Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengimbau saksi terkait kasus suap penanganan perkara penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat Tahun 2019 datang memenuhi panggilan penyidik.

"Tim akan melakukan pemanggilan saksi atas nama Komisaris PT Wisata Bahagia Indonesia Lie Lindawati terkait penyalahgunan izin tinggal untuk WNA di NTB, Jumat, 2 Agustus mendatang," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Tiga pejabat Imigrasi Mataram terjaring OTT KPK

Baca juga: Penyidik KPK periksa pegawai Imigrasi Mataram di Polda NTB

Sebelumnya, kata Febri, saksi Lie tidak datang saat panggilan pertama pada 20 Juni 2019 dan yang bersangkutan menjawab lewat surat tertanggal 1 Juli 2019 untuk minta waktu untuk memenuhi panggilan KPK.

KPK pun mengimbau saksi Lie untuk hadir sesuai dengan tanggal pemanggilan untuk memberikan keterangan sebagai saksi terkait kasus tersebut.

"Lie Lindawati sebagai warga negara memiliki kewajiban memenuhi panggilan aparat penegak hukum untuk menjelaskan apa yang diketahuinya," ucap Febri.

Dalam penyidikan kasus itu, KPK pada Selasa memeriksa seorang saksi, yakni tim teknis di PT Wisata Bahagia Indonesia Ida Bagus Gede Suberata untuk tersangka Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Mataram Kurniadie (KUR).

"Penyidik mendalami keterangan saksi terkait penyerahan uang dari PT Wisata Bahagia Indonesia ke pihak imigrasi Nusa Tenggara Barat," kata Febri.

Baca juga: Penyidik KPK lanjutkan pemeriksaan kasus Imigrasi Mataram

Untuk diketahui, KPK telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus tersebut, yaitu Direkur PT Wisata Bahagia atau pengelola Wyndham Sundancer Lombok Liliana Hidayat (LIL), Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Mataram Kurniadie (KUR) dan Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan Kantor Imigrasi Kelas I Mataram Yusriansyah Fazrin (YRI).

Dalam konstruksi perkara kasus itu, dijelaskan bahwa PPNS di Kantor Imigrasi Kelas I Mataram mengamankan dua WNA dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal.

Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa tetapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Merespons penangkapan tersebut, Liliana perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Kelas I Mataram agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.

Kantor Imigrasi Kelas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk dua WNA tersebut tanggal 22 Mei 2019. Yusriansyah kemudian menghubungi Liliana untuk mengambil SPDP tersebut.

Permintaan pengambilan SPDP itu diduga sebagai kode untuk menaikkan harga untuk menghentikan kasus.

Liliana kemudian menawarkan uang sebesar Rp300 juta untuk menghentikan kasus tarsebut, namun Yusriansyah menolak karena jumlahnya sedikit. Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut Yusriansyah berkoordinasi dengan atasannya Kurnidie.

Selanjutnya, diduga terjadi pertemuan antara Yusriansyah dan Liliana untuk kembali membahas negosiasi harga.

Dalam OTT itu, KPK mengungkap modus baru yang digunakan Yusriansyah, Liliana, dan Kurniadie dalam negosiasi uang suap, yaitu menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara, dan kemudian Yusriansyah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan.

Akhirnya disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara dua WNA tersebut adalah Rp1,2 miliar.

Baca juga: KPK tahan tiga tersangka kasus suap imigrasi Mataram

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019