Padang (ANTARA News) - Pakar Ekonomi dari Universitas Andalas (Unand), Prof. Dr. Elfindri menilai, resesi ekonomi yang dialami Amerika Serikat (AS) saat ini tidak terlalu buruk, sehingga pengaruh negatifnya terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan Asia termasuk RI diperkirakan tidak begitu lama.
"Pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia seperti Indonesia lebih banyak terpengaruh akibat melambungnya harga minyak dunia," katanya di Padang, Sabtu mengenai hasil pantauannya terhadap perkembangan ekonomi internasional terkait gejolak di pasar uang, pasar modal dan melemahnya perekonomian Amerika Serikat (AS).
Menurut dia, tahun 2008 merupakan tahun cukup berat bagi perekonomian global akibat defisit yang dialami AS berkaitan dengan
persoalan utang-utang pinjaman bank swasta oleh sejumlah perusahaan dan macetnya kredit perumahan (subprime mortgage) dan infrastruktur.
"Pinjaman AS ke bank-bank swasta di sektor properti domestik negara adi daya itu, beberapa tahun terakhir telah mendorong terjadinya lonjakan kebutuhan biaya perorangan yang memicu terjadinya kasus-kasus gagal bayar (Non Performing Loan - NPL).
Dampak terpuruknya perekonomian AS, sambungnya, cukup terasa bagi Indonesia secara langsung, khususnya di dalam kegiatan ekspor-impor, sedangkan imbasnya yang tidak langsung mempengaruhi perekonomian Indonesia terkait dari hubungan dagang antara raksasa-raksasa ekonomi dunia seperti antara AS dan Jepang atau AS dengan RRC.
"Jepang dan RRC adalah dua negara Asia Timur yang cukup mempengaruhi `kutub ekonomi` Asia," katanya, sehingga pada gilirannya menurut Elfindri, konsekuensi akibat lesunya perekonomian Jepang dan RRC juga mengimbas terhadap Indonesia.
Artinya, perekonomian Indonesia ikut melemah, akibat resesi ekonomi yang dialami Jepang dan RRC yang juga terpengaruh oleh resesi ekonomi AS.
Namun demikian, kelesuan ekonomi yang dialami AS, lanjut Elindri, diyakini tidak akan berlangsung lama, karena belum sampai pada tingkat keterpurukan.
Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada 2008 mungkin bisa mendekati satu persen, atau jika terjadi kontraksi (tumbuh negatif), angkanya juga tidak terlalu besar.
Sedangkan, RRC tahun 2008, sedang merevisi pertumbuhan ekonominya dari target semula sebesar 10 persen. "Dalam kondisi pereknomian dunia saat ini, pertumbuhan ekonomi RRC dan Jepang, bisa mencapai delapan persen saja sudah cukup bagus, " tuturnya.
Bagi Indonesia sendiri, katanya menyarankan, pemerintah perlu membuat kebijakan moneter untuk mencoba menurunkan tingkat suku bunga dalam jumlah lebih banyak, serta membiayai kegiatan ekonomi rill dan infrastruktur.
"Kendati pengeluaran pemerintah tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan dana investasi ke masyarakat, kebijakan itu cukup mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara nasional," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008