Bapak Presiden memutuskan untuk memberikan amnesti kepada mbak Baiq Nuril setelah mendapatkan pertimbangan DPR dan tentu ini proses yang panjang
Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo menyaksikan penyerahan salinan keputusan presiden (keppres) amnesti untuk mantan tenaga honorer SMAN 7 Mataram Baiq Nuril yang divonis bersalah berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam perkara pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Baiq Nuril yang mengenakan jilbab warna merah terang dengan kemeja putih tiba di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat sore sekitar pukul 15.25 WIB, sendirian. Presiden Joko Widodo, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sudah menanti Baiq Nuril di ruang kerja Presiden.
"Bapak Presiden memutuskan untuk memberikan amnesti kepada mbak Baiq Nuril setelah mendapatkan pertimbangan DPR dan tentu ini proses yang panjang," kata Yasonna Laoly saat menyerahkan keppres amnesti tersebut kepada Baiq Nuril disaksikan oleh Presiden Jokowi dan Mensesneg Pratikno.
Yasonna menyerahkan Keputusan Presiden RI No. 24 tahun 2019 tentang Pemberian Amnesti yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 29 Juli 2019.
"Pertimbangan Pak Presiden bahwa memang apa yang mbak Nuril alami bertententangan dengan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Banyak yang bersimpati terhadap perjuangan mbak Nuril," tambah Yasonna.
Menurut Yasonna, sejak awal Presiden Joko Widodo telah memberikan perhatian tentang amnesti bagi Baiq Nuril.
"Oleh karena tidak ada lagi jalur hukum yang bisa kita gunakan adalah memenuhi grasi. Maka satu-satunya cara adalah menggunakan amnesti dan Presiden telah mengambil keputusan itu," ungkap Yasonna.
Keempatnya lalu berbincang sekitar 15 menit secara tertutup di ruang kerja tersebut.
Sebelumnya, pada Kamis (25/7) rapat paripurna DPR sudah mengambil keputusan untuk menyetujui pertimbangan pemberian amnesti kepada Baiq Nuril Maknun, setelah mendengarkan penjelasan Komisi III DPR.
Baiq Nuril adalah seorang staf tata usaha (TU) di SMAN 7 Mataram yang berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) divonis 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta rupiah lantaran dianggap melanggar Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena menyebarkan percakapan asusila kepala sekolah SMU 7 Mataram Haji Muslim. Perbuatan Baiq dinilai membuat keluarga besar Haji Muslim malu.
Saat Baiq Nuril mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019, namun PK itu juga ditolak.
Dengan ditolaknya permohonan PK pemohon atas Baiq Nuril tersebut, maka putusan kasasi MA yang menghukum dirinya dinyatakan tetap berlaku. Baiq Nuril dan pengacaranya pun lalu memohonkan amnesti dari Presiden Joko Widodo.
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril bertugas di SMAN 7 Mataram dan kerap mendapatkan perlakuan pelecehan dari kepala sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim.
Muslim sering menghubunginya dan meminta Nuril mendengarkan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya sendiri.
Baiq Nuril yang merasa tidak nyaman dan demi membuktikan tidak terlibat hubungan gelap, ia merekam pembicaraannya. Atas dasar ini kemudian Muslim melaporkannya ke penegak hukum.
Pengadilan Negeri (PN) Mataram menyatakan ia tidak terbukti mentransmisikan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan.
Dalam persidangan, Majelis Hakim PN Mataram bahkan menyatakan bahwa unsur "tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dana/atau dokumen elektronik" tidak terbukti sebab bukan ia yang melakukan penyebaran tersebut, melainkan pihak lain.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019