Jakarta (ANTARA News) - Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas biaya perkara yang sudah sempat mampir di Sekretariat Negara dikembalikan lagi ke Departemen Keuangan (Depkeu).Menurut Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Hatta Radjasa, di Jakarta, Rabu, RPP itu dikembalikan ke Depkeu guna dilakukan harmonisasi."RPP biaya perkara tersebut sekarang dikembalikan ke Depkeu untuk dilakukan harmonisasi kembali," ujarnya.Menurut Hatta, RPP itu terganjal satu pasal yang justeru paling penting dan menjadi obyek perbedaan paham antara Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Itu karena tidak tercapai suatu kesepahaman antara MA dan BPK. Padahal, semangat dari adanya RPP tersebut pada waktu pertemuan dengan Presiden, semua `stakeholder` itu harus menemukan yang sama," ujar Hatta. MA menyatakan, biaya perkara adalah bukanlah uang negara, melainkan uang titipan pihak berperkara yang membayar bervariasi antara Rp500 ribu sampai Rp5 juta. Uang itu hanya ditarik untuk perkara perdata dan pengadilan niaga yang digunakan untuk berbagai keperluan berperkara. MA mengaku selama ini uang kelebihan perkara itu selalu dikembalikan kepada pihak berperkara apabila tersisa. Pengelolaan biaya perkara itu dilakukan sendiri oleh MA. Sedangkan, BPK bersikeras bahwa biaya perkara termasuk dalam PNBP yang harus dijadikan obyek audit. Perbedaan paham antara dua lembaga negara itu pada 2007 sampai berujung pada dilaporkannya Ketua MA Bagir Manan ke Mabes Polri oleh Ketua BPK Anwar Nasution dengan tuduhan menghalangi tugas audit BPK. Kedua pimpinan lembaga negara itu akhirnya dipertemukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan difasilitasi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie pada 2007. Saat itu, pemerintah berjanji untuk segera mengeluarkan PP yang mengatur biaya perkara. PNBP atas biaya perkara sebenarnya sudah diatur dalam PP No 26 Tahun 1999, namun PP itu tidak berlaku lagi sejak MA dipisahkan dari Departemen Hukum dan HAM pada 2004. Pada 2004, MA sebenarnya sudah mengajukan RPP PNBP atas biaya perkara kepada pemerintah namun belum ditanggapi hingga saat ini. Ketua BPK Anwar Nasution pada pekan lalu kembali mengancam mengadukan MA ke kepolisian karena masih dianggap menghalangi audit BPK. Namun MA menegaskan harus ada PP sebagai payung hukum untuk dasar audit sebelum BPK dapat mengaudit biaya perkara di MA. Hatta mengatakan, perbedaan paham antara MA dan BPK itu dapat segera diselesaikan. Ia berjanji bulan depan RPP biaya perkara itu sudah dapat disahkan oleh pemerintah. "Antara MA dan BPK tidak akan ada konflik terus-terusan, pasti ada solusi karena pada akhirnya akan ada keputusan. Karena perbedaan itu, semua ada acuannya," ujarnya. MA, BPK, dan Depkeu sejak akhir 2007 sudah membentuk tim bersama untuk membahas RPP biaya perkara. Namun, saat RPP itu sudah sampai ke Setneg, BPK mengirim surat keberatan yang intinya mempersoalkan RPP yang hanya mengatur tarif PNBP tanpa mengatur tata cara audit terhadap biaya perkara tersebut. BPK sudah menyatakan laporan audit terhadap MA terancam "disclaimer" atau tanpa pendapat apabila MA menolak biaya perkara yang dikelolanya sendiri itu tidak diperiksa oleh BPK. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008