Semarang (ANTARA News) - Pengamat transportasi dari Semarang, Drs. Djoko Setyowarno, M.T. menilai pemerintah kurang adil dalam menerapkan penghematan bahan bakar minyak (BBM), mengingat program ini belum menyentuh kendaraan pribadi yang kebutuhan BBM-nya lebih banyak daripada keperluan untuk umum. Selama ini, penghematan selalu ditekankan pada penggunaan kepentingan umum, seperti listrik, industri, dan rumah tangga yang diperkirakan membutuhkan BBM sekitar 40 persen, sementara untuk kendaraan pribadi yang membutuhkan BBM hingga 45 persen belum ada penghematan, kata Djoko di Semarang, Jumat. "Alasan yang selalu mengemuka kenapa pemerintah mengurangi subsidi BBM, antara lain harga BBM di pasar internasional naik dan sumber daya alam minyak di Indonesia, termasuk di dunia makin menipis," kata dosen Fakultas Teknik Unika A.A. Soegijapranata Semarang ini. Menurut dia, sangat tidak adil jika kepentingan rakyat justru lebih "ditekan", sementara kepentingan orang kaya, yang ditandai dengan kepemilikan mobil pribadi, justru tetap "dilindungi". "Terbukti, hingga sekarang mereka masih menikmati fasilitas BBM bersubsidi," katanya menandaskan. Jika dilihat dari pemberian bantuan jaminan hidup yang diterima rakyat miskin dibandingkan dengan subsidi BBM yang diterima pemilik mobil pribadi, menurut dia, terlihat tidak sebanding, bahkan terpaut sangat jauh. Jika rakyat miskin menerima bantuan sebesar Rp75 ribu/bulan, sementara pemilik mobil--katakanlah --menerima jatah 10 liter/hari dengan asumsi setiap liternya mendapat subsidi BBM sebesar Rp2.000, maka mereka menerima subsidi BBM sebesar Rp20 ribu. "Ini jelas terlihat ada ketidakadilan yang dialami rakyat miskin di Indonesia," katanya. Berdasarkan perhitungannya, pemilik mobil pribadi akan mendapat subsidi sekitar Rp500 ribu/bulan, dengan asumsi mereka menggunakan mobil selama 25 hari setiap bulannya. Sekarang ini, kata dia, jumlah mobil pribadi di Tanah Air ratusan ribu atau bahkan juta unit. "Jadi, untuk mengetahui besarnya subsidi yang mereka terima, tinggal mengalikan saja dengan jumlah mobil pribadi," katanya. Berdasarkan kenyataan itu, katanya, terlihat bahwa di negara Pancasilais yang berperilaku kapitalis jelas ada katidakadilan yang dialami rakyat miskin. Sementara di negara kapitalis itu sendiri rakyat miskin justru dapat subsidi lebih besar daripada orang kaya. "Kondisi yang demikian inilah yang memprihatinkan. Pemerintah seharusnya lebih peduli pada rakyat miskin, bukan malah sebaliknya lebih peduli pada orang yang kaya," katanya. Ia berharap pemerintah seyogianya lebih mengembangkan angkutan transportasi massal, baik itu bus, kereta api, dan kapal. Dengan pengembangan angkutan transportasi massal ini dia optimistis subsidi BBM bagi mobil pribadi dapat dikurangi, sementara angkutan massal tetap diberi subsidi. "Ini terjadi, karena angkutan massal lebih diperuntukkan bagi kepentingan umum atau rakyat," demikian Djoko Setyowarno. (*)
Copyright © ANTARA 2008