Brisbane (ANTARA News) - Kunjungan kerja empat hari Perdana Menteri Australia Kevin Rudd ke Beijing mulai Rabu (9/4) berlangsung dalam suasana hati pemerintah Cina yang panas karena "sang tamu" menuding telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tibet.Kemarahan Cina yang ditandai dengan penyampaian pernyataan keberatan kepada para diplomat Australia di Beijing dan Canberra itu bermula dari pernyataan PM Rudd dalam konferensi pers bersama Presiden Amerika Serikat (AS) George W.Bush pada Maret lalu.Ketika itu, Rudd menegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia di Tibet. Keyakinannya pada apa yang telah ia sampaikan di AS itu tetap tidak berubah saat PM Rudd memulai kunjungannya di Beijing. Rudd pun kembali menegaskan pandangannya yang membuat berang pejabat Cina itu pada saat berbicara di depan anggota civitas akademika Universitas Peking di Beijing, Rabu. Namun, seperti dilaporkan media Australia dari Beijing, PM Rudd juga mengulangi sikap resmi pemerintahnya yang tetap mengakui Tibet sebagai tak terpisahkan dari Cina kendati ada masalah HAM di sana. Ia pun kembali menyuarakan dukungan pemerintahnya pada penyelenggaraan Olimpiade Beijing Agustus 2008. Dalam pandangan pemimpin Australia yang fasih berbahasa Mandarin ini, tidak sepatutnya ada pemboikotan terhadap Olimpiade Beijing sebagaimana disuarakan beberapa kelompok pejuang HAM dan pemimpin dunia untuk menghukum Cina atas insiden Tibet. Argumentasi mendasarnya adalah bahwa Olimpiade merupakan rangkaian penting dari kebersamaan Cina dengan komunitas dunia. Apa yang disampaikan PM Rudd berkaitan dengan pelanggaran HAM yang terjadi dalam kerusuhan di Lasha, ibukota Tibet, pertengahan Maret lalu itu tidak lebih dari "tekanan politik" yang sebelumnya sudah juga disuarakan oleh Menteri Luar Negeri Stephen Smith. Bahkan, sebelum pemerintah Cina akhirnya bersedia memberi akses terbatas kepada wartawan asing untuk melihat secara langsung kondisi Lasha, Menlu Stephen Smith justru sudah menyuarakan pentingnya Beijing membuka akses itu. Dalam pernyataan persnya pada 20 Maret lalu, Menlu Smith sudah meminta Cina untuk menghormati HAM para warga Tibet yang ditahan serta membebaskan pekerja media asing masuk ke Tibet supaya mereka mendapatkan pemahaman yang benar tentang apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Sejak awal pecahnya demonstrasi anti-Cina di Lasha yang berakhir dengan tewasnya puluhan warga sipil Tibet pertengahan Maret lalu, Canberra juga secara konsisten menyuarakan pentingnya semua pihak menahan diri dan segera mengakhiri kekerasan. Seperti biasa, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia pun memperbaharui status "peringatan perjalanan" (travel advisory) terhadap Cina sejak 14 Maret dengan meminta semua warganya untuk tidak mengunjungi Lhasa. Dalam konteks hubungan bilateral Beijing-Canberra, masalah Tibet, termasuk eksistensi Dalai Lama, tokoh spiritual dan simbol perjuangan rakyat Tibet, sering memicu "riak-riak" dalam dinamika hubungan diplomasi kedua negara sejak 1990-an. Kondisi ini diperparah oleh adanya dukungan dan simpati sebagian publik Australia terhadap Dalai Lama dan perjuangan rakyat Tibet untuk merdeka dari Cina. Dukungan di tingkat publik Australia bagi Dalai Lama itu bukan lagi cerita baru. Universitas Melbourne misalnya pernah menganugerahi tokoh penerima hadiah Nobel Perdamaian ini dengan gelar doktor honoris causa di bidang hukum. Dukungan politik etis bagi dirinya juga datang dari Dewan Tibet Australia (ATC) dan Universitas Nasional Australia (ANU) sebagaimana tampak dari pemuatan rencana kegiatan kunjungan Dalai Lama ke Australia dalam situs resmi ANU tahun lalu. Riak-riak kecil dalam hubungan kedua negara sempat mencuat ke ranah publik pada Mei 2007 ketika Pemerintah China mengingatkan para pemimpin politik Australia untuk tidak bertemu Dalai Lama selama kunjungan sepuluh harinya di negara itu pada Juni 2007. Kegusaran Cina terhadap tokoh spiritual Tibet ini tiada lain karena Beijing tetap menganggapnya sebagai ancaman disintegrasi Tibet dari Cina. Dalam kerusuhan berdarah di Lasha pada pertengahan Maret 2008 lalu pun, pemerintah Cina menuding Dalai Lama sebagai dalangnya. Namun Dalai Lama membantahnya dengan menyebut tuduhan Beijing tersebut sebagai "tidak berdasar sama sekali". Bagaimana signifikansi kunjungan PM Rudd ke Cina di mata publik Australia? Bagi sebagian publik Australia, lawatan PM Rudd ke Cina ini dapat dipakai untuk menjembatani lahirnya solusi paripurna atas masalah Tibet. Setidaknya harapan tersebut tercermin dalam hasil survei Riset Galaxy seperti dipublikasi ATC dalam situsnya. Dalam survei itu, sebanyak 71 persen orang responden menginginkan keterlibatan Australia dalam proses perdamaian Tibet. Isu Tibet sejak awal sudah dapat diduga akan