Penerapan 'e-rekap' harus sesuai dengan kesiapan penyelenggara, apakah penyelenggara cukup siap menggunakan sistem ini
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junadi mengatakan penerapan rekapitulasi suara secara elektronik atau "e-rekap" butuh kesiapan sumber daya manusia penyelenggara pemilu.
"Penerapan 'e-rekap' harus sesuai dengan kesiapan penyelenggara, apakah penyelenggara cukup siap menggunakan sistem ini," kata Veri di kantor KoDe Inisitaif, Jakarta Selatan, Rabu.
Veri mengatakan kesiapan teknologi menjadi penting dalam penerapan e-rekap. tetapi jika secara teknologi tidak menjadi persoalan maka dilihat sejauh mana kesiapan SDM penyelenggara pemilu baik ditingkat bawah hingga tingkat pusat.
Tidak hanya SDM penyelenggara tapi juga kesiapan dari peserta pemilu lainnya seperti pengawas pemilu dan partai peserta pemilu.
"Teknologi satu perangkat saja, kesiapan SDM ini yang menjadi tantangan tersendiri," tegasnya.
KPU RI berencana menggunakan e-rekap pada Pilkada serentak 2020. KPU menyebut penggunaan istrumen baru ini lebih cepat dan dapat dipercaya.
Veri mengatakan KoDe menyoroti banyak persoalan selama penyelenggaraan Pemilu 2019 seperti kesulitan mendapatkan data pemilu dan proses berjenjang perhitungan suara membutuhkan waktu yang lama ( satu bulan 10 hari), sehingga persoalan tersebut seharusnya mendapat solusi lebih dulu dari penyelenggaran pemilu, selain urgensi penerapan e-rekap.
Apakah e-rekap bisa menjawab semua tantangan dan persoalan itu, Veri memberikan sejumlah pandangan seperti apa harusnya e-rekap disiapkan oleh KPU selaku penyelenggara.
Meski dari sisi undang-undang pemilu rekapitulasi dapat dilakukan secara manual dan elektronik, tetapi ini perlu diterjemahkan lagi dalam bentuk regulasi sehingga dipahami oleh semua lini.
"Undang-undang pemilu mengamanatkan penghitungan suara prosesnya dilakukan berjenjang, apakah dengan e-rekap ini nantinya itu proses berjenjang itu akan dipangkas itu yang harus diperjelas," ujar Veri.
Selain itu, apakah dimungkinkannya data elektronik tersebut bisa dijadikan sebagai alat bukti. Berkaca dari sidang Mahkamah Konstitusi, data Situng tidak serta merta bisa dijadikan alat bukti untuk proses sengketa pemilu.
Situng bisa saja digunakan apabila tidak ada lagi alat bukti lain, mau tidak mau sebagai alat bukti akhir yang digunakan.
"Contoh akta notaris pendirian yayasan dan sebagainya, notaris tidak perlu lagi menunggu tandatangan basah menteri, cukup barkode secara elektronik sertifikat terbit dan itu legal," tuturnya.
Terakhir persoalan kepercayaan. Dalam membangun sebuah sistem tanpa ada kepercayaan yang muncul akan menjadi permasalahan.
Untuk membangun kepercayaan itu diperlukan beberapa hal, yakni apakah sistem itu merupakan sistem yang dikehendaki secara hukum, regulasi atau tidak.
"Kalau tidak sepercaya apa pun seseorang kalau ada kepentingan hukum di dalamnya akan dipersoalkan," kata Veri.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019