpaan. Pertama, beberapa penyelenggara negara yang menjadi calon pimpinan KPK tidak taat melaporkan LHKPN meski sudah beberapa kali pansel mengatakan taat terhadap pasal 29 angka 11 UU KPK itu jadi lucu? Kenapa? Kalau belakangan diketahui harta kekayaan yang mercurigakan apakah itu bukan kemubaziran proses seleksi?" kata Amsari.
Pasal 29 UU Nomor 30/2002 tentang KPK mengatur mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menjadi pimpinan KPK dan pada angka 11 menyebutkan pimpinan KPK mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Aneh angka 11 yang mengatur soal LHKPN baru dipenuhi belakangan hari. Pansel belum bisa menjawab pertanyaan kita bagaimana kalau sampai terpilih orang yang harta kekayaan bermasalah? Toh mereka juga tidak bisa melakukan apa-apa karena nama-namanya sudah dikirim ke DPR misalnya," kata dia.
Amsari yang juga menjawab sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas itu juga mengatakan seharusnya pimpinan KPK adalah orang yang tidak boleh melakukan perbuatan tercela.
Dari 40 orang yang lolos tes psikologi, latar belakangnya adalah tujuh akademisi/dosen, dua advokat/konsultan hukum, tiga jaksa, satu pensiunan jaksa, satu hakim, enam polisi, empat auditor, satu anggota Komisi Kejaksaan/Komisi Kepolisian Nasional, lima anggota KPK atau pegawai di KPK, empat PNS, satu pensiunan PNS, dan lima orang berlatar belakang lain-lain.
Adapun polisi yang menjadi calon pimpinan yaitu:
1. Antam Novambar (wakil kepala Badan Reserse Kriminal Polri)
2. Bambang Sri Herwanto (widyaiswara madya Sespim Lemdiklat Polri)
3. Dharma Pongrekun (wakil kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN))
4. Firli Bahuri (kepala Polda Sumatera Selatan dan mantan deputi Penindakan KPK)
5. Juansih (analis Kebijakan Utama bidang Bindiklat Lemdiklat Polri)
6. Sri Handayani (wakil kepala Polda Kalimantan Barat)
Unsur penegak hukum yang juga lolos adalah tiga orang jaksa yaitu:
1. Johanis Tanak (jaksa, direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara)
2. Sugeng Purnomo (jaksa, direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus - kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan)
3. Supardi (koordinator pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, mantan Plt Direktur Pentuntutan KPK)
Sementara unsur internal KPK yang lolos adalah:
1. Alexander Marwata (anggota KPK 2015-2019)
2. Laode M Syarif (anggota KPK 2015-2019)
3. Chandra Sulistio Reksoprodjo (Kabiro SDM KPK)
4. Giri Suprapdiono (Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK)
5. Sujanarko (Direktur Jaringan dan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi ( KPK)
Nama Bahuri, Novambar, dan Pongrekun sebelumnya masuk dalam radar Koalisi Kawal Capim KPK yang diduga sempat tersandung dugaan pelanggaran etik dan diduga melakukan intimidasi pada pegawai KPK.
Bahuri diduga melakukan pertemuan dengan salah seorang kepala daerah padahal kepala daerah itu sedang diperiksa KPK dalam suatu kasus. Hal tersebut melanggar poin Integritas angka 2 Peraturan KPK Nomor 7/2013 yang menyebut pelarangan bagi pegawai KPK untuk mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka/terdakwa/terpidana atau pihak lain yang diketahui oleh Penasihat/Pegawai yang bersangkutan perkaranya sedang ditangani KPK, kecuali dalam melaksanakan tugas.
Novambar sempat diberitakan diduga melakukan intimidasi terhadap mantan Direktur Penyidikan KPK Endang Tarsa. Saat itu diduga dia meminta Tarsa bersaksi agar meringankan Budi Gunawan (yang kini adalah kepala BIN).
Sementara Pongrekun, diketahui sempat menandatangani surat pemanggilan untuk Novel Baswedan terkait dugaan penganiyaan berat hingga menyebabkan tewasnya pelaku pencurian sarang burung walet di Bengkulu pada 2004.
Tak hanya itu, Pongrekun juga sempat diisukan melakukan pelanggaran prosedur saat mengeluarkan salah seorang tahanan ketika yang bersangkutan menjabat sebagai wakil direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Pewarta: Desca Natalia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019