Jakarta (ANTARA News) - Pemberitaan media cetak dan elektronik terkait banyaknya sekolah rusak baik di perkotaan maupun di daerah terpencil di Tanah Air seakan telah menjadi isu dunia pendidikan yang tidak pernah ada habisnya. Berita tentang murid-murid sekolah yang terpaksa belajar di rumah penduduk karena ruang kelas rusak silih berganti dikabarkan dari berbagai daerah sehingga mengundang keprihatinan masyarakat luas. Sekolah-sekolah dengan kondisi rusak berat hingga ringan dengan dinding ruang kelas yang retak, kayu penyangga yang keropos di makan rayap, hingga atap jebol telah mengakibatkan kegiatan belajar mengajar di sejumlah SD negeri menjadi kacau. Di Kabupaten Banyumas, ruang kelas IV di SD Negeri I Candi Negara, Kecamatan Pekuncen ambruk sehingga siswanya harus belajar di rumah penduduk. Gedung sekolah SDN I Candi Negara dibangun sekitar tahun 1973 dan belum pernah direhabilitasi. Pernah sekali mendapat bantuan perbaikan atap pada tahun 1980, namun pada februari 2008 salah satu ruang kelas ambruk pada Februari lalu akibat hujan lebat yang terus mengguyur wilayah itu. Demi kelancaran kegiatan belajar mengajar, seluruh siswa kelas IV yang berjumlah 17 anak terpaksa mengungsi ke rumah warga meski harus berdesak-desakan. Murid-murid di sebuah SD negeri di Kabupaten Banyumas mengeluhkan suasana belajar yang tidak nyaman setelah ruang kelas yang selama ini mereka gunakan rusak parah sehingga terpaksa harus mengungsi di rumah penduduk. Bangunan sekolah-sekolah rusak tersebut sebagian besar merupakan warisan dari proyek SD Inpres yang dibangun pada era tahun 1970-an pada zaman pemerintah Orde Baru. Bangunan SD yang ada sekarang ini kondisinya banyak yang sudah tidak layak pakai lagi. Proyek tersebut diperkenalkan melalui Instruksi Presiden nomor 10 tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Pada tahun 1973/1974 tersebut untuk pertama kali dibangun 6000 SD baru dan tahun-tahun berikutnya terus dibangun ribuan sekolah dasar Inpres lainnya yang diiringi dengan penambahan ruang kelas-ruang kelas baru. Namun demikian pembangunan SD Inpres tersebut mulai menurun sejak tahun 1984/1985. Sekolah rusak yang tersebar di seluruh penjuru Tanah Air lebih banyak didominasi pada bangunan tingkat sekolah dasar yang merupakan peninggalan dari proyek SD Inpres. Kini setelah puluhan tahun dengan perawatan tambal sulam, kondisi sekolah rusak di sejumlah daerah bertambah parah sampai-sampai memaksa murid-muridnya untuk mengungsi ke rumah penduduk atau di bawah tenda darurat. Tuntutan ke Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk segera memperbaiki sekolah-sekolah yang rusak tidaklah tepat, sebab seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka kebijakan yang menyangkut bidang pendidikan pun menjadi kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten/kota di masing-masing daerah. Dana untuk rehabilitasi kerusakan bangunan sekolah sebenarnya sudah diluncurkan sejak tiga tahun terakhir. Namun karena banyaknya jumlah sekolah yang rusak, maka dana yang ada hanya mampu menjangkau sebagian sekolah saja sementara masih ada sebagian lainnya yang memerlukan bantuan. Berdasarkan data tahun 2003, terdapat 563.304 ruang kelas SD/MI yang rusak berat atau 64,17 persen dari 877.772 ruang kelas SD/MI. Pada tahun 2003, dialokasikan Rp625 miliar untuk merehabilitasi 20.724 ruang kelas SD/MI di 287 kabupaten/kota. Pada tahun 2004, menjadi Rp652,6 miliar untuk merehabilitasi 21.645 ruang kelas di 302 kabupaten/kota. Sementara hingga pertengahan 2006, masih terdapat sekitar 56 persen dari total 149.454 SD rusak dengan kondisi rusak berat, menegah dan ringan. "Pemerintah pusat masih terlibat dalam penyaluran dana rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru melalui namun implementasi termasuk pemeliharaan bangunan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah," kata Direktur Pembinaan TK dan