Jakarta (ANTARA News) - Pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di Indonesia belum banyak memanfaatkan teknologi hemat bahan bakar minyak (BBM). Padahal penggunaan teknologi hemat energi di sektor pembangkitan sudah mendesak, akibat tingginya harga minyak dunia saat ini, kata Komisaris PT Artho Ageng Energi (AAE), Budi Harjanto, di Jakarta, Jumat, usai berbicara dalam seminar Efisiensi Penggunaan BBM bagi Pembangkit Listrik. Menurut Budi, sampai sekarang hampir semua PLTD yang dioperasikan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih menggunakan BBM jenis solar (high speed diesel/HSD). Kondisi itu menyebabkan biaya belanja solar PLN terus membengkak, sejalan dengan terus melambungnya harga minyak. Sebenarnya, lanjut Budi, tekanan biaya BBM itu bisa dihindari. Di banyak negara, pengoperasian PLTD sudah menggunakan BBM jenis lain yang lebih murah, yakni marine fuel oil (MFO). Saat ini harga HSD industri mencapai rata-rata Rp8.000 per liter, sedangkan harga MFO hanya sekitar Rp4.000. Dengan kata lain, pemakaian MFO bisa menghemat biaya BBM hingga 50 persen. "Penghematan itu sangat signifikan, mengingat konsumsi BBM untuk Pembangkit Jawa Bali (PJB) saja bisa mencapai 1,5 miliar liter tiap tahun," katanya. Hanya saja Budi mengakui, pengalihan solar ke MFO butuh investasi tambahan. Karena untuk mengganti pemakaian solar ke MFO, PLTD butuh alat tambahan. Menurut dia, teknologi konversi BBM bagi PLTD mudah diperoleh, mengingat alat tersebut sudah digunakan di banyak negara sejak 7-10 tahun lalu. PT AEE sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang solusi energi, juga telah memproduksi produk tersebut dengan nama CD92MD yang mengadopsi teknologi dari Jerman. Ia yakin, kebutuhan alat ini di Indonesia akan terus meningkat dengan terus meroketnya harga energi dunia. Selain untuk hemat BBM, produk itu juga mampu mendaur ulang endapan lumpur (sludge) yang terkandung dalam MFO. "Jika selama ini sludge itu dibuang, tetapi dengan alat tersebut bisa dijadikan bahan bakar kembali," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2008