mewarnai kunjungan PM Rudd ke Cina terlebih lagi setelah terjadi insiden demonstrasi anti-Cina dalam acara arak-arakan obor Olimpiade Beijing di Athena, London, dan Paris. Agenda Penting Padahal dalam kunjungan empat harinya di Beijing itu, PM Rudd memiliki agenda penting bagi kepentingan nasional Australia. Agenda penting itu terkait dengan perluasan hubungan bilateral seperti di bidang perdagangan dan penanganan isu perubahan iklim karena Cina merupakan mitra dagang terbesar kedua Australia sekaligus salah satu negara sumber polusi terbesar di dunia. Selama kunjungannya itu, PM Rudd tidak hanya sudah dijadwalkan bertemu Presiden Hu Jintao dan PM Wen Jiabao, tetapi juga generasi baru kepemimpinan Cina hasil Kongres ke-17 Partai Komunis. Di tengah riak kecil dalam dinamika hubungan bilateral akibat perbedaan pandangan dalam isu Tibet ini, pemerintah Australia sudah sejak lama mengambil pendekatan yang konstruktif dan bersahabat dengan Cina demi kepentingan bersama yang lebih besar. Kementerian Luar Negeri Australia (DFAT) mengakui hal itu dengan menjadikan bobot strategis, ekonomi dan politik negara berpenduduk lebih dari satu miliar jiwa itu basis pertimbangan riilnya. Sebelum PM Rudd berkunjung ke Beijing, Presiden Hu Jintao dan Wakil PM Zeng Peiyan telah pun mengunjungi Australia pada 2007. Di tingkat bilateral, pemerintah kedua negara telah membangun dialog sembari tetap mengelola dampak dari perbedaan-perbedaan pandangan yang ada untuk meningkatkan hubungan. DFAT mencatat bahwa dialog bilateral Australia-Cina selama ini mencakup berbagai isu seperti kerja sama perdagangan, sumberdaya, bantuan internasional, pertahanan, keamanan regional, perlucutan senjata, kekonsuleran dan hak azasi manusia. Namun di atas semua itu, aset utama hubungan Canberra-Beijing tidak lain adalah perdagangan karena Cina adalah mitra dagang terbesar kedua Australia setelah AS sejak akhir 2006. Fondasi hubungan dagang kedua negara tidak dapat dilepaskan dari kesepakatan Bingkai Kerja sama Perdagangan dan Ekonomi (TEF) pada Oktober 2003. Salah satu poin penting dalam TEF itu adalah studi kelayakan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) yang rampung Maret 2005. Sejauh ini, total nilai perdagangan Australia-Cina sudah mencapai hampir 50 miliar dolar Australia per tahun. Pada 2006-2007, nilai perdagangan kedua negara tercatat 49,9 miliar dolar atau naik 21 persen dari nilai perdagangan periode 2005-2006. Dalam perdagangan bilateral itu, Australia lebih mengandalkan produk-produk tambang sembari merambah ke produk-produk yang dapat memenuhi kebutuhan pasar kelas menengah Cina, sedangkan Beijing mengandalkan produk-produk seperti garmen, pakaian jadi, perangkat telekomunikasi, komputer, dan furnitur. Di bidang investasi, Cina termasuk tujuan investasi Australia. Pada 2006 total nilai investasi Australia di negara itu mencapai tiga miliar dolar Australia. Sebaliknya, seiring dengan menguatnya kebijakan investasi ke luar negeri dan cadangan devisa Cina yang mencapai sedikitnya 1,4 triliun dolar Amerika, DFAT mencatat bahwa nilai investasi Cina di Australia pun cenderung meningkat. Beberapa sektor bisnis yang dimasuki para investor negara Komunis ini adalah manufaktur, teknologi informasi dan komunikasi, serta agribisnis dan bioteknologi. Cina juga gencar melirik peluang investasi di bidang pertambangan. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari pemberitaan Suratkabar "The Australian" edisi Rabu (9/4) bahwa Cina sedang mengincar saham-saham milik Perusahaan BHP Billiton. Manfaat kemajuan ekonomi Cina yang telah meningkatkan jumlah orang kaya baru dan kelas menengah di negara itu juga dirasakan oleh sektor pendidikan Australia. Pada 2006 saja, tercatat setidaknya 90 ribu orang pelajar dan mahasiswa Cina menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan di Australia. Jumlah itu tidak termasuk 300 ribu orang Cina yang berkunjung ke negara benua berpenduduk sekitar 21 juta jiwa itu. Melihat prospek cerah dan fondasi hubungan bilateral yang kuat di bidang perdagangan dan investasi selama ini, Australia dan Cina saling membutuhkan sehingga perbedaan pandangan dalam isu Tibet agaknya tidak lebih dari sekadar "riak kecil". Karena itu, kunjungan PM Rudd ke Beijing yang diwarnai perbedaan pandangan kedua pemerintah dalam menyikapi isu Tibet ini boleh jadi akan tertutupi oleh kepentingan kedua bangsa yang lebih besar dari sekadar soal hak azasi manusia. Keputusan Rudd memainkan "kartu Tibet" dalam kunjungan pertamanya ke Cina sejak menduduki kursi Perdana Menteri Australia Desember 2007 itu juga tidak terlepas dari kepentingan politik domestik untuk menjaga imej pemerintahannya di mata konstituen dan kubu oposisi.(*)
Oleh Oleh Rahmad Nasution
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008