Jakarta (ANTARA News) - Dewan Pers menegaskan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat, sehingga perlu direvisi. Dewan Pers dalam pernyataannya yang diterima ANTARA News di Jakarta, Rabu, mengemukakan kekhawatiran itu mengemuka pula dalam diskusi menyangkut UU ITE yang diselenggarakan Dewan Pers pada Senin (7/4). Ancaman tersebut terdapat dalam pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Selain itu, Dewan Pers menilai, pada pasal 28 ayat (2) yang menyebutkan, jika sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Setiap orang yang melanggar tiap-tiap pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar. Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan tersebut mengingatkan pada haatzai artikelen di KUHP, pasal-pasal karet produk kolonial, yang sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu, mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, menilai bahwa perancang UU ITE tidak mengikuti perkembangan hukum internasional. Sedikit-dikitnya 50 negara sudah mengalihkan masalah kabar bohong, penghinaan, pencemaran dari hukum pidana menjadi hukum perdata. "Beberapa negara bahkan menghapus sama sekali ketentuan hukum penyebaran kebencian dan penghinaan karena dianggap sulit dibuktikan atau sangat subyektif," kata mantan Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) itu. Pasal 27 dan 28 UU ITE berpotensi mengebiri pers karena berita pers dalam wujud informasi elektronik (di Internet), terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi dan sengketa, dapat dinilai sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian. Dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, aparat polisi dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan, yang dianggap melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam UU ITE. Secara terpisah, Edmon Makarim, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi dan Informatika, menilai ketentuan pidana dalam UU ITE tidak dapat dikenakan untuk pers. "UU ITE sama sekali tidak menyinggung atau menyebut pers, selain itu pers telah dilindungi oleh UU Pers," kata Edmon, yang terlibat dalam proses perumusan UU ITE. Namun, pernyataan itu disangsikan mengingat aparat hukum cenderung mengabaikan UU Pers. Dalam diskusi di Dewan Pers pada Senin (7/4) dicapai kesimpulan, komunitas pers perlu mengajukan judicial review UU ITE ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, muncul desakan dari kalangan masyarakat, agar Dewan Pers meminta pemerintah untuk secara eksplisit memasukkan pemberitaan pers sebagai pengecualian terhadap UU ITE dalam peraturan pemerintah, serta perlu mensosialisasikan di kalangan penegak hukum, agar tidak asal bertindak dalam upaya penegakan hukum UU ITE. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008