"Inovasi ini harus 'link' (berkaitan) dengan industri, bukan lagi dari 'supply side' tapi kita lihat dari 'demand side' (permintaan). Industri butuh apa, riset harus kita lakukan," kata Nasir dalam diskusi bersama media di Jakarta, Selasa.
Dia menuturkan yang menghambat cepatnya inovasi diterapkan di industri saat ini adalah satu koordinasi antar lembaga penelitian dan pengembangan, sehingga terjadi tumpang tindih antara riset satu dan riset lain.
"Invensi dan inovasi ini yang bermanfaat bagi industri, bermanfaat bagi masyarakat, kalau ini tidak bermanfaat tidak ada artinya, jadi ini yang masalah sehingga biaya riset ini supaya ke depan efektif dan efisien," ujarnya.
Dengan disahkannya Undang-Undang Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek), lembaga yang terkait penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan harus bisa menghasilkan invensi dan inovasi yang bermanfaat bagi industri dan masyarakat.
"Inovasi bisa berkembang harus ada 'link' (hubungan) antara industri atau 'demand driven' (berdasarkan permintaan). Industri mau gunakan inovasi kalau ada insentif. Inovasi kan 'high risk' (berisiko tinggi), kalau gagal industri rugi, makanya harus ada insentif," ujarnya.
Untuk mengembangkan ekositem kondusif bagi pertumbuhan dan pemanfaatan inovasi, maka egosektoral antar pemangku kepentingan seperti kementerian dan lembaga terkait yang mengusahakan hilirisasi produk inovasi harus dihilangkan, dan insentif harus diberikan kepada industri yang menerapkan berbagai produk inovasi.
"Insentif namanya 'upstream', tidak bisa jalan kalau tidak dapat subsidi dari pemerintah. Yang selalu diberi subsidi di hilir, salah itu," ujarnya.
Baca juga: Kemristekdikti: PUI ibarat dokter iptek untuk UKM dan industri
Baca juga: Pusat inovasi industri perekat untuk Asia Tenggara dibangun di Bintaro
Baca juga: Menristekdikti: inovasi untuk industri lampaui target
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019