SD Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas, Mudjito AK. Pembiayaan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) disalurkan ke daerah-daerah untuk rehabilitasi ruang kelas tersebut diharapkan dapat merangsang partisipasi pemerintah daerah memperhatikan kondisi pendidikan di daerahnya masing-masing khususnya terkait dengan infrastruktur sekolah. Ia mengharapkan agar kerusakan gedung-gedung sekolah di daerah seharusnya jangan dibiarkan berkembang menjadi isu nasional, apalagi jika pemerintah daerah bersikap apatis dengan membiarkan peserta didik menerima keterbatasan pelayanan pendidikan. Sinergi Sejumlah pemerintah daerah telah bersinergi dengan pemerintah pusat dalam masalah perbaikan dan pembenahan bangunan rusak dengan mengalokasikan sebagian anggarannya. Di Malang Jatim, misalnya, untuk merenovasi sejumlah bangunan SD, pemerintah pusat hanya memberikan dana Rp90 juta sementara kebutuhannya mencapai Rp200 juta. Kekurangan dana tersebut kemudian ditangani pemerintah daerah bersama dengan partisipasi masyarakat. Selain di kota Malang, beberapa daerah lainnya seperti Yogyakarta, Palembang, Kabupaten Bangli dan Kabuapten Jembrana Bali telah menunjukkan kerjasama dalam pembangunan pendidikan di daerahnya tersebut. Program Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan dari pemerintah pusat dimaksudkan untuk memberikan peluang pembelajaran kepada daerah dalam mewujudkan prinsip-prinsip, transparansi, akuntabiliti dan partisipasi seiring dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Sedangkan bagi sekolah, program DAK diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu wadah untuk mewujudkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan sekolah dengan Manajeman Berbasis Sekolah dan Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat sehingga mereka merasa "memiliki" sekolahnya dan siap mendukung program sekolah. Di Kabupaten Bangli misalnya program rehabilitasi sekolah rusak melalui Dana Alokasi Khusus bagi 67 sekolah dasar di wilayah tersebut optimis dapat dituntaskan pada pertengahan tahun 2008. "Dana alokasi khusus yang disalurkan untuk kabupaten Bangli senilai Rp13,5 miliar dan kami optimis pertengahan tahun 2008 rehabilitasi sekolah rusak untuk 67 SD dapat diselesaikan," kata Bupati Kabupaten Bangli, I Nengah Arnawa. Namun secara paralel pemkab juga melaksanakan rehabilitasi sekolah yang dibiayainya dari dana dekonsentrasi dan dana bantuan lainnya, katanya menambahkan. DAK tersebut nantinya akan didukung dana dekonsentrasi sebab perbaikan sekolah rusak tidak hanya fisiknya saja tetapi juga digunakan untuk prasarana lain seperti pembelian buku, bangku dan meja belajar dan sebagainya. Karena itu, ujar Bupati Bangli untuk memenuhi kebutuhan perbaikan fisik dan lain-lain pihaknya juga melibatkan orang tua murid melalui komite sekolah serta masyarakat di sekitar sekolah untuk berpartisipasi dalam melaksanakan perbaikan. "Pola swakelola dengan melibatkan orang tua dan masyarakat dalam perbaikan sekolah rusak justru memberikan dampak positif seperti penambahan ruang kelas yang bisa diperbaiki. Bila semula dari dana yang ada hanya mampu memperbaiki tiga ruang kelas, maka dengan partisipasi bisa menjadi empat kelas bahkan masih ditambah WC dan sanitasi lingkungan lainnya," katanya. Dikatakannya, kultur gotong royong masyarakat Bali dan Kabupaten Bangli khususnya sangat mendukung usaha pemerintah dalam mencari solusi perbaikan sekolah rusak yang masih menjadi kendala upaya percepatan penuntasan wajib belajar 9 tahun. "Klian banjar atau lurah dan masyarakat di desa atau wilayah dimana lokasi sekolah berada biasanya peduli terhadap kondisi bangunan sekolah yang rusak. Sebab mereka juga berpikir anak-anak mereka pun bersekolah di sana kalau sampai bangunan membahayakan mereka juga yang dirugikan," katanya. (*)
Oleh Oleh Zita Meirina
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008