Sejumlah agen perjalanan wisata seperti Ctrip dan CYTS mengaku telah menerima salinan maklumat yang berlaku efektif per 1 Agustus 2019 itu dan berlaku hingga lima bulan ke depan menjelang pemilihan umum di Taiwan yang dijadwalkan berlangsung pada Januari 2020.
Peneliti Lembaga Studi Taiwan, Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial China (CASS) Zhang Hua mengomentari bahwa penangguhan tersebut memperjelas sikap atas situasi Lintas-Selat terkini.
"Gerakan prokemerdekaan di Taiwan makin menjadi-jadi. Latihan militer Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) baru-baru ini, khususnya di sekitar Pulau Dongshan yang berseberangan dengan Taiwan, memberikan peringatan kepada pemerintahan Tsai Ing Wen, bahwa jika tidak mematuhi Konsensus 1992, maka status quo dalam hubungan Lintas-Selat tidak bisa dibiarkan," kata Zhang sebagaimana dikutip Global Times.
Menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa China daratan masih memiliki kearifan, keyakinan, dan pengaruh dalam menghadapi provokasi gerakan prokemerdekaan Taiwan.
Xue Qingde, seorang pengusaha Taiwan yang telah berinvestasi selama lebih dari satu dasawarsa di Kabupaten Pingtan, Provinsi Fujian, berharap program pertukaran masyarakat Taiwan dan China diperluas.
Baca juga: Setelah Taiwan beli senjata, China adakan pelatihan militer
Namun dia tetap mendukung kebijakan penangguhan China karena kebijakan pemimpin Taiwan Tsai telah menyebabkan kedua belah pihak makin terpisah.
Program yang berlaku sejak Juni 2011 itu memungkinkan wisatawan China daratan melakukan perjalanan wisata secara individu ke Taiwan.
Awalnya kebijakan tersebut hanya untuk warga tiga kota besar di China, yakni Beijing, Shanghai, dan Xiamen. Namun sejak Maret 2015 diperluas lagi menjadi 47 kota di daratan Tiongkok.
Baca juga: China akan adakan pelatihan militer di dekat perairan Taiwan
Baca juga: Taiwan gelar latihan militer waspadai ancaman China
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019