Kendati demikian, hakim tetaplah manusia yang juga membutuhkan perlindungan, mengingat tidak semua pihak puas dengan putusan yang dibuat oleh hakim.
Bedasarkan survei yang dilakukan oleh Komisi Yudisial pada 2017, hakim merupakan profesi yang masih rawa menjadi sasaran teror dan kekerasan fisik.
Adapun responden dari survei tersebut adalah 133 hakim dari tiga badan peradilan yaitu: pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara.
Dari survei tersebut ditemukan 14 teror atau ancaman terhadap hakim, tiga kekerasan fisik, dan empat penyanderaan terhadap hakim.
Selain itu, Komisi Yudisial juga menemukan ada 29 perbuatan yang diklasifikasi sebagai perbuatan onar ketika sidang dilaksanakan, 14 perbuatan yang diklasifikasi sebagai upaya menghalangi pelaksanaan putusan hakim, 10 perbuatan abai terhadap putusan hakim, dan 11 aksi demonstrasi berlebihan terhadap putusan hakim.
Kemudian terdapat 17 kasus perilaku yang diklasifikasikan perbuatan tidak sopan di dalam ruang sidang, 12 kasus pencemaran nama baik hakim, tujuh kasus perusakan sarana dan prasarana peradilan, 16 kasus komentar secara berlebihan, dan 16 kasus berpakaian tidak sopan dalam acara persidangan.
Contempt of Court
Pada 2019 Komisi Yudisial mencatat terdapat enam kasus contempt of court atau penyerangan terhadap pengadilan dan aparaturnya, yaitu di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong (Jawa Barat), PN Depok (Jawa Barat), PN Bekasi (Jawa Barat), PN Tangerang (Banten), PN Surabaya (Jawa Timur), dan PN Pasir Pangaraian (Riau).
Namun, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan contempt of court (CoC). Istilah contempt of court kerap kali diartikan sebagai penghinaan terhadap badan pengadilan atau hakim.
Wakil Ketua Mahkamah Agung Sunarto berpendapat bahwa sesungguhnya yang dicemooh adalah keadilan dan hukum itu sendiri.
Menurut Sunarto istilah ini digunakan seolah-olah yang akan dilindungi adalah keluhuran dan keagungan pengadilan sebagai sebuah lembaga.
Istilah ini muncul pertama kali dalam UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung, yang mengisyaratkan perlunya penyusunan aturan khusus yang mengatur ancaman hukuman dan penindakan bagi siapapun yang melakukan perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dinilai merendahkan atau menghina kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan.
Kasus penyerangan terhadap hakim di ruang sidang yang dikategorikan sebagai contempt of court, baru-baru ini juga terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Kamis (18/7).
Pelakunya adalah seorang advokat bernama Desrizal, yang merupakan salah satu kuasa hukum Tomy Winata yang dengan sengaja melecutkan ikat pinggang kepada Majelis Hakim yang sedang membacakan putusan di PN Pusat pada Kamis (18/7). Hakim yang menjadi korban pemecutan tersebut, kemudian mengalami luka memar.
Terkait dengan pemukulan tersebut, Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) melalui Ketua Umum Ikahi, Suhadi, menyatakan sangat menyesalkan kejadian tersebut.
"Ikahi sangat menyesalkan tindakan tercela yang dilakukan oleh pengacara terhadap hakim di Ruang Sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," ujar Suhadi.
Suhadi mengatakan pihaknya menuntut agar pengacara bernama Desrizal tersebut diproses secara pidana sesuai ketentuan hukum yang berlaku, serta diproses dalam sidang etik profesi, untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran etika profesi advokat yang telah dilakukannya.
Tindakan yang dilakukan oleh pengacara tersebut merupakan tindak pidana dan melanggar etika profesi advokat yang seharusnya dijunjung tinggi oleh advokat.
Menurut Suhadi apapun alasan yang melatar belakangi penyerangan terhadap hakim dalam ruang sidang, adalah tindakan yang melecehkan dan merendahkan martabat serta marwah badan peradilan.
Perlindungan hakim
Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus menilai perlindungan terhadap hakim harus ditingkatkan mengingat banyaknya teror atau ancaman terhadap hakim, serta upaya-upaya untuk mengubah putusan hakim.
Perlindungan juga tidak hanya dilakukan di dalam ruang sidang, namun juga di luar lingkungan pengadilan. Kendati demikian, perlu dibedakan perlindungan terkait adanya konflik pribadi hakim dengan ancaman terhadap jabatan hakim.
Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyerangan terhadap pengadilan dan aparatnya adalah dengan mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) tentang segala bentuk penghinaan dan penyerangan terhadap pengadilan dan aparatnya (RUU CoC).
Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyebutkan bahwa RUU CoC ini penting diwujudkan tidak sekadar untuk kepentingan pengadilan, namun untuk kepentingan masyarakat.
"Tidak perlu lagi membahas perlu atau tidaknya pengaturan ini, tapi yang terpenting saat ini adalah kapan penerapannya," ujar Bagir.
Kendati demikian RUU CoC tidak akan memberikan pengaruh besar terhadap perlindungan hakim, bila kualitas peradilan di Indonesia belum sepenuhnya diperbaiki.
Bagir berpendapat bahwa kualitas peradilan yang baik tentu akan meningkatkan kepercayaa masyarakat, sehingga potensi penghinaan serta penyerangan terhadap pengadilan dan aparatnya juga ajkan menurun.
"Tanpa kehendak dan tekad yang kuat dari pengadilan untuk menjaga kehormatannya, ketentuan semacam RUU CoC tidak dapat mencegah pelecehan terhadap pengadilan dan hakim," tutur Bagir.
Pelecehan dan penghinaan terhadap pengadilan dan aparatnya menurut Bagir tidak akan terjadi tanpa ada penyebabnya.
Kekecewaan yang dialami masyarakat karena merasa pengadilan tidak benar-benar memperjuangkan keadilan, bisa jadi menjadi sebab dari adanya contempt of court atau penghinaan dan penyerangan terhadap pengadilan.
Belum lagi berbagai kasus di mana hakim terbukti menerima suap kemudian tertangkap tangan oleh KPK, serta sejumlah tunggakkan perkara yang tidak kunjung diputus oleh para hakim.
"Ada juga putusan yang dinilai masyarakat telah mencederai rasa keadilan, ini semua bisa mencetus adanya penghinaan terhadap pengadilan. Penyerangan atau penghinaan terhadap pengadilan bukanlah sebagai sebab, tetapi semata-mata akibat," kata Bagir.
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019