Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menginginkan aparat penegak hukum meningkatkan profesionalitas dalam melakukan penindakan tersangka Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.
"Kenapa kami merekomendasikan supaya aparat penegak hukum kita meningkatkan profesionalitas dalam penindakan. Karena kita melihat proses hukumnya dalam beberapa kasus itu tidak berjalan," ujar Edwin, dalam konferensi pers, di Kantor LPSK, di Cijantung, Jakarta Timur, Senin.
Edwin mengambil kasus perdagangan organ pada 2016 yang melibatkan rumah sakit besar, namun tidak ada kejelasan hingga sekarang, katanya pula.
"Ada upaya juga dari pejabat untuk menghentikan proses hukum itu. Jadi kita melihat, kita perlu sungguh-sungguh menanganinya," ujarnya lagi.
Namun, LPSK juga mengapresiasi tindakan yang diambil penegak hukum sampai saat ini karena berdasarkan data yang dimiliki lembaga itu, sekitar 60,56 persen penanganan korban TPPO oleh LPSK disampaikan atau dimohonkan oleh kepolisian.
Baca juga: Ekonomi masih jadi penarik utama korban perdagangan manusia
Selain rekomendasi peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum, LPSK memberi beberapa masukan lain, yaitu pemerintah harus memberikan perhatian khusus dengan mengentaskan kemiskinan di daerah asal korban TPPO yang kebanyakan menjadi korban karena motif ekonomi.
Selain itu, menurut LPSK, perlu dilakukan kampanye efektif agar masyarakat dapat mengenali indikasi kegiatan perdagangan orang dan mencegah terjadi hal tersebut.
LPSK juga ingin agar para pelaku TPPO tidak mendapatkan haknya sebagai narapidana seperti remisi, sebelum membayar ganti rugi kepada korban secara penuh sesuai keputusan pengadilan.
Baca juga: LPSK rekomendasikan pelaku TPPO tak diberi remisi dan bayar ganti rugi
Yang terakhir, LPSK ingin dipercepat proses koneksi satu identitas ke seluruh layanan kependudukan dan perizinan di seluruh Indonesia untuk mencegah pemalsuan dokumen.
Berdasarkan data LPSK, dalam periode 2015-2019 sudah menangani 318 korban TPPO dengan data korban berasal dari lima daerah teratas, yaitu Jawa Barat 118 korban, Nusa Tenggara Barat 42 korban, Jawa Tengah 32 korban, Nusa Tenggara Timur 27 korban, dan Banten 16 korban.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019