Klaten (ANTARA News) - Seorang oknum petugas ukur tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Klaten, Jateng, Slamet, mengakui dirinya telah menerima uang pungutan liar (pungli) selama lima kali pengukuran. Kasi Intel Kejari Klaten, Philipus Budiharjo S.H., di Klaten Jumat, mengatakan, telah memanggil petugas pengukur tanah BPN Klaten Slamet dalam proses sertifikasi prona dan dari hasil keterangannya, dirinya mengakui telah menerima uang senilai Rp400 ribu untuk lima kali proses pengukuran tanah prona 2007 sebesar Rp400 ribu. "Slamet menerima uang pengukuran dari Kepala Desa (Kades) Bero Sihono dengan alasan untuk biaya makan dan membeli bensin," katanya. Menurut dia, ada pula dugaan gratifikasi yang masuk dalam kasus prona itu, sehingga pihaknya akan meminta keterangan dari Bendahara BPN untuk mengklarifikasi masalah tersebut. "Kami akan tanyakan ke bendahara BPN Klaten mengenai kebenarannya dia menerima uang dan hal itu digunakan untuk apa, semuanya akan kami cek," katanya. Untuk hasil pemeriksaan terhadap Kades Bero, sejak Kamis (17/4) hingga sekarang belum selesai, dan pemeriksaan ini terkait dengan proses sertifikasi gratis kepada warga korban gempa di Desa Bero Kecamatan Trucuk. "Pemeriksaan terhadap Kades Bero masih terus dilakukan, karena masih ada beberapa masalah yang harus ditanyakan pada yang bersangkutan," katanya. Sementara itu Kepala Kejari Klaten Yusuf S.H. menjelaskan, pihaknya telah memeriksa sembilan orang terkait kasus dugaan pungli sertifikasi prona di Klaten. Namun, kasus tersebut masih dalam tahapan pengumpulan bahan keterangan dan masih belum naik ke tingkat penyidikan, karena masih membutuhkan keterangan-keterangan dari pihak lainnya. Kejari Klaten memanggil petugas pengukur tanah dari BPN Klaten dalam kasus dugaan pungli sertifikasi Prona itu, untuk mengetahui ada tidaknya dobel anggaran dalam kasus tersebut. Menurut Yusuf, dari keterangan aparat Desa Bero sebelumnya dan bukti-bukti yang dikumpulkan Kejari Klaten, memang ada indikasi pungutan liar dengan meminta kepada pemohon biaya pembuatan sertifikat gratis. "Mereka meminta biaya seperti yang dikeluarkan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Klaten secara fiktif. Misalnya, biaya blangko, pematokan, beaya operator, pengukuran, dan materai," kata Yusuf. Ia menjelaskan, ada oknum-oknum yang memanfaatkan bantuan tersebut dengan memungut biaya kepada warga pembuat sertifikat itu. Mereka dipungut antara Rp300 ribu hingga Rp1,9 juta per sertifikat.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008