Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan melakukan negosiasi kembali dengan situs YouTube agar film Fitna dihilangkan dari situs tersebut.
"Besok kita lakukan negosiasi lagi dengan mereka, besok kita akan kontak mereka. Kita berharap besok ada solusi," kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Muhammad Nuh usai bertemu dengan para "blogger" (pembuat situs pribadi/blog) di kantor Depkominfo di Jakarta, Senin malam.
Nuh mengatakan pihaknya memang telah menerima surat balasan dari pihak YouTube, setelah pemerintah mengirimkan surat permintaan kepada mereka agar menghilangkan film Fitna buatan politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders.
"Memang ada surat email dari YouTube Asia Pasifik yang salah satu konsideran bahwa mereka menghargai statement dari pemerintah, YouTube menyadari betul bahwa apa yang dia lakukan harus comply dan respek terhadap peraturan perundang-undangan di suatu negara," kata Nuh.
Oleh karena itu, lanjut Nuh, YouTube meminta kepada Depkominfo untuk berkomunikasi membahas masalah film Fitna tersebut.
"Tapi belum kami lakukan," lanjut dia sambil menambahkan surat balasan dan pernyataan YouTube tersebut merupakan sinyal positif dari mereka.
Dalam pertemuan dengan para "blogger", Menkominfo mendapat berbagai saran dan masukan dari para blogger mengenai film Fitna, yaitu agar pemerintah mengeluarkan kebijakan dan cara agar hanya menutup akses atau menghilangkan film Fitna, akan tetapi jangan sampai menutup akses situs YouTube secara keseluruhan.
"Kita memang sebenarnya tidak ingin menutup YouTube, tetapi kita ingin agar YouTube menghilangkan film Fitna itu," kata Nuh.
"Saya kira subtansinya kita tidak ingin memblok YouTube semua, akan tetapi hanya film itu. Oleh karena itu langkah awal adalah kita minta kepada mereka ikut bertanggung jawab, tidak hanya sekedar bisnis bebas tanpa menghormati aturan dan perundangan-undangan di suatu negara," lanjut Nuh.
Persoalan film Fitna ini, tambah Menkominfo, merupakan persoalan bangsa dan bukan hanya orang Islam, tetapi ada komunitas lainnya yang ikut menentang film tersebut.
"Kalau kita tidak lakukan aksi (untuk menghilangkan film Fitna), pemerintah bisa dinilai tidak bertanggung jawab," tambah Nuh.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai pemimpin dunia memiliki tanggung jawab moral untuk mencegah terjadinya penistaan agama atau kebudayaan, seperti film Fitna.
Hal itu dikemukakan oleh Presiden Yudhoyono dalam sesi jumpa pers di Kantor Presiden Jakarta, Senin malam (31/3).
"Saya berpendapat pemimpin dunia punya tanggung jawab moral untuk mencegah hal-hal seperti ini (penyebaran film Fitna) agar dunia ke depan lebih aman dan damai," katanya.
Presiden mengimbau masyarakat internasional untuk tidak menggunakan kebebasan tanpa batas sehingga merusak sendi-sendi kehidupan yang lain.
Sementara itu, Pakar politik Islam Prof Dr Azyumardi Azra menilai, umat Islam perlu memprotes pembuatan film Fitna oleh politisi sayap kanan Belanda Geert Wilders, yang bakal melukai 1,3 miliar umat Islam dunia.
"Perlu protes, dengan catatan, tetap dilakukan secara santun dan damai sesuai dengan akhlaqul karimah dalam Islam," kata mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah itu di Jakarta, Senin (31/3).
Umat Islam, ujarnya, jangan sampai terprovokasi oleh penayangan film tersebut sehingga melakukan hal-hal yang kontraproduktif bagi kepentingan Islam, umat Muslim dan negara Indonesia.
Ia melihat sisi positif dari sikap pemerintah Belanda yang menolak film itu karena menyamakan Islam dengan kekerasan.
Sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan film Fitna sangat potensial mendorong ketegangan atau kebencian antar peradaban, khususnya antara Islam dengan Barat, sehingga pembuat film ini yang merupakan anggota parlemen Belanda pantas untuk diajukan ke Mahkamah Internasional .
"Aktor intelektual Film Fitna, Geert Wilders, pantas diadukan ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat peradaban," kata Din di Jakarta, Selasa (1/4).
Umat Islam, kata Din, wajar memprotes film itu tetapi tidak perlu emosional karena harkat Islam tidak akan berkurang dengan penghinaan pihak manapun.(*)
Pewarta:
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008