Jayapura (ANTARA) - Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK), Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengutus Yulius Pagappong untuk mengajar 500 siswa di ST. Paul Lutheran Secondary School, Distrik Wapenamanda, Provinsi Enga, Papua New Guinea.
"Selain mengajarkan bahasa Indonesia untuk Level A1, saya pun berusaha memperkenalkan budaya, kuliner, lagu, dan tarian Indonesia dan juga memperbaiki citra Indonesia sejak tahun lalu," kata salah satu pengajar BIPA Balai Bahasa Papua, Yulius Pagappong di Jayapura, Selasa.
Menurut Yulius, sebagian besar siswa dan guru hanya mengenal Bali, Beliau membawa peta dan menunjukkan bahwa Indonesia terdiri atas lima pulau besar, sekitar 17.504 pulau, dan 668 bahasa daerah, namun dipersatukan oleh satu bahasa, yakni bahasa Indonesia.
Baca juga: Empat Pengusaha PNG Belajar Bahasa Indonesia
"Kami sangat menjunjung bahasa persatuan kami, sehingga mampu mengikat persatuan dan kesatuan 260 juta penduduk Indonesia" jelasnya.
Kala itu, dia mengajar 500 siswa Grade IX, 25 guru, 2 staf perpustakaan, dan 2 staf distrik. Mereka sangat semangat belajar bahasa Indonesia. Mereka sangat haus dengan buku, kamus, video, dan artikel tentang Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, Yulius telah menyiapkan beberapa video dan film dokumenter tentang Indonesia, pendidikan di Indonesia, tingkat pendidikan di Indonesia, bahkan seragam yang dipakai disetiap jenjang pendidikan. Mereka semakin penasaran untuk berkunjung ke Indonesia. Yulius juga membagikan aplikasi kamus luring Bahasa Indonesia - Bahasa Inggris.
Dari 500 siswa yang belajar bahasa Indonesia, 60 persen sangat tertarik dengan pelajaran bahasa Indonesia, bahkan selama enam bulan, mereka sudah dapat berkomunikasi. Mereka berharap program BIPA ini dapat dilanjutkan atau dibuat satu kelas, khusus bahasa Indonesia.
Hal yang paling berkesan bagi Yulius adalah setiap pagi, siang, dan sore, guru dan siswa saling menyapa menggunakan bahasa Indonesia, bertanya tentang keadaan, bahkan meminta untuk diajarkan lagu dan tari Indonesia. Selain itu, ketika siswa melihat Yulius di jalan atau di pasar, mereka berteriak "Pak Bahasa, Pak Bahasa". Ada kebanggaan tersendiri dalam hidupnya, bahwa ada simbol negara yang dibawa ke PNG, yakni bahasa.
Bahasa pengantar di ST. Paul Lutheran Secondary School adalah bahasa Inggris. Namun, sebagian besar siswa masih berbahasa Tok Pisin, bahasa kedua terbesar. Dalam sistem abjad Tok Pisin, tidak ada huruf "C" dan "R" sehingga sangat lucu ketika Yulius mengajarkan materi Prapengajaran tentang abjad Indonesia. Semua siswa tertawa terbahak-bahak ketika menyebutkan kedua huruf tersebut. Untuk mengingatkan pemelajar, Dia menggunakan kata "caca, cici, cucu. cece, coco, rara, riri, ruru, rere, roro sehingga mudah dihafal. Yulius menggunakan kapur tulis di papan tulis dan menyiapkan sendiri penghapus.
"Kita ingat waktu sekolah dulu di kampung, guru-guru kita menulis pakai kapur. Itulah yang saya alami di sana," katanya.
Meskipun demikian, dia tetap semangat untuk mengajar bahasa Indonesia dan hal-hal lain tentang Indonesia karena ada komitmen dan tanggung jawab dalam dirinya untuk membantu pemerintah memasyarakatkan bahasa Indonesia dan menginternasionalkan bahasa Indonesia. Harapan Yulius, semakin banyak negara yang meminta pengajaran bahasa Indonesia, bukan hanya siswa, mahasiswa, dan guru, tetapi profesi lain.
Baca juga: Bahasa Indonesia akan diajarkan di Universitas Al Azhar Mesir
Baca juga: Evelin ajak DJ asal Jepang kenalkan bahasa Indonesia lewat musik
Pewarta: Musa Abubar
